Andai Aku Bisa Berbicara

Ilustrasi karya Ryan Peltier (newyorker.com).

 

*Cerpen oleh: Nevvin Hanjuna. Pelaku seni sehari-hari.

Sekolah adalah mimpi dari setiap manusia untuk mendapatkan ilmu melalui pendidikan untuk masa depan yang lebih baik. Aku pun terkadang menjadi impian untuk dikenakan bagi setiap manusia, mulai dari pelosok desa hingga kota.

Sejak kecilnya Darsan, ibu selalu sibuk saban malam merangkai beberapa lembar kain menjadi sebuah seragam supaya bisa Darsan kenakan dengan layak. Putih dan merah adalah seragam pertama yang Darsan kenakan ketika sekolah dasar. Malam itu, ibu menyibukkan dirinya bersama mesin jahit yang usianya tidak muda lagi; merangkai beberapa logo, sleting, saku di antara baju dan celana.

Terkadang, ibu merasa malu ketika aku kisut saat dipakai Darsan bersekolah. Setiap Senin, ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan tak pernah lupa menyemprotkan wewangian padaku. Aku selalu terlihat rapi ketika dipakai Darsan bersekolah. Begitu harumnya aku, sampai setiap orang sangat betah ketika berada di sampingku.

Aku selalu menemani Darsan saat bersekolah. Ketika upacara pun, aku sangat bangga terlihat rapi dan wangi di antara seragam murid-murid yang lain. Aku telah menjadi bagian dari jasa setiap manusia yang kini menjadi orang-orang hebat di negeri ini. Saat lagu wajib nasional dinyanyikan, aku tak bisa hanya diam menyaksikan Darsan bernyanyi. Terpa angin pagi mengelus tubuhku, mengajakku bernyanyi dan memaknai warna tubuhku. Aku telah menyaksikan perjuangan setiap manusia di atas bangku sekolah, hingga kini mereka terlahir menjadi sosok manusia yang sangat tinggi. Mulai dari pejabat, presiden, menteri, dan petinggi yang lain.

Aku tak pernah menyesal ada sebagai seragam, namun terkadang aku merasa sedih ketika semua melupakanku. Kini, aku telah jauh dari mereka yang pernah mengenakanku. Terkadang pula, usiaku tak terlalu panjang; mereka memilih menghanguskanku daripada memberikanku kepada orang lain atau mengabadikanku.

Darsan, kini, telah tumbuh besar; kini, dia disibukkan mencari sekolah menengah pertama yang berkualitas. Aku masih digunakan Darsan untuk mendaftar ke setiap sekolah menengah pertama. Kini, Darsan telah mendapatkan mimpinya; bersekolah di sekolah yang dia inginkan. Aku pun digantikan oleh Darsan menjadi putih-biru. Aku merasa bangga bisa mengantarkan Darsan hingga sekolah menengah pertama yang telah lama ia impikan. Putih-merahku yang terpampang logo tutwuri handayani kini pun tersimpan di dalam lemari.

 

Kini, Darsan telah tumbuh besar, menjadi siswa yang pandai di kelasnya, hingga ia menjadi seorang pemimpin dalam kelasnya. Kulitku pun berubah menjadi putih dan biru tua. Aku selalu menemaninya ketika ia mengayuh sepeda yang ayah berikan. Tetes keringat Darsan membasahi tubuhku. Harum tubuhku berubah menjadi bau keringat yang tak sedap untuk dicium.

Terkadang pula, aku menjadi tempat curahan para siswa yang menuliskan dan menggambarkan berbagai macam dengan tinta bolpoin di atas tubuhku. Aku merasa sangat ternodai, apalagi ketika sakuku diisi berbagai macam benda yang menodai tubuhku. Namun, ibu selalu merawatku dengan ketulusannya; mencuci tubuhku hingga bersih dan menyemprotkan kembali wewangian di atas tubuhku yang mulai pudar.

Darsan, kini, menjadi pribadinya sendiri. Ia sudah tak pernah lagi diantarkan ibunya menuju sekolah. Ia menggunakan sepeda kesayangannya untuk bersekolah. Namun kini, Darsan jarang mematuhi perintah ibu. Kadangkala, Darsan tak pernah jujur dan seringkali berbohong, setelah ia mendapatkan teman-teman yang beragam sudut pandang pola berpikir.

Aku merasa malu ketika Darsan sering membolos sekolah. Belum lagi, ketika aku diletakkan di tempat yang tidak semestinya. Aku selalu mendapat perhatian setiap orang yang melihatku di jalanan.

Darsan, kini, menduduki bangku kelas 3 SMP. Dua tahun sudah, Darsan mengemban tanggungjawab sebagai seorang pemimpin dalam kelasnya. Namun kini, Darsan sudah tidak dipercaya lagi oleh kawan-kawan sekelasnya dan wali kelasnya. Reputasinya sebagai pemimpin dan anak yang pandai dalam kelasnya kini sudah tiada.

Kini, ia dikenal sebagai murid yang kurang sopan dan kerapkali membolos jam pelajaran sekolah. Ibu pun harus berulangkali menghabiskan waktunya untuk menemui guru Darsan, karena tindakan dan perilaku Darsan yang sudah di luar batas wajar aturan sekolah. Tanpa jemu, ibu selalu menasehati darsan untuk mengubah perilakunya. Tapi, Darsan tetap saja bersikukuh dan mengeyel.

Kini, Darsan akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Seringkali, ia mendapat ancaman akan dikeluarkan dari sekolah, apabila selalu melanggar peraturan sekolah. Darsan pun tak mau jika ia dikeluarkan dari sekolahnya. Dalam kesendirian dan kesunyian, aku sebagai seragam yang telah menyaksikan perjuangan manusia dalam menimba ilmu, merasa sedih, jika aku tidak bisa dijaga oleh Darsan.

Kini, Darsan sanggup menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Aku masih digunakan Darsan untuk mencari dan mendaftar sekolah menengah atas. Darsan sudah menemukan sekolah yang ia inginkan. Di sanalah, Darsan meneruskan sekolah menengah atasnya.

Kini, sepeda yang seringkali Darsan gunakan di bangku sekolah menengah pertama, sudah berubah menjadi sepeda motor yang sangat bagus. Di tahun ajaran pertama sekolah menengah atas, aku jarang merasakan bangku kelas yang nampak rapi dan buku-buku pelajaran yang disodorkan para guru.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang sangat memalukanku. Bau asap rokok kerapkali membuatku risih, belum lagi tubuhku yang semakin kisut ketika aku diletakkan dalam tas tanpa dilempit.

Aku sudah tak tahan lagi dengan perilaku Darsan melakukanku dengan caranya sendiri. Sakuku kini bukan lagi ternodai oleh tinta bolpoin yang meluap. Sakuku seringkali diisi oleh beberapa batang rokok dan barang-barang tak pantas lainnya. Aku hampir mati tanpa daya; hakekatku menjadi seragam sekolah tak berguna lagi.

Tahun ini, Darsan mengakhiri pendidikannya selama 12 tahun. Desing suara knalpot motor membuatku bising, belum lagi, noda warna pilok yang membuatku tanpa ada martabatnya menjadi seragam.

Kini, Darsan sudah mengenal apa itu wanita, cinta, dan pergaulan yang semakin bebas. Aku seringkali dibawanya bersama wanita yang tak kukenal. Aku merasa sendiri berada di dalam kos, walau ada Darsan bersama wanita yang ia cintai. Aroma alkohol menempel di atas tubuhku. Aku diletakkan di atas lantai yang kotor, aku melihat Darsan bersama wanita yang ia bawa tanpa mengenakanku. Mereka sudah tak membutuhkanku; telanjang di hadapan mataku, melakukan hubungan yang belum pantas untuk Darsan lakukan. Aku seperti telah mati, tak berguna.

Dalam kesendirian waktu, aku teringat perjuangan ibu melawan malam, menahan kantuk hanya untuk melahirkanku sebagai pakaian generasi bangsa; agar menjadi manusia berguna dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam semesta.

Kini, pupus sudah mimpi ibu; mengharapkanku sebagai pengantar Darsan menjadi siswa yang berbudi. Apalah daya jika aku ada hanya sebagai seragam. Aku tak bisa berbicara melawan apa saja yang menodaiku.

Aku terlalu lemah menjadi seragam; menjadi hina dan ternodai. Andaikan saja waktu mengizinkanku berbicara di antara lemahnya tubuhku yang dihinakan, tak ingin aku terlahir sebagai pengantar generasi yang hidup tanpa moral, budi, dan nurani.

Hakekatku hanyalah sebagai seragam yang mati tanpa suara. Segala daya upaya sudah kulakukan dalam perjalanan setiap manusia untuk mengantarkannya menjadi manusia berbudi luhur. Kehidupan hanyalah kehidupan; yang tak mungkin dapat mengubahku menjadi hidup selayaknya manusia. Jasaku telah digunakan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia untuk mengantarkan mereka menuju pintu gerbang pembebasan kebodohan.

Kini, aku sudah dilupakan zaman dan waktu. Mereka sudah menjadi manusia hebat bagi diri mereka sendiri, sedangkan aku masih saja tetap menjadi seragam, dimana hakekatku memanglah sebuah seragam yang dilupakan tanpa daya upaya. Kini, aku sendiri di dalam lemari, bahkan terkadang, aku sudah dibinasakan dalam peradaban manusia.

[Cerpen] Pustakawan Terakhir: Catatan Singkat Tentang Akhir Dunia

Ilustrasi oleh Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

___

*)Karya Edoardo Albert. Cerpenis spesialis fiksi sains. Tinggal di London.

 

_

“Mana yang lebih penting, buku atau manusia?”

Pertanyaan itu diajukan dengan bercanda. Tapi selama bertahun-tahun, aku semakin percaya jika urat nadi pustakawan dibuka, tintalah yang akan mengalir dari mereka; alih-alih darah. Meski begitu, aku tidak berharap dia menjawab dengan melakukannya.

“Buku.” Pustakawan itu mengulurkan panci. “Ingin cocoa lagi?”

“Ya, boleh.”

Kami duduk dalam berkat keheningan yang disediakan oleh musem digital yang mengherankan sembari menghirup mug kami. Sementara, aku menunggu untuk melihat apa yang harus dia perlihatkan kepada aku. Pertama kalinya aku bertemu dengan pustakawan itu sebagai seorang bibliofil berusia delapan tahun yang ingatan paling nyata di masa kecilnya adalah tentang perpustakaan umum setempat dan semua buku-buku yang menunggu untuk dibaca. Bocah itu telah tumbuh menjadi pengumpul buku; hobi yang kukejar dalam waktu luang yang tersisa dari tugas sehari-hariku sebagai fungsionaris pemerintahan kecil.

Setelah cocoa habis, pustakawan membawaku melewati meja kosong di Ruang Baca; melewati meja hening tempat seorang pustakawan memeriksa buku-buku yang kurang berharga dari koleksi untuk menuju ke tempat suci: ruang buku langka atau lebih tepatnya “ruang-ruang” buku langka. Lagipula, ini British Library. Dibutuhkan lebih dari satu kamar untuk buku-buku langka.

Pustakawan menunjukkan lemari pajangan baru yang telah ditaruh pada tempat terhormat, bahkan di antara Gutenberg dan Caxtons, Kells dan Opticks, dan Folios Pertama dan Folios Kedua.

Buku itu terbuka pada halaman 1:

Beberapa kejahatan dari dongeng saya mungkin sudah melekat dalam keadaan kita. Selama bertahun-tahun, bagaimanapun juga, kita hidup dengan satu sama lainnya di gurun terbuka; di bawah surga acuh-tak acuh.

 

“Bukan ini,” kataku.

“Ya, ini.”

“Bukan.”

“Iya.” Wajah pustakawan yang berkerut menjadi tersenyum lebar tak terduga.

Dari beberapa pusaka suci para kolektor buku, inilah yang termasuk paling suci: edisi pertama buku Seven Pillars of Wisdom karya  T. E. Lawrence pada tahun 1922; yang telah dicetaknya secara pribadi di Oxford University Press. Hanya ada delapan salinannya yang dibuat. Enam salinannya diperhitungkan. Tapi tampaknya sekarang, jumlah salinan yang diperhitungkan akan naik menjadi tujuh.

“Di mana kamu menemukannya?” Aku bertanya ketika akhirnya aku siap untuk beristirahat dari memeriksanya, menatapnya, dan biasanya minum dalam keajaiban itu. Kukira, seorang ibu baru harus merasakan sesuatu yang serupa ketika merenungkan anak pertamanya.

“Sudah di sini selama ini,” kata pustakawan itu. “Terselip di salah satu gudang. Entah bagaimana itu telah diberi label sebagai risalah arsitektural milik koleksi Penjaga Barang Antik Oriental pada masa Museum dan Perpustakaan berbagi tempat. Aku hanya menemukannya secara kebetulan.”

Kami berdua menatapnya.

“Sepertinya,” kataku, “kamu mungkin orang pertama yang menyentuh buku itu setelah Lawrence sendiri.”

“Dan orang bodoh yang mengira itu adalah buku tentang arsitektur,” kata pustakawan itu. “Aku menyangka aku tahu siapa yang mungkin melakukannya.” Wajahnya menjadi serius ketika dia merenungkan hukuman yang tepat akibat salah membaca buku.

Memandangnya, aku berpikir bahwa dia hampir tidak berubah samasekali selama bertahun-tahun aku mengenalnya: rambut beruban dan tetap berwarna seputih-putihnya, kulit sepucat cahaya buatan, wajah tipis yang terbelah oleh kacamata permanen berbingkai sabit yang bertengger di ujung hidungnya. Bahkan, pustakawan itu mungkin telah melihat rumah di ruang jenazah sambil melangkah di antara papan-papan yang dingin. Aku mengakui bahwa kadang-kadang aku merasa seolah-olah kami adalah ahli patologi dari budaya sastra yang hilang ketika kami berjalan di aula dan koridor perpustakaan yang sunyi.

“Apakah kamu sudah mengunggahnya?”

Pustakawan itu menggelengkan kepala.

“Aku lupa. Aku mengerti tapi aku ingin membagikan hasil temuanku dulu. Aku akan, seperti katamu, mengunggahnya. Sekarang.”

Cendekiawan yang tertarik, kemudian akan dapat memeriksa salinan tiga dimensi buku yang sempurna. Sementara, mereka yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan suatu ujung percakapan pesta makan malam, dapat mengunduh input saraf yang cukup untuk menanamkan kenyamanan memori membaca buku tanpa keharusan melelahkan—bagi yang pernah harus melihatnya. Lagipula, dengan sebagian besar bacaan, orang ingin membaca buku itu; bukan untuk benar-benar membacanya. Dalam dunia kita yang serba cepat dan tergesa-gesa, meng-input saraf serupa dengan kamu dapat membaca semua kanon klasik pada sore hari dan masih punya waktu untuk makan malam.

“Tetap saja,” aku menimpalinya, pada kepergianku yang lambat keluar dari perpustakaan dan kembali ke dunia biasa, “Aku yakin bahwa dengan penemuan seperti ini akan ada beberapa sarjana yang ingin melihat buku yang sebenarnya.” Aku berhenti pada pintu keluar. “Bagaimana menurutmu?”

Pustakawan menggelengkan kepalanya. Cahaya terpantul di kacamatanya.

“Tidak, kurasa mereka tidak akan datang. Bahkan untuk ini.” Dia mulai menutup pintu, lalu berhenti.

“Kembalilah dalam seminggu,” katanya. “Aku mungkin punya sesuatu untuk ditunjukkan kepadamu.”

“Apakah itu…”

Tapi pintu telah tertutup, memotong pertanyaanku. Pustakawan itu selalu mengarahkanku untuk masuk dan keluar dari salah satu pintu masuk samping yang dimaksudkan untuk staf. Aula tinggi pada pintu masuk umum tetap terbuka dan kosong—seperti gua yang belum ditemukan di negara yang dilupakan.

Aku membuka kerah, memasang panel digital dan merapatkan telinga pada ocehan informasi, kemudian menuju ke dunia modern.

 

***

Seminggu kemudian, aku kembali. Tapi tidak sendirian. Arus manusia terus-menerus keluar-masuk lewat pintu utama—dari potongan pakaiannya, kebanyakan dari mereka akademisi. Sebelum Aula Besar, terdapat makam yang lengang. Para cendekiawan sedang semangat-semangatnya berdebat satu sama lainnya atau mungkin sedang mempersiapkan siswanya untuk penugasan. Sementara, apa yang tampak sebagai kepastian banyak orang sedang terjadi di sekitar meja informasi utama, di mana ada pertanda mencolok yang menunjukkan jalan menuju display Lawrence dipajang.

Pesan-pesan muncul pada papan di dinding dan langit-langit; mengarahkan pihak-pihak yang berminat pada siklus hidup kumbang (Lantai 2, Baris J, Bookmark DX80130 DSC), hipostaik para archon (Lantai 3, Baris O, Bookmark 412.978000 DSC), dan hubungan kerabat di antara chavs (Sub Basement 4, Baris B, Bookmark YK.2005.a.10262).

Pesan-pesan itu terus berubah sampai aku menyadari bahwa itu adalah jawaban yang diberikan kepada kerumunan cendekiawan yang berkerumun di sekitar meja utama. Dan di sana, di tengah-tengah lingkaran, yang dikelilingi oleh tim asisten junior, adalah pustakawan. Dia mengangguk ke arahku, mengucapkan beberapa patah kata kepada salah satu pembantunya dan beralih dari meja.

Ilustrasi karya Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

Aku memberi isyarat yang meliputi orang-orang, kesibukan, dan sebenar-benarnya kehidupan.

“Mengherankan,” ujarku. “Luar biasa. Apa yang terjadi?”

Dengan gerakan intim tak terduga, pustakawan meraih lenganku. Aku harus mengakui bahwa ini mengejutkanku: tapi aku tak terlalu kaget. Berdasarkan tingkat kegembiraannya, aku tak percaya jika pustakawan menyadarinya. Dia membimbingku melintasi Aula Besar, mengabaikan pertanyaan para cendekiawan yang putus asa, dan menuntunku melalui salah satu pintu yang bertuliskan “Hanya Staf”. Rasa damai dan ketenangan serta-merta menghinggapi.

“Apakah kamu keberatan jika kita berjalan?,” tanya pustakawan itu. “Aku sangat khawatir jika aku akan segera disapa saat kita berani naik lift. Tapi aku ingin mengajakmu berkeliling pada hari ini sepanjang hari.”

Kami berjalan menaiki tangga.

“Aku yakin, kamu bukanlah spesialis teori informasi.”

“Tidak juga, tidak. Lembaran kertaslah yang aku pahami. Apa yang dimuatnya, tidak.”

“Kalau begitu, aku harus memakai analogi,” kata pustakawan itu. “Pertimbangkanlah otakmu. Pada intinya, adalah sumsum tulang belakang dan struktur otak primitif yang kita bagikan kepada para chordata lain. Struktur ini adalah dasar untuk semua pencapaian pikiran manusia; dari sonata-sonata Shakespeare hingga Mazmur Daud hingga ke musik Mozart. Tapi ingatlah tentang substruktur, bukan Shakespeare. Sekarang, ada beberapa bagian yang sangat primitif dari dunia modern; yang saling berhubungan. Bagian-bagiannya telah ada sejak awal tetapi semuanya telah dilupakan sebagai jaringan yang lebih rumit yang dibangun di atas. Ada satu tempat di mana benda-benda tua ini masih dicatat.” Pustakawan itu berhenti dan berbalik untuk menatapku. Aku harus mengakui bahwa diriku bersyukur karena beristirahat; sebab pendakiannya terbukti lebih lama dari yang aku perkirakan.

Sambil berbicara tanpa menoleh, pustakawan itu melanjutkan pendakian, “Faktanya, perpustakaan tidak pernah mengunggah beberapa dari teks-teks ini.” Dia melirik ke arahku, tersenyum. “Bisakah kamu memberinya penghargaan? Masalahnya, relatif mudah untuk menemukan informasi dan kemudian menghapus salah satu substruktur utama. Jadi untuk hari ini, setidaknya setiap sarjana yang mencoba mengakses informasi akan menemukan pesan kesalahan dan pemberitahuan yang menyarankannya untuk memperbaiki ke perpustakaan umum setempat.”

Akhirnya kami tiba di puncak tangga dan berhenti di pintu.

“Mari kita diam-diam memeriksa bukti aktivitas ilmiah.”

 

***

 

Mungkin sangat disayangkan bila pustakawan membuka pintu tepat saat seorang peneliti menjatuhkan buku yang sedang diambilnya dari rak. Dia menjatuhkan buku itu karena dia mencoba menjawab teleponnya secara bersamaan tanpa menumpahkan secangkir kopi.

“Hei, terima kasih,” kata si peneliti saat pustakawan itu layaknya elang sastra yang menyambar buku dari lantai. Mata cendekiawan itu melebar ketika pustakawan meletakkan kembali buku itu di rak.

“Aku butuh itu,” katanya.

“Beri aku kartu perpustakaanmu,” balas pustakawan.

Mengambil kartu yang disodorkan padanya, pustakawan langsung memeriksa gambar yang tertera apakah mirip dengan subyeknya—saat itu, pagi merupakan waktu yang telah sedikit terlewati untuk membedakan antara gambar dan kenyataan yang ada. Dengan gunting kecil dari sakunya, pustakawan itu memotong kartu keanggotaan menjadi dua. Ia dengan senang hati membagi gambarnya menjadi dua bagian.

“Tapi-tapi.”  Peneliti itu tergagap.

“Keanggotaanmu dibatalkan. Silahkan tinggalkan gedung.”

Setelah membuka-tutup mulutnya beberapa kali seolah ingin bicara, kerutan di wajah pustakawan selalu cukup bisa menghentikannya. Cendekiawan itu pun berjalan dengan susah-payah menuju lift.

“Dan, matikanlah teleponmu.”

 

Ilustrasi kolase karya Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

Kami tidak bergerak sampai pintu lift tertutup. Pustakawan mengirim pesan ke resepsi; memberi tahu mereka untuk mengawal pembaca yang sebelumnya dari tempat itu. Dengan demikian, suasana hati pustakawan yang sebelumnya baik menjadi suram dan kami meminum cocoa kami dalam suasana mendekati keheningan.

Aku berharap penyalahgunaan buku yang kami lihat akan terbukti sebagai kesalahan tunggal. Tapi sayangnya, bukan itu masalahnya. Menurut perhitungan kami, telah ditemukan beberapa kasus makan dan minum tanpa izin. Kami mendengar banyak percakapan terlarang; baik secara langsung maupun melalui telepon. Ada sejumlah kasus ABH (actual biblio harm) yang sangat memperihatinkan, seperti sudut halaman dibalik dan buku dikembalikan ke rak yang salah. Dan, ada beberapa contoh yang benar-benar mengkhawatirkan dari GBH (grievous biblio harm); di mana volume yang berkekurangan dan tak berdosa memiliki catatan yang ditulis di marginnya atau dibiarkan lumpuh dengan tulang punggungnya yang patah. Yang terakhir ini adalah kasus yang sangat menyedihkan.

Kami menemukan The Principles of Lingerie karya Reginald Spode ditinggalkan tergeletak di atas meja; tulang punggungnya retak, isinya terbuka, dan dengan banyak tanda marginal mengotori kemurnian perawannya. Tanda kejahatan tidak ditemukan dari luar sampul manis yang kusut.

Menghadapi kemarahan ini, pustakawan melakukan sesuatu yang benar-benar luar biasa. Tentu saja, The Spode harus diambil demi segera diperbaiki tapi kami memiliki tugas mendesak lainnya untuk diperhatikan. Jadi, alih-alih mengekspos buku itu ke pelecehan lebih lanjut, pustakawan sengaja menyimpannya dengan salah.

Aku terkejut. Namun kemudian, ketika tersadar akan pengorbanan pustakawan, kejutan itu berubah menjadi kekaguman.

“Sungguh, itu adalah hal yang lebih besar dari yang kamu lakukan hari ini.”

Tapi pustakawan itu tak bergeming. Lagipula, itu adalah perpustakaan. Bukan berarti anda bisa mengatakan itu merupakan perilaku sebagian besar pembaca. Ke mana pun kami melangkah, selalu ada latar suara percakapan secara konstan yang termodulasi oleh penguasaan banyak rahang. Tampaknya, sarjana hari ini tidak dapat melibatkan otak tanpa dimulai dengan rahangnya.

Aku memiliki janji urusan lainnya pada sisa hari itu. Jadi, aku meninggalkan pustakawan saat berperang melawan gelombang ketakbegunaan manusia yang dia hadapi, tapi aku meneleponnya tepat sebelum perpustakaan ditutup. Pustakawan menjawabnya dalam mode bersuara. Kukira setelah hari seperti itu aku lebih suka tidak muncul di layar apa pun juga.

“Bagaimana hari ini berlalu?”

Melalui telepon, pustakawan itu terdengar lelah.

“Itu akan terus terjadi. Tampaknya banyak buku telah diganti secara salah. Aku menjadi khawatir akan menghabiskan waktu berjam-jam berikutnya untuk menata rak-rak.” Meskipun melalui penglihatan yang kurang, aku bisa melihatnya menggelengkan kepalanya. “Tak pernah ada semacam ini di Alexandria.”

”Apakah kamu ingin aku membantu?”

“Tidak, tidak, terima kasih. Aku yakin kita bisa melakukannya dengan ‘Permisi, Tuan, buku itu bukan untuk dipinjamkan’.”

Sambungan pun terputus.

 

***

 

Minggu berikutnya, seusai bekerja seperti biasa, aku pergi ke perpustakaan selagi masih buka. Pemberitaan tidak banyak membahas tentang hilangnya pengambilan data akademik negara. Sehingga, tidak mengherankan jika antrian yang mendaftar untuk menjadi pembaca bahkan lebih panjang dibandingkan sebelumnya. Melewati area meja tempat aplikasi diproses, aku menyadari bahwa hal itu hanya akan membuatnya lebih lama.

Pekan lalu, dengan antusiasme pustakawan untuk para pembaca baru, meja telah dijaga oleh semua staf yang paling cerdas dan tercepat. Hari ini, hanya ada satu pustakawan yang bertugas; orangnya agak jompo, tuli, dan bijaksana melayani.

Kepala perpustakaan tidak ada di kantornya. Aku juga tidak dapat menemukannya di aula dan ruang baca yang masih penuh sesak. Ini menjadi pencarian yang sangat teralihkan atas fakta di hadapanku tentang penyalahgunaan buku yang merajalela. Ketika aku kembali ke Aula Besar, aku merasa gemetaran akibat hal-hal mengerikan yang telah aku lihat.

Di sinilah, utusan pustakawan akhirnya menemukanku. Aku dibawanya turun melalui semua tingkat perpustakaan ke lantai dasar. Di sana, aku menemukan pustakawan dan menghampirinya sambil merentangkan tangan.

“Temanku tersayang, bagaimana kamu bisa tahan?”

Pustakawan itu berhenti sejenak dengan pekerjaannya. “Ah, aku senang dengan perkataanmu. Terkadang aku berpikir aku hanya seorang bujangan tua, tumbuh dengan caranya sendiri, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan zaman modern. Tapi kamu setuju; perilaku ini keterlaluan. Itu tidak bisa dilanjutkan.”

“Apakah kamu akan menghubungkan kembali perpustakaan kepada jaringan?”

Pustakawan itu menggelengkan kepalanya, agak sedih. “Seandainya semudah itu. Tampaknya tidak ada perbaikan yang mungkin. Tentu saja, pada akhirnya agen-agen luar akan melacak kesalahan dan memperbaikinya. Tapi waktu adalah esensi di sini. Jika tindakan tidak segera dilakukan, beberapa buku akan menjadi rusak tanpa bisa diperbaiki. Sebagai seorang penulis segala hal di abad ke-20 yang terlupakan; aku menerima risiko hukuman. Tuhan akan membebaskanku karena Dia tahu aku bertindak untuk kemuliaan-Nya. Tugasku adalah melindungi perpustakaan. Atau, seperti yang ditulis oleh penulis yang bahkan lebih tidak jelas—jika kamu akan memaafkan ketidakakuratan dan parafrase; aku adalah salah satu penguasa rahasia dunia. Akulah pustakawan. Aku mengontrol informasi. Jangan pernah membuatku kesal.”

Pustakawan itu berdiri.

“Ayo,” katanya, “mari kita bergegas melihatnya.”

Kami keluar dari lift dan menuju beranda atap.

Melihat ke bawah, jauh ke bawah, aku bisa melihat arus pustakawan yang terus-menerus memuat buku ke belakang armada truk.

“Ke mana mereka membawa buku-buku itu?,” tanyaku.

“Sebuah perpustakaan adalah hal ideal di masa aman sebagai tempat belajar bagi para sarjana. Akan tetapi, bagaimana dengan zaman yang kurang pasti? Sejarah mengajarkan kita bahwa koleksi terbesar sekalipun bisa menjadi korban dari gerombolan yang bodoh jika mereka tidak dijaga. Jauh dari sini, kami mempunyai ketentuan yang dibuat demi keamanan buku-buku ini; yaitu perpustakaan lainnya yang aman dan terselamatkan. Tapi yang paling penting, adalah rahasia. Dan ke situlah, aku membawa buku-buku itu.”

Aku memperhatikan truk-truk terakhir melaju pergi, menghilang menuju senja. Kami terdiam berdiri ketika malam tiba di atas kota. Jauh di bawah, perpustakaan telah menutup pintunya. Pustakawan sedang menunggu sesuatu meskipun aku tidak tahu apa itu.

Kemudian, dengan tanpa keributan, satu per satu lampu padam. Sebuah keheningan yang tidak wajar mulai menyebar ke seluruh kota saat kegelapan menyebar.

“Apa yang terjadi?”

“Apakah kamu ingat pertanyaanmu kepadaku; yang mana yang lebih penting: buku atau manusia? Tentu saja, jawabanku agak lucu. Tapi aku menjadi semakin khawatir tentang perbedaan antara peradaban saat ini dan semua buku yang mewakili: cerita, pengetahuan, seni, hukum, dan sains. Kejadian beberapa hari terakhir telah memutuskanku. Jika bahkan para sarjana tidak dapat dipercaya terhadap buku, maka masyarakat ini tidak lagi dapat disebut beradab. Oleh karena itu, sekarang saatnya untuk memulai lagi.” Dia menunjuk ke arah sebaran palung kegelapan—yang kian menumpuk jeritan dan pekikan kematian. “Jika kamu tahu apa yang harus dilakukan, mekanisme yang kompleks mudah dihancurkan. Banyak hal dapat ditemukan di buku-buku lama yang terlupakan.”

“Tapi, tapi, mereka akan memperbaikinya. Mereka akan menemukan apa yang telah kamu lakukan dan memperbaikinya.”

“Tak semudah itu, temanku. Proses yang tak dapat dihentikan telah digerakkan. Ayo, saatnya untuk berangkat. Meskipun,” dan pada titik ini, aliran listrik gagal mengunggah cahaya listrik perpustakaan itu sendiri, “aku khawatir kita harus menggunakan tangga.”

Yang terakhir kali aku lihat dari teman waktu tertentuku adalah ketika dia naik ke truk terakhir untuk meninggalkan perpustakaan dan pergi menuju kegelapan.

Sekarang, aku menuliskan ini dengan cahaya lilin, beberapa bulan kemudian (aku takut aku telah melupakan ketepatan tanggalnya). Aku akan menyegel kesaksianku ke dalam botol dan meletakkannya di tempat yang tersisa di perpustakaan—karena banyak bangunannya telah dihancurkan oleh kerumunan beberapa minggu yang lalu meskipun mereka tidak menemukan makanan atau bahan bakar. Jika suatu hari nanti, teman lamaku muncul dari tempat kudusnya dengan buku-buku untuk memulai peradaban baru, aku berharap catatanku dapat ditemukan: sebuah catatan singkat tentang akhir dunia.

 

DailyScienceFiction.com, 5 Agustus 2011

_

 

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Tidurnya di perpustakaan lorong menuju sumur belakang rumah.]

 


Cerpen ini dipungut dari DailyScienceFiction.com untuk disebar gratis dengan alihbahasa Indonesia kepada kaum pembaca blog kami. Tautan naskah asli bisa dibaca di sini.


 

Debu

 

“The March of Intellect” karya Robert Seymour; ilustrator grafis Inggris, pada 1828.

 

*)Karya Taufik NurhidayatManusia yang ada-ada saja(k).

Ibarat debu

Nasib kami disapu

dari pinggiran

bangunanmu

 

Bangunan yang tegang

menghadap angan

ketika listrik disajikan

dengan bumbu-bumbu

niat baik kesejahteraan

masyarakat Jawa

 

Ibarat debu

Nasib kami disapu

dari cerita

kejayaanmu

 

Kejayaan yang memaksa

hidungku sesak, paru-paruku rusak,

dan orang-orang kami

tiada melaut

menekuni limbahnya

 

Ibarat debu

Nasib kami bukan catatanmu

Bukan catatan keuntungan

karena kerugian musti disingkirkan

seperti kehendak kami

pada kampung kami

 

Ibarat debu

Orang-orangku

adalah sisa-sisa

di hadapan cerobong asap

Orang-orangku

adalah sisa-sisa

sebab desa tak laku

pada kota

 

Orang-orang kami

adalah sisa-sisa

tanpa pertemuan-pertemuan,

tanpa perjamuan-perjamuan

pada hotel, pada gedung

di mana nota, naskah pembangunan

menjadi absah

 

Menjadi kuasa

atas kehidupan kami,

atas lingkungan kami,

atas limbah-limbah

yang menunda

pencaharian nelayan

 

Kilang-kilang menjulang

terlalu lama

Kilang-kilang bersambar api

itu pertanda

ada upaya;

hidupmu diupayakan!

 

Malam merah pada langit kota

Hari berdebu pada jalanannya

itu pertanda

ada upaya;

hidupmu diupayakan!

 

Kilang-kilang, malam merah,

debu jalanan itu pertanda;

kita musti berupaya!

 

Dan ibaratnya debu

Nasib kami disapu

dari rumah-rumah ibadah

yang menengadah

menadah

suapan angkara

 

Juga ibaratnya debu

Nasib kami dibersihkan

dari naskah-naskah

tapi kami datang lagi

menempeli aksara-aksara

sebelum semua bermuara

menjadi angka

 

Debu adalah

keniscayaan dari upaya

Debu adalah kenyataan

aksara pembangunan

Tapi debu menamparmu,

menakutimu

menuju pekuburanmu

akan nasib baik nan bahagia

Debu menakutimu

akan rakyat yang durhaka

Menakutimu

akan kuasa yang kualat

Debu bisa satu

menggelombang

menyapu menyerbu

pada bangunan-bangunan

yang diam;

di baliknya menyimpan

nota-nota suguhan

angkara

 

Debu menerjang matamu

Mengajar pilu

Mewarna kusam

di suara-suara pemilu

 

Debu menyesaki

tenggorokanmu

Mencampuri suaramu

Mencampuri urusanmu;

hingga bertanya:

apa urusannya PLTU

pada bupatiku?!

 

Debu memaksamu

menatap

truk-truk kemas

yang liar menjalang

menerjang kebingungan

warga kota

pada apa yang diyakininya:

industri atau mati

 

Debu melihatkanmu

Segala urusanmu

disapu dari

deru roda-roda

jika kamu

tak mau lari dengannya

pada sirkuit

arena industri

 

Tapi debu sekali lagi

menamparmu,

menyesakimu,

mencampuri

pada urusanmu

untuk bertanya:

kenapa usai disapu

malah datang lagi?

 

Ya, debu-debu

Mereka bersamamu

Melekat pekat

pada dirimu,

pada pikirmu,

pada urusanmu

dan kita sering

beriring

layaknya debu

 

Kadang satu
Kadang menggelombang

Menyeruak

Menyambar

Berpencar pada

dinding-dinding tanya

Dilanda kebingungan

 

Debu itu gurumu

Teman ajarmu

Bagaimana dilindas

masih beringas

Bagaimana tak disangka

menohok mata

Ya, menohok mata;

tohoklah mata penguasa!

 

Dan akhirnya

memang debu

Nasib kami disapu

Kita disingkirkan

dari picingan kuasa

dan tidak lupa:

kami menohok mata!

 

 

Seberang Nusakambangan, 2 Sapar 1441

[Cerpen/Mark Twain] Republik Gondour yang Aneh

*)Karya Mark Twain. Tokoh sastra realis Amerika Serikat.

Setelah sedikit belajar berbahasa, saya menjadi sangat tertarik pada urusan rakyat dan sistem pemerintahan.

Saya mendapati sebuah negara yang awalnya mencoba mengadakan pemungutan suara secara jujur dan sederhana. Tapi, pemungutan suara pun disingkirkan karena hasilnya tidak memuaskan. Sepertinya mereka telah menyerahkan semua kekuasaan ke tangan orang-orang jahil, gemar tak membayar pajak, dan menjadi suatu keharusan bahwa jabatan pihak-pihak berwajib dipenuhi oleh orang-orang semacam itu.

Solusi pun dicari. Orang-orang percaya bahwa mereka telah menemukan solusinya; yaitu bukan dengan cara meniadakan pemungutan suara; melainkan memperluas cakupannya. Itu adalah ide yang aneh sekaligus cerdik.

Anda harus mengerti bahwa konstitusi memberi setiap orang pilihan. Oleh karenanya, pemungutan suara merupakan hak pribadi  dan tidak bisa ditiadakan. Tapi konstitusi tidak menyatakan bahwa orang-orang tertentu tidak mungkin diberi dua atau sepuluh suara!

Maka, pasal-pasal amandemen bisa dimasukkan secara diam-diam; seperti mengesahkan pasal tentang perluasan hak pilih dalam kasus-kasus tertentu yang akan ditentukan undang-undang. Menawarkan “pembatasan” hak pilih mungkin akan membuat masalah instan. Justru, tawaran untuk “memperluas” jangakauannya memiliki aspek yang menyenangkan.

Tentu saja, suratkabar mulai terasa mencurigakan; dan kemudian, berdatanganlah mereka! Entah bagaimana, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik; properti, figur, dan intelektualitas mampu sekaligus mengayunkan pengaruh politik. Uang, kebajikan, dan kecerdasan bisa sekaligus bersatu demi mengambil kepentingan vital dalam persoalan politik; kekuatan ini pun sekaligus  mengawali pra-seleksi dengan kekuatan yang kuat; sekaligus juga, orang-orang terbaik negara ini diajukan sebagai kandidat parlemen yang urusannya harus memperluas hak pilih. Dengan setengah bimbang, pers segera bergabung dengan gerakan kekuatan baru ini dan meninggalkan separuh sisa idealismenya untuk mencerca “penghancuran kebebasan” sebagai aspirasi masyarakat lapisan bawah; sebagai penguasaan komunitas sampai sekarang.

Kemenangan pun lengkap. Hukum baru dibingkai dan disahkan. Di bawahnya, setiap warga negara yang miskin atau bodoh hanya memiliki satu hak suara saat pemilihan umum berlaku. Akan tetapi, jika seseorang memiliki pendidikan sekolah umum yang baik dan tak punya uang, ia akan memiliki dua hak suara. Sementara jika ia berpendidikan sekolah menengah, maka akan memperoleh  empat suara. Jika ia memiliki properti seharga tiga ribu saco, ia bisa menggunakan satu suara lagi dan untuk setiap lima puluh ribu saco yang ditambahkan seseorang sebagai hartanya, ia berhak lagi untuk memilih.

Pendidikan universitas akan memberikan hak sembilan suara kepada seseorang meskipun ia tidak memiliki properti. Oleh karenanya, pendidikan menjadi lebih lazim dan gampang diperoleh dibandingkan kekayaan; sehingga orang-orang berpendidikan menjadi pengawas yang sehat bagi orang-orang kaya karena dapat mengunggulinya. Pendidikan biasanya berlaku berdasarkan kejujuran, pandangan yang luas, dan kemanusiaan. Maka, pemilih terpelajar—yang memiliki keseimbangan kekuatan—menjadi pelindung yang efisien dan berwaspada bagi masyarakat kelas bawah yang besar.

 

Dan sekarang, suatu hal aneh berkembang dengan sendirinya; yakni semacam persaingan yang bertujuan  pada kekuatan suara!

Jika sebelumnya, seseorang dihormati hanya berdasarkan jumlah uang yang dimilikinya. Sekarang, kemuliannya diukur dengan jumlah suara yang ia miliki. Seseorang dengan hanya satu suara jelas-jelas menghormati tetangganya yang memiliki tiga suara. Dan jika ia seorang luar biasa, ia akan sama energiknya untuk bertekad mendapatkan tiga suara bagi dirinya sendiri. Semangat persaingan ini menyerbu segala strata.

Suara berdasarkan modal kekayaan umumnya disebut “suara fana” karena bisa saja hilang. Sementara suara yang diperoleh berdasarkan tingkat pendidikan disebut “suara abadi” karena secara umum karakternya tahan lama dan secara alami lebih dihargai daripada pilihan lainnya. Saya mengatakan “secara umum” karena pilihan jenis ini tidak sepenuhnya abadi apabila ketidakwarasan menyingkirkannya.

Di bawah sistem ini, perjudian dan spekulasi hampir berhenti di republik. Seorang terhormat yang memiliki kekuatan suara besar tidak beresiko kehilangan suara pada kesempatan yang penuh keraguan.

Rencana perluasan pemungutan suara menghasilkan kebiasaan dan tata krama yang sangat menarik diamati. Suatu hari saat berjalan-jalan di jalanan bersama seorang teman, ia membungkuk kepada sembarang orang yang berlalu-lalang dan kemudian mengatakan bahwa orang yang ia temui hanya memiliki satu suara dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan yang lain. Ia lebih menghormati kenalan berikutnya yang ditemuinya dan mengatakan bahwa ia memberi penghormatan ini karena empat suara yang dimiliki orang itu.

Saya mencoba untuk mengira-ngira betapa pentingnya orang-orang yang ia temui setelahnya berdasarkan sifat penghormatan teman saya. Tetapi perkiraan saya hanya tepat sebagian karena penghormatan yang agak lebih besar diberikan kepada yang “abadi” daripada yang “fana”. Teman saya menjelaskan bahwa tiada hukum yang mengatur hal ini kecuali hal yang paling kuat dari segala hukum; yakni kebiasaan.

Kebiasaan telah menciptakan berbagai penghormatan ini hingga pada waktunya akan menjadi terasa mudah dan alami. Pada momen ini, teman saya membawa dirinya dalam penghormatan yang sangat dalam dan kemudian ia berkata, “Sekarang, ada seseorang yang memulai kehidupannya sebagai pekerja pembuat sepatu dan tanpa pendidikan akan mengarahkan 22 suara fana dan 2 suara abadi. Dia berharap agar lulus ujian SMA tahun ini dan suara abadinya naik beberapa lebih tinggi. Dialah warga negara yang sangat berharga.”

Dengan segera, teman saya bertemu seorang tokoh terhormat yang membuatnya membungkuk dengan cara paling rumit  hingga melepas topinya. Saya melepas topi juga berkat rasa kagum yang misterius. Saya rasa saya mulai terinfeksi hal ini.

“Bangsawan macam apa dia?,” tanya saya.

“Dialah ahli astronomi kita yang paling terkemuka. Dia tidak punya uang tapi dia seorang terpelajar yang disegani. Bobot politiknya adalah sembilan suara abadi! Dia akan mengarahkan 150 suara jika sistem kita sempurna,” jelas teman saya.

Bertanyalah saya kemudian, “Adakah penghormatan tinggi terhadap uang yang membuatmu melepaskan topi?”

“Tidak. Sembilan suara abadi adalah satu-satunya kekuatan yang kita temukan untuk itu dalam kehidupan sipil. Para pejabat yang sangat hebat menerima tanda penghormatan itu. Tentu saja,” jawabnya.

Adalah terbiasa mendengar orang-orang terkagum membicarakan beberapa orang lain yang memulai kehidupannya dari strata lebih rendah hingga saatnya memperoleh kekuatan hak pilih yang besar. Hal itu juga lumrah saat mendengar para pemuda merencanakan masa depan untuk memiliki begitu banyak hak suara bagi diri mereka sendiri. Saya mendengar kaum mama yang cerdik berbicara tentang para pemuda tertentu sebagai “incaran” bagus karena mereka memiliki sejumlah hak suara begini-begitu. Sepengetahuan saya, ada lebih dari satu kasus tentang seorang ahli waris perempuan yang menikah dengan seorang pemuda yang hanya memiliki satu hak suara. Pendapat yang ada menyatakan bahwa si pemuda dikaruniai bagian-bagian warisan bernilai tinggi sehingga pada saatnya nanti, ia akan memperoleh hak suara yang sangat baik dan dalam jangka panjang mungkin akan mengungguli derajat istrinya jika ia beruntung.

Ujian kompetitif adalah peraturan untuk menilai segala jabatan. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan ujian yang diajukan kepada para kandidat begitu ngawur, rumit, dan seringkali membutuhkan semacam pengetahuan yang tidak diperlukan untuk dinas yang mereka cari.

“Bisakah orang bodoh atau orang bebal menjawabnya?,” tanya orang yang sedang berbicara dengan saya .

“Tentu saja tak bisa.”

“Baiklah, tapi kamu tak akan menemukan orang bodoh dan bebal di antara pejabat kita.”

Saya merasa agak tersudut tapi beralih mengatakan, “Tapi pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan lebih banyak jawaban dibandingkan yang diperlukan.”

“Tak masalah. Jika kandidat dapat menjawabnya, itu bukti yang lumayan adil bahwa mereka dapat menjawab hampir semua pertanyaan lain yang akan Anda ajukan kepada mereka.”

Ada beberapa hal di Gondour yang tak bisa ditutup-tutupi. Salah satunya, kebodohan dan ketidakbecusan tak ada tempatnya di pemerintahan. Otak dan properti dipakai untuk mengelola negara. Seorang kandidat pejabat harus memiliki kemampuan, pendidikan, dan karakter mulia; atau jika tidak, ia tak memiliki peluang untuk dipilih. Jika kuli bangunan memiliki potensi ini, ia bisa menjadi orang sukses. Tapi faktanya, para kuli bangunan tidak berkesempatan memilikinya seperti waktu sebelumnya.

Sekarang, menjadi kehormatan besar apabila berada di parlemen atau bekerja di kantor. Di bawah sistem yang lama, kebanggan seperti ini hanya akan menimbulkan kecurigaan pada seseorang; yang menjadikannya sebagai bahan lelucon dan olok-olokan pada suratkabar.

Hari ini, pejabat tak perlu lagi mencuri. Gaji mereka sangat besar dibandingkan upah pas-pasan yang dibayarkan saat parlemen diciptakan oleh para kuli bangunan—yang memandang gaji resmi dari sudut pandangnya sendiri hingga memaksa pandangan itu untuk dihormati oleh para pelayan mereka yang patuh. Keadilan telah dikelola dengan bijak dan ketat. Bagi seorang hakim, setelah sekali mencapai posisinya melalui jalur promosi yang ditentukan, posisinya akan menjadi permanen selama ia beperilaku baik. Ia tidak dipaksa untuk memodifikasi penilaiannya menurut pengaruh yang mungkin mereka punya terhadap emosi partai politik yang berkuasa.

Keutamaan negara ini adalah diperintah oleh suatu kementerian yang diresmikan berdasarkan administrasi yang menciptakannya. Ini dialami oleh para kepala departemen besar. Pejabat kecil naik ke beberapa posisi mereka melalui promosi yang diupayakan secara baik; bukan berdasarkan upaya dari kedai arak, keluarga miskin, atau teman-temannya anggota parlemen. Perilaku yang baik menjadi ukuran masa jabatan mereka.

Kepala pemerintahan Grand Caliph dipilih untuk masa jabatan selama dua puluh tahun. Saya mempertanyakan kebijaksanaan ini. Saya mendapat jawaban bahwa ia tidak dapat berbuat zalim karena kementerian dan parlemen mengatur negeri itu dan ia bisa dikenakan hukuman jika melakukan pelanggaran. Jabatan besar seperti ini telah dua kali diisi oleh perempuan yang cakap. Para perempuan memang sangat cocok untuk jabatan itu seperti beberapa ratu bersejarah yang menguasai kerajaan. Sementara di bawah banyak administrasi, perempuan menjadi anggota kabinet.

Saya mengetahui bahwa kuasa mengampuni bisa diajukan di pengadilan pengampunan yang terdiri dari beberapa hakim besar. Di bawah rezim lama, kekuatan penting ini diberikan kepada seorang pejabat tunggal dan ia selalu waswas apabila dikirim ke penjara umum saat waktu pemilihan berikutnya.

Saya menyelidiki sekolah umum. Jumlahnya ada banyak dan ada juga perguruan tinggi gratis. Dan saya bertanya tentang pendidikan wajib. Pertanyaan ini diterima dengan senyuman dan komentar:

“Ketika seorang anak lelaki mampu menjadikan dirinya kuat dan dihormati berdasarkan jumlah pendidikan yang diperolehnya, bukankah kamu mengira bahwa orangtuanya  akan menerapkan paksaan itu sendiri? Kita tidak memerlukan undang-undang untuk memenuhi sekolah gratis dan perguruan tinggi gratis.”

Ada kebanggaan penuh kasih dari negara tentang cara berbicara orang seperti ini yang membuat saya terganggu. Saya sudah lama tidak berbicara dengan gaya seperti itu. Suara-suara warga negara Gondour memekakkan telinga saya selamanya.  Sehingga, saya senang meninggalkan negara itu dan kembali ke tanah kelahiran saya yang tersayang—tempatnya orang-orang tidak pernah mendengar “musik” semacam itu.

[Diterjemahkan oleh Taufik Nurhidayat. Bukan sastrawan dan berlaku menjengkelkan.]

 

Aku si Bocah Candu

Gambar dari Google dengan sedikit repro.

 

Akulah sejenis candu.

Aku takkan meminta maaf

dengan ini semua.

Membuangku

adalah kesengsaraan.

Membunuhku

hanyalah ketidakmungkinan.

Menyerupaiku

adalah kepalsuan

yang dipertontonkan

pada keramaian.

Melukaiku adalah

pembunuhan

atas dirimu sendiri.

Dan segala angin

yang menghamburkan benih-benihku

ke segala arah;

merekalah mantra ciptaanku sendiri.

Egoku memang begini.

Sejak dulu

memang begini.

Maka

memaksaku

adalah perpecahan.

Kepingan-kepingan mantraku

kian memusingkanmu;

membawamu

pada kejemuan

yang terus-menerus

berlari.

Jika kamu

tahu jalan

menuju ladangku,

pulanglah.

Ketok pintuku lagi

tak apa.

Sebelum rumah aku pindah:

menemui bunga liar

—yang membangunkanku taman.

Seberang Nusakambangan, November 2018

 

[Taufik Nurhidayat. Kucingserigala yang tak suka pajak tapi suka sajak.]

 

Tukang Potong Rambut

Lukisan bertajuk “In the Barber Shop” karya Ilya Bolotowsky; pelukis Rusia-Amerika, pada 1934.

 

Sendiri dalam ruangan

Masih di bangku yang sama,

pantat ini berpijak

 

Lampu dan kipas angin mulai dinyalakan

Secangkir kopi hitam dan asap penyemangat

tergeletak di atas meja

 

Kursi-kursi yang dihadapkan

cermin masih rapi

Tak ada rambut yang berjatuhan

di atas lantai

 

Puluhan lembar buku

telah habis aku makan

Tapi masih tetap sama;

ruangan masih saja rapi,

belum berantakan

 

Kerapkali

orang berlalulalang

hanya lewat

di hadapan mata

 

Satupun enggan mampir

untuk memangkas rambut

Hingga satu persatu

kretek mulai habis

 

Dan kopi dalam cangkir

:hanya tersisa ampas

 

[Nevin Hanjuna. Seniman apa saja. Suka merawat kesehatan alam.]