Sebab Anak-anak Bertanya ‘Mengapa’ dan Bagaimana Membuat Penjelasan yang Bagus

*)Penulis Matteo Colombo. Asisten profesor pada Pusat Studi Logika, Etika, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di Departemen Filsafat, Universitas Tilburg, Belanda.

Saat umurku sekitar empat tahun, aku mempertanyakan suatu pertanyaan “mengapa” yang pertama kalinya kepada ibuku, “Ibu, mengapa Pippo hidup di dalam air?”

Ibu menjelaskan bahwa Pippo—ikan mas kami—adalah ikan dan ikan hidup di dalam air. Jawaban ini membuatku tidak puas hingga aku pun terus bertanya, “Mengapa ikan hidup di dalam air? Tidak bisakah kita juga hidup di dalam air?” Ibu menjawab bahwa ikan bernapas dengan mengambil oksigen dari air di sekitarnya dan manusia tidaklah bisa bernafas dalam air. Kemudian, aku bertanya tentang hal yang tampaknya tidak berkaitan, “Es terbuat dari apa?”.  “Es terbuat dari air, Matteo,” jawab ibuku. Dua hari kemudian, Pippo ditemukan dalam freezer kami.

Seperti kebanyakan bocah empat tahun, aku sering dikejutkan oleh hal-hal yang terjadi di sekitarku. Ketika aku mulai fasih berbicara, aku segera bertanya mengapa beberapa hal bisa terjadi. Kelakuanku ini sering mengganggu orang-orang dewasa. Ketika mereka bersedia menjawab pertanyaanku, penjelasan mereka membantuku memahami apa yang akan terjadi bahwa beberapa hal begitu berbeda. Terkadang, kesimpulanku begitu buruk—contohnya Pippo yang malang harus menanggung akibatnya. Namun begitu, kesalahan dan penjelasan bisa memandu penemuanku mengenai dunia. Artinya, aku mempraktikkan ilmu pengetahuan sebelum aku bersekolah dan aku pun menikmatinya.

Lantas seperti apakah “penjelasan yang bagus”? Bagaimanakah kita bisa menemukannya?

 

***

 

Secara tradisional, para filsuf ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan berkonsentrasi pada norma-norma yang mengatur praktik penjelasan para ilmuwan, lalu mengevaluasi norma-norma tersebut berdasarkan intuisi mereka pada sejumlah kasus yang melibatkan penjelasan yang terduga.

Dimulai dengan karya Carl Gustav Hempel—ahli filsafat keilmuan Jerman—pada 1960-an, para filsuf ilmu pengetahuan telah mengartikulasikan tiga model utama penjelasan. Menurut hukum Hempel, penjelasan adalah argumen yang menunjukkan bahwa apa yang sedang dijelaskan secara logis mengikuti beberapa hukum umum. Dengan model hukum yang berlaku, jika seseorang bertanya, “Mengapa tiang bendera tertentu menghasilkan bayangan yang panjangnya 10 meter?” Jawaban yang bagus harus menyebutkan hukum optik, ketinggian tiang bendera, dan sudut matahari di langit. Penjelasan semacam ini dianggap bagus karena menunjukkan “keadaan tertentu” dan “hukum dari pertanyaannya” untuk menjelaskan kejadian dari  fenomena yang terduga.

Pendekatan lainnya adalah dengan model “unifikasi” yang mengatakan bahwa penjelasan yang bagus memberikan laporan terpadu yang dapat diterapkan secara komprehensif untuk bermacam fenomena. Teori gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin adalah penjelasan yang menawan karena mereka menikmati kekuatan kesatuan yang menakjuban. Teori-teori tersebut terus-menerus menggunakan beberapa prinsip dasar yang dapat menjelaskan banyak fenomena. Dengan demikian, teori-teori kesatuan bisa meminimalisir hal yang dikatakan oleh ahli biologi Thomas Huxley bahwa “yang fundamental tidak dapat dipahami” pada tahun 1896.

Model sebab-akibat yang mekanis mungkin menjadi model yang paling populer di kalangan filsuf. Model ini menyatakan bahwa penjelasan yang bagus mengungkapkan unsur-unsur yang terorganisir dan perbuatan yang membuat sesuatu terjadi. Karenanya, jika seseorang bertanya, “Mengapa jendela itu pecah?”,  maka jawaban yang bagus menyatakan, “Karena seseorang melemparkan batu ke arahnya.” Atau jika seseorang bertanya, “Bagaimana darah mencapai seluruh bagian tubuh?”, maka jawaban yang bagus semestinya mencakup informasi tentang jantung, pembuluh darah, sistem peredaran darah, dan fungsi-fungsinya.

Model-model seperti di atas menangkap banyak bentuk penjelasan yang bagus. Namun para filsuf tidak boleh berasumsi bahwa hanya ada satu model penjelasan yang benar. Keputusan jawaban harus dibuat berdasarkan model mana yang memberi kita penjelasan sebenar-benarnya. Sebab, banyak yang berasumsi bahwa “satu ukuran” model penjelas tunggal bisa cocok untuk segala bidang penyelidikan. Asumsi seperti ini menjelaskan bahwa para filsuf sering mengabaikan psikologi tentang penalaran penjelasan.

Memberi jawaban bagus untuk pertanyaan “mengapa” bukanlah sekadar abstraksi filosofis. Sebuah penjelasan harus memiliki fungsi kognitif tentang dunia nyata. Dengan begini, tentunya akan memajukan pembelajaran dan penemuan. Teori penjelasan yang bagus sangat penting sebagai kelancaran navigasi lingkungan. Dalam artian, penjelasan adalah tentang apa yang dikenal sebagai pola tutur; yang merupakan ucapan untuk melayani fungsi tertentu dalam komunikasi. Mengevaluasi orang yang berhasil melakukan aksi bertutur seperti ini harus mempertimbangkan psikologi tentang penalaran penjelasan dan sensitivitas konteksnya yang tidak kentara. Pekerjaan luar biasa dalam psikologi penjelasan menunjukkan bahwa hukum-hukum, kesatuan, dan mekanisme sebab-akibat memiliki tempat dalam psikologi manusia guna melacak konsep-konsep yang berbeda yang dipicu berdasarkan para pemirsanya, minat, latar belakang keyakinan, dan lingkungan sosial seseorang.

 

***

Hasil psikologi juga mengungkapkan kesamaan yang mencolok antara penalaran penjelasan anak-anak dan para ilmuwan. Anak-anak dan ilmuwan memandang dunia dengan berusaha menemukan pola, mencari pengingkaran yang mengejutkan terhadap pola-pola itu, dan berusaha memahaminya berdasarkan penjelasan dan pertimbangan yang memungkinkan. Praktik penjelasan anak-anak menawarkan wawasan unik mengenai sifat penjelasan yang bagus.

Model-model penjelasan harus diukur melalui data aktual tentang praktik penjelasan berdasarkan psikologi—juga ilmu sejarah dan sosiologi. Kesimpulan ini juga berlaku untuk topik-topik tradisional lainnya yang dipelajari oleh para filsuf ilmu pengetahuan; seperti tentang konfirmasi, perubahan teori, dan penemuan ilmiah; yang mana terlalu sering menjadi teori filosofis secara abstrak dan mengaburkan pondasi kognitif ilmu pengetahuan.

Pokok-pokok studi penjelasan yang empiris akan dengan jelas memberi tahu kita mengenai sesuatu yang penting tentang bagaimana orang menjelaskan, apa yang mereka anggap berharga dalam penjelasan, dan bagaimana praktik penjelasan berubah sepanjang hidup seseorang. Jika setiap anak adalah ilmuwan alami, maka para filsuf sains sebaiknya memperhatikan psikologi penjelasan, pertanyaan “mengapa” anak-anak secara khusus, dan penalaran penjelasan. Mereka akan mendapatkan pemahaman yang lebih bernuansa mengenai apa yang membuat penjelasan menjadi bagus.

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Anak kecil yang jarang bertanya.]

 


Artikel ini didapat dari Aeon.co. Kru kami menerjemahkannya demi pengayaan wawasan pembaca secara gratis. Kabarkan!


 

 

[Cerpen/Mark Twain] Republik Gondour yang Aneh

*)Karya Mark Twain. Tokoh sastra realis Amerika Serikat.

Setelah sedikit belajar berbahasa, saya menjadi sangat tertarik pada urusan rakyat dan sistem pemerintahan.

Saya mendapati sebuah negara yang awalnya mencoba mengadakan pemungutan suara secara jujur dan sederhana. Tapi, pemungutan suara pun disingkirkan karena hasilnya tidak memuaskan. Sepertinya mereka telah menyerahkan semua kekuasaan ke tangan orang-orang jahil, gemar tak membayar pajak, dan menjadi suatu keharusan bahwa jabatan pihak-pihak berwajib dipenuhi oleh orang-orang semacam itu.

Solusi pun dicari. Orang-orang percaya bahwa mereka telah menemukan solusinya; yaitu bukan dengan cara meniadakan pemungutan suara; melainkan memperluas cakupannya. Itu adalah ide yang aneh sekaligus cerdik.

Anda harus mengerti bahwa konstitusi memberi setiap orang pilihan. Oleh karenanya, pemungutan suara merupakan hak pribadi  dan tidak bisa ditiadakan. Tapi konstitusi tidak menyatakan bahwa orang-orang tertentu tidak mungkin diberi dua atau sepuluh suara!

Maka, pasal-pasal amandemen bisa dimasukkan secara diam-diam; seperti mengesahkan pasal tentang perluasan hak pilih dalam kasus-kasus tertentu yang akan ditentukan undang-undang. Menawarkan “pembatasan” hak pilih mungkin akan membuat masalah instan. Justru, tawaran untuk “memperluas” jangakauannya memiliki aspek yang menyenangkan.

Tentu saja, suratkabar mulai terasa mencurigakan; dan kemudian, berdatanganlah mereka! Entah bagaimana, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik; properti, figur, dan intelektualitas mampu sekaligus mengayunkan pengaruh politik. Uang, kebajikan, dan kecerdasan bisa sekaligus bersatu demi mengambil kepentingan vital dalam persoalan politik; kekuatan ini pun sekaligus  mengawali pra-seleksi dengan kekuatan yang kuat; sekaligus juga, orang-orang terbaik negara ini diajukan sebagai kandidat parlemen yang urusannya harus memperluas hak pilih. Dengan setengah bimbang, pers segera bergabung dengan gerakan kekuatan baru ini dan meninggalkan separuh sisa idealismenya untuk mencerca “penghancuran kebebasan” sebagai aspirasi masyarakat lapisan bawah; sebagai penguasaan komunitas sampai sekarang.

Kemenangan pun lengkap. Hukum baru dibingkai dan disahkan. Di bawahnya, setiap warga negara yang miskin atau bodoh hanya memiliki satu hak suara saat pemilihan umum berlaku. Akan tetapi, jika seseorang memiliki pendidikan sekolah umum yang baik dan tak punya uang, ia akan memiliki dua hak suara. Sementara jika ia berpendidikan sekolah menengah, maka akan memperoleh  empat suara. Jika ia memiliki properti seharga tiga ribu saco, ia bisa menggunakan satu suara lagi dan untuk setiap lima puluh ribu saco yang ditambahkan seseorang sebagai hartanya, ia berhak lagi untuk memilih.

Pendidikan universitas akan memberikan hak sembilan suara kepada seseorang meskipun ia tidak memiliki properti. Oleh karenanya, pendidikan menjadi lebih lazim dan gampang diperoleh dibandingkan kekayaan; sehingga orang-orang berpendidikan menjadi pengawas yang sehat bagi orang-orang kaya karena dapat mengunggulinya. Pendidikan biasanya berlaku berdasarkan kejujuran, pandangan yang luas, dan kemanusiaan. Maka, pemilih terpelajar—yang memiliki keseimbangan kekuatan—menjadi pelindung yang efisien dan berwaspada bagi masyarakat kelas bawah yang besar.

 

Dan sekarang, suatu hal aneh berkembang dengan sendirinya; yakni semacam persaingan yang bertujuan  pada kekuatan suara!

Jika sebelumnya, seseorang dihormati hanya berdasarkan jumlah uang yang dimilikinya. Sekarang, kemuliannya diukur dengan jumlah suara yang ia miliki. Seseorang dengan hanya satu suara jelas-jelas menghormati tetangganya yang memiliki tiga suara. Dan jika ia seorang luar biasa, ia akan sama energiknya untuk bertekad mendapatkan tiga suara bagi dirinya sendiri. Semangat persaingan ini menyerbu segala strata.

Suara berdasarkan modal kekayaan umumnya disebut “suara fana” karena bisa saja hilang. Sementara suara yang diperoleh berdasarkan tingkat pendidikan disebut “suara abadi” karena secara umum karakternya tahan lama dan secara alami lebih dihargai daripada pilihan lainnya. Saya mengatakan “secara umum” karena pilihan jenis ini tidak sepenuhnya abadi apabila ketidakwarasan menyingkirkannya.

Di bawah sistem ini, perjudian dan spekulasi hampir berhenti di republik. Seorang terhormat yang memiliki kekuatan suara besar tidak beresiko kehilangan suara pada kesempatan yang penuh keraguan.

Rencana perluasan pemungutan suara menghasilkan kebiasaan dan tata krama yang sangat menarik diamati. Suatu hari saat berjalan-jalan di jalanan bersama seorang teman, ia membungkuk kepada sembarang orang yang berlalu-lalang dan kemudian mengatakan bahwa orang yang ia temui hanya memiliki satu suara dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan yang lain. Ia lebih menghormati kenalan berikutnya yang ditemuinya dan mengatakan bahwa ia memberi penghormatan ini karena empat suara yang dimiliki orang itu.

Saya mencoba untuk mengira-ngira betapa pentingnya orang-orang yang ia temui setelahnya berdasarkan sifat penghormatan teman saya. Tetapi perkiraan saya hanya tepat sebagian karena penghormatan yang agak lebih besar diberikan kepada yang “abadi” daripada yang “fana”. Teman saya menjelaskan bahwa tiada hukum yang mengatur hal ini kecuali hal yang paling kuat dari segala hukum; yakni kebiasaan.

Kebiasaan telah menciptakan berbagai penghormatan ini hingga pada waktunya akan menjadi terasa mudah dan alami. Pada momen ini, teman saya membawa dirinya dalam penghormatan yang sangat dalam dan kemudian ia berkata, “Sekarang, ada seseorang yang memulai kehidupannya sebagai pekerja pembuat sepatu dan tanpa pendidikan akan mengarahkan 22 suara fana dan 2 suara abadi. Dia berharap agar lulus ujian SMA tahun ini dan suara abadinya naik beberapa lebih tinggi. Dialah warga negara yang sangat berharga.”

Dengan segera, teman saya bertemu seorang tokoh terhormat yang membuatnya membungkuk dengan cara paling rumit  hingga melepas topinya. Saya melepas topi juga berkat rasa kagum yang misterius. Saya rasa saya mulai terinfeksi hal ini.

“Bangsawan macam apa dia?,” tanya saya.

“Dialah ahli astronomi kita yang paling terkemuka. Dia tidak punya uang tapi dia seorang terpelajar yang disegani. Bobot politiknya adalah sembilan suara abadi! Dia akan mengarahkan 150 suara jika sistem kita sempurna,” jelas teman saya.

Bertanyalah saya kemudian, “Adakah penghormatan tinggi terhadap uang yang membuatmu melepaskan topi?”

“Tidak. Sembilan suara abadi adalah satu-satunya kekuatan yang kita temukan untuk itu dalam kehidupan sipil. Para pejabat yang sangat hebat menerima tanda penghormatan itu. Tentu saja,” jawabnya.

Adalah terbiasa mendengar orang-orang terkagum membicarakan beberapa orang lain yang memulai kehidupannya dari strata lebih rendah hingga saatnya memperoleh kekuatan hak pilih yang besar. Hal itu juga lumrah saat mendengar para pemuda merencanakan masa depan untuk memiliki begitu banyak hak suara bagi diri mereka sendiri. Saya mendengar kaum mama yang cerdik berbicara tentang para pemuda tertentu sebagai “incaran” bagus karena mereka memiliki sejumlah hak suara begini-begitu. Sepengetahuan saya, ada lebih dari satu kasus tentang seorang ahli waris perempuan yang menikah dengan seorang pemuda yang hanya memiliki satu hak suara. Pendapat yang ada menyatakan bahwa si pemuda dikaruniai bagian-bagian warisan bernilai tinggi sehingga pada saatnya nanti, ia akan memperoleh hak suara yang sangat baik dan dalam jangka panjang mungkin akan mengungguli derajat istrinya jika ia beruntung.

Ujian kompetitif adalah peraturan untuk menilai segala jabatan. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan ujian yang diajukan kepada para kandidat begitu ngawur, rumit, dan seringkali membutuhkan semacam pengetahuan yang tidak diperlukan untuk dinas yang mereka cari.

“Bisakah orang bodoh atau orang bebal menjawabnya?,” tanya orang yang sedang berbicara dengan saya .

“Tentu saja tak bisa.”

“Baiklah, tapi kamu tak akan menemukan orang bodoh dan bebal di antara pejabat kita.”

Saya merasa agak tersudut tapi beralih mengatakan, “Tapi pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan lebih banyak jawaban dibandingkan yang diperlukan.”

“Tak masalah. Jika kandidat dapat menjawabnya, itu bukti yang lumayan adil bahwa mereka dapat menjawab hampir semua pertanyaan lain yang akan Anda ajukan kepada mereka.”

Ada beberapa hal di Gondour yang tak bisa ditutup-tutupi. Salah satunya, kebodohan dan ketidakbecusan tak ada tempatnya di pemerintahan. Otak dan properti dipakai untuk mengelola negara. Seorang kandidat pejabat harus memiliki kemampuan, pendidikan, dan karakter mulia; atau jika tidak, ia tak memiliki peluang untuk dipilih. Jika kuli bangunan memiliki potensi ini, ia bisa menjadi orang sukses. Tapi faktanya, para kuli bangunan tidak berkesempatan memilikinya seperti waktu sebelumnya.

Sekarang, menjadi kehormatan besar apabila berada di parlemen atau bekerja di kantor. Di bawah sistem yang lama, kebanggan seperti ini hanya akan menimbulkan kecurigaan pada seseorang; yang menjadikannya sebagai bahan lelucon dan olok-olokan pada suratkabar.

Hari ini, pejabat tak perlu lagi mencuri. Gaji mereka sangat besar dibandingkan upah pas-pasan yang dibayarkan saat parlemen diciptakan oleh para kuli bangunan—yang memandang gaji resmi dari sudut pandangnya sendiri hingga memaksa pandangan itu untuk dihormati oleh para pelayan mereka yang patuh. Keadilan telah dikelola dengan bijak dan ketat. Bagi seorang hakim, setelah sekali mencapai posisinya melalui jalur promosi yang ditentukan, posisinya akan menjadi permanen selama ia beperilaku baik. Ia tidak dipaksa untuk memodifikasi penilaiannya menurut pengaruh yang mungkin mereka punya terhadap emosi partai politik yang berkuasa.

Keutamaan negara ini adalah diperintah oleh suatu kementerian yang diresmikan berdasarkan administrasi yang menciptakannya. Ini dialami oleh para kepala departemen besar. Pejabat kecil naik ke beberapa posisi mereka melalui promosi yang diupayakan secara baik; bukan berdasarkan upaya dari kedai arak, keluarga miskin, atau teman-temannya anggota parlemen. Perilaku yang baik menjadi ukuran masa jabatan mereka.

Kepala pemerintahan Grand Caliph dipilih untuk masa jabatan selama dua puluh tahun. Saya mempertanyakan kebijaksanaan ini. Saya mendapat jawaban bahwa ia tidak dapat berbuat zalim karena kementerian dan parlemen mengatur negeri itu dan ia bisa dikenakan hukuman jika melakukan pelanggaran. Jabatan besar seperti ini telah dua kali diisi oleh perempuan yang cakap. Para perempuan memang sangat cocok untuk jabatan itu seperti beberapa ratu bersejarah yang menguasai kerajaan. Sementara di bawah banyak administrasi, perempuan menjadi anggota kabinet.

Saya mengetahui bahwa kuasa mengampuni bisa diajukan di pengadilan pengampunan yang terdiri dari beberapa hakim besar. Di bawah rezim lama, kekuatan penting ini diberikan kepada seorang pejabat tunggal dan ia selalu waswas apabila dikirim ke penjara umum saat waktu pemilihan berikutnya.

Saya menyelidiki sekolah umum. Jumlahnya ada banyak dan ada juga perguruan tinggi gratis. Dan saya bertanya tentang pendidikan wajib. Pertanyaan ini diterima dengan senyuman dan komentar:

“Ketika seorang anak lelaki mampu menjadikan dirinya kuat dan dihormati berdasarkan jumlah pendidikan yang diperolehnya, bukankah kamu mengira bahwa orangtuanya  akan menerapkan paksaan itu sendiri? Kita tidak memerlukan undang-undang untuk memenuhi sekolah gratis dan perguruan tinggi gratis.”

Ada kebanggaan penuh kasih dari negara tentang cara berbicara orang seperti ini yang membuat saya terganggu. Saya sudah lama tidak berbicara dengan gaya seperti itu. Suara-suara warga negara Gondour memekakkan telinga saya selamanya.  Sehingga, saya senang meninggalkan negara itu dan kembali ke tanah kelahiran saya yang tersayang—tempatnya orang-orang tidak pernah mendengar “musik” semacam itu.

[Diterjemahkan oleh Taufik Nurhidayat. Bukan sastrawan dan berlaku menjengkelkan.]

 

Kebodohan Pecandu Buku

Lukisan tentang pecandu buku karya Alireza Darvish—pelukis asal Iran yang bermukim di Jerman—untuk pembukaan pameran Ars Libri di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat pada 7 Oktober-29 November 2011.

*)Ditulis oleh Frank Furedi.  Sosiolog yang dulunya menjadi profesor sosiologi pada University of Kent di Kota Canterbury, Inggris. Dia menerbitkan banyak buku; yang terakhir ialah How Fear Works (2018).

Sabtu, 1 November 2014. Saya sedang mencari buku di Barnes & Noble, Fifth Avenue, Kota New York. Seketika, perhatian saya tertuju pada koleksi volume yang dibuat dengan indah. Saya melihat lebih dekat dan menyadari bahwa buku-buku ini adalah bagian dari kategori Leatherbound Classic. Seorang asisten toko memberi tahu saya bahwa sampel bagus semacam itu akan turut memperindah koleksi buku saya. Sejak pemberitahuan ini, saya diingatkan berkali-kali bahwa buku sangat penting sebagai simbol penyempurnaan budaya. Meskipun kita musti hidup di era digital, pemaknaan simbolis dari buku terus-menerus menikmati penilaian budaya. Itulah sebabnya, ketika saya melakukan wawancara televisi di rumah atau di kantor universitas saya, saya seringkali diminta untuk berdiri di depan rak buku saya dan berpura-pura membaca salah satu teks.

Sejak penemuan sistem aksara paku di Mesopotamia sekitar 3500 SM dan hieroglif di Mesir sekitar 3150 SM, pembaca teks yang serius telah menikmati aklamasi budaya. Papan tanah liat dengan tanda-tanda tertulis dianggap sebagai artefak yang berharga dan terkadang sakral. Kemampuan untuk menguraikan dan menafsirkan simbol dan tanda dipandang sebagai pencapaian yang luar biasa. Hieroglif Mesir dianggap memiliki kekuatan magis dan—hingga hari ini—banyak pembaca menganggap buku sebagai media untuk mendapatkan pengalaman spiritual. Semenjak teks memiliki begitu banyak makna simbolis, maka apa yang orang baca dan bagaimana mereka membaca—secara luas—dianggap sebagai fitur penting dari identitasnya. Membaca selalu menjadi penanda karakter. Itulah sebabnya, orang sepanjang sejarah telah menginvestasikan sumber daya budaya dan emosional yang cukup besar demi menumbuhkan identitas sebagai pecinta buku.

Di Mesopotamia kuno; dimana hanya ada sekelompok kecil juru tulis yang bisa menafsirkan papan-papan aksara paku, prestise yang luar biasa diperoleh para penafsir tanda ini. Pada titik inilah, kita mempunyai satu petunjuk paling awal tentang kekuatan simbolis dan hak istimewa yang dinikmati oleh pembaca. Sebagai pembaca yang pecemburu, para ahli baca-tulis yang ambisius melindungi otoritas budaya mereka dengan membatasi akses ke pengetahuan magisnya.

Pada abad ke-7 SM, ketika penulisan Kitab Ulangan Perjanjian Lama disokong Raja Yosia di Yerusalem, pancang tinggi dipasang untuk pemujaan buku itu. Yosia menggunakan gulungan yang ditulis oleh para deteronomisnya untuk memperkuat perjanjian antara orang-orang Yahudi dan Tuhannya—dan, hal ini menginspirasi tindakan strategi politik untuk mengabsahkan warisannya atas klaim tanah itu.

Era Kekaisaran Romawi—yang dimulai pada abad ke-2 SM, buku-buku seperti diturunkan dari surga ke bumi; yang mana buku-buku tersebut berfungsi sebagai barang mewah untuk membuat pemilik kaya mereka memperoleh gengsi kebudayaan. Seneca, filsuf Romawi yang hidup pada abad pertama Masehi, menyatakan sarkasme pada pemujaan tampilan teks yang dimegah-megahkan. Ia mengeluhkan bahwa banyak orang tanpa pendidikan sekolah tidak menggunakan buku-buku sebagai alat belajar melainkan sebagai dekorasi ruang makan. Kepada kolektor gulungan yang flamboyan, ia menuliskan, “Anda dapat melihat karya lengkap orator dan sejarawan di rak hingga langit-langit karena perpustakaan telah menjadi seperti kamar mandi; menjadi ornamen penting dari rumah kaya.”

Permusuhan Seneca terhadap kolektor buku yang sok pamer mungkin dipengaruhi oleh kerisihannya terhadap mania membaca yang tampaknya menimpa publik di awal periode Kekaisaran Romawi. Periode ini menampakkan munculnya pengkajian bacaan (resitasi) di muka umum. Pembacaan di muka umum ini melibatkan sastra dari para penulis dan penyair yang dianggap layak sebagai peluang promosi diri oleh banyak warga kaya. Seneca memandang pertunjukan-pertunjukan kesombongan sastra yang vulgar ini secara jijik—dan dia pun tak sendirian.

Pembacaan yang dilakukan orang-orang penting nan sia-sia di Roma dan wilayah Kekaisaran lainnya menjadi target humor sarkastik. Banyak penulis-satiris Romawi terkemuka; seperti Horace (65-8 SM), Petronius (27-66 M), hingga Persius (34-62 M) dan Juvenal (55/60-127 M), mengarahkan humor cerdas mereka kepada  kemewahan resitasi.

Menurut satiris Romawi; Martial, toilet umum pun tidak membatasi para pembaca di muka publik yang begitu mengganggu. Lewat suatu epigram sarkastiknya, ia menulis:

 

Anda membaca untuk saya ketika saya berdiri,

Anda membaca untuk saya ketika saya duduk,

Anda membaca untuk saya ketika saya berlari,

Anda membaca untuk saya ketika saya beromong kosong.

 

Saya lari ke kamar mandi;

Anda menghujami telingaku.

Saya menuju kolam renang,

Anda tidak akan membiarkan saya berenang.

Saya bergegas untuk makan malam,

Anda menghentikan saya di perjalanan.

Saat saya makan,

kata-kata Anda membuat saya muntah.

 

Para satiris yang mengolok-olok resitasi memahami bahwa reputasi dari bacaan yang disempurnakan adalah mewakili sumber modal budaya yang penting. Kecerdasan tajam yang mereka arahkan pada target mereka dapat dilihat sebagai bentuk kebijakan sastra. Ejekan yang dilakukan Petronius kepada Eumolpus sebagai “penggila puisi yang membosankan” di Satyrica juga dapat dibaca sebagai contoh pembijakan selera. Bukan karena apa-apa, Petronius pun dianggap oleh orang-orang sezamannya sebagai wasit elegantiarum atau seorang hakim keanggunan pada Istana Romawi di bawah Kaisar Nero.

 

***

 

Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5, orang-orang Eropa yang memiliki kekayaan materi—tapi tidak memiliki keanggunan dan kemutakhiran dari kemuliaan superioritas sosial mereka—menciptakan perpustakaan pribadi untuk mendapat perbaikan reputasi. Memang, bagi banyak orang, kepemilikan perpustakaan yang lengkap merupakan tujuan tersendiri. Hampir 1000 tahun kemudian, dengan munculnya Renaisans dan kebangkitan kancah perniagaan; kepemilikan buku menjadi meluas dan lebih banyak orang lagi yang melakukakn kebiasaan membaca sehingga perbedaan budaya yang dianugerahkan berdasarkan kebiasaan membaca menjadi pudar. Geoffrey Chaucer, dalam puisinya “The Legend of Good Women” yang ditulis tahun 1380-an, mencontohkan tren ini dengan menyatakan bahwa dirinya memegang buku-buku “dengan kondisi  terhormat”.

Pada abad ke-14 dan 15, para pembaca yang mewah dan sombong muncul dengan kekuatan penuh. Esai  bertajuk “Philobiblon” yang ditulis Richard de Bury pada tahun 1345 tetapi diterbitkan tahun 1473, dikatakan sebagai “risalah berbahasa Inggris paling awal tentang kelezatan literatur”. Tetapi, “Philobiblon” mengatakan sedikit tentang pengalaman aktual De Bury dalam membaca. Dia adalah seorang fetisis buku klasik yang minat sebenarnya adalah mengumpulkan buku daripada belajar.

William de Chambre; penulis biografi De Bury, menyatakan bahwa buku mengelilingi Bury di semua tempat tinggalnya. Ia menulis bahwa “begitu banyak buku terbentang di kamar tidurnya sehingga hampir tidak mungkin untuk berdiri atau bergerak tanpa menginjaknya.” De Bury tentunya telah mengantisipasi jika keserakahan hasratnya untuk mengumpulkan buku dapat menjadi sasaran kritik dan sarkasme. Makanya, ia secara eksplisit membela diri dari tuduhan berlebihan melalui prolog  “Philobiblon” yang menyatakan bahwa “cinta ekstatif”-nya terhadap buku membuatnya bisa meninggalkan “semua pikiran tentang hal-hal duniawi lainnya”. Dia menulis “Philobiblon” supaya generasi berikutnya memahami maksudnya dan “untuk selamanya menghentikan gosip yang menyimpang”. Dia berharap kisah tentang hasratnya itu akan “membersihkan cinta yang kita miliki untuk buku-buku dari tuduhan yang berlebihan”.

 

***

 

Seniman potret tergoda oleh spiritualitas buku dan properti intelektual dan terus merangkulnya sebagai alat artistik yang penting.

 

Sebastian Brant; teolog humanis Jerman, samasekali tidak bisa menerima pernyataan di atas. Dalam satirnya; “Ship of Fools” (1494), ia menggambarkan 112 jenis orang bodoh. Dan, orang pertama yang naik kapal adalah “pecandu buku yang bodoh” yang mengumpulkan buku-buku dan membacanya untuk memperoleh pengaruh. Brant mengatakannya:

 

Pada kapal ini, sayalah yang nomor satu.

Demi alasan khusus untuk dilakukan;

sayalah yang pertama di sini yang Anda lihat

 

Karena saya suka perpustakaan saya

dari buku-buku yang tak kunjung habis saya punya;

tetapi sedikit yang bisa saya pahami.

Saya menghargai buku-buku dari berbagai zaman

dan menjaga  halamannya dari ngengat.

 

Di mana seni dan sains diakui?

Saya katakan: di rumah saya yang paling bahagia.

Saya tidak pernah menjadi lebih puas

dibandingkan saat buku-buku saya berada di sisi saya.

 

 

Karya satir Brant menjadi buku terlaris dan dengan cepat diterjemahkan dari bahasa Jerman menjadi bahasa Latin, Perancis, dan Inggris. Tetapi sebaliknya, para pecinta buku yang bodoh tetap tak bisa dihalangi. Pada abad ke-16, idealisasi sekuler “cinta membaca” telah benar-benar terjadi. Membaca dianggap sebagai media penemuan diri dan mendapatkan wawasan spiritual tentang jalan duniawi.

Simbolisasi membaca mungkin lebih masif dari tindakan membaca itu sendiri. Orang-orang berusaha menangkap pengabdian mereka terhadap buku melalui potret terlukis yang menggambarkan mereka sangat asyik membaca teks. Dalam kancah seni Renaissance, lukisan orang-orang yang membaca dan potret individu yang merangkul buku tersebar begitu luas. Manuskrip-manuskrip era ini “bukan hanya dibanjiri dengan gambar buku tetapi juga dengan orang-orang yang membaca buku-buku itu”—seperti yang ditulis Laura Amtower dalam “Engaging Words: The Culture of Reading di In The Middle Ages” (2000).

Selama berabad-abad berikutnya, seniman potret yang tergoda oleh sifat spiritual dan intelektual buku  terus menganut hal demikian sebagai penyangga artistik yang penting. Penyair humanis Dante selalu dilukiskan sedang membaca. Sebuah lukisan karya Agnolo Bronzino—seniman abad ke-16—yang berjudul “Allegorical Portrait of Dante” menggambarkan si penyair memegang sebuah edisi “Paradiso” yang sangat besar. Lukisan itu menggambarkan tentang buku seperti halnya tentang Dante. Menyaksikan performa membaca Dante adalah mengingatkan pemirsanya tentang status orang ini sebagai orang yang berprestasi secara budaya dan maju secara spiritual.

 

 ***

 

Kaum intelektual berusaha keras memperkuat status superiornya melalui ekspansi membaca pada abad ke-18 di kalangan masyarakat; dengan cara menekankan perbedaan antara dirinya dan orang yang kurang membaca. Sekarang ini, kritikus sastra telah menggantikan satiris Romawi. Mereka memuji pembaca berprestasi sebagai “orang-orang literer” sementara lawan-lawan moralnya  dikarakterisasi sebagai “tidak melek aksara”.

“Membaca bukanlah suatu kebajikan. Tetapi membaca dengan baik adalah seni. Dan, seorang pembaca terlahir melalui perolehan seninya,” begitulah yang ditulis oleh novelis Edith Wharton yang  ditegaskan dalam esai “The Vice of Reading” (1903). Wharton menulis bahwa, “pembaca mekanis tidak mempunyai ‘bakat bawaan’ , ‘bakat membaca’, dan tidak akan pernah bisa memperoleh seni.

Membaca telah diangkat menjadi sebentuk seni pada abad ke-20 melalui cara “menggambar garis di atas pasir”/memberi batasan  oleh para intelektual. Di satu sisi, ada yang disebut “pembaca pura-pura” dan ada yang dianggap “elit” di sisi lain. Bahkan novelis Virginia Woolf pun turut menimpalinya. Dalam esainya “The Common Reader” (1925), ia menggambarkan bahwa rata-rata pembaca adalah seorang yang “kurang berpendidikan” daripada seorang kritikus. Seorang individu yang “secara alami tidak berbakat” akan begitu murah hati sebagai mitra berbakat. Menurut Woolf, pembaca biasa cenderung terburu-buru, tidak akurat, dangkal, dan tentu saja kekurangannya terlalu jelas untuk dikritik. Perspektif ini begitu stagnan karena terus mengklasifikasikan dan menilai para pembaca hingga hari ini. Melalui “The Pleasures of Reading” (2011), kritikus sastra Alan Jacobs berani membedakan antara “pembaca yang dibanggakan” dan “orang-orang rendahan yang membaca”.

Faktanya, tindakan tersebut menjadi sangat bergengsi. Sehingga, seorang anak yang membaca akan menandakan kompetensi orang tuanya—atau setidaknya menjadi superioritas moral dan budaya paling baik. Orang tua yang membaca untuk anaknya di ruang publik; sebenarnya sedang membuat deklarasi kepada dunia bahwa kegiatan bernilai tinggi yang kini dilakukan para ibu dan ayah adalah mencurahkan banyak waktu dan sumber daya untuk mendorong anak-anaknya bisa merengkuh buku secara fisik. Tak jarang, seorang balita pun terlihat duduk sambil memegang dan melihat buku kecil pada kursi anak-anak dalam mobil.

 

***

 

Secara kontras, seorang wanita abad ke-18 yang membaca buku dan seorang remaja yang menatap smartphone-nya adalah penggambarkan berbagai cara kita membangun identitas melalui membaca.

 

Sesegera mungkin, balita abad ke-21 ini akan meninggalkan kenampakannya membaca buku secara gamblang di muka umum dan mengadopsi kebiasaan memeriksa smartphone mereka secara teratur. Jika Seneca atau Martial ada sekitar hari ini, mungkin mereka akan menulis epigram sarkastik tentang “pameran membaca pesan teks dan tampilan teks di hadapan Anda”. Pembacaan digital selayaknya membaca gulungan kuno adalah pernyataan penting tentang siapa kita. Seperti para pembaca karya Martial di hadapan publik Roma; para pembaca yang keranjingan pesan teks dan media sosial lainnya ada di mana-mana. Meskipun dalam kedua kasus ini, para pembaca tanpa lelah membangun citra dirinya, namun identitas yang mereka bangun sangatlah berbeda. Orang-orang muda yang duduk di bar sambil memeriksa pesan pada ponselnya sedang tidak menyatakan status kesastraan mereka yang beradab. Mereka menandakan bahwa dirinya sedang berkoneksi dan—yang paling penting—menunjukkan bahwa mereka selalu ada perhatian.

Dengan kebangkitan teknologi digital, kinerja membaca menjadi berubah. Kontras antara seorang wanita yang asyik membaca buku dalam potret abad ke-18 dan seorang remaja yang secara sadar menatap smartphone-nya menggambarkan berbagai cara individu membangun identitas mereka melalui membaca. Saat ini, konsumen teks digital yang canggih bersaing dengan pembaca buku fisik dalam memperoleh pengakuan kultural. Akan tetapi, kinerja membaca mana yang paling dihargai?

Bagi mereka yang berhasrat mengumumkan kecerdasannya kepada dunia, pilihannya sudah jelas: teks digital tak berfungsi sebagai penanda perbedaan budaya. Mungkin itulah sebabnya, meskipun penggunaan tablet meluas, penjualan buku kertas meningkat baru-baru ini. Tidak seperti buku, tablet tidak menawarkan media untuk menunjukkan selera dan seni. Itulah sebabnya, dekorator interior menggunakan rak-rak buku untuk menciptakan kesan elegan dan beradab di dalam ruangan.

Secara aktif, bisnis mempromosikan penampilan mutakhir dengan cara menawarkan perpustakaan buatan yang sudah jadi kepada konsumen yang tertarik untuk mendapatkan tampilan sesuai selera. Suatu perusahaan online; Books By The Foot, menawarkan untuk membuat perpustakaan yang cocok dengan kepribadian dan ruang konsumen. Perusahaan ini menjanjikan untuk menyediakan buku-buku berdasarkan warna, penjilidan, subyek, ukuran, tinggi, dan lainnya; demi membuat koleksi yang terlihat megah. Bisnis online yang menjual perpustakaan khusus menunjukkan bahwa rak buku melambangkan kebudayaan yang tinggi—sekalipun di era digital.

Nyatanya, kebodohan para pecandu buku masih ada bersama kita. Tapi untungnya, masih banyak pembaca yang tidak hanya tertarik pada penampilan. Mereka masih meleburkan dirinya ke dalam teks dan benar-benar jatuh cinta dengan cerita-cerita yang mereka baca. Terlepas dari mediumnya, yang penting adalah aspirasi yang sangat manusiawi untuk mengambil bagian dalam perjalanan ini. Ini bukan soal performa dan kenampakan yang benar-benar penting. Melainkan tentang pengalaman perjalanan menuju hal yang tidak diketahui.

 

20 Oktober 2016

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Penghindar ulung dari pergaulan poseur literatur.]

 


Esai ini diambil dari Aen.co dengan judul Bookish Fools


 

Kenapa Keimutan Menguasai Dunia Kita?

*)Ditulis oleh Simon May. Profesor tamu bidang filsafat pada King’s College, London. Ia menulis buku A New Understanding of An Ancient Emotion dan The Power of Cute pada 2019 ini. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Dalam keadaan tak pasti dan sulit seperti sekarang ini; dengan begitu banyak ketidakadilan, kebencian, dan intoleransi mengancam dunia, bukankah kita memiliki hal-hal yang lebih serius untuk diperhatikan daripada petualangan sesosok kucing perempuan macam Hello Kitty? Sementara Pokémon; waralaba video game yang kembali memanas pada tahun 2019 dengan rilis utamanya film “Detective Pikachu” untuk kawasan Amerika Serikat dan Inggris, trailer YouTube-nya mencatat lebih dari 65 juta hit dan makin terus bertambah. Lalu, mengapa penggunaan emoji (emoticon) begitu menjamur? Kenapa pula logo-logo imut yang menghiasi produk tak terhitung jumlahnya; mulai dari komputer dan telepon, hingga senjata dan makanan, bahkan dari mainan dan kalender anak-anak hingga kondom dan lensa kontak?

Paling jelasnya, kegemaran akan semua hal yang imut dimotivasi oleh keinginan untuk melarikan diri ke “taman keluguan” dari dunia yang begitu mengancam. Dalam pelarian itu, kualitas kekanak-kanakkan membangkitkan perasaan protektif yang nikmat, memberikan kepuasan, dan sebagai pelipur lara. Isyarat keimutan terdiri atas perilaku yang tampak tidak berdaya, tidak berbahaya, menawan, dan pasrah. Secara  anatomi fisik, hal tersebut digambarkan seperti kepala berukuran besar, dahi menonjol, mata seperti piring, dagu yang mundur, dan gaya berjalan yang kikuk.

Barangkali, seperti yang disarankan Konrad Lorenz—cendekiawan Austria yang mengamati perilaku hewan—pada tahun 1943, respon kita terhadap isyarat-isyarat tersebut berkembang untuk memotivasi kita dalam memberikan perawatan dan pendidikan yang melimpah kepada keturunan kita sesuai kebutuhan mereka untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut Lorenz, saat kita menemukan isyarat visual tersebut secara berlebihan dan dikaitkan dengan unsur-unsur pada hewan, kita dapat membangkitkan pengasuhan yang sama-sama intens atau bahkan mungkin lebih intens. Sama halnya, ketika kita menemukannya pada burung dan anak anjing, dan bahkan dalam model tiruan seperti boneka dan teddy bears.

Psikolog sosial di Universitas Virginia; Gary Sherman dan Jonathan Haidt, bertindak lebih jauh dengan menganggap respon atas keimutan sebagai “emosi moral” yang luar biasa; sebagai pelepas langsung sosialitas manusia yang merangsang kita untuk memperluas lingkar perhatian altruistik kita ke ruang sosial yang lebih luas.

Tetapi, jika keimutan hanyalah tentang pesona, hal yang tidak bersalah, dan sesuatu yang tidak mengancam, juga, apabila ketertarikan kita terhadapnya hanyalah dimotivasi oleh naluri pelindung atau eksplorasi kekanak-kanakkan dan sebagai pengalih perhatian yang menenteramkan dari kecemasan dunia saat ini; hal itu tentunya tidak akan ada di mana-mana.

Kualitas-kualitas seperti itu hanya berbicara tentang apa yang kita katakan “manis” dari keseluruhan spektrum keimutan. Ketika kita bergerak menuju titik penghabisan yang aneh, hal-hal yang dirasa manis terdistorsi menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih tak menentu, dan lebih terluka—sesuatu yang seperti serial “Balloon Dog” karya Jeff Koons (1994-2000). Karya itu tampak kuat (terbuat dari stainless steel) dan tidak berdaya (hampa; tidak berwajah, tanpa mulut atau mata); yang diwujudkan dalam raksasa yang tampak rentan, akrab namun juga asing, secara meyakinkan tampak tidak berdosa sekaligus tidak aman, cacat, dan penuh arti. Kedua hal berlawanan tersebut menyamankan kita dalam dunia ketidakpastian yang mengerikan dan memberikan aspirasi ke dunia yang sama—tetapi yang terpenting, melalui catatan yang lebih riang.

Subversi yang samar-samar melanggar batas semacam ini—yang menunjukkan antara yang rapuh dan tangguh, yang meyakinkan dan yang meresahkan, yang tidak bersalah dan yang berpengetahuan—akan menjadi pusat perhatian yang luar biasa ketika disajikan menjadi idiom yang menyindir dan keimutan yang ngawur.

 

***

Imut adalah ekspresi menggoda dari ketidakjelasan, ketidakpastian, ketidakteraturan dan perubahan yang terus-menerus atau menjadi semacam pendeteksi segala jantungkeberadaan pada era kita; mengetahui antara yang hidup dan tidak hidup. Melalui contoh gaya dan obyek yang terus berubah, keimutan tidak ada artinya jika tidak bersifat sementara dan tidak memiliki klaim apapun demi signifikansi yang bertahan lama. Selebihnya, keimutan mengeksploitasi cara ketidakpastian yang ketika ditekan ke luar titik tertentu akan menjadi ancaman. Kenyataannya, keimutan mampu memperdaya kita justru karena hal itu dilakukan secara sepele, menawan, dan tanpa gangguan.

Keimutan mengungkapkan intuisi bahwa kehidupan tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak ada keberadaan/eksistensi yang stabil—seperti yang diutarakan oleh filsuf Martin Heidegger; bahwa satu-satunya landasan kehidupan terletak pada penerimaan ketidakbatasannya. Dan itu sering terjadi pada suatu hal; seperti “kecerdasan dan kelebihan” diekspresikan dengan cara  “melemahkan yang serius” atau tentang kegagalan dalam keseriusan—seperti yang diungkapkan oleh kritikus budaya Susan Sontag dalam kaitannya dengan  istilah “camp”.

Ketidakpastian (sebagaimana kita dapat menyebutnya) yang meresapi keimutan ini adalah pengikisan batas antara apa yang dulu dipandang sebagai bidang terputus atau sesuatu yang berbeda; seperti batas antara masa kanak-kanak dan dewasa. Erosi tersebut juga tercermin pada gender yang kabur dari banyak obyek keimutan seperti Balloon Dog atau jenis-jenis Pokémon. Hal ini juga tercermin lagi dalam perpaduan antara bentuk manusia dan bukan manusia yang sering terjadi; contohnya seperti sosok gadis kucing Hello Kitty. Dan, sosok imutnya mereka seringkali tidak dapat untuk mendefinisikan usia. Karena meskipun obyek-obyek imut mungkin tampak seperti anak kecil, namun bisa sangat sulit untuk mengatakan apakah mereka berusia muda atau tua—sama halnya seperti sosok alien dalam serial “E.T.”. Atau kadang-kadang, malah tampak seperti dalam dua hal sekaligus (muda & tua)—seperti saat manusia menggambarkan sosok alien dalam serial tersebut.

Dengan cara seperti itu, keimutan disesuaikan dengan era yang tidak lagi terikat pada dikotomi keramat seperti “maskulin dan feminin”, “seksual dan nonseksual”, “dewasa dan anak-anak”, “yang ada dan yang menjadi”, “sementara dan abadi”, “tubuh dan jiwa”, “absolut dan kontingen”, dan bahkan “baik dan buruk” . Inilah dikotomi-dikotomi yang saat dulu  bisa turut menyusun hal ideal tetapi sekarang dianggap lebih cair atau menjadi keropos.

Terlebih lagi, rasa imut merupakan kepekaan yang tidak sesuai dengan kultus modern tentang ketulusan dan keaslian; yang berasal dari abad ke-18 dan mengasumsikan bahwa masing-masing dari kita memiliki “batin” yang otentik; atau setidaknya, seperangkat keyakinan, perasaan, dorongan, dan selera yang secara unik mengidentifikasi bahwa kita dapat dengan jelas memahami dan mengetahui sesuatu untuk diungkapkan secara jujur. Keimutan tidak bisa untuk menunjukkan kondisi batin. Paling tidak, dalam bentuk-bentuknya yang lebih aneh, keimutan menjauh sepenuhnya dari keyakinan kita yang sudah ada—yang dapat kita ketahui dan kendalikan ketika kita bersikap tulus dan otentik.

Meskipun ketertarikan pada obyek-obyek imut seperti Hello Kitty yang tanpa mulut dan tanpa jari dapat mengekspresikan hasrat akan kekuasaan, keimutan juga dapat memarodikan dan menumbangkan kekuatan dengan cara memainkan perasaan pemirsanya tentang kekuatannya sendiri; dengan cara ini, obyek imut membuat  kita melukisnya menjadi pose dominan, menabur ketidakpastian mengenai siapa yang benar-benar bertanggungjawab, membuat kita sadar bahwa penyerahan diri si imut itu sebenarnya adalah cara untuk menjebak kita, lalu menuntut perawatan atau perlindungan dari kita.

Dengan  alasan seperti ini, keimutan adalah salah satu cara—yang mungkin sangat sepele & sangat tentatif —untuk mengeksplorasi apakah dan bagaimana paradigma kekuasaan dapat keluar. Memang, ini mungkin menjelaskan mengapa keimutan telah menyerbu budaya populer di bagian-bagian dunia— terutama Amerika Serikat, Eropa dan seluruh Jepang—yang sejak Perang Dunia Kedua telah mundur perlahan-lahan untuk mengurangi peran kekuasaan dalam menentukan struktur hubungan manusia dan yang paling kentara ialah dalam hubungan internasional.

[Pengalihbahasa: Taufik Nurhidayat. Nggak sok unyu tapi bisa unyu.]

 

 


Artikel ini merupakan bagian dari buku The Power of Cute karya Simon May yang diterbitkan tahun 2019 ini dan dimuat pada Aeon.co. Buku tersebut diterbitkan oleh Princenton University Press.


 

Akankah Ekologi Menjadi Ilmu yang Suram?

Poster karya María Castelló Solbes untuk agenda Interactivo’18.

*)Penulis Murray Bookchin. Pelopor ilmu ekologi sosial dan penggagas demokrasi munisipalisme-libertarian. Pendiri Institute for Social Ecology di Vermont, Amerika Serikat pada 1974.

Hampir satu setengah abad lalu, Thomas Carlyle—filsuf Skotlandia era Victoria—menggambarkan ekonomi sebagai “ilmu yang suram”. Pernyataan tersebut menjadi kokoh; terutama saat diterapkan pada ekonomi yang didasarkan pada konflik—yang tak dapat dihindari—antara “kebutuhan yang tak terpuaskan” dan “sumber daya alam yang langka”. Dalam ilmu ekonomi ini, manusia menganggap bahwa “ketersediaan karunia yang terbatas” yang dikelola secara “kikir”  adalah penyebab manusia mengalami kemerosotan ekonomi, kesengsaraan, perselisihan sipil, dan kelaparan.

Sekarang ini, istilah “ilmu yang suram” tepatnya menggambarkan tren tertentu dalam gerakan ekologi. Tren tersebut tampaknya naik seiring adanya gelombang besar kebangkitan religiusitas dan mistisisme. Saya tidak mengaitkan tren suram ini kepada sebagian besar pecinta lingkungan yang bermotivasi tinggi, beritikad baik, dan yang seringkali radikal dengan berusaha sungguh-sungguh mengetahui krisis ekologi. Akan tetapi, tren tersebut lebih cocok dituduhkan kepada kecenderungan eksotis yang mendukung mazhab ekologi dalam, biosentrisme, kesadaran Gaian (aliran pemuja dewi bumi), dan eko-teologi. Apalagi tren tersebut secara serentak mengutip kultus-kultus utama yang merayakan penghormatan semu-religius kepada alam dengan cara sering memfitnah keberadaan manusia beserta sifat-sifatnya.

Para ekolog mistik—seperti banyak dari revivalis religius saat ini—memandang nalar secara curiga dan menekankan pentingnya pendekatan irasional dan intuitif terhadap permasalahan ekologi. Pendeta Thomas Berry; yang dianggap sebagai ahli ekologi terkemuka oleh banyak orang di zaman kita, mengungkapkan, “Proses sangat rasional yang kita junjung tinggi sebagai satu-satunya cara yang benar untuk memahami adalah menggunakan suatu ironi tertentu yang ditemukan melalui pengalaman  mengiimajinasikan mimpi secara mistis. Kesulitan zaman kita ialah ketidakmampuan kita untuk bangkit dari patologi budaya semacam ini.”

Seseorang tidak harus menjadi anggota klerus/golongan rohaniawan untuk mengutarakan gagasan atavistik (menurun dan berulang-ulang) tersebut. Melalui gagasan lebih sekuler, Bill Devall (profesor sosiologi) & George Sessions (profesor filsafat) menulis “Deep Ecology”—yang diterbitkan tahun 1985—sebagai salah satu buku yang paling banyak dibaca oleh penganut ekologi mistik. Buku tersebut menawarkan pesan realisasi diri melalui pencelupan  diri pribadi ke dalam “Diri Kosmik” yang kabur atau sebagaimana mereka katakan sebagai “diri dalam diri” yang mana maksudnya ialah  “Diri” diartikan sebagai “keutuhan organik”.

Bahasa yang terdapat pada buku “Deep Ecology” jelas-jelas merupakan bahasa penyelamatan. Seperti dalam kutipan “Proses membuka diri secara utuh ini juga dapat diringkas dalam frasa ‘Tiada satu pun yang diselamatkan sampai kita semua diselamatkan’ di mana frasa ‘satu’ tidak hanya mencakup diri saya sebagai seorang individu; tetapi semua manusia, paus, beruang grizzly, ekosistem hutan hujan, gunung dan sungai, mikroba terkecil di tanah, dan sebagainya.”

Seruan hortatory (persuasif) ini menimbulkan beberapa masalah yang sangat membingungkan. Ungkapan “dan sebagainya” justru mengabaikan kebutuhan untuk berurusan dengan mikroba patogen, hewan pembawa  penyakit mematikan, gempa bumi, dan topan—sebagai kutipan makhluk dan fenomena yang dianggap kurang memuaskan secara estetika dibandingkan dengan paus, beruang grizzly, serigala, dan gunung. Pandangan selektif tentang ketersediaan biotik dan fisiografi dari “Alam Pertiwi” ini telah menimbulkan beberapa masalah besar bagi pesan ekologi mistik tentang keselamatan universal.

Para ahli ekologi mistik cenderung menurunkan permasalahan sosial dengan menyederhanakan permasalahan manusia (subyek yang umumnya tidak disukai oleh mereka) menjadi persoalan tingkat “spesies”—atau sekadar ke masalah genetika. Pendeta Berry mengatakan bahwa umat manusia harus “diciptakan kembali pada tingkat spesies” melalui “pengkodean budaya ke genetik kita demi memperoleh petunjuk”. Retorika yang menyesuaikan bagian dari “The Dream of The Earth” (buku karangan Thomas Berry yang terbit tahun 1988) ini cenderung mythopoeic (bergenre mitos fiksional); karena menjelaskan “kode genetik kita” mengikat kita dengan “dimensi yang lebih besar dari alam semesta”. Atau maksudnya, alam semesta “membawa misteri mendalam dari keberadaan kita di dalam dirinya sendiri”. Dari nasihat-nasihatnya ini, Berry menikmati popularitas besar pada akhir-akhir ini. Pernyataan-pernyataannya juga telah dikutip melalui beberapa persetujuan. Bahkan pernyataan itu dipakai dalam literatur lingkungan konvensional—yang tidak membicarakan tentang keanekaragaman mistik.

Penginjilan kosmologis seperti itu memakai pernyataan ekologis untuk mencela kemanusiaan. Ketika manusia dijalin ke dalam “jaring kehidupan” sebagai suatu spesies yang tidak lebih dari spesies “Alam Pertiwi” lainnya—yang tak terhitung jumlahnya, maka manusia kehilangan tempat uniknya dalam evolusi alam sebagai makhluk rasional dengan kualitas potensial yang tak tertandingi; seperti dianugerahi dengan sifat sosial yang mendalam, kreativitas, dan kapasitas untuk berfungsi sebagai agen moral.

Konsep “antroposentrisitas” sebagai gagasan semu-teologis yang memandang bahwa dunia ada untuk digunakan manusia, diejek oleh para ahli ekologi mistik yang mendukung konsep yang sama-sama bersifat semu-teologis tentang “biosentrisitas” atau gagasan yang menyatakan bahwa semua bentuk kehidupan secara moral dapat saling dipertukarkan satu sama lainnya melalui “nilai-nilai intrinsik” mereka di dunia. John Seed dan Joanna Macy; dua ahli ekologi mistik, melalui meditasi ala Gaia mereka yang agung, memerintahkan manusia fana untuk memikirkan tentang kematian berikutnya. “Apakah daging dan tulangmu akan kembali ke dalam siklus kehidupan? Pasrahlah. Cintailah cacing montokmu—yang akan menggerogotimu—nanti. Sucikanlah lelah melalui air mancur kehidupan,” ujar mereka. Di wilayah Sunbelt Amerika yang terlalu dipanggang kemistikan, omong-kosong semacam itu sering diturunkan menjadi slogan-slogan stiker pada bumper atau ditunjukkan melalui pelafalan puitis di berbagai asrama di kota-kota besar dan kota-kota kecilnya kaum Anglo-Amerika.

Secara keseluruhan, penyederhanaan krisis ekologi berdasarkan sumber biologis dan psikologis telah sama saja menghasilkan “perbaikan” yang sempit—sama halnya melihat kesuraman ekonomi pada masa lalu sebagai keoptimisan. Bagi banyak—mungkin sebagian besar—ahli ekologi mistik, resep standar untuk “masa depan berkelanjutan” adalah dengan melibatkan gaya hidup berhemat secara kejam. Pada dasarnya, kedisiplinan yang lugu  ditandai oleh kesederhanaan pola makan, kerja keras, penggunaan sumber daya alam hanya untuk bertahan hidup, dan kepercayaan teisme primitif—yang inspirasinya bersumber dari spiritualitas era Pleistosen atau Neolitik dibandingkan menggunakan ilham dari rasionalitas Renaisans (Zaman Pencerahan).

Ekologi mistik menyempitkan pemahaman makna antara “rasionalitas” dan “spiritualitas” secara ekologis dan hal tersebut selalu diadu satu sama lain layaknya malaikat dan setan. Biasanya, para mistikus menganggap teknologi, sains, dan nalar sebagai sumber dasar krisis ekologi dan berpendapat bahwa hal-hal ini harus diatasi atau bahkan diganti dengan kerja keras, ramalan, dan intuisi. Yang lebih meresahkan lagi, yaitu banyak ahli ekologi mistik adalah penganut neo-Malthusian; yang menganut unsur-unsur kekejaman dengan menganggap kelaparan dan penyakit sebagai hal yang perlu dan bahkan diinginkan untuk mengurangi populasi manusia.

Masa depan suram yang ditimbulkan oleh ahli ekologi mistik samasekali bukan karakteristik dari visi yang diproyeksikan oleh gerakan ekologi satu generasi lalu. Sebaliknya, para ahli ekologi radikal tahun 1960-an merayakan prospek kehidupan yang memuaskan, terbebas dari rasa tidak aman material, kerja keras, dan penyangkalan diri terhadap hal yang dihasilkan oleh pasar dan kapitalisme birokratik.

Visi utopis ini—yang paling dimajukan oleh ekologi sosial pada tahun 1964 dan 1965, bukanlah sesuatu yang antiteknologi, antirasional, atau anti-ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam gerakan ekologi, hal ini mengungkapkan tentang prospek munculnya tatanan sosial baru, hal-hal teknologis, dan pembebasan spiritual. Ekologi sosial menyatakan bahwa gagasan untuk mendominasi alam berasal dari dominasi manusia oleh manusia—yang tidak hanya dalam bentuk eksploitasi kelas melainkan juga dominasi hierarkis. Pandangan ekologi sosial ini tidak seperti teknologi, alasan, atau sains dari kapitalisme yang menghasilkan ekonomi dengan secara sistematis anti-ekologis. Dipandu oleh pepatah pasar yang kompetitif tentang “tumbuh atau mati”, kapitalisme benar-benar akan melahap biosfer, mengubah hutan menjadi kayu, dan tanah menjadi pasir.

Oleh karena itu, kunci untuk menyelesaikan krisis ekologi bukan hanya perubahan dalam spiritualitas dan bukan melalui kemunduran menjadi religiusitas era pra-sejarah. Akan tetapi, juga melalui perubahan besar dalam masyarakat. Ekologi sosial menawarkan visi masyarakat komunitarian non-hierarkis yang akan didasarkan pada komunitas konfederal melalui cara demokrasi langsung dengan teknologi yang terstruktur di sekitar matahari, angin, dan sumber energi terbarukan; seperti budidaya makanan dengan metode organik & penggunaan gabungan antara kerajinan dan mesin—yang sangat fleksibel, otomatis, dan canggih—untuk mengurangi kerja keras manusia sehingga orang-orang menjadi bebas untuk mengembangkan diri mereka sebagai citizen yang sepenuhnya infomatif dan kreatif.

Hilangnya utopia gerakan tahun 1960-an ke dalam era reaksioner tahun 1970-an membuat kemunduran hebat karena jutaan orang menganut spiritualitas kebatinan yang telah menjadi fenomena laten dalam gerakan budaya tanding dekade sebelumnya. Ketika kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial mulai berkurang, orang-orang mencari realitas pengganti untuk menutupi penyakit masyarakat yang ada dan merasa kesulitan untuk menyingkirkannya. Terlepas dari selingan singkat resistensi lingkungan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, kancah besar gerakan ekologi mulai menarik diri dari kepedulian sosial ke masalah spiritual—yang banyak di antaranya bersifat mistis dan teistik.

Di universitas-universitas, Lynn White Jr. yang mengadvokasi penjelasan religius terhadap krisis ekologi mulai memberikan pandangannnya tentang karakter dunia lain—atau menginisiasi kemunduran atas persoalan ekologi. Pada kisaran masa yang sama, artikel “Tragedy of The Commons” karya Garrett Hardin telah membawa “hantu Malthusian” ke dalam wacana ekologi di akademi dan membelokkan dorongan sosial menjadi lebih jauh dari gerakan ekologi era 1960-an ke dalam permainan angka demografis. Kedua akademisi ini telah mengembangkan pandangan mereka—yang sebagian besar tersebar—di Majalah Science yang hanya memiliki jangkauan publik terbatas sehingga membikin Paul Ehrlich; seorang entomologis/pakar serangga California, mengalihkan perhatian ekologis awal era 1970-an dari ranah sosial menjadi ke masalah tunggal tentang pertumbuhan populasi pada buku “The Population Bomb”—sebuah buku tipis histeris yang tercetak banyak sekali dan mencapai jutaan pembaca.

Dengan gaya menulis seperti seorang perwira Schutzstaffel (organisasi paramiliter Nazi-Jerman) yang melakukan perjalanan di ghetto Warsawa; pada halaman depan risalahnya, Ehrlich tidak melihat apa-apa selain hanya menyatakan, “Orang-orang!… Orang-orang!” Artinya, ia gagal melihat kekejaman masyarakat yang telah merusak kehidupan manusia. Inilah sebuah pertautan singkat yang menyatukan orang-orang kulit putih. Dan lebih tegasnya, Hardin dan Ehrlich memberikan interpretasi non-sosial terhadap masalah ekologi—malah bukan melalui ikhtisar ekologi kebersamaan.

Arne Naess; seorang pendaki gunung & akademisi Norwegia, memberikan tinjauan yang begitu luas pada tahun 1973. Ia menciptakan istilah “ekologi dalam” dan merawatnya sebagai filosofi atau kepekaan ekologis yang mengajukan “pertanyaan mendalam” untuk membedakannya dengan “ekologi dangkal”. Sementara, ekologi mistik siap diluncurkan sebagai “Kebijaksanaan Bumi” yang baru dengan melakukan daur ulang ke dalam bentuk spiritualisme ala California oleh Devall dan Sessions—dengan perpaduan aneh antara agama Budha, Taoisme, kepercayaan penduduk asli Amerika, pemikiran Heidegger, dan filsafat Spinoza dengan yang lainnya.

Kepekaan ekologi yang membingungkan ini mencuat dari kampus menjadi headline pada koran-koran—entah bagaimanapun—disebabkan oleh gerakan penyelamatan hutan belantara dari Earth First!. Gerakan ini mulai mengambil tindakan langsung secara dramatis terhadap penebangan hutan-hutan tua dan ketidaksenonohan serupa yang dilakukan pada kawasan alam liar oleh perusahaan Amerika.

Para pendiri Earth First!; khususnya David Foreman, adalah konservasionis yang jemu dengan taktik lobi tidak efektif dari organisasi konservasi yang berbasis di Washington. Karena terinspirasi oleh Edward Abbey; penulis novel “The Monkey Wrench Gang”—yang sangat populer—yang berpandangan keliru dan selalu mendekati rasisme dengan cara memuja “kebudayaan Eropa Utara” ala Amerika; para pemimpin Earth First! mulai memanfaatkan mazhab ekologi dalam sebagai sebuah filsafat.

Hal tersebut bukan untuk menyatakan bahwa sebagian besar pelaku Earth First! mengetahui apapun tentang “ekologi dalam”—walaupun mereka mengklaimnya sebagai “ekologi dalam”. Tetapi, Devall dan Sessions telah menempatkan Malthus di jajaran para nabi dan menggambarkan “masyarakat industri” (bukan kapitalisme) sebagai perwujudan dari penyakit yang secara umum diolok-olok oleh para ahli ekologi mistik. Memang, buku-buku mereka jelas berorientasi membahas hutan belantara, mengekspresikan “biosentrisme” secara tegas,  dan tampaknya memberi sedikit perhatian atas tempat umat manusia di alam semesta.

Konsistensi tidak pernah menjadi titik kuat dari gerakan antirasional apapun. Sehingga, tidak mengherankan apabila Devall dan Sessions dengan saleh memuja konsep “diri dalam Diri” sebagai bentuk  kepedulian panteisme atau hylezoisme. Foreman tidak ragu untuk menggambarkan manusia sebagai “kanker” pada dunia alami. Secara cukup mengejutkan, Gary Snyder—penyair dari gerakan ekologi dalam—menggambarkan bahwa manusia mirip seperti “belalang”.

Pada nyatanya, ekologi mistik adalah ilmu yang suram yang antimanusia. Pendeta Berry, misalnya;  terlepas dari kesalehannya yang lembut, menjadi sangat ganas dalam memperlakukan manusia. Ia menggambarkan keberadaan manusia sebagai “model keburukan makhluk duniawi”. “Sesungguhnya, kita adalah penghentian, bukan pemenuhan dari proses bumi. Jika ada parlemen makhluk, mungkin keputusan pertamanya adalah untuk memilih umat manusia keluar dari komunitas kehidupan. Kehadirannya terlalu mematikan untuk ditoleransi lebih jauh. Kitalah kesengsaraan dunia; wujud dari kehadiran iblisnya. Kita adalah pelanggaran aspek paling suci di bumi,” ungkap Berry.

Ecclesiastic vitriol—sejenis satir gerejawi—seringkali lebih selektif. Dalam kasus terbaik, satir ini menargetkan sindiran kepada orang kaya, bukan orang miskin; penindas, bukan yang tertindas; dan penguasa, bukan kaum bawahan. Tetapi ekologi mistik lebih cenderung mencakup semuanya. Berry menggeneralisir “kita”—seperti perlakuannya terhadap “manusia”—sebagai spesies daripada sebagai makhluk yang dikategorikan berdasarkan penindasan ras, jenis kelamin, sarana materi kehidupan, budaya, dan sejenisnya—karena ia cenderung meresapi ekologi mistik.

Erik Dammann; seorang penulis Norwegia, dengan bermaksud baik mengatakan “kita semua adalah kapitalis”. Karyanya, “The Future in Our Hands” telah dipuji oleh Arne Naess sebagai manifesto virtual untuk perbaikan sosial. Tiada satu pun dari para tunawisma di kota-kota Amerika, para korban AIDS yang dibiarkan mati di “Needle Park” di Zurich yang terkenal kejam, & orang-orang yang bekerja terlalu keras di tambang dan pabrik-pabrik Dunia Pertama yang dianggap penting dalam pembelaannya Dammann. Ia malah menganjurkan “kita” yang berada di Amerika dan Eropa untuk mengurangi konsumsi barang atasnama orang miskin di Dunia Ketiga.

Tampaknya, dipuji karena tujuan pengurangan konsumsi adalah latihan amal yang tidak efektif karena itu bukanlah mobilisasi sosial; dalam humanitarianisme, itu bukanlah perubahan sosial. Juga, hal ini merupakan latihan analisis sosial yang dangkal; yang secara kotor dimainkan begitu dalam di bawah faktor-faktor sistemik; yang telah menjadikan para elit kekuasaan makan berlebihan dan massa kelas bawah kelaparan di seluruh dunia. Hampir semua yang kita pelajari dari niat baik Dammann adalah bahwa “kita” secara oikumenis (keseluruhan tunggal) harus disalahkan atas penyakit dunia. Kita diibaratkan “konsumen” mistis yang secara rakus meminta barang-barang yang produksinya harus dipaksakan oleh perusahaan “kita” dengan bekerja terlalu keras.

Terlepas dari retorika radikal yang digunakan Devall dan Sessions, resep praktis utama untuk perubahan sosial yang mereka tawarkan kepada “kita” melalui ekologi dalam hanyalah doa naif. “Prinsip pertama kami,” tulis mereka, “adalah untuk mendorong lembaga, pembuat undang-undang, pemilik properti, dan manajer untuk mempertimbangkan proses secara bersama daripada memaksakan proses alami.” Mereka berujar bahwa, “Kita harus bertindak melalui proses politik untuk memberi tahu para manajer dan lembaga pemerintah tentang prinsip-prinsip ekologi dalam untuk mencapai beberapa perubahan signifikan dalam arah kebijakan manajemen jangka panjang yang bijak.”

Liberalisme ala Devall dan Sessions yang cair ini digemakan secara lebih eksplisit dalam buku terbaru Paul dan Anne Ehrlich yang berjudul “Healing The Planet”. Dalam buku ini, para penulis menyatakan kepatuhan mereka pada ekologi dalam sebagai “gerakan semu-religius” (menggunakan kata-kata mereka sendiri) yang mengakui bahwa “filosofi baru yang sukses tidak dapat didasarkan pada omong kosong ilmiah”. Penistaan ​​sains semacam ini hampir tidak layak bagi penulis yang reputasinya didasarkan pada kepercayaan ilmiahnya—dengan atau tanpa penggunaan kata “omong kosong” yang tidak jelas untuk memenuhi syarat pernyataan mereka. Belakangan ini, dengan lebih waspada dibandingkan karya tulisnya yang agak histeris pada sebelumnya; Ehrlich menawarkan sesuatu untuk semua orang melalui sejumlah skenario yang agak membingungkan; yang menunjukkan kepedulian terhadap orang miskin serta orang kaya, Dunia Ketiga dan Pertama, & bahkan mengakui  kaum Marxis serta konservatif. Tetapi, hampir semua bagian penting dalam buku ini mengulangi refrain yang menandai karya-karya mereka sebelumnya; yakni “mengontrol pertumbuhan populasi adalah sangat penting”.

Bagaimanapun, perlakuan Ehrlich terhadap masalah-masalah sosial mendasar mengungkapkan sejauh mana mereka sampai pada kesepakatan dengan status quo. “Ekonomi berbasis pasar kita yang demokratis sampai saat ini adalah sistem politik dan ekonomi paling sukses yang diciptakan oleh manusia,” ujarnya. Inilah hubungan sistemik antara ekonomi “berbasis pasar” dan penjarahan tanpa ampun di planet ini yang hampir tidak tampak pada cakrawala sosialnya Ehrlich.

Solusi yang ditawarkan Naess mungkin kurang tegas dan lebih mengganggu. Ketika ia menimbang filosofi politik alternatif seperti komunisme dan anarkisme; Bapak Ekologi Dalam ini menegaskan melalui buku “Ecology, Community, and Lifestyle”—yang baru-baru ini diterjemahkan; bahwa ekologi dalam memiliki hubungan dengan “anarkisme non-kekerasan kontemporer”. Tetapi, pembaca—yang mungkin terpana oleh komitmen terhadap alternatif libertarian ini—bisa mengetahui dengan cepat bahwa ekologi dalam memiliki alasan sederhana untuk menuju sentralisme negara yang cukup kuat. Naess menuliskannya, “dengan tekanan populasi manusia yang besar dan meningkat secara eksponensial, dan juga kondisi perang seperti di banyak tempat; tampaknya menjadi hal tak terhindarkan untuk mempertahankan beberapa lembaga terpusat yang cukup kuat”. Faktanya, melalui pernyataan ini, neo-Malthusianisme ala Naess dan pandangan pesimisnya tentang kondisi manusia memperkuat keyakinan elitis dalam gerakan ekologi untuk menuju sentralisasi negara dan penggunaan paksaan. Pandangan para ahli ekologi dalam seperti Christopher Manes—yang rekan-rekannya sendiri menganggapnya sebagai ekstremis—nyaris tidak pantas dijadikan diskusi serius. Manes menyambut epidemi AIDS sebagai alat kontrol populasi. Banyak penulis ekologi mistik menggemakan klaimnya bahwa “alam liar dan bukan peradaban adalah dunia yang nyata”.

James Lovelock; arsitek hipotesis Gaia, memiliki suatu kecaman yang sangat menggema terkait manusia sebagai sumber krisis ekologi. Ia mempunyai sebuah gagasan mitos bahwa bumi dipersonifikasikan sebagai Gaia (dewi bumi ala Yunani kuno) yang secara harfiah berarti organisme yang hidup. Dalam teologinya ini, “kita” tidak hanya terkesan sepele dan bisa dihabiskan. Juga, seperti yang dikatakan beberapa penganut Gaia; kita adalah “kutu cerdas” atau parasit di planet ini. Bagi Lovelock, kata “kita” bisa menggantikan semua perbedaan antara elit dan para korbannya menjadi tanggungjawab bersama atas penyakit ekologis masa kini.

Lovelock juga berkata, “Perhatian humanis kita atas orang miskin di pusat-pusat kota atau Dunia Ketiga, dan obsesi kita yang hampir tidak senonoh terhadap kematian, penderitaan, dan rasa sakit ini adalah kejahatan terhadap diri sendiri. Pemikiran seperti ini justru mengalihkan pikiran kita tentang perilaku kasar dan dominasi berlebihan terhadap dunia alami. Kemiskinan dan penderitaan tidaklah dikirim karena hal itu merupakan konsekuensi dari apa yang kita lakukan.”

“Ketika kita mengendarai mobil sambil mendengarkan radio memberitakan tentang hujan asam, kita perlu mengingatkan diri kita bahwa kita secara pribadi adalah pencemar. Oleh karena itu, kita bertanggungjawab secara pribadi atas penghancuran pohon oleh kabut fotokimia dan hujan asam,” ujar Lovelock. Dengan argumen seperti ini, maka konsumen kelas rendah dipandang sebagai sumber nyata dari beban ekologis. Dalam perspektif keilahian Gaia-Lovelock, justru produsen yang memiki perusahaan dan mengatur selera publik melalui media massa bukanlah sebagai perusak.

Gerakan ekologi memang terlalu penting untuk diambilalih oleh para mistikus pengkhayal dan misantropis reaksioner. Gerakan buruh tradisional—yang begitu banyak ditempati kaum radikal demi harapan untuk menciptakan masyarakat baru—telah layu dan gerakan populis era lama yang berstrata agraria dengan pengikut cukup banyak telah mati di Amerika Serikat. Masa depan liberalisme-Rooseveltian sedang bergantung pada keseimbangannya karena program New Deal (kebijakan politik-ekonomi era Roosevelt) diserang oleh Reagan-Bush.  Kebijakan New Deal tersebut mereformasi kooptasi atas hampir semua hal yang berguna; termasuk gagasan lingkungan yang konvensional; yang dilambangkan melalui kemudahan berkorporasi sambil menggembar-gemborkan slogan “Setiap Hari adalah Hari Bumi!”.

Akan tetapi, dunia alami sendiri tidak dapat diadopsi. Kompleksitas proses organik dan iklim masih menentang kontrol ilmiah; seperti halnya dorongan pasar untuk berkembang masih menentang kontrol sosial. Konflik antara dunia alam dan masyarakat saat ini telah meningkat selama dua dekade terakhir. Dislokasi ekologis dengan proporsi besar mungkin mulai menaungi isu-isu yang lebih sensasional—yang menjadi berita utama saat ini.

Benturan yang menentukan menjadi tampak. Di satu sisi, ada sistem ekonomi “tumbuh atau mati” yang lepas kendali. Sementara di sisi lain, kondisi rapuh diperlukan demi pemeliharaan bentuk kehidupan yang maju di planet ini. Nyatanya, benturan ini berhadapan dengan kemanusiaan itu sendiri melalui alternatif yang radikal; yakni terbentuknya masyarakat ekologis yang terstruktur berdasarkan idealisme ekologi sosial; tentang jaringan komunitas yang konfederal, langsung demokratis, dan berorientasi ekologis. Atau malah alernatif lainnya mengenai masyarakat otoriter; yang interaksi antara manusia dan dunia alami akan terstruktur melalui komando ekonomi dan politik. Prospek alternatif yang ketiga; tentu saja, adalah penghancuran umat manusia dalam serangkaian bencana ekologi yang tak dapat diubah.

Gerakan ekologi yang sembrono dan membiarkan dirinya dibimbing oleh berbagai macam mistik tidak akan bisa dimaafkan sebagai sebuah tragedi yang berproporsi sangat besar. Terlepas dari atmosfir distopia yang tampaknya melingkupi banyak gerakan; visi utopis tentang masyarakat yang demokratis, rasional, dan ekologis masih dapat dilakukan saat ini seperti generasi masa lalu.

Ketegangan misantropis yang mengalir melalui gerakan atasnama “biosentrisitas”, antihumanisme, kesadaran Gaian, dan neo-Malthusianisme begitu mengancam ekologi dalam arti luasnya. Hal ini menyebabkan ekologi sebagai kandidat paling potensial yang kita miliki untuk menjadi “ilmu yang suram”. Upaya banyak ahli ekologi mistik yang mengeksploitasi masyarakat saat ini sebagai penyebab krisis, epidemi, kemiskinan, dan kelaparan menjadikan para elit kekuasaan dunia sebagai pertahanan ideologis paling efektif demi memelihara kekayaan ekstrem di satu sisi dan kemiskinan di sisi lain.

Bukan hanya massa besar manusia yang harus membuat pilihan sulit tentang masa depannya dalam periode dislokasi ekologis yang sedang berkembang. Gerakan ekologi sendiri harus membuat pilihan-pilihan sulit tentang kesadaran tujuannya di saat mistifikasi sedang bertumbuh.

 Desember 1991

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Seorang sibuk yang masih sempat melatih kucing memakan buah plum.]

[Wacana Liberasi] Pembebasan Cinta

*)Penulis Carmen Lareva. Pejuang keadilan gender di Amerika Latin abad ke-19.

Kepercayaan yang bodoh nan jahat mengatakan bahwa ide-ide anarkis terlihat kabur di hadapan segala sesuatu yang indah; seperti seni, ilmu pengetahuan, dan terutamanya pada kehidupan rumah tangga. Bahkan dari waktu ke waktu, kita berkesempatan mendengar hal ini dari beberapa bibir perempuan pekerja. Mereka berkata, “Oh, ide yang hebat. Ide-ide anarkis anda ini menginginkan kita semua; para istri, anak perempuan, ibu, dan saudara-saudara perempuan berubah menjadi selir; menjadi mainan kotor untuk gairah manusia yang tak terkendali!” Kepada mereka yang berbicara seperti ini dan berpikir dengan cara inilah, kita menyapa diri kita sendiri. Mari kita lihat!

Dalam bermasyarakat, kita beranggapan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih memalukan daripada perempuan yang malang. Kita jarang sekali menikmati pubertas karena menjadi target pelecehan seksual dan lirikan seksual yang sinis oleh jenis kelamin yang lebih kuat/kaum lelaki. Yang melakukan eksploitasi semacam ini pun berasal dari kelas yang sama dengan kaum yang dieksploitasi. Kemudian dalam mencapai  hal keperempuanan, kita paling sering terperangkap dalam kekekalan dari hal-hal yang tidak murni; atau berpegang teguh pada pandangan rendah dan cemoohan masyarakat yang memandang hancurnya diri kita sebagai sesuatu yang tidak idealis, tidak penuh kasih, dan memandangnya sebagai penyelewengan.

 

***

 

Jika kita mencapai hal seperti pernikahan—yang diyakini oleh beberapa perempuan akan memberinya kebahagiaan, maka kita akan menjadi lebih buruk bahkan seribu kali lebih buruk. Kita akan mendapati keadaan tentang pasangan yang kehilangan pekerjaan, bayarannya yang pas-pasan, sakit-sakitan, dan lain sebagainya.

Bagi suami-suami kita, mengubah hal yang seharusnya menjadi “kata terakhir” dalam kamus kebahagiaan adalah semacam kengerian dan beban berat. Sebagai seorang anak lelaki, memang tidak ada hal yang begitu indah, puitis, lembut, menyenangkan, dan menawan selain “pernikahan” sebagai kata terakhir dalam kebahagiaan.

Akan tetapi, celakalah orang yang miskin. Celakalah rumah tangga dengan endapan kemiskinan sambil menggendong si kecil yang membutuhkan perawatan, belaian, dan perhatian kita. Celakalah rumah tangga yang tak akan bertahan lama; yang sebelumnya ditimpa seribu pertengkaran dan banyak kesengsaraan! Tahukah kamu, kenapa?

Karena bayi yang baru lahir membikin ribuan tuntutan. Tuntutan ini bisa mencegah ibu muda untuk membantu pasangannya menanggung biaya mengurus rumah. Bahkan, bayi itu bisa tumbuh ketika pendapatan mereka sedang menyusut. Saat kehadiran bayi seharusnya menjadi keinginan tersayang dan kebahagiaan terbesar dari rumah tangga, ia justru dianggap sebagai beban, penghalang, dan sumber kesal serta pemiskinan; yang harus dijaga dengan sangat hati-hati melalui metode coitus interruptus (menarik penis keluar vagina saat sedang ejakulasi), penipuan, serta hubungan seksual menyimpang dengan sekuel penuh penyakit yang memuakkan. Oleh karenanya, ribuan demi ribuan praktik memuakkan dan menjijikkan dilakukan saat ranjang perkawinan diubah menjadi setumpuk kata-kata kotor. Karenanya pula, terjadilah degradasi, kebosanan, dan penyakit, serta nada-nada pelanggaran terhadap kehormatan akan banyak diucapkan. Maka terjadilah zina!

Singkirkanlah sebabnya dan lenyapkan akibatnya. Dengan menghapuskan kemiskinan, maka keburukan juga akan hilang. Rumah pun akan menjadi surga yang nikmat dan menyenangkan.

 

***

 

Seringkah kita mendengar rahasia dari teman-teman perempuan kita yang telah menjadi kambing hitam dari tindakan seperti itu?! Lalu?

Saat kita melampiaskan tindakan serupa kepada pria, maka sampaikanlah respon teman-teman kita kepadanya, “Apakah anda tidak tahu betapa mahalnya urusan untuk membesarkan anak, bidan, dokter, tagihan medis, biaya makanan, perawatan, dan kemudian menyusui? Bagaimana aku bisa mengatasinya saat dua dari kita yang bekerja sekarang hampir tidak bisa mengurangi pekerjaaan sehari-hari? Bagaimana aku bisa mengelola sendiri dengan pengeluaran meningkat dan penghasilan menyusut? Lupakanlah soal anak-anak! Iblis bersama mereka!”

Kawan-kawan perempuan terkasih, bagaimanakah kamu bisa menyukai hal itu? Apakah itu cinta, kehidupan rumah tangga, dan kelembutan? Sangat menyakitkan memikirkan bahwa seorang perempuan harus melalui hal semacam ini. Namun melalui ini adalah keharusan!

Sekarang dalam memproklamirkan cinta yang bebas; persatuan bebas dari kedua jenis kelamin adalah keyakinan teguh kita untuk dapat membuang semua pengalaman tidak menyenangkan ini. Bersatulah dengan bebas dan tanpa rasa takut. Rasakanlah sakitnya kita demi memelihara dan menetapkan keadaan ini. Persatuan orang-orang yang membumbung dengan sayap cinta mungkin akan menghasilkan buah-buah cinta, melebur menjadi satu makhluk, dan tentu saja keduanya akan menjadi bahagia secara bebas. Sebagai mitra dalam tindakannya masing-masing, mereka tidak akan memiliki alasan untuk takut satu sama lain. Kita telah diberitahu tentang cinta, tentang persatuan, dan segalanya.

Ketika menjadi bebas seperti yang kita inginkan; pria akan boleh terus-menerus beralih dari satu perempuan ke perempuan berikutnya. Dan, dengan tidak adanya ketakutan terhadap anggapan masyarakat atau hukum; maka tidak akan ada lagi kesetiaan. Sedangkan hari ini, hukum menghukum pezina laki-laki maupun perempuan. Ketakutan terhadap stigma sosial pun akan membikin kegagalan berpasangan hidup dan ketidakpatuhan satu sama lain.

 

***

Kawan-kawan perempuan tercinta, tiada hal apapun yang bisa jauh dari kebenaran. Kurang-lebihnya, apa yang dicari oleh kedua jenis kelamin itu bukanlah kepuasan nafsu jasmaniah. Bukan itu!

Apa yang mereka kejar adalah kegembiraan, kebahagiaan, ketenangan, dan perilaku baik. Dan setiap makhluk semi-terdidik saat ini berusaha untuk menghasilkan dan mencapai mimpi yang dirindukannya; sesuai kondisi masyarakat yang sangat sinis dan mementingkan diri sendiri secara material karena kapital adalah hal yang dibutuhkan untuk membeli atau mendapatkan kesenangan dan kebutuhan seseorang. Maka setiap orang melakukan upaya yang lebih besar atau lebih kecil untuk mendapatkannya.

Selain itu, kita yang sering disebut “ampas” masyarakat justru menghidupi diri seperti yang kita lakukan saat ini sejak usia dini; dengan melakukan pekerjaan seperti yang saat ini kita praktikkan—yang tidak hanya menjadi rendahan dan memalukan, tetapi juga brutal.  Tentu saja, kita tidak memiliki pendidikan yang digunakan borjuis sebagai monopoli. Melalui keinginan mereka untuk memonopoli segala hal; kita menjadi tidak fasih terhadap ribuan kesenangan—seperti terhadap lukisan, musik, puisi, patung, dan lainnya—yang dipersembahkan bagi mereka yang berstatus lebih tinggi. Masalahnya, tidak ada pertanyaan terhadap segala hal; kecuali  terhadap apa yang kita lakukan selama hidup kita yang celaka ini. Jika kita berpendidikan, kita akan jauh lebih materialistis daripada yang seharusnya kita miliki dan bukan hanya lewat cara-cara borjuasi seperti hari ini—tetapi bahkan lebih baik. Seni membangkitkan perasaan seseorang; dan bahkan tanpa sedikit pun adanya ini, kita jelas tidak bisa mencapai kemampuan tinggi seperti itu.

 

***

 

Pendidikan tidaklah gratis dan kita tidak punya cukup waktu untuk mendapatkannya. Lantas, bagaimana kita bisa terdidik?

Adakah yang tidak tahu bahwa masa pengasuhan kita justru ditelan oleh siksaan tempat kerja? Kita tak akan mendapatkan pendidikan di sana. Justru sebaliknya, kita akan menemukan segalanya di sana, kecuali pendidikan! Dan dari waktu ke waktu, para pekerja perempuan yang malang telah menjadi sasaran nafsu borjuis. Kita dengan cepat dikirim dan dilemparkan ke kuburan yang tidak nyaman; tanpa pertahanan, dengan kelaparan yang tinggi, tak bisa puas di balik lapisan rasa hina dan air mata, dan sementara ada yang dengan senang hati menerima penderitaan sebagai pelarian diri dari cemoohan-cemoohan para penyiksanya!

Semua berjalan sangat alami pada masyarakat ini karena masifnya kita berkubang pada ketidaktahuan. Ambillah jiwa yang kelaparan dan berikanlah dia sepotong roti—tidak peduli seberapa kotornya roti itu, dan pada saat yang sama, tawarkanlah kepadanya rebec (sejenis alat musik gesek), lukisan, atau puisi—bahkan jika puisi itu karya abadi Shakespeare atau Lord Byron. Manakah yang akan dia pilih pertama? Tentunya roti daripada buku atau rebec! Sebab roh memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi—sebelum dapat memanifestasikan kehadirannya—dan mendahulukan kebutuhan materi yang lebih mendesak dibandingkan yang spiritual.

Oleh karenanya, takkan ada perselisihan dalam masyarakat yang anggota atau komponennya telah dididik dengan cukup sempurna. Para pasangan dapat bersatu secara bebas tanpa ada perasaan takut kebahagiaannya akan berkurang akibat tiadanya restu pihak ketiga.

Melalui hasrat mereka untuk memerintah segalanya, hukum dan masyarakat memaksa kita untuk melakukan penghormatan buta kepada mereka dalam ritual ini. Kita; para perempuan, tidaklah percaya pada berkah atau ritual yang menurut kita; seperti membawa dua anjing bermain-main di jalanan dan ketika kita bergabung bersama mereka, kita mengatakan padanya, “Saya mengizinkan anda berbahagia.” Dalam kasus seperti ini, mereka akan melanjutkan kelakuannya dan seakan-akan kita telah melakukan yang berlawanan.

 

***

 

Saat waktunya tiba, borjuis yang hampir mati  akan mewariskan hasil rampasan/curian mereka kepada anak-anaknya—yang harus dibagikan ke sana-sini. Sebab jika mereka tidak melakukannya, hukum tidak akan mengakui warisan mereka. Inilah pengaturan bisnis karena bisnis menjadi prioritas di mata mereka.

Akan tetapi, dalam masyarakat yang tidak mengenal “kesepakatan” semacam itu, kebutuhan untuk omong kosong seperti itu tak akan ada. Sebagaimana diktum saat ini, pernikahan atau—lebih tepatnya—upacara pemberkatan hanya melambangkan persetujuan masyarakat terhadap tindakan tersebut. Jadi, jika ada masyarakat lain menganut koalisi bebas antarjenis kelamin, maka koalisi bebas ini akan disetujui dan terbentuk. Akan banyak perempuan dan laki-laki yang puas dengan persatuan/koalisi bebas ini disebabkan rasa ngeri mereka atas cibiran orang lain. Maka inilah cara satu-satunya yang bisa menghentikan cibiran mereka. Dengan begitu, marilah kita izinkan mereka untuk melanjutkan cibirannya dan membiarkan diri kita melakukan apa yang kita inginkan atau melakukan apapun yang kita bisa lakukan tanpa merugikan siapapun.

Ketakutan pada hukuman akan mengawetkan perselingkuhan. Dan hal ini, bukanlah keyakinan kita atau kebijaksanaan yang layak; bahkan diperlukan upaya untuk membantahnya. Siapapun akan mengakui bahwa itu adalah “penyimpangan” yang bila didata; akan terjadi antara sembilan puluh kali kasus dari setiap seratus kali kemungkinan tanpa diketahui pihak berwenang, hukum, dan pihak lainnya.

Kita juga percaya bahwa seseorang yang takut terhadap bermacam hukuman akan tetap setia berkomitmen terhadap apa yang menipu atau membujuknya. Mungkin baiknya juga untuk menjadi tidak setia atau akan lebih baik keluar dari kungkungannya. Jika dia mencintai pria atau perempuan lain, ini jelas karena dia tidak mencintai orang yang mengharuskannya untuk berbagi roti dan atap berdasarkan aturan masyarakat. Pula sementara ini, mungkin prostitusi tidak bisa mendekati dengan sangat dekat kepada hal semacam itu. Karena jika melakukan hal itu, dia diharuskan untuk berpura-pura mencintai seseorang yang dia benci, menipu, dan menjadi seorang munafik—atau singkatnya; memberikan dirinya kepada seorang pria atau perempuan yang dia benci. Dengan kasus semacam ini, wajarlah bahwa rumah tangga tidak  akan lama karena dilanda pertengkaran, gesekan, dan ribuan hal lainnya, atau kejadian-kejadian yang dapat memperparah kehidupan kedua pasangan.

Jika mereka bebas dalam tindakan mereka, hal-hal tersebut tidak akan terjadi dan mereka mungkin menikmati budaya apapun yang ditawarkan masyarakat kita di masa depan.

1896

[Pengalihbahasa: Taufik Nurhidayat. Petualang antikekang.]

[Catatan Chomsky] Independensi Jurnalisme

Ilustrasi berasal dari sini: shorturl.at/erCW0

*)Ditulis oleh Noam Chomsky. Pakar komunikasi, linguis, kritikus media, pengamat perpolitikan global, & profesor pada Massachusetts Institute of Technology.

“Adalah demi kebaikan Tuhan bahwa di negara kita, kita mempunyai tiga hal sangat berharga: kebebasan berbicara, kebebasan hati nurani, dan kebijaksanaan untuk tidak pernah mempraktikkan keduanya,” begitulah ujaran terkenal Mark Twain—seorang sastrawan besar Amerika.

Dalam pengantar novel Animal Farm yang tidak dipublikasikanyang ditujukan untuk “sensor sastra” di Inggris yang bebas, George Orwell menambahkan alasan untuk berhati-hati dalam hal ini.  Ia menuliskan adanya perjanjian yang lazim dilakukan secara  diam-diam untuk tidak menyebutkan fakta-fakta khusus.

Perjanjian diam-diam memaksakan sensor terselubung berdasarkan ortodoksi. Hal ini dilakukan oleh sebuah lembaga gagasan yang mengasumsikan bahwa semua orang yang berpikiran benar akan menerima tanpa pertanyaan. Dan siapapun yang menantang ortodoksinya, akan menemukan dirinya dibungkam dengan efektivitas mengejutkan, bahkan tanpa larangan resmi apapun.

Kami menyaksikan kehati-hatian semacam ini terus-menerus terjadi dalam masyarakat yang bebas. Contohnya, invasi AS-Inggris ke Irak adalah catatan kasus agresi tanpa alasan yang dapat dipercaya—yang merupakan “kejahatan internasional tertinggi” dalam definisi putusan Nuremberg. Legitimasi yang ada mengatakan bahwa kasus ini adalah “perang bodoh” dan “kesalahan strategis”. Bahkan Presiden Obama menyatakan hal ini sebagai kesalahan strategis terbesar dalam sejarah kebijakan luar negeri Amerika baru-baru ini. Pendapat tersebut pun sangat dipuji oleh para liberal yang tidak akan mengatakan itu sebagai kejahatan abad ini. Meskipun mereka tak akan ragu menyatakan “kejahatan” apabila beberapa musuh resmi telah melakukan kejahatan yang ternyata jauh lebih kecil.

Ortodoksi yang berlaku pun tidak mudah mengakomodasi sosok seperti Presiden-Jenderal Ulysses S. Grant (Presiden AS tahun 1869-1877) yang berpikir bahwa “tidak pernah ada perang yang lebih jahat daripada yang dilakukan Amerika Serikat di Meksiko” dengan mengambilalih apa yang sekarang menjadi bagian barat daya AS dan California. Dia pun menyatakan rasa malunya karena tidak memiliki keberanian moral untuk mengundurkan diri daripada ikut serta dalam kejahatan tersebut.

Menyingkirkan ortodoksi yang ada akan memiliki konsekuensi. Pesan yang tidak terlalu diam-diam seharusnya menyatakan kita hanya memerangi perang cerdas yang bukan kesalahan; perang yang berhasil dalam tujuannya  dengan definisi yang adil dan benar menurut ortodoksi yang berlaku, bahkan kalaupun pada kenyataannya adalah “perang jahat” (kejahatan besar). Tentunya berbagai ilustrasi kasus terlalu banyak untuk disebutkan. Dalam beberapa kasus, seperti kejahatan abad ini, praktik ini berlaku hampir tanpa kecuali di kalangan yang terhormat.

Aspek lain yang akrab dari penyingkiran ortodoksi yang berlaku adalah penyesuaian sederhana dari menjelek-jelekkan musuh-musuh resmi ortodoksi. Dengan mengambil contoh hampir acak, dari masalah New York Times. Seorang jurnalis ekonominya yang sangat kompeten—yang kebetulan berada di depan saya sekarang—memperingatkan tentang keburukan populisme resmi Hugo Chavez yang pernah terpilih pada akhir era 1990-an. Chavez dikabarkan sedang melanjutkan memerangi institusi demokrasi yang menghalangi jalannya.

Beralih ke dunia nyata, Pemerintah AS dengan dukungan antusias dari New York Times setidaknya atau sepenuhnya mendukung kudeta militer yang menggulingkan pemerintah Chavez secara singkat—sebelum akhirnya dibalik oleh pemberontakan rakyat. Apapun yang dipikirkan orang tentang Chavez, nyatanya ia memenangkan pemilihan ulang yang disertifikasi “bebas dan adil” oleh pengamat internasional. Yayasan Carter—yang didirikan oleh mantan Presiden Jimmy Carter—mengatakan bahwa dari 92 pemilihan yang telah kami pantau, proses pemilihan di Venezuela adalah yang terbaik di dunia. Dan, Venezuela di bawah Chavez secara teratur menduduki peringkat sangat tinggi dalam jajak pendapat internasional tentang dukungan publik untuk pemerintah dan demokrasi (sumber: Latinobarómetro; organisasi riset nirlaba yang berbasis di Chili).

Tak diragukan, defisit demokrasi selama tahun-tahun Chavez berkuasa pasti ada; contohnya penindasan saluran RCTV yang menimbulkan kecaman besar. Saya turut bergabung mengecamnya dan juga setuju bahwa itu tidak boleh terjadi di masyarakat bebasnya kami. Jika saluran televisi terkemuka di AS telah mendukung kudeta militer di Venezuela seperti yang dilakukan RCTV, maka saluran itu tidak akan mendapat tekanan dalam beberapa tahun kemudian. Oleh karenanya, tidak akan ada pihak penguasa eksekutif yang berada di penjara jika mereka masih hidup. Ortodoksi memang dapat dengan mudah mengatasi fakta.

Kegagalan memberikan informasi yang bersangkut-paut juga memiliki konsekuensi. Mungkin orang Amerika harus tahu, jajak pendapat yang dijalankan lembaga pemungutan suara terkemuka AS menemukan fakta bahwa satu dekade setelah kejahatan abad ini, pendapat dunia menganggap Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia. Tidak ada kompetitior lain yang lebih mendekati predikat itu; dan tentunya bukan Iran, yang menurut komentar AS layak memenangkan “hadiah itu” (predikat tersebut). Alih-alih menyembunyikan fakta, pers mungkin telah melakukan tugasnya untuk menarik perhatian publik, sekaligus dengan beberapa pertimbangan tentang apa artinya pers & pelajaran apa yang dihasilkannya untuk kebijakan. Sekali lagi, kelalaian tugas memiliki konsekuensi.

Contoh-contoh yang berlimpah seperti ini memang cukup serius tetapi ada contoh lainnya yang jauh lebih penting. Cermatilah kampanye pemilu tahun 2016 di negara paling kuat dalam sejarah dunia. Cakupannya sangat besar dan instruktif. Para kandidat hampir semuanya menghindari isu-isu bermasalah dan mengabaikannya untuk dikomentari. Sesuai dengan prinsip jurnalistik tentang “objektivitas”, media mengartikannya dengan melaporkan secara akurat apa yang dilakukan dan dikatakan oleh pihak  berkuasa dan bukan apa yang mereka abaikan. Prinsip ini berlaku bahkan jika nasib spesies dipertaruhkan; seperti halnya: meningkatnya bahaya perang nuklir dan ancaman mengerikan bencana lingkungan.

Kelalaian itu mencapai puncak dramatis pada 8 November sebagai hari yang benar-benar bersejarah. Pada hari itu, Donald Trump memenangkan dua kemenangan. Media secara luar biasa meliput hal kurang penting tentang kemenangan pemilihannya dengan selisih suara hampir 3 juta lebih sedikit dari lawannya—yang mana kemenangan ini terjadi berkat fitur regresif dari sistem pemilihan AS.

Kemenangan yang lebih penting justru dilupakan oleh keheningan virtual. Yakni, kemenangan Trump di Kota Marrakesh, Maroko; yang mana di situlah sekitar 200 negara bertemu untuk memasukkan beberapa konten serius ke dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim pada setahun sebelumnya. Pada 8 November, proses perjanjian ini terhenti. Sisa dari konferensi ini, sebagian besar dikhususkan untuk mencoba menyelamatkan beberapa harapan bersama AS agar tidak menarik diri dari perusahaan. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyabot perjanjian tersebut  secara tajam, meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil, membongkar peraturan, dan menolak janji untuk membantu negara-negara berkembang bergeser ke energi terbarukan. Semua yang dipertaruhkan dalam kemenangan terpenting Trump adalah prospek kehidupan manusia yang terorganisir dalam bentuk apapun yang kita tahu. Dengan demikian, cakupan media hampir nol untuk memberitakan hal ini. Sebab mereka mempertahankan konsep “objektivitas” yang sama dengan yang ditentukan oleh praktik dan doktrin kekuasaan.

Pers yang benar-benar independen menolak peran penyingkiran terhadap kekuasaan dan otoritas. Ini melemparkan ortodoksi ke angin; mempertanyakan apa yang “orang-orang yang berpikiran benar akan menerima tanpa pertanyaan”. Menyingkirkan selubung sensor diam-diam, membuat tersedianya informasi, berbagai pendapat, & ide untuk masyarakat umum merupakan prasyarat untuk partisipasi yang bermakna dalam kehidupan sosial dan politik. Lebih dari itu, pers mustinya menawarkan platform bagi orang-orang untuk masuk ke dalam debat dan diskusi tentang isu-isu yang menjadi perhatian mereka. Dengan melakukan itu, berfungsilah fungsi dasarnya pers untuk masyarakat yang benar-benar bebas dan demokratis.

7 Januari 2017

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. An uncle cat.]

Perjalanan Saya Melapak Perpustakaan Jalanan Cilacap

 


 

*)Ditulis oleh Aming (Trias Putra Pamungkas). Seniman grafis realis masa depan.

 

Babak Pertama: Pengakuan

Ini sebuah cerita dimana saya dan kawan saya membentuk sebuah perpustakaan jalanan yang saat itu lagi gencar-gencarnya lapakan buku digelar ke ruang publik. Mungkin bisa dikatakan Perpustakaan Jalanan Bandung-lah yang menginspirasi kenapa saya dan satu kawan saya membuat perpustakaan jalanan di kota kami—yaitu di Cilacap.

 

Selama 17 tahun tumbuh besar di Cilacap, baru terpikirkan ide membuat perpustakaan jalanan. Bisa dikatakan itu ide yang sangat gila dan konyol.  Kenapa saya bisa bilang seperti itu? Karena saya dan satu kawan saya, membaca buku pun jarang dan tidak memiliki koleksi buku yang dibaca. Selama sekolah, kami berdua sempat hidup di jalanan dan jarang mampir di perpustakaan sekolah, bahkan bisa dikatakan tidak pernah samasekali. Setiap hari, bisa dikatakan kami habiskan untuk mengobrol hal yang tidak penting, mabuk, dan ngamen. Saya dan satu kawan saya baru mendapatkan ide membuat perpustakaan jalanan karena kejadian yang menurut kami itu konyol dan belum semestinya itu terjadi.

 

Pada malam hari, kami berdua nongkrong di pusat kota Cilacap sambil menikmati kopi yang kami pesan di warung depan tempat kami nongkrong. Tiba-tiba ada anak kecil kira-kira berumur 10 tahun lewat depan kami. Tapi ada yang aneh dengan anak kecil itu dan ternyata benar; anak kecil itu sedang live di salah satu medsos via handphone. Di situ, saya yang melihat kejadian itu kagum; kenapa anak dengan umur segitu sudah pandai main medsos dan melakukan selayaknya vlogger masa kini?

 

Di situ sempat bertanya kepada diri saya sendiri, “Apa iya orang tuanya tidak memperhatikan anaknya bermain gadget?”. Saya tidak menyalahkan gadget karena sekarang gadget menjadi alat yang semua orang miliki dan menjadi alat komunikasi. Tapi di sini saya garis bawahi “pengawasan orang tua terhadap anaknya saat bermain gadget” sampai kejadian itu bisa terjadi. Setelah kejadian itu berlalu, saya pun berpikir di dalam diri. Memang, sebelumnya saya dan kawan saya sering nongkrong di situ tapi pada saat kejadian itu; tidak tahu-menahu ada angin lewat apa yang menginspirasi kami untuk membuat sebuah perpustakaan jalanan.

 

Sempat kami obrolkan sebelum membuat perpustakaan jalanan bahwa kami masih bingung soal buku kita dapat dari mana. Terus tujuan kita mau ngapain dan di situ belum sampai bahas logo. Kita baca buku aja tidak pernah, apalagi buka perpustakaan jalanan yang tiap hari dicekoki kertas dengan tulisan panjang-lebar dan tidak menarik daripada seikat ciu yang tiap hari kami konsumsi.

 

Di suatu malam, di tempat dimana kami kumpul berkarya; yaitu sanggar Sangkan Paran, kami berdua ngobrol soal ide pembuatan perpustakaan jalanan ditemani kopi manis buatan peserta pelatihan kerja lapangan (PKL) yang sangat manis; mungkin pada saat itu gula masih murah. Setelah berdiam diri dan menikmati kopi dan sebatang rokok, kita baru terpikir nama yang menyangkut di isi kepala; yaitu kata “kaji” dengan diawali dengan kata “meng-“ menjadi kata “mengkaji”  yang diartikan sebagai telaah kembali atau dipikirkan kembali sampai matang yang kita gabungkan dengan kata “pustaka” untuk mewakili buku perpustakaan.  Kami menyiasati arti ini untuk para pengunjung agar pembaca nantinya dapat mengkaji, menelaah kembali buku yang telah ia baca; jangan sampai buku dan informasi yang ia dapatkan itu hanya ditelan mentah-mentah tanpa melewati proses peresapan; atau dipikirkan kembali benar atau salahnya suatu bacaan dan informasi yang didapatkan. Kami juga secara tidak langsung membuat pembaca atau pengunjung lapakan buku kami agar tidak terpancing berita yang belum tentu benar dari sumbernya. Singkat cerita, tepat tanggal 23 Juni 2017,  nama Mengkaji Pustaka menjadi nama perpusjal kami yang dibangun dengan rasa yakin-percaya diri meskipun dengan sedikit pengalaman dan belum adanya sumber daya manusia memadai—hanya bergerak dua orang yang mengurus lapakan buku di pusat kota yang ramai.

 

Setelah kami mengesahkan nama Mengkaji Pustaka, kami pun berpikir tujuannya apa membuat perpustakaan jalanan tersebut? Dengan pengalaman yang amat kurang, tujuan awal dibangunnya perpusjal di Cilacap hanya menyadarkan minat baca masyarakat yang semakin hari digerus oleh gadget dan berita tidak jelas lainnya; berharap dari sini bisa membuat masyarakat menjadi bijaksana dalam menanggapi berita yang beredar di masyarakat.

 

Perjalanan di Masyarakat

Dengan belum memiliki buku yang akan disajikan ke masyarakat, akhirnya kami memutuskan untuk meminjam dari sanggar yang saat itu memiliki banyak buku yang cukup untuk dibaca gratis ke masyarakat. Di tempat ini benar-benar semua dikerjakan dengan kebelumtahuan kami tentang literasi itu diawali. Setelah mendapat persetujuan dari pemilik sanggar, buku yang terdapat di sanggar kami bawa ke pusat kota untuk dibaca gratis oleh masyarakat.

 

Awal lapakan buku; perihal penataan, pengelompokkan, dan pembagian buku masih berantakan. Hanya satu prinsip kami; yang penting jalan dulu aja, susah-senang itu bonus. Dengan bermodalkan nekat dan tulisan “baca buku gratis”, kami mulai menggelar lapakan buku gratis di alun-alun yang kebetulan berdepanan dengan lembaga pemasyarakatan (LP).

 

Seperti biasa; awal buka lapak baca buku gratis berbeda dengan buka warung mie ayam yang dimana pecinta kuliner lebih banyak daripada pecinta buku. Kami berdua mulai belajar untuk adaptasi dengan lingkungan sekitar antara lapak buku, pengunjung, pedagang, dan masyarakat.

 

Dengan seringnya kami lapakan di situ, masyarakat mulai tahu keberadaan perpusjal di alun-alun kota. Pengunjung silih berganti berdatangan dari orang tua, anak muda, anak-anak, pengamen, pedagang, sampai orang mabuk pun datang ke lapakan kami. Di situ mulai ada interaksi sosial dengan masyarakat dengan adanya keberadaan kami yang menyajikan buku untuk dibaca gratis.

 

Mungkin sebabnya di alun-alun yang menjadi pusat nongkrong masyarakat lokal maupun pendatang dan terdapat banyak pedagang; akhirnya menjadikan mindset mereka bahwa apapun yang disajikan di hadapan mereka adalah dijual. Meskipun di situ sudah terdapat tulisan “baca buku gratis”, tapi masih banyak masyarakat yang datang ke lapakan selalu berkata,”dijual, mas?” dan “ini berapaan, mas?”. Dengan begitu, kami mencoba menjelaskan tentang keberadaan kami bahwa dengan menyajikan bacaan buku gratis sebenarnya sebagai media  untuk berkomunikasi dengan masyarakat supaya gemar membaca kembali.

 

Tetapi tidak semudah itu mengembalikan kebiasaan gemar membaca di masyarakat karena banyak rintangan yang perlu dilewati. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, informasi pun dapat masuk secara cepat di gadget kita. Tapi harus digarisbawahi, setiap berita yang masuk di gadget kita, baik-buruknya tergantung kita menanggapi berita tersebut. Maka dari itu, keberadaan kami di sini dan menggelar lapakan baca buku gratis di pusat kota untuk mencari informasi berita dan interaksi langsung antara masyarakat dengan berbagai sudut pandang.

 

Dari situlah ada sebuah diskusi yang menjadi alat menyadarkan masyarakat untuk tidak terpancing berita berita yang belum tentu benarnya. Selain itu, di lapakan perpusjal juga diisi banyak kegiatan; seperti halnya puisi, musik, & diskusi.

 

Pernah kami melakukan puisi jalanan yang dimana selain mengetes mental kami, juga melihat reaksi masyarakat. Alhasil karena seringnya melakukan hal tersebut, sampai-sampai penjual mie ayam pun turut berceloteh dengan nada seperti membaca puisi, “Oh, mie ayam, kau begitu lembut saat lidahku merasakan manisnya sekujur tubuhmu”. Sontak, kami yang berada di situ sempat terkejut melihat kejadian itu. Di situ kami mulai percaya diri untuk melakukan eksperimen itu dan mulailah berpikir bahwa hal yang menurut mereka baik maka akan diterima dan diikuti.

 

Dari puisi, lanjut ke musik jalanan yang dimana musik bisa sebagai senjata saat di jalanan— yaitu ngamen. Hehe. Memang, awalnya saya dan satu teman saya pernah merasakan hidup di jalan sebagai pencarian jati diri—dari situ mulai menemukan jati diri yang merdeka. Ngamen jalanan dianggap buruk, oke, saya terima, tapi bagaimana caranya dari yang dilihat buruk menjadi baik?

 

Tidak hanya mengembalikan minat baca masyarakat tapi juga menghapuskan stigma negatif di masyarakat “punk = negatif”. Tidak selamanya punk negatif, tidak selamanya punk merusak fasilitas umum karena sejujurnya punk itu adalah manusia merdeka; tidak suka diatur dan tidak suka mengatur seperti halnya Pram bicara. Apakah punk identik dengan tato, dekil, dan urakan?

 

Kami tepis semuanya di perpusjal ini. Anak punk buka perpustakaan jalanan berati kami masih peduli kepada semuanya tanpa ada perbedaan aku, kamu, dia, dan mereka. Sama halnya seorang manusia yang membutuhkan manusia lainnya. Di sini kami mencoba menghibur pengunjung lapakan buku kami maupun pengunjung lainnya—karena kami buka lapakan di pusat kota, yaitu Alun-alun Cilacap. Karena yang kami bisa pada saat itu hanya bermain musik, ya, kami menghibur dengan cara menyenandungkan lantunan lagu-lagu pergerakan seperti lagu yang sampai sekarang masih dinyanyikan yaitu “buruh-tani” (Lagu Pembebasan karya V. A. Safi’i mantan aktivis PRD).

 

Lagu yang ngga mungkin lewat dari playlist di otak selain itu juga ada lagu dari Iksan Skuter, Taring Padi, Merah Bercerita—yang dimana salah satu personilnya adalah anak dari Wiji Thukul. Dari musik dan interaksi langsung ke masyarakat luas, tidak bisa dihindarkan bahwa masyarakat suka bernyanyi dan hiburan.

 

Tidak hanya sekali yang ikut bernyanyi bersama dan request lagu favorit merekas sampai-sampai memiliki niatan untuk berdiskusi tentang musik dan pergerakan, namun hal itu belum terlaksana karena belum memiliki banyak wawasan terhadap musik. Ingin mendatangkan narasumber tapi belum ada uang karena setiap hari kami hanya mendapatkan uang dari ngamen untuk dibagi dua; sisanya buat beli rokok & kopi. Tapi tidak menghentikan niat kami untuk berdiskusi. Dengan segala niat dan tekad yang kuat, akhirnya kami membuka diskusi bareng berbagai kalangan dari Cilacap & Purwokerto. Bertempat di House of Rainbow, lumayan banyak yang datang di kegiatan tapi masih belum maksimal perlu banyak belajar lagi.

 

Sebelum kegiatan itu berlangsung, kami pun sempat buka diskusi publik di pusat kota terkait sampah plastik yang semakin menggila dari para pengguna plastik sekali pakai yang hanya membuat gunung sampah semakin tinggi. Dalam diskusi itu, kami mengajak teman-teman dari SONI (Save Our Nusakambangan Island) dan Gerakan Citanduy Lestari sebagai narasumber karena merekalah yang tahu dan paham terhadap masalah itu. Kami berharap kegiatan diskusi seperti itu menjadi dampak baik untuk masyarakat dan juga untuk kami sendiri sebagai pelaku yang sering buang sampah seenaknya jidat. Dari situlah jadi sering buka diskusi publik di lapakan perpusjal.

[Zine] NOISE #1 ‘Dari Manusia Jalanan ke Perpustakaan Jalanan’

———-x———x———-x———-

Dari Manusia Jalanan ke Perpustakaan Jalanan adalah benar-benar karya dengan citarasa khas jalanan. Secarik zine ini dibikin langsung oleh Aming a.k.a Wildcat selaku pelaku yang turun jalan langsung demi pendirian Perpustakaan Jalanan Cilacap (Komunitas Mengkaji Pustaka).

Titik tolak berangkatnya ialah, ia yang ngepunk nan street artist ini bersama seorang kawannya merasa khawatir akan nasib anak bangsa yang asal-asalan konsumsi info dari gadget. Diawali dengan kesadaran konyol nan apa adanya, mereka pun membangun komunitas literasi sebagai jalan tes nalar kewarasan, serta berusaha menyapa mereka; para pekerja jalanan di ruang publik.

Bisa dibilang, konten tertulis di zine ini begitu ‘jalanan’ & tentunya karya historikal ini bisa dikata sebagai karya ‘sejarah jalanan’ bila memang ada akademisi/sejarawan/budayawan yang benar-benar cerdas memandang jalanan sebagai titik pelontar sub-budaya/kontrakultur.

[AMBIL DARI SINI SEPENUH HATI!]