[ZINE] Silence Of Land #1

~Link Download Zine~

 

Silence Of Land edisi pertama ditulis langsung oleh seorang pelaku seni musik di Cilacap yang mempersoalkan kemerosotan aktivitas permusikan paska 2017 ke sini dalam hal unjuk gigi di publik. Pelaku menceritakan bahwa kurang tampilnya skena musik Cilacap disebabkan faktor-faktor sistem pendukung yang tidak berjalan optimal; secara internal, adanya konflik horisontal di antara seniman musik, dan secara eksternal, perolehan izin pentas dari otoritas berwenang teramat sulit.

Dari zine ini, pelaku berusaha memantik argumen atau bahkan aksi panggung lebih lanjut dari para penikmat seni (khususnya musik) di Cilacap. Mungkin, kalian bisa membacanya untuk membantah atau memperjelas lagi argumen yang diutarakan pelaku dalam zine bersisi 4 halaman ini. Silahkan ambil sari-sarinya via link download yang tersedia.

Andai Aku Bisa Berbicara

Ilustrasi karya Ryan Peltier (newyorker.com).

 

*Cerpen oleh: Nevvin Hanjuna. Pelaku seni sehari-hari.

Sekolah adalah mimpi dari setiap manusia untuk mendapatkan ilmu melalui pendidikan untuk masa depan yang lebih baik. Aku pun terkadang menjadi impian untuk dikenakan bagi setiap manusia, mulai dari pelosok desa hingga kota.

Sejak kecilnya Darsan, ibu selalu sibuk saban malam merangkai beberapa lembar kain menjadi sebuah seragam supaya bisa Darsan kenakan dengan layak. Putih dan merah adalah seragam pertama yang Darsan kenakan ketika sekolah dasar. Malam itu, ibu menyibukkan dirinya bersama mesin jahit yang usianya tidak muda lagi; merangkai beberapa logo, sleting, saku di antara baju dan celana.

Terkadang, ibu merasa malu ketika aku kisut saat dipakai Darsan bersekolah. Setiap Senin, ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan tak pernah lupa menyemprotkan wewangian padaku. Aku selalu terlihat rapi ketika dipakai Darsan bersekolah. Begitu harumnya aku, sampai setiap orang sangat betah ketika berada di sampingku.

Aku selalu menemani Darsan saat bersekolah. Ketika upacara pun, aku sangat bangga terlihat rapi dan wangi di antara seragam murid-murid yang lain. Aku telah menjadi bagian dari jasa setiap manusia yang kini menjadi orang-orang hebat di negeri ini. Saat lagu wajib nasional dinyanyikan, aku tak bisa hanya diam menyaksikan Darsan bernyanyi. Terpa angin pagi mengelus tubuhku, mengajakku bernyanyi dan memaknai warna tubuhku. Aku telah menyaksikan perjuangan setiap manusia di atas bangku sekolah, hingga kini mereka terlahir menjadi sosok manusia yang sangat tinggi. Mulai dari pejabat, presiden, menteri, dan petinggi yang lain.

Aku tak pernah menyesal ada sebagai seragam, namun terkadang aku merasa sedih ketika semua melupakanku. Kini, aku telah jauh dari mereka yang pernah mengenakanku. Terkadang pula, usiaku tak terlalu panjang; mereka memilih menghanguskanku daripada memberikanku kepada orang lain atau mengabadikanku.

Darsan, kini, telah tumbuh besar; kini, dia disibukkan mencari sekolah menengah pertama yang berkualitas. Aku masih digunakan Darsan untuk mendaftar ke setiap sekolah menengah pertama. Kini, Darsan telah mendapatkan mimpinya; bersekolah di sekolah yang dia inginkan. Aku pun digantikan oleh Darsan menjadi putih-biru. Aku merasa bangga bisa mengantarkan Darsan hingga sekolah menengah pertama yang telah lama ia impikan. Putih-merahku yang terpampang logo tutwuri handayani kini pun tersimpan di dalam lemari.

 

Kini, Darsan telah tumbuh besar, menjadi siswa yang pandai di kelasnya, hingga ia menjadi seorang pemimpin dalam kelasnya. Kulitku pun berubah menjadi putih dan biru tua. Aku selalu menemaninya ketika ia mengayuh sepeda yang ayah berikan. Tetes keringat Darsan membasahi tubuhku. Harum tubuhku berubah menjadi bau keringat yang tak sedap untuk dicium.

Terkadang pula, aku menjadi tempat curahan para siswa yang menuliskan dan menggambarkan berbagai macam dengan tinta bolpoin di atas tubuhku. Aku merasa sangat ternodai, apalagi ketika sakuku diisi berbagai macam benda yang menodai tubuhku. Namun, ibu selalu merawatku dengan ketulusannya; mencuci tubuhku hingga bersih dan menyemprotkan kembali wewangian di atas tubuhku yang mulai pudar.

Darsan, kini, menjadi pribadinya sendiri. Ia sudah tak pernah lagi diantarkan ibunya menuju sekolah. Ia menggunakan sepeda kesayangannya untuk bersekolah. Namun kini, Darsan jarang mematuhi perintah ibu. Kadangkala, Darsan tak pernah jujur dan seringkali berbohong, setelah ia mendapatkan teman-teman yang beragam sudut pandang pola berpikir.

Aku merasa malu ketika Darsan sering membolos sekolah. Belum lagi, ketika aku diletakkan di tempat yang tidak semestinya. Aku selalu mendapat perhatian setiap orang yang melihatku di jalanan.

Darsan, kini, menduduki bangku kelas 3 SMP. Dua tahun sudah, Darsan mengemban tanggungjawab sebagai seorang pemimpin dalam kelasnya. Namun kini, Darsan sudah tidak dipercaya lagi oleh kawan-kawan sekelasnya dan wali kelasnya. Reputasinya sebagai pemimpin dan anak yang pandai dalam kelasnya kini sudah tiada.

Kini, ia dikenal sebagai murid yang kurang sopan dan kerapkali membolos jam pelajaran sekolah. Ibu pun harus berulangkali menghabiskan waktunya untuk menemui guru Darsan, karena tindakan dan perilaku Darsan yang sudah di luar batas wajar aturan sekolah. Tanpa jemu, ibu selalu menasehati darsan untuk mengubah perilakunya. Tapi, Darsan tetap saja bersikukuh dan mengeyel.

Kini, Darsan akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Seringkali, ia mendapat ancaman akan dikeluarkan dari sekolah, apabila selalu melanggar peraturan sekolah. Darsan pun tak mau jika ia dikeluarkan dari sekolahnya. Dalam kesendirian dan kesunyian, aku sebagai seragam yang telah menyaksikan perjuangan manusia dalam menimba ilmu, merasa sedih, jika aku tidak bisa dijaga oleh Darsan.

Kini, Darsan sanggup menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Aku masih digunakan Darsan untuk mencari dan mendaftar sekolah menengah atas. Darsan sudah menemukan sekolah yang ia inginkan. Di sanalah, Darsan meneruskan sekolah menengah atasnya.

Kini, sepeda yang seringkali Darsan gunakan di bangku sekolah menengah pertama, sudah berubah menjadi sepeda motor yang sangat bagus. Di tahun ajaran pertama sekolah menengah atas, aku jarang merasakan bangku kelas yang nampak rapi dan buku-buku pelajaran yang disodorkan para guru.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang sangat memalukanku. Bau asap rokok kerapkali membuatku risih, belum lagi tubuhku yang semakin kisut ketika aku diletakkan dalam tas tanpa dilempit.

Aku sudah tak tahan lagi dengan perilaku Darsan melakukanku dengan caranya sendiri. Sakuku kini bukan lagi ternodai oleh tinta bolpoin yang meluap. Sakuku seringkali diisi oleh beberapa batang rokok dan barang-barang tak pantas lainnya. Aku hampir mati tanpa daya; hakekatku menjadi seragam sekolah tak berguna lagi.

Tahun ini, Darsan mengakhiri pendidikannya selama 12 tahun. Desing suara knalpot motor membuatku bising, belum lagi, noda warna pilok yang membuatku tanpa ada martabatnya menjadi seragam.

Kini, Darsan sudah mengenal apa itu wanita, cinta, dan pergaulan yang semakin bebas. Aku seringkali dibawanya bersama wanita yang tak kukenal. Aku merasa sendiri berada di dalam kos, walau ada Darsan bersama wanita yang ia cintai. Aroma alkohol menempel di atas tubuhku. Aku diletakkan di atas lantai yang kotor, aku melihat Darsan bersama wanita yang ia bawa tanpa mengenakanku. Mereka sudah tak membutuhkanku; telanjang di hadapan mataku, melakukan hubungan yang belum pantas untuk Darsan lakukan. Aku seperti telah mati, tak berguna.

Dalam kesendirian waktu, aku teringat perjuangan ibu melawan malam, menahan kantuk hanya untuk melahirkanku sebagai pakaian generasi bangsa; agar menjadi manusia berguna dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam semesta.

Kini, pupus sudah mimpi ibu; mengharapkanku sebagai pengantar Darsan menjadi siswa yang berbudi. Apalah daya jika aku ada hanya sebagai seragam. Aku tak bisa berbicara melawan apa saja yang menodaiku.

Aku terlalu lemah menjadi seragam; menjadi hina dan ternodai. Andaikan saja waktu mengizinkanku berbicara di antara lemahnya tubuhku yang dihinakan, tak ingin aku terlahir sebagai pengantar generasi yang hidup tanpa moral, budi, dan nurani.

Hakekatku hanyalah sebagai seragam yang mati tanpa suara. Segala daya upaya sudah kulakukan dalam perjalanan setiap manusia untuk mengantarkannya menjadi manusia berbudi luhur. Kehidupan hanyalah kehidupan; yang tak mungkin dapat mengubahku menjadi hidup selayaknya manusia. Jasaku telah digunakan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia untuk mengantarkan mereka menuju pintu gerbang pembebasan kebodohan.

Kini, aku sudah dilupakan zaman dan waktu. Mereka sudah menjadi manusia hebat bagi diri mereka sendiri, sedangkan aku masih saja tetap menjadi seragam, dimana hakekatku memanglah sebuah seragam yang dilupakan tanpa daya upaya. Kini, aku sendiri di dalam lemari, bahkan terkadang, aku sudah dibinasakan dalam peradaban manusia.

Bukan Hanya Klenik dan Estetik, Rasukilah Ebeg dengan Beragam Taktik

 

 

Agustus 2020, kami tengah nongkrong di beranda rumah hingga larut pada suatu malam. Pembicaraan berputar pada apa saja; terutama hal-hal seputar budaya pop macam musik-musik yang kami suka, serta tak luput ngomongin urusan politik lokal. Tentunya, kegagapan dan kelatahan orang-orang sekitar kami menghadapi Covid-19 pun tak luput dari bahasan.

Sebagai orang-orang berumur kepala dua yang menghabiskan masa anak-anak hingga remaja di Cilacap, tuturan kami tak lepas dari memori masa lalu di kota pesisir selatan Jawa ini. Apa yang kami tonton, sukai, dan kagumi akan mengalir begitu saja pada teras pembicaraan. Salah satunya adalah topik mengenai ebeg; atau pertunjukan seni tari tradisional tatar Banyumasan yang acap dikenal sebagai kuda lumping.

Malam itu, awal mulanya, seorang teman menyebut nama seorang tokoh ebeg yang kami tahu. Tokoh itu sangat populer pada memori masa anak-anak kami karena ia gemar memainkan tarian atraktif saat pentas digelar.

Kami yang berbeda asal tempat tinggal dan sekolah ini ternyata sama-sama mengenali tokoh tersebut. Artinya, pada masa lalu, ebeg memang terbilang masif merasuki alam penghiburan orang-orang Cilacap. Buktinya, anak-anak kecil di masa lalu macam kami ini pernah mengagumi dan mengingatnya hingga kini. Bekas yang masih menapak di kenangan tentunya bukan kebohongan bahwa seni tradisi macam ebeg adalah pemikat yang strategis—bisa diterka dari perpaduan stigma mistik dan kecanggihan berestetika massalnya.

Gagasan pun mencuat; mengapa kami tidak menarasikan ebeg dalam bentuk zine? Setidaknya, jika suatu zine ini bisa terbit, ada artefak rekam memori yang bisa dipelajari atau dijadikan penyelia kearifan di masing-masing benak pergaulan orang-orang lokal. Tak muluk-muluk memang, karena kami bukan kumpulan sosiolog, antropolog, peneliti sosio-humaniora, atau budayawan yang tengah melangit-langitkan laku masyarakat yang seringkali amat sederhana. Dengan begitu, kami pun sepakat.

 

***

 

Sepekan kemudian, dua dari kami berangkat. Bukan untuk menemui satu sosok tokoh yang kami kenal atraktif sejak kecil pada skena ebeg Cilacap—yang kami bicarakan sebelumnya. Keputusan kami mengarah pada Poni Haryono untuk kami hampiri.

Ia juga sosok yang kami kenal via tontonan ebeg pada masa kecil. Kami mengenalnya sebagai pembawa kelucuan di lapangan. Kini, ia dianggap “mapan” secara berkesenian oleh banyak penggemar ebeg kawasan Cilacap. Bersama Turangga Edan, kelompok seni ebeg yang dirawatnya, ia malang-melintang melintasi jagat pementasan. Kelompoknya pun dikenal sebagai kubu mahir pembawa banyolan di tengah-tengah riuh serta ketegangan mistik ala ebeg.

Satu hal yang tak kami bayangkan kala duduk bersama di beranda rumah sekaligus markas sanggar ebegnya; bahwa hal-hal seputar mistik tak harus terasa pekat saat membicarakan ebeg. Stigma yang selama ini melekat pada ebeg mengenai penggunaan roh untuk prosesi menari cenderung ditepis oleh Poni dengan lagi-lagi membawa prinsip estetika—sebagai alasan kenapa orang-orang pandai menari dan penontonnya tetap memiliki tresna pada pagelaran ebeg.

Bagi Poni, ebeg tak bisa lepas dari klenik, namun ada banyak hal penting lainnya yang selama ini membersamai ebeg agar tetap hidup di pusaran kesenian dan hiburan masyarakat. Tentunya, ia menawarkan beragam taktik untuk menghidupi “roh” itu. Nah, itulah yang perlu diketahui.

Dengan maksud mengurai kekonyolan stigma sekaligus merekam memori seni, simak saja aliran tutur kami bersama Poni pada memo-memo di bawah ini.

 

Gimana awalnya suka ngebeg?

Awal mulanya, saya memang senang seni tari. Kelihatannya tari-tari Jawa itu unik. Kenapa? Karena bisa dipadukan dengan suara gendang; karena setiap gendang dipukul menghasilkan bunyi yang berbeda–beda. Nah, di situlah kenapa saya tertarik seni tari. Juga, karena melihat teman-teman yang sudah dulu terjun di seni tari.

Aku mikir “yang lain bisa, kenapa aku nggak”. Akhirnya saya ikut rombongan 5-6 orang sampai saya berhasil. Tidak berhenti di situ, saya pun belajar ke pendahulu-pendahulu saya (sowan); supaya saya memiliki keberanian memiliki rombongan sendiri. Intinya, saya hanya saling percaya satu sama lainnya. Semisal, kamu percaya sama saya, dan sebaliknya, saya percaya dengan saya; hanya modal nekat sampai memberanikan diri untuk membuka sanggar tari sendiri.

Modal awalnya, saya hutang, nanti mengembalikannya setelah dapat tanggapan (order pertunjukan) ebeg. Allhamdullilah, sampai bisa membuat barongan sendiri ada 13 biji, punya banyak murid mudah diatur, sedikit-sedikit mulai banyak tanggapan—dari situ mulai bisa membuat alat sendiri. Semua itu karena saya belajar dari sistem nitor (tutur-tinular) yang saya dapat dari pendahulu saya.

Cara tutur-tinular adalah cara mengambil ilmu yang baik-baik dari pendahulu saya, dan saya sebarkan pula ilmu yang baik-baik kepada orang lain. Saya pernah dicela, dikatai,  dan menerima umpatan kotor; tapi bukan itu yang saya bagikan kepada murid-murid saya, tapi hal-hal baik yang saya sebarkan. Contohnya, kalau pendahulu saya mengasihkan sesuatu yang menurut ia baik, saya ambil—namanya juga nitor. Beda sama orang yang sekolah di seni; pasti sekolahnya mengeluarkan banyak duit; jadi seninya itu hanya sebatas mencari uang—beda dengan saya yang sistemnya nitor dari pendahulu saya. Tapi dari situ menjadi motivasi untuk bagaimana kesenian ebeg di Cilacap semakin banyak.

Saya juga mikir bagaimana caranya nguri-uri (menghidupi) rombongan sendiri. Setelah dirasa mampu menghidupi rombongan, syukur-syukur dapat menghidupi saya dan keluarga saya. Itulah keinginan saya dari kesenian ebeg.

 

Awalnya ngebeg secara swadaya atau ikut rombongan?

Waktu masih swadaya, saya ikut ngalor-ngidul (sana-sini)—dalam arti, masih ikut rombongan si A  dan si B; karena saya masih ingin nitor ilmu. Dari situ jadi tahu, ternyata tariannya si A seperti ini, tarian si B seperti itu; ternyata setiap rombongan karyanya beda-beda.

 

Kesenian ebeg dekat dengan lagu “Eling-Eling”. Sebenarnya itu lagu khas Cilacap atau kebudayaan Jawa?

Dari kebudayan Jawa, tapi entah dari mana datangnya, kita belum tahu kebenarannya. Ada versi lain menyebutkan bahwa ebeg datangnya dari keraton karena diciptakannya tari ebeg itu awalnya dari tarian keprajuritan.

Zaman dulu, menari masih menggunakan kuda. Sampai ketika menari dengan kuda terasa menyulitkan, akhirnya dibuatlah kuda kepang supaya orang-orang lebih mudah menggunakannya saat menari. Dengan adanya tarian keprajuritan tadi, orang-orang menjadi simpatik.  Respon baik itu yang nantinya membuat ebeg meluas sampai daerah Banyumasan.

Dari keraton di daerah wetan (timur) akhirnya menyebar hingga ke kulon (barat), seperti Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, Kebumen—dan sebutannya pun sudah menjadi berbeda-beda. Cilacap menyebutnya ebeg, Purbalingga menyebutnya ebleg, Wetan (Jawa bagian timur) menyebutnya jathilan. Semua sebenarnya hanya satu nama, yaitu kuda lumping—hanya penyebutan di setiap daerahnya beda-beda. Jadi awal mulanya ebeg dari mana, tak  ada yang bisa membuktikan. Semuanya bilang dari keraton, hanya siapa yang menciptakan dulunya, belum ada yang bisa menemukan.

Lagu “Eling-Eling” mengingatkan supaya kita mengingat kematian tetapi disimbolkan oleh tarian. Maka dari itu, tarian “Eling-Eling” adalah tarian sakral. Ketika tarian mulai, pasti ada lelembut (semacam roh atau jin) itu jelas.

 

Konon katanya, sinkretisme awalnya diajarkan Sunan Kalijaga. Apakah itu yang menjadi tujuan ebeg sekarang?

Nah, Sunan Kalijaga sebenarnya menyebarkan agama Islam di Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa supaya mudah dimengerti. Saat Sunan Kalijaga bertanya “Apa yang kamu sukai?”, ternyata jawabannya adalah tabuhan (musik). Dari tabuhan itu, dikembangkanlah wayang sehingga tercipta beberapa tembang—seperti eling-eling, macapat, padhangwulan, dan semisalnya.  Ketika terdapat tembang-tembang saja dirasa kurang bagus, akhirnya muncullah wayang.

Di samping itu, gamelan sudah ditemukan. Akhirnya orang-orang berpikiran untuk membuat tari keprajuritan, tapi yang jangan jauh-jauh dari tembang “Eling-Eling”. Sampai sekarang, siapa yang menciptakan “Eling-Eling” belum diketahui. Itu adalah bawaan dari orang-orang sebelumnya. Dan, “Eling-Eling” ala Wetan dan Banyumasan berbeda, tapi tujuannya sama; yaitu untuk mengingatkan kematian. Yang jelas, ada kaitannya dengan Sunan Kalijaga karena ia yang menciptakan gamelan.

Untuk masalah kuda lumpingya, ada beberapa versi. Ada yang menyatakan dari Sunan Kalijaga, adapula versi yang menyatakan tidak berkaitan dengan Sunan Kalijaga. Tetapi, Sunan Kalijaga adalah pencetus gamelan. Sedangkan, ebeg hanyalah sebuah tari keprajuritan untuk disajikan kepada tamu keraton.

 

Adegan banyolan/humor yang menyempil di sela-sela pagelaran ebeg. | Sumber: channel Ebeg Kuda Kepang (YouTube).

 

Mas Poni tertarik tari Jawa dan mempelajarinya kira-kira sejak kapan, Mas?

Saat SD, saya sudah diajak oleh bapak saya, karena bapak dulunya penari ebeg juga. Di Cilacap (kota), dulu hanya ada 5 komunitas ebeg; ada di Jalan Ciberem, Jalan Anggrek, Jalan Kendeng, Jalan Bakung, dan Jalan Bandengan. Dulu ebeg masih sedikit, kualitasnya selalu bagus.

Karena sering diajak oleh bapak, ibu saya tidak suka; saya dimarahi. Kata ibu saya: kamu fokus sekolah saja. Masuk kelas 3 SMP, saya mulai suka, saya mulai ikut rombongan bersama Ucok (artis ebeg Cilacap) untuk pertama kali. Nah, di situ, saya bertahan 2 tahun. Saya selalu bertahan 2 tahun sambil pindah-pindah rombongan. Sampai pada waktunya, saya sempat ikut 7 rombongan. Saya mulai main sendiri (tanpa rombongan) di umur kurang-lebih saya menginjak bangku STM.

 

Lalu, kapan berani mendirikan rombongan sendiri?

Saya diingatkan oleh orang tua yang dulu saya ikuti. “Jadi, kamu boleh mendirikan ebeg sendiri tetapi ada waktunya setelah umur 30 tahun,” katanya. Kenapa? Dia bilang, “Ketika kamu menjadi ketua di umur masih bocah, nanti kamu hanya dimarahi saja. Tapi jika kamu umurnya lebih dari bocah, semisal kamu umur 30 tahun, sedangkan muridmu umur 18 tahun, jika kamu memarahi bocah pun masih pantas.”

Jadi, awal saya mendirikannya sekitar umur 30 tahunan. Saya sudah mulai berani mentas (mandiri). Sekarang, rombongan saya sudah berumur sekitar 10 tahunan. Ada versi lain juga yang menyatakan boleh jadi ketua asal bisa tanggungjawab, tapi saya sendiri masih mengikuti pakem orang-orang tua yang pernah mengingatkan saya.

 

Ada yang beda, tidak, antara pakem ebeg Turangga Edan dengan lainnya?

Jelas sama. Kenapa saya namai “Turangga Edan”? Awal mulanya, bernama Tri Jati Turangga Edan. “Tri Jati” adalah konsep kekuatan; dari kekuatan-kekuatan ebeg yang paling bagus di Cilacap, saya jadikan satu; seperti dari kelompok Jati Kusuma, kelompok ebegnya Pak Tumin, lalu saya jadikan satu. Tetapi yang membuat beda dari ebeg lainnya adalah karena punya saya pemain-pemainnya edan. Jogetnya saja konyol/lucu atau tidak pernah serius. Maka saya ganti namanya jadi Turangga Edan. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat; lain daripada yang lain. Yang lain apanya? Edannya.

“Edan” di sini, adalah edan ke pada ebeg; edan melalui lawakannya. Kami harus beda dari yang lain karena setiap rombongan harus punya ciri khas/karakter sendiri-sendiri. Punya saya ebeg paling gila karena yang lainnya pasti ebeg bisu-bisuan. Pemecah rekor pertama kali ebeg dengan lawakan/guyonan adalah punya saya.

Kenapa harus lawakan? Masyarakat pasti akan fokus tertuju kepada lawakan. Tapi ketika sedang ada lawakan, sementara di sisi lainnya ada yang kesurupan, konsentrasi akan terpecah-belah. Makanya ketika ada lawakan, yang mau mendem (kerasukan) nanti dulu. Biasanya, ada durasi 1 jam hanya untuk lawakan supaya masyarakat fokus kepada lawakan itu, dan mereka dapat memilih segmen/babak.  Jadi komplet; ada lenggeran, ada barongan, juga ada lawakan. Kalau ebeg zaman dulu cuma ada tarian mendeman dan penutupnya bisuan. Makanya, saya buat beda.

Sebenarnya, bisu-bisuan juga lawakan. Tapi itu kurang bisa berkomunikasi karena hanya lawakan lewat gerak badan. Beda dengan milik saya yang lawakannya lawak asal nyangkem (asal ngomong).

 

Adakah yang meniru lawakan Turangga Edan?

Alhamdulillah, banyak. Banyak orang meniru itu wajar. Dulu, saya menari juga meniru, kenapa saya ditiru tidak boleh? Bagi saya, tidak apa-apa sama. Hanya, apakah mereka bisa sama konyolnya seperti kami? Pasti tetap berbeda.

Orang nitor atau ngambil/meniru itu wajar. Ebeg tidak mungkin langsung berdiri, pasti meniru dulu. Cuma, tinggal mengubah karakternya sendiri-sendiri.

 

Sempat diprotes ebeg-ebeg pendahulu? Kok itu ebeg malah lawakan?

Sempat, sempat diprotes; ebeg kok lawakan, kan harusnya bisu-bisuan? Silahkan berkomentar seperti itu. Saya lawakan karena ingin mempunyai karakter sendiri. Apakah ada larangan? Apakah ada keterangan tertulis harus memakai bisu-bisuan? Tidak mungkin.

Saya berani mengubah pakem, bukan berati saya mengubah pakem dasar ebeg itu sendiri, tapi saya menciptakan pakem baru. Sampai sekarang, pakem saya bisa ditiru oleh rombongan-rombongan lain.

Contohnya, perkembangan seni musik tidak mungkin menggunakan tabuhan seperti itu saja; semisal zaman dulu menggunakan corong, sekarang pakai sound system. Dulu hanya menggunakan toa, sekarang bisa berubah. Makanya, saya mengikuti zaman supaya dilihat masyarakat jauh lebih bagus. Bahkan, saya sendiri sekarang menggunakan organ. Itulah yang namanya seni. Seni itu tidak ada habisnya; tergantung bagaimana caranya kita berkembang.

Orang-orang tua yang memarahi saya, ya, banyak sekali. Ebeg saya tidak menggunakan pakem ebeg pendahulunya. Ebeg saya menggunakan tudung (caping/topi kerja petani), sementara ebeg dulu menggunakan iket (sejenis bandana/kain kepala), ya, tidak apa-apa. Saya hanya ingin menciptakan pakem baru.

Kenapa pakai tudung? Pertama, supaya yang menari tidak kepanasan. Tudungnya juga tidak sembarangan. Tudungya saya cat dengan menggunakan warna yang seragam supaya saat dilihat bagus. Tidak ada larangannya kita memiliki kreasi sendiri.

Kalau sekarang ada yang ingin menciptakan ebeg klasik, ya, tidak apa-apa. Tak apa-apa kalau mereka menyukai yang klasik. Cuma, ebeg klasik kebanyakan di-tanggap orang-orang (pecinta ebeg) zaman dahulu. Tapi jika orang zaman dulu ingin melihat seni pertunjukan yang bagus; karena berpikiran kalau ebeg klasik pernah ia tonton dan ingin melihat suasana baru, ya, itu bisa dengan melihat “ebeg kreasi” (genre pembaruan ebeg klasik). Nyatanya, anak muda zaman sekarang lebih menyukai ebeg kreasi yang dari segi musiknya rapih, padat, dan jika didengarkan terasa enak. Namun, klasik juga enak. Yang terpenting, tidak saling mematikan satu sama lainnya, karena rezeki sudah ada yang ngatur.

 

Poni menunjukkan properti hasil kreasi Turangga Edan. | Dokumentasi zine Semilir.

 

Pernah dianggap sebelah mata masyarakat bahwa ebeg itu musyrik, kuno, atau tidak modern?

Terutama dari kalangan beragama. Orang yang ikut ebeg itu rata-rata beragama Islam, tapi mereka kerap kena caci-maki. Memang kenapa, sih, kalau ikut ebeg dicap musyrik? Orang berbicara seperti itu (mengatakan musyrik) tidak apa-apa; karena mereka juga punya mulut.

Hanya saja, saya tidak pernah mengganggu mereka, kenapa mereka mengganggu saya? Ebeg sendiri jika terdengar suaran adzan saja, seketika itu langsung berhenti. Artinya kami menghormati. Kenapa mereka yang merasa beragama tidak menghormati adanya ebeg? Dibilang musyrik, ya, wajar. Tapi dasarnya apa?  Membakar kemenyan?

Wajar saja jika ebeg membakar menyan. Kalau bakar tangki Pertamina, nanti malah kena kasus. Katanya ebeg memanggil setan; setan itu wujudnya seperti apa? Kenapa bisa dibilang memanggil? Saya sendiri sebagai penimbul (pawang ebeg)-nya saja, tidak tahu wujudnya setan seperti apa.

Menyan itu bertujuan untuk mengkhusyukkan kita pada waktu berdoa. Zama Sunan Kalijaga hidup, menyan dibakar karena belum terdapat minyak wangi. Adanya, ya, cuma batu menyan yang dibakar; baunya wangi sehingga khusyuk saat berdoa. Sama saja, penimbul juga berdoa kepada Gusti Allah; meminta agar murid-muridnya yang sedang menari tidak ada gangguan; tidak ada yang nginjak beling (serpihan kaca).

Bakar menyan itu tujuannya buat konsentrasi. Tapi, ada versi lain yang mengatakan tukang ebeg membakar menyan untuk memanggil setan. Saya heran, apa benar, mereka tahu setan? Saya sendiri pun tidak tahu setan sepeti apa wujudnya.

Di segi lain, ada yang menganggap kreasi musik-musik ebeg tidak bagus, tidak ini dan itu. Jangan salah paham, justru ebeg bisa mendatangkan ribuan penonton. Pengen bukti sejarah ebeg ditonton ribuan orang? Saya punya buktinya di profil media sosial saya bahwa ebeg ditonton ribuan orang; mungkin pernah lebih dari 70000 orang saat main di Karangsuci dengan 3 rombongan ebeg dijadikan satu. Karena memang, sukma alunan kendangnya ini mblaketaket (kental/nyandu) banget.

Jangankan ebeg, ketika OM Palapa atau Soneta manggung dengan alunan musiknya, sebenci-bencinya orang, pasti otomatis jempolnya bergoyang. Apalagi nonton ebeg, itu sudah pasti badan rasanya geregetan.

 

Pernah, tidak, ada masanya ebeg meredup; penontonnya berkurang atau jarang dapat job pentas?

Samasekali tidak pernah. Mohon maaf, ya, ebeg selalu pasti di “atas daun”. Misal, ebeg sering dikatakan musyrik, tapi sering tampil di hajatan; mengisi di sunatan massal, mengisi di pengajian, juga  memperingati hari-hari besar. Saya lupa di hari besar apa, tapi saat itu kami diundang pihak pondok pesantren, dan ebeg dijadikan penutup rangkaian acaranya. Tempatnya di Jalan Karangsuci.

 

Di pesantren itu ada yang mendem (kesurupan)?

Namanya juga ebeg, ya, identik dengan mendem.  Kenapa harus mendem? Analoginya seperti ini; kalau suka musik dangdut, otomatis jika musik dangdut bergema akan mengundang banyak massa yang ingin melihatnya, sama halnya dengan ebeg. Ini urusan jiwa atau kesukaan, jadi, ketika musik itu dimulai kita akan mendekati sumber suara itu. Intinya, ini seperti klangenan.

Sekarang ini, jumlah orang yang mendem lebih banyak daripada penimbul ebeg. Itu, anak-anak yang dimarahi orangtuanya—dilarang oleh orangtuanya, akhirnya ikut mendem; ikut joget. Anak-anak kecil seperti itu susah untuk diajari seni tari. Justru, mereka lebih tertarik ke yang seperti itu. Wajar jika dorongan mereka untuk mengikuti ebeg dilarang oleh orangtuanya. Intinya, jangan saling menyalahkan.

Bocah sekadar niat. Sedangkan tukang ebeg yang sudah berumur, pasti nanti ada saatnya mereka sadar; karena sudah paham, juga berkeluarga, dan bekerja menghidupi keluarga; dan otomatis tidak selamanya mengurusi ebeg. Rata-rata, mereka mulai sadar sendiri.

 

Orang mendem itu karena pengaruh kejiwaan atau memang ada roh yang merasukinya?

Namanya juga “seni”. Seni itu “seneng nipu”. Jadi, semua organisasi ebeg memiliki sebuah rahasia. 35% mendemnya bohongan, 65% yang benar-benar kerasukan. Tidak semua orang bisa kemasukan lelembut.

Ebeg pun seperti itu, yang bisa kerasukan hanya satu-dua orang saja. Kalau yang mendem kelihatan banyak banget, sebagiannya itu bohongan karena hanya suka joget—karena alunan musiknya bagus, jadi ada keinginan rasa untuk joget atau mendem. Mendem itu intinya, ada yang menggunakan lelembut, ada juga yang tidak.

Kalau tahu bagaimana caranya kelihatan mendem tapi tidak mendem, itu namanya seni (seneng nipu)—itu rahasia sebuah paguyuban. Tapi intinya, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendem. Saya tahu mana yang mendem asli atau tidak. Saya bisa merasakannya.

Kalau ada yang mendem palsu, saya bisa saja ngomong, “Heh, kowe mendem palsu, ora usah melu-melu mendem (Hei, kamu kesurupan bohongan, nggak usah ikut-ikutan).” Tapi tidak mungkin saya melakukan itu, kasihan anaknya. Kecuali jika anak itu susah untuk disadarkan, baru saya pegangi lalu saya bisikkan, “Kowe mendem lemboan, aja keangelan kowe, arep mari apa arep tek siarken nang corong? (Kamu kesurupan bohongan, jangan susah diatur, mau sadar atau saya siarkan lewat corong?)”. Pasti langsung sadar karena malu.

 

Pernah juga, ada masa nge-hits-nya indang (roh tarian). Banyak yang ingin memiliki itu. Sebenarnya, indang itu bagian dari ebeg, bukan?

Iya, bagian. Di Cirebon, ada sebuah perguruan silat dimana silatnya hanya bisa diiringi oleh gamelan. Jadi kalau tidak ada gamelan, indang atau roh itu tidak akan masuk. Di Cirebon sendiri, rata-rata sabung silat pasti menggunakan gamelan. Kenapa? Karena mereka percaya bahwa gerakan itu digerakkan oleh lelembut. Maka, merembetlah ke Banyumas. Perguruan-perguruan silat biasanya diisi dengan suatu kekuatan tersendiri.  Ketika orangnya bisa masuk dalam ebeg, tariannya jadi campur. Pasti tariannya ada silatnya—tidak sesuai tabuhan gendhing kendang.

Berbeda dengan ebeg, walaupun ada pemainnya yang tidak bisa kerasukan, tapi karena sering dengar suara kendang, kalau ia sedang berpura-pura kerasukan akan pas mendemnya dengan alunan kendang.  Kalau orang-orang yang punya “ilmu”, biasanya bisa mendem tapi jogetannya asal. Ngawurnya tidak pas dengan kendang dan mana mungkin bisa pas. Tukang ebeg itu sering latihan; biasa naik jarang kepang, jadi angkat kakinya sudah gampang dan pas dengan alunan kendang. Jadi, ketika ada yang mendem, tapi kok, tidak bisa joget, sudah pasti itu bukan tukang ebeg.

 

Oh ya, ada sebuah tarian ebeg yang dinamakan “cakilan”. Sebenarnya, cakilan itu seperti apa?

Dalam sejarah ebeg, tidak ada yang namanya Tari Cakil. Terus, kenapa disebut “cakilan”? Cakil itu nama sebuah wayang. Hanya anak yang badannya luwes yang bisa menari seperti wayang. Akhirnya, ia menguasai tarian wayang. Sedangkan di wayang itu sendiri, dilihat oleh orang, tangan wayangnya bisa luwes bergerak ke depan-belakang. Sebenarnya tidak harus Cakil. Karena tangan wayang geraknya begitu luwes ke depan-belakang, orang-orang yang melihat tarian wayang mengidentikkannya dengan tokoh Cakil, maka disebutnya “cakilan”.

Setahu saya, yang ada justru Tari Bambangan Cakil. Itu tarian susah; dan itu sudah termasuk dalam kesenian wayang orang. Saya belajar menguasai tari itu sampai sebulan. Tidak bisa, seni di pewayangan dimasukkan dalam seni ebeg. Kalau ada orang bisa Bambangan Cakil, tidak ada sangkut-pautnya dengan seni ebeg.

 

Terkadang, ada anggapan bahwa yang menggerakkan cakilan itu lelembut.

Bukan. Lelembut sendiri tidak tahu cakilan. Semisal itu lelembut, di zaman kuno adanya macan, naga, monyet, dan sebagainya. Makanya jin-jin sendiri bisa menyerupai hewan seperti macan, ular, kera, dan jarang yang selain itu. Kalau ada penari yang menyerupai kuda, itu saja karena orangnya lincah di bagian kakinya.

Kalau misal ada seribu orang yang kesurupan lelembut itu cakilan, tidak mungkin ada orang-orang bisa sama semua gerakannya seperti itu, kecuali jika mereka latihan tari wayang itu.

 

Indang sendiri memang ada dalam tradisi ebeg?

Ada. Mereka itu sifatnya seperti diri kita sendiri. Hanya saja, ia kasat mata. Mereka bisa melihat kita, tapi kita tidak melihat mereka. Mereka bisa dipakai di mana saja. Mereka bisa diletakkan di rumah-rumah, di barongan, di kuda kepang, di gong, di kendang, sebagainya. Apalagi di zaman sekarang, ketika pohon-pohon sudah ditebangi, mereka mau menempati mana lagi? Kebetulan mereka juga menyukai kesenian ebeg. Maka dari itu, mereka masuk di ebeg; menempel di barongan dan alat-alat yang digunakan untuk perhelatan ebeg.

Kalau kita bisa kerasukan lewat ebeg, tidak mungkin tidak akan sembuh selama 3 hari atau lebih. Mesti akan sadar pada saat itu juga. Tapi indangnya berbeda dengan indang yang ada di semak-semak (tempat-tempat liar)—yang suka mengganggu orang, membuat orang terluka, atau jin yang diperintahkan untuk membuat orang lain sengsara.

Intinya, sama halnya dengan manusia. Manusia ada yang suka tari, suka hiburan malam, dan lain-lainnya.  Indang pun seperti itu; ada yang suka jahil, suka tari, atau suka datang hanya untuk meminta makan saja. Banyak jenisnya.

 

Berarti seni ebeg tidak mewajibkan memiliki indang?

Tidak. Tapi setidaknya, kita harus tetap menghormati bangsa lain, karena Gusti Allah tidak menciptakan manusia saja. Tuhan menciptakan hewan dan juga jin, kenapa kita manusia tidak mau saling menghormati. Kuncinya cuma satu: jangan “meminta” kepada jin.

Jikalau mereka meminta makan, selagi kita masih mampu, ya, kasih. Jika kita tidak mampu, mereka tidak akan marah kepada kita. Mereka bisa mencari makan sendiri. Analoginya begini, jika kita berteman, ketika anda meminta kopi, bisa saya kasih.

Saya sendiri, ingon-ingon (piaraan)-nya banyak. Jika mereka datang, ya, saya kasih. Jika tidak ada sesuatu, ya, tidak saya kasih. Mereka tidak memaksa. Kecuali kalau mereka meminta darah manusia, tidak akan saya kasih, saya sendiri tidak punya. Kalau saya bisa memberinya, lalu timbal-baliknya buat saya, apa?

Ketika seseorang kerasukan lalu meminta kopi, itu salah satu bukti kita dapat melihat bangsa jin, meskipun kita tidak tahu wujudnya. Mohon maaf, ketika anda duduk di sini, ada dua ingon-ingon saya di sini yang sedang sama seperti kalian—sedang  mendengarkan saya juga.

Saya tidak memaksa orang untuk percaya. Akan tetapi, setiap orang yang menyukai kesenian ebeg pasti 90%-nya percaya, sedangkan orang yang tidak suka atau orang-orang fanatik agama pasti memberinya stigma.

 

Kalau indang bisa dimiliki, apakah bisa diwariskan?

Kamu punya rasa bosan? Sama dengan jin-jin itu sendiri, apabila mereka sudah tidak dirawat, atau kalau kamu sudah tua, sudah meninggal dunia, pasti mereka akan pergi dengan sendirinya—tidak perlu dibuang. Kadang-kadang, ada seseorang dibawa ke kyai untuk membuangnya. Sebenarnya, itu tidak perlu dilakukan, pasti akan hilang dengan sendirinya. Mereka pun memiliki rasa bosan—sama seperti manusia.

Seandainya saja bukan untuk seni, saya pasti bisa mewariskan ke anak-anak saya atau ke murid-murid saya. Karena saya suka joget, pasti nantinya mereka akan menjadi seorang penimbul. Yang sering terjadi biasanya seperti itu. Ketika semakin tua dan mengajari ke generasi-genarasi selanjutnya—ketika sudah jadi pamong, biasanya indang-indang sudah tidak mau menempel. Tapi mereka menjadi semakin penurut; mau melaksanakan apa yang diperintahkan si pemiliknya.

 

Bagaimana hubungan ebeg dengan kepercayaan lainnya—semisal Kejawen?

Identik. Namun, orang yang ikut ebeg tidak diwajibkan sowan (mengunjungi tempat keramat). Apabila diajak sowan, mau, ya, ayo. Nah, konteksnya sowan itu seperti apa? Jika maksudnya sowan adalah untuk “meminta”, kamu sudah termasuk orang-orang musyrik.

Contohnya, kalau kamu sowan dan meminta “aku pengen bisa mendem”, itu musyrik. Karena meminta itu, ya, kepada Gusti Allah. Jangan sampai meminta kepada yang di dalam kuburan. Tapi, makam-makam tua seperti panembahan itu marwahnya sudah sampai ke atas, dan “yang jaga” di sana banyak sekali. Makanya kuburan-kuburan yang seperti itu jangan sampai dirusak; karena tempat dikuburkannya orang yang dulunya berjasa.

Mesti banyak pula yang jaga di tempat seperti itu. Setiap ada orang yang meminta, pasti mereka senang sekali dan mencoba menjerumuskannya ke neraka. Tapi ketika kamu datang sowanan untuk mendoakan seseorang supaya seseorang itu masuk surga atau doa-doa positif lainnya, mereka juga ada yang ikut senang, sehingga jin-jin itu menyuruh teman-teman jinnya untuk mengikuti mereka yang menurut bangsanya baik. Maka tanpa disadari, kalian akan memiliki “pegangan” sendiri seperti itu. Bila kalian memiliki batu-batu tua di rumah, tanpa kalian sadari, jin itu bisa langsung masuk dalam batu tua tersebut, atau masuk ke dalam lemari dengan bahan kayu tua. Bisa jadi, mereka justru merasa senang tapi kamu tidak merasakannya.

Bahkan, semua manusia ada jinnya. Hanya saja, tinggal bagaimana jin tersebut mengganggu atau tidak, atau suka menari atau tidak. Sebenarnya kuncinya cuma satu; yaitu jin itu sendiri bisa menyerupai. Keberadaan indang tidak diwajibkan untuk dipercayai atau tidak oleh pemain ebeg. Tapi hal itu identik ada.

Kita tetap perlu sowan agar meminta doa restu kepada sang pendahulu.  Kalau kita mau mendirikan sebuah rombongan ebeg, nantinya akan diberi wejangan oleh juru kuncinya. Juri kunci tersebut yang bisa berkomunikasi dengan jin-jin itu.

Kenapa orang mati sering lebih pengaji (dihormati) daripada orang hidup?  Kenapa panembahan lebih ramai dibandingkan rumah kita?

Ketika ada orang memerintahkan bahwa merawat kuburan itu dianggap musyrik, itu salah besar. Meskipun nantinya nyawa kita sudah ke mana-mana, tapi ada saja orang yang merawat kuburan sebagai penanda. Apa salah seperti itu?

Pernah pula, ebeg dituduh sebagai kebudayaan orang-orang penganut aliran Kepercayaan. Tidak apa- apa, mereka mengklaim seperti itu karena itu suatu alirannya orang Jawa. Tapi padahal, memang ada orang Islam yang main ebeg. Hanya saja, tidak mau dibilang orang Kejawen. Kenapa bisa begitu?

Karena Islam cenderung memegang teguh Al-Qur’an, sedangkan aliran Kepercayaan tidak memegang teguh kepadanya—mereka hanya percaya adanya Tuhan. Tapi menurut saya, kalau digarisbawahi, aliran Kepercayaan itu sebenarnya Islam. Hanya, Islamnya mereka itu Islam Jawa, dan babadnya bebarengan dengan Sunan Kalijaga.

 

Penampilan Turangga Edan. | Sumber: channel Ebeg Kuda Kepang (YouTube).

 

 

Bisa dibilang, trah ajaran Islam segaris dengan kebudayaan Jawa.

Kalau bilang Jawa, itu luas. Sebelum ada Walisongo, sudah ada beberapa syekh. Mereka (syekh) bukan dari Jawa, biasanya dari Sumatera. Konon, ada 21 syekh yang datang ke Jawa untuk babat alas. Tapi karena tanah Jawa itu angker banget, jadinya mereka tidak sanggup, akhirnya mereka pulang. Sehingga, diutuslah Walisongo.

Walisongo pun menyebarkan Islam dengan berbagai cara, serta di antara mereka saling bertentangan. Contohnya, ketika Sunan Kalijaga menggunakan gamelan saat itu, ia dimarahi oleh yang lainnya. Ya, wajar saja, kalau beragama ada lain-lain versinya. Intinya, kita tidak perlu mencari kesalahan orang lain; biarkan orang lain mencari kesalahan kita, tidak apa-apa.

Saya sendiri sering berdebat, kalau kamu perhatikan di sosial media saya. Pernah, ada orang yang bilang bahwa ebeg itu diharamkan Islam. Saya cuma bisa  membalasnya: Sini ke rumah, ngopi bareng aku.

Saya sering bertanya balik ke mereka; apanya yang diharamkan? Togel saja, yang jelas-jelas judi, masih banyak yang beli. Kenapa kok seni-budaya diharamkan? Ya, kan, tidak masuk akal. Ada juga yang pernah  update status, pas saya komen, langsung dihapus. Kemudian, orangnya nginbox saya, “Nyong ora wani debat karo rika (Aku gak berani debat dengan kamu).”

 

***

 

Saya mungkin ketua grup ebeg paling muda se-Banyumas Raya, rata-rata yang lainnya sudah menjadi sepuh. Saya masih belum berani dianggap kasepuhan. Tapi, banyak juga dari mereka yang “bersekolah” ke  paguyuban saya di sini.

Dengan perkembangan ebeg saya yang pesat, yang belum pernah gagal di setiap perhelatan di setiap bulannya, mereka semuanya yang datang ke sini bertanya: bagaimana caranya ebeg saya bisa jalan terus? Ada bertanya, kalau saya pakai “ritual” apa? Saya tidak pernah menggunakan ritual.

Intinya, satu: kalau kalian hormati bangsa jin karena mereka buatan Gusti Allah, ya, kalian jangan kematos (sok keras); ketika ada yang mendem, jangan “memaksanya” keluar dari seseorang. Yang kedua, memasang sesaji secukupnya, tidak perlu terlalu macam-macam. Semisal, kamu memiliki uang sejumlah 75000, ya, kamu belikan dengan harga segitu.

Jangan sampai merasa dengan harga segitu masih kurang, karena tidak perlu seperti itu juga. Terkadang, ada yang untuk beli sesaji saja, sampai seharga 250 ribu. Itu berlebihan. Kenapa? Toh, yang makan sesaji juga orang paguyuban kita sendiri. Kalau adanya uang 75 ribu, ya, belikan saja pisang, meskipun rasanya sepat, ya, tetap saja kita yang makan. Apa, iya, kalau kita mendem terus kelaparan, kita mau minta makan lalu masuk rumah orang?

Kadang, ada juga yang kerasukan dikasih makan bunga tapi tidak mau, ya, karena itu bukan makanan kesukaannya. Malah ada juga yang dikasih pisang, tidak mau, tapi memilih makan mawar yang rasanya manis karena itu kesukaannya. Apalagi yang suka banget kelapa muda, mau dikasih 20 biji, tetap saja habis dimakan. Jadi begini, misalnya kalau kalian mendem atau menari sampai kecapekan, apa cocok langsung dikasih air es? Ya, pantasnya diberi air degan (kelapa muda). Nah, ketika perhelatan sudah selesai, barulah wajar untuk meminum semacam es teh.

Segar juga, sih, kalau menunggang jaran kepang sambil minum es teh. Tapi, apa ya, sesuai dengan konsep jaran kepang? Terkadang ketika air degan habis, saya kasih saja air bening biasa untuk penggantinya. Mereka juga tidak pernah komplain. Ketika mereka tidak sadarkan diri, mereka hanya meminum apa yang diminta dan apa yang dikasih dari penimbul.

 

***

 

Kalau bicara soal ebeg, peradaban ebeg di Cilacap sangatlah pesat. Bahkan, dicintai oleh banyak kalangan; bukan sekadar orang-orang tua, bahkan anak-anak remaja kekinian pun larinya ke ebeg. Bisa saya buktikan lewat inbox pesan yang masuk ke saya itu rata-rata dari anak muda. Pesannya juga lucu-lucu; ada yang ingin meminta punya indang, ada pula yang ingin ikut ebeg tapi takut dimarahi orangtuanya, ada juga yang cuma ingin ikut mendem ketika ebeg itu dihelatkan di suatu tempat. Aneh-aneh, kan?

Makanya, saya ajak mereka datang ke rumah; saya belajari main gendingan (gamelan Jawa) sampai pintar. Sekarang, justru para orangtua menjadi senang karena anak-anaknya tidak ikut mendem, tetapi menjadi penabuh gamelan. Anak-anak juga senang dapat memainkan gamelan, serta bisa menghasilkan uang saku sendiri dari sini. Sementara, para panayagan (penabuh gamelan) tua juga sudah tergerus oleh umur dan tenaganya semakin berkurang. Sehingga, mereka sering digantikan oleh anak muda yang tenaganya masih kuat. Sekarang, hampir kebanyakan anak muda sudah mengisi semuanya (keterampilan seni tradisi); seperti lengger (tarian Banyumasan) pun kini banyak digandrungi anak-anak muda. Orang-orang tua masih bisa diandalkan untuk mengisi suara sinden karena suara khas melengkingnya belum tentu bisa diikuti anak muda.

 

***

 

Ketika kaum Kejawen melakukan kegiatan sedekah laut atau sedekah bumi, mereka cenderung tidak menggunakan organ tunggal, justru menggunakan ebeg. Itu karena mereka identik dengan alunan-alunan musik tradisional yang terdapat di zaman dulu. Pertanyaannya juga, apakah sedekah bumi itu terdapat dalam Al-Qur’an? Itu, kan, warisan.

Kenapa harus ada ebeg atau wayang? Supaya menarik massa yang banyak. Ebeg atau wayangan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan memberi tahu masyarakat bahwa ada kegiatan semacam sedekah bumi; karena ebeg dan wayang adalah media paling cepat untuk menarik massa berdatangan. Bahkan sekarang, mohon maaf sebelumnya, bukannya saya bermaksud untuk menyingkirkan perhelatan organ tunggal, tetapi untuk perihal tontonan, tetap banyak yang tertarik datang ke ebeg, justru lebih banyak. Jadi di setiap tabuhan gendangnya, seakan terdapat ajakan, “Ayo nonton, ayo nonton.”

Sebenarnya juga karena saling mengisi. Ketika ada ebeg, alhamdulillah, kios-kios penjual menjadi laris. Contoh kecilnya, ketika kami tampil di Lapangan PJKA, di sana itu pajaknya besar; ada uang kebersihan, serta uang sewa lapangan—itu pun sudah sama halnya dengan berbagi rezeki. Apalagi, ketika jualannya para pedagang jadi laris. Jadinya, ketika saya beli es saat itu pun tidak bayar, hehehe… Pas kelompok ebeg saya yang tampil, justru pedagang yang menawarkan gratisan ke saya. Intinya, ya, saling mengisi.

Pada dasarnya, tontonan ebeg di Cilacap sendiri, itu tontonan yang di “atas angin”. Tapi dengan keadaan adanya Covid-19 seperti ini, kita tidak bisa tampil. Ketika saya memperjuangkan hal ini bersama teman-teman, justru respon kebijakan dari bupati masih menutup kemungkinan tentang adanya tontonan di Cilacap. Tapi, kenapa hiburan malam seperti karaoke sudah dibuka? Kenapa tontonan semacam ebeg belum diperbolehkan? Mungkin karena sekali ebeg tampil, yang nonton ribuan.

Sementara di desa-desa, ebeg sudah diperbolehkan. Sedangkan di perkotaan Cilacap masih belum diperbolehkan. Hal yang menjadi pertanyaan ini bisa saya jawab, tapi tidak oleh bupati. Di desa-desa, lurahnya itu dipilih warga. Ketika ia dicopot jabatannya karena mengizinkan tontonan, ia tinggal menjawab mengikuti kehendak warganya. Berbeda dengan lurah di kota, ketika dipecat karena melanggar protokol Covid-19, ia bakal pensiun dini—dari PNS. Maka dari itu, di kota, sulit diperbolehkan izin.  Akhirnya, bupati malah menghimbau untuk meminta izin ke lurah atau camat masing-masing.

Sebentar lagi, juga akan ada peringatan bulan Sura (kalender Jawa) yang jatuhnya berada di bulan September (2020). Kemungkinan besar, tontonan adat belum bisa dibolehkan. Apalagi masuk bulan Agustus, APBD pengeluarannya besar. Apakah Cilacap memiliki uang besar untuk saat ini?

Maka kemungkinannya, Agustus ini tidak ada helatan apa-apa alias bebeh ngetokna duit (tidak mau mengeluarkan dana). Takutnya juga, ketika ada orang yang terpapar Covid-19 juga. Setiap orang memiliki hak untuk sehat. Saya yang punya sebuah paguyuban ebeg ini punya hak untuk tampil, tapi di satu sisi lain, ada yang memiliki hak untuk sehat juga. Nah, bagaimana caranya agar saya bisa tampil tapi kalian sehat juga? Itu suatu hal yang sangat sulit. Jalan satu-satunya, ya, saya menurut kepada pemerintah; ketika belum ada izin, saya belum memberanikan diri untuk tampil.

Tetap saja ada suatu rombongan ebeg yang tidak mau nurut, ya, itu terserah mereka. Nanti mereka sendiri yang malu kalau dibubarkan paksa polisi. Ada juga pegiat yang meng-update di dunia maya, “Deneng aku ora ijin, aman. (Buktinya, aku tidak berizin, aman).” Mungkin sedang beja saja. Coba saja kalau kasusnya sama seperti yang terjadi di Sidareja; dirazia polisi, diangkut semua gamelannya.

Ada juga yang komen ke saya, “Karuan, kowe entuk gaji wulanan. Lah, kayak nyong pengendang arep ngapa? Ya, ora entuk nggo mangan. (Karuan, kamu dapat gaji bulanan. Kalau saya, cuma penabuh gendang, mau bagaimana? Ya, tidak bisa dapat makan).” Bayangkan saja, selama 3 bulan kamu masih bisa makan, masih hidup, tapi hutangnya menjadi banyak.  Namanya juga manusia, pasti punya hutang dan simpanan, tapi sekarang perputaran hidup sedang di bawah.  Harus gimana lagi? Setahu saya, belum ada sejarahnya pekerja seni mati kelaparan. Tapi harus tetap bertanggungjawab kepada anak-istri. Ya, caranya seperti jual motor, kulkas, atau kalung istri, hahahaha…

Ebeg itu tidak bisa menjamin untuk mencari nafkah, itu tidak bisa. Hanya saja, bagaimana carannya agar kita bisa nguri-uri budayanya supaya tetap urip. Urip, ya, syukur, syukur-syukur bisa ngurupi budayane dhewek (Bisa hidup, ya, syukur, syukur-syukur bisa menghidupi budaya kita sendiri).

Contoh kecil yang saya alami, saya mencoba menghidupi kebudayaan dan kebudayaan itu hidup. Sementara, saya memiliki peralatan yang komplet. Terus, bagaimana caranya untuk menghidupi saya? Ya, lewat penyewaan pakaian seragam ebeg.

Pas saya tidak sedang bekerja, anak-anak sekolah datang ke sini; ada dari AMN (Akademi Maritim Nusantara), SMP Negeri 3, dan banyak lagi. Ketika ada acara perpisahan, Agustusan, atau pentas seni tari, mereka ke mari. Apalagi sekarang, anak-anak SMP kelas 3 harus ada penilaian seni tari. Dari situlah, baju seragam bisa dipinjamkan dan dapat menghidupi saya saat tidak memiliki uang samasekali. Dari pada hutang, kan, ada rezeki dari situ.  Itu yang namanya me-nguripi.

 

Kalau jadwal pentas berbarengan jadwal kerja, bagaimana?

Saya punya jatah cuti 12 hari selama setahun. Kalau misal ada tanggapan (undangan pentas) pas hari kerja, kalau jatah cuti masih banyak, maka saya ambil cuti. Karena saya tidak mau merugikan orang lain, juga saya juga tidak mau rugi dalam pekerjaan. Kalau saya lebih mementingkan ke ebeg, saya tidak ambil cuti, saya bisa dipecat dari pekerjaan. Eman-eman. Terus, menafkahi anak-istri pakai apa?

Makanya, saya tidak pernah cuti; saya hanya cuti ketika ada tanggapan ebeg saja. Baru dari situlah,  saya manfaatkan hak cuti saya. Namanya juga orang nanggap, kan, tidak mungkin dadakan; mesti satu bulanan sebelumnya, saya sudah bikin surat cuti. Paling-paling, satu tahun hanya 4-5 kali cuti, karena yang nanggap kebanyakan pas hari Minggu. Kecuali kalau acara seperti sedekah laut yang sudah pasti jatuh pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di bulan Sura.

 

Kalau caranya mengatur jadwal latihan?

Latihan rutinan pada hari Minggu. Entah ada pentas atau tidak, hari Minggu, ya, tetap latihan. Nanti ketika ada tanggapan di hari lainnya, malamnya kami latihan; supaya tak ada yang terlupakan.

Di setiap pementasan, tarian kami berbeda; karena menyesuaikan tempatnya juga. Tergantung pada pola lantai atau struktur tanahnya seperti apa. Dengan begini, orang-orang yang melihat pun tidak bosan. Itulah gunanya latihan.

Saat waktunya semakin mendekati perhelatan, serta untuk mengurangi kemungkinan adanya kesibukan mendesak dari para penari, kami akan mendata dulu siapa yang bisa dan tidak bisa mengikuti acara tersebut, sekaligus menentukan posisi-posisinya supaya tidak berubah lagi. Ketika nanti kendang berlabuh, mereka akan mengikuti dengan sendirinya.  Dengan begitu, sudah bisa terdapat konsep panggung dan sistem artistiknya. Kalau kita menarinya acak-acakan, bagaimana ada orang mau menyewa kepintaran kita?

 

***

 

Sekarang, ada berapa anggota Turangga Edan?

Secara keseluruhan, dari paling senior sampai junior ada sekitar 120 orang. Sementara, yang masih aktif ada sekitar 35 orang. Tapi untuk pemain gamelannya, seringnya kami nyewa. Kalau anak wayang-nya, kami pakai punya sendiri karena banyak yang bisa. Bahkan sebenarnya, gamelan pun milik saya sendiri, tetapi sering digunakan untuk rombongan. Itu, gamelan dari hasil uang saya sendiri.

 

Cara bagi hasil uang pentasnya, bagaimana?

Dinilai dari tingkatannya. Tingkat paling tinggi itu tukang gendang, kedua itu sinden, terus pemain alat balungan (saron), lalu pemain gong, kemudian penimbul, pengurus, dan anak wayang. Anak wayang sendiri justru paling sedikit bayarannya, padahal dia kerjanya paling capek di antara yang lainnya; karena memang, ya, senang, bukan karena pekerja.

 

Adakah standarisasi harga pentas?

Soal harga, sih, bebas. Tapi kalau harganya mahal, pasti bawa “rupa” (kualitas baik). Rata-rata harga pentasnya sekitar 5-6 juta untuk sekali tampil. Kalau harga pasaran punya kelompok saya sekitar 7 jutaan untuk setiap kali tampil. Kalau ada diskon, ya, itu untuk teman sendiri.

 

Ada stigma terhadap mahalnya harga pentas?

Tergantung pada kesukaannya. Sama halnya, kalau kamu beli HP seharga 1,1 juta, tapi ada orang lain yang beli dengan harga 1,7 juta karena chase-nya bagus, ya, itu karena kepuasannya masing-masing pembeli dengan yang dibelinya.  Sama halnya dengan ebeg saya. Meskipun pentas ebeg saya harganya mahal, tapi tetap lebih banyak peminatnya dibanding ebeg-ebeg yang lebih murah, karena masih sanggup memberikan yang terbaik.

Tatanan ebeg kami sangat banyak pada waktu pementasan.  Untuk tarian pertamanya, kami memakai penari perempuan, keduanya dengan penari laki-laki, nanti yang ketiga pakai penari perempuan lagi. Sekarang ini, bisa melihat anak perempuan bisa menjadi pemain itu adalah sebuah perubahan. Meskipun ada juga yang berpikir, “Bebeh temen nonton ebeg wadon (Enggan banget lihat ebeg perempuan).”

Cara penyajian kami juga banyak sekali. Mulai dari mengadakan organ tunggal ketika istirahat, supaya penonton tidak langsung meninggalkan lapangan pertunjukan. Selain itu, pula diisi dengan tari lenggeran, tari reog, atau penari barong.

Di rombongan kami, kami punya 13 barongan.  Padahal zaman dulu, hanya ada sekitar 2 buah saja;  karena membuat satu barongan harganya mahal. Bahkan, saya bercita-cita untuk memiliki sebanyak 20 buah barongan. Kalau punya sebanyak itu, terus siapa yang mau memainkan? Ya, orang dari luar grup kami; karena banyak orang luar/penonton yang ingin memakai barongan. Mereka main pun, tidak perlu dibayar.  Ketika sekarang ada 13 buah saja, mereka saling berebut, apalagi jika cuma 2.

 

Barongan atau jaranannya buatan sendiri atau membeli?

Barongannya masih beli, karena saya pribadi belum sempat bisa membuatnya. Mencari bahan kayunya susah, lalu saya juga tak ada waktu memahatnya. Untuk membuat satu barongan saja, membutuhkan waktu kurang-lebih 1 bulan; dari mulai memahat, penghalusan, memasang engsel, pengecatan, lalu dikasih baju—bisa memakan waktu sebulan. Daripada seperti itu, lebih baik beli.

Tapi jaran kepangnya, kami buat sendiri. Kalau jaran kepangnya beli, tekadang tidak enak saat dipakai. Kalau yang buatan sendiri, terasa ada kepuasan batin saat memakainya, sehingga pas untuk menari.

 

***

 

Di sini, rombongan ebeg yang mendapat binaan “perusahaan rokok” hanya punya kami dan kelompok Jalan Bakung. Tiga bulan sekali, kami dapat 1,3 juta rupiah. Yang diharapakan dari perusahaan itu adalah agar rokoknya tetap dikenal. Berikutnya, supaya dapat branding dari paguyuban ebeg. Tugas kami hanyalah mengumpulkan grenjeng (kertas dalam bungkus) untuk mendapatkan bonus, sehingga memberikan apa yang diinginkan dari sebuah paguyuban ebeg. Kami sudah 3 kali memperolehnya. Dan baru kali ini, dapat dana binaan 2 kali berturut-turut.

Kalau alat-alat ebeg dijual semuanya, itu bisa untuk membeli 2 motor baru. Gamelan kompletnya saja, bisa sekitar 13 juta, harga 1 barongan bisa sekitar 1 juta, belum lagi baju-baju pemainnya. Kami saja, memiliki 7 desain baju.

Selama ini, belum ada himbauan resmi dari pemerintah mengenai ebeg. Pemerintah tidak hanya me-ngoprak-oprak, “Ayo diuri-uri!” Orang-orang besar hanya bilang untuk diuri-uri (dilestarikan), tapi ketika mereka ada hajatan, tidak pernah menampilkan ebeg. Justru yang sering menanggap kami dari kalangan orang-orang biasa.

Dahulu, sering diadakan lomba ebeg. Berbeda dengan sekarang, sudah tidak ada lomba ebeg digelar—hampir 10 tahun ini. Waktu saya ikut grup orang lain, dulu, sempat merasakan ada 3 kali lomba. Yang diharapkan dari teman-teman ebeg adalah ingin kembali seperti semula; sering diadakannya perlombaan.

 

Kapan terakhir ada lomba?

Sekitar tahun 2012, tempatnya di Benteng Pendem. Waktu itu, diadakan oleh Djarum Super. Alhamdulillah, grup saya mendapat juara 2. Justru, ada grup yang jarang tampil mendapat juara 1. Sampai akhirnya, saya menanyakan itu kepada panitia perlombaan. Jawaban panitia; karena grup saya sering pentas, maka grup yang lain dijuarasatukan supaya naik daun. Jadi, tujuan panitia adalah untuk memberi jalan kepada grup ebeg tersebut. Ya, namanya juga rezeki, sudah ada yang ngatur.

 

***

 

Sekarang, hampir setiap (otoritas) kecamatan enggan menampilkan tarian ebeg untuk pentas perlombaan. Pola pikirnya, kalau menampilkan ebeg tidak akan juara. Jadi, kalau saya pribadi diminta untuk mewakili kecamatan, saya akan tetap menari, tapi bukan tarian ebeg. Orang-orang yang saya ajak menari pun dari ebeg, karena mereka bisa menguasai gerakan-gerakan tari; sehingga latihannya tidak susah.

Saya sering diminta mewakili kecamatan. Tapi saya harus pintar-pintar titiwayah (penempatan). Saya pernah main dihargai 200 ribu. Sekarang, saya memillih siapa yang bisa membayar mahal. Meskipun saya tinggal di Cilacap Selatan, saya bisa tampil untuk Kecamatan Cilacap Tengah, tergantung siapa yang berani bayar mahal.

Kenapa begitu? Karena kasihan teman-teman saya yang sering latihan dan jika bayaran yang didapatkannya tidak setimpal. Pernah ada, ketika kecamatan lain mengundang saya dengan mahar 17 juta untuk mewakilinya. Kemudian, saya langsung berpikir untuk menampilkan tarian yang belum ada di Cilacap.

Saya pun menciptakan “Tari Memedi”. Tarian itu mengangkat pembabatan alas (hutan) di Nusakambangan; tentang Nusakambangan yang diobrak-abrik oleh orang-orang tidak bertanggungjawab. Maka ceritanya, keluarlah makhluk-makhluk semacam tuyul, genderuwo, kuntilanak, dan sebagainya yang diaplikasikan dengan tarian. Tetapi, memedi (makhluk halus) itu tidak bisa dikalahkan oleh kyai (tokoh spiritual). Mereka malah dikalahkan dengan uang. Jadi, ada adegan mereka mengejar-ngejar orang yang membawa dollar.

Gambarannya, kami membuat replika Nusakambangan.  Di situ, ada adegan gerakan mencangkul yang disesuaikan dengan alunan. Ada juga adegan menebang pohon dan kegiatan lainnya. Karena marah, keluarlah tuyul, kuntilanak, dan lain-lainnya. Datanglah kyai, tapi mereka itu tidak takut sambil menari-nari. Begitu ada satu orang membawa uang dollar, barulah mereka berlarian mengejarnya.

Jelas ada maksud di dalam tarian tersebut, dan hanya orang-orang politik yang tahu. Nusakambangan telah diambil untuk perusahaan semen, sedangkan pihak otoritas mendapat bagian dari bisnis terselubung. Maka dari itu, saya mengkritik sangat dalam lewat sebuah tarian. Saya hanya mendapatkan juara 2 dari perlombaan.

 

Lalu, bagaimana respon pemerintah setelah melihat tariannya?

Ada beberapa orang pemerintahan yang tersinggung dan melontarkan ucapan kasar—seperti  “bangsat“ dan “anjing”. Sementara, camatnya sendiri mendapat kritikan. Kebetulan waktu itu, saya mewakili Cilacap Selatan. Sebenarnya, saya juga menyinggung DPRD.

 

Berapa kali tarian itu ditampilkan ke masyarakat?

Dua kali. Pernah juga dibawakan di Semarang.

Ketika di Semarang, kami mebawakannya masih tapi dengan cerita yang berbeda. Di sana, kami menceritakan tentang perebutan bunga wijayakusuma di Nusakambangan. Soalnya ketika kami berlomba mewakili Cilacap, kami harus membawakan identitas atau simbol-simbol Kota Cilacap.  Jadi, yang kami bawa itu bunga wijayakusuma. Di situ, kami mengisahkan wijayakusuma menjadi rebutan para raja, lalu memedinya keluar banyak sekali. Kami pulang ke Cilacap dengan mendapatkan posisi juara ke 2.

 

***

 

Saya sering kesulitan ketika proses mengarang sebuah cerita atau semacam babad alas. Untuk itu juga, saya harus kesulitan ketika membuat properti. Semisal ketika membuat replika wijayakusuma, saat mencoba pakai styrofoam tidak bisa jadi, juga menggunakan kertas minyak tidak jadi. Akhirnya saya memutuskan untuk membayar sewa properti seharga 3 juta. Dipikirkan juga bagaimana caranya agar properti itu ringan untuk dipikul.

Sewaktu mengikuti lomba di luar kota, saya mendapat banyak sripilan (uang saku) karena kami mengamen di sekitaran Simpang Lima, Semarang. Saat mengamen, saya menggunakan daster hamil. Kami juga membawa alat-alat musik; seperti 2 buah saron, 1 gong, dan 1 kendang.

Kami mencoba melawak menggunakan sebuah tarian. Di situ, saya merasa kesulitan bagaimana caranya menari sambil membuat orang sekitar tertawa. Semalam, kami mendapat uang sebesar 1,3 juta. Di sana, banyak sekali pakar kesenian dan mereka semuanya mau memberi.

 


Transkrip wawancara ini dimaksudkan sebagai kontribusi pada lembaran zine Semilir yang digagas semenjak Agustus 2020. Sebagai stimulan warganet, naskah ini turut dihadirkan pada blog ini. Selamat menikmatiii… [Kru Zine Semilir]

Seberapa Baikkah Politik Identitas?

*Ditulis oleh: Alicia Garza. Pendiri gerakan internasional Black Lives Matter. Pengamat dinamika politik identitas.

_

 

Istilah “politik identitas” diciptakan pertama kali oleh Barbara Smith (feminis kulit hitam) dan Combahee River Collective pada 1974. Politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan yang hingga saat itu memprioritaskan kemonotonan kesamaan di atas nilai strategis perbedaan.

Gerakan feminis “gelombang kedua” memperjuangkan otonomi tubuh, mendorong kesetaraan perempuan, dan menuntut agar perempuan diperlakukan sebagai manusia. Namun, seperti gelombang pertama feminisme—yang sebagian besar berpusat di sekitar hak pilih perempuan dan mendapatkan hak untuk memilih, perempuan kulit putih menjadi standar-standar untuk semua perempuan.

Sementara, segregasi (pemisahan golongan) tidak lagi secara formal menjadi hukum negara pada tahun 1974, rasisme dan diskriminasi berdasarkan kelas masih tertanam kuat dalam upaya mencapai perubahan; sekali lagi, karena perubahan yang diinginkan adalah kemajuan bagi perempuan kulit putih dan tidak semua perempuan. Perempuan yang diidentifikasi sebagai feminis didorong untuk bergabung atas dasar pengalaman umum diskriminasi berdasarkan jenis kelamin—tanpa memperhatikan fakta bahwa tidak semua pengalaman perempuan itu sama—dan lebih jauh, bahwa seks bukanlah kategori yang bisa mendeskripsikan gender secara memadai.

Inilah konteks munculnya politik identitas. Sederhananya, politik identitas adalah pernyataan bahwa “politik yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal datang langsung dari identitas kita sendiri; sebagai lawan kerja untuk mengakhiri penindasan orang lain”. Combahee River Collective merinci bagaimana pengalaman mereka sebagai perempuan kulit hitam; berbeda dari wanita kulit putih, dan ini penting karena memahami cara-cara dimana penindasan ras, ekonomi, gender, dan lainnya terkait dan membentuk kehidupan mereka; untuk membantu memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal

Esai ini bertujuan untuk mengeksplorasi “politik identitas” dan apakah itu menjadi alat yang berguna untuk keterlibatan dalam gerakan sipil hari ini. Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa politik identitas tidak hanya disalahpahami secara luas, tetapi juga sengaja didistorsi untuk menghindari pengakuan cara-cara dimana “identitas” membentuk ekonomi, demokrasi kita, dan masyarakat kita. Saya menjelajahi asal-usul feminis kulit hitam dari politik identitas dan mengeksplorasi bagaimana serta mengapa politik identitas dipersenjatai di antara kaum progresif dan konservatif—dan dengan konsekuensi apa untuk meningkatkan partisipasi dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan oleh politik arus utama.

Pada akhirnya, saya berpendapat bahwa politik identitas memang merupakan alat penting untuk pengorganisiran dan keterlibatan sipil. Mengenali diri sendiri dan pengalamannya dalam politik adalah faktor pendorong untuk berpartisipasi dalam politik. Pada saat Amerika menghadapi beberapa polarisasi politik paling tajam yang telah dilihatnya dalam beberapa dekade, siapapun yang ingin mengamankan partisipasi kelompok-kelompok terpinggirkan, sebaiknya mulai mengakui bahwa mereka terpinggirkan sejak awal. Dan kedua, bekerja untuk merancang solusi kebijakan yang tidak meninggalkan siapapun.

 

 

Politik Identitas yang Disalahpahami

Tidak meninggalkan siapapun adalah hal yang ideal, dan, terlepas dari niat terbaiknya, orang-orang selalu tertinggal dalam gerakan sosial—terutama ketika perbedaan yang muncul akibat berbagai bentuk penindasan menjadi terhapus atau sengaja diabaikan.

Pekerjaan perubahan sosial adalah serangkaian eksperimen ilmiah. Dalam percobaan, untuk menentukan apakah perubahan telah terjadi atau tidak, Anda harus memiliki kendali. Dalam eksperimen ilmiah, harus ada kontrol yang menggunakan sampel yang tetap sama untuk melalui eksperimen. Kontrol membantu Anda untuk menentukan apakah perubahan telah terjadi atau tidak. Kontrol harus tetap sama atau berimbang setiap saat demi memastikan pengukuran hasil yang akurat.

Dalam gerakan perubahan sosial di Amerika, kontrol seringkali didasarkan pada kemajuan hidup yang dibuat oleh orang kulit putih untuk melawan standar kulit putih itu sendiri. Dalam gerakan perempuan, misalnya, ukuran kemajuan diambil sebagai ada atau tidaknya perubahan dan kemajuan dalam kehidupan perempuan kulit putih.

Diketahui dengan baik bahwa ada kurangnya paritas dalam upah antara cisgender (orang yang jenis kelaminnya ditetapkan saat lahir cocok dengan identitas gendernya) pria dan wanita. Rata-rata, wanita cisgender menghasilkan 85 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan oleh pria cisgender. Wanita dari semua kelompok ras dan etnis berpenghasilan lebih rendah daripada rekan pria mereka, dan juga berpenghasilan lebih rendah daripada pria kulit putih. Wanita kulit hitam menghasilkan 65,3 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan pria kulit putih, dan 89 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan pria kulit hitam. Wanita Latinx menghasilkan 61,6 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan pria kulit putih, dan 85,7 persen dari penghasilan pria Latinx. Di antara transgender Latin dan orang-orang yang tidak sesuai gender, 28 persen melaporkan berpenghasilan kurang dari $ 10000 setahun, dan 34 persen transgender kulit hitam dan orang-orang yang tidak sesuai gender melaporkan hal yang sama.

Sangatlah penting bahwa diskusi tentang kesenjangan upah gender sering dimulai dengan asumsi bahwa semua wanita menghasilkan 85 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan pria; karena itu hanya berlaku untuk wanita kulit putih. Tanpa kualifikasi ini, orang mungkin berpikir bahwa semua wanita menghasilkan 80 sen untuk setiap dolar yang dihasilkan pria. Berkali-kali, pengalaman komunitas kulit putih digunakan sebagai kerangka untuk memahami ketimpangan. Namun, komunitas yang mengalami ketimpangan dari berbagai faktor, semuanya pada saat yang sama, adalah komunitas kulit berwarna. Dari hak aborsi untuk membayar kesetaraan; membandingkan kondisi perempuan kulit putih dengan laki-laki kulit putih telah menjadi cara untuk menilai apakah perubahan benar-benar terjadi dan kemajuan sedang dibuat.

Politik identitas meminta kita bertanggungjawab untuk mengajukan lebih banyak pertanyaan tentang untuk siapa kemajuan sedang dibuat. Kesenjangan gaji yang signifikan untuk perempuan kulit hitam dan Latin menunjukkan bahwa sementara beberapa membuat kemajuan, yang lain terus tertinggal.

Politik identitas mengatakan bahwa kita seharusnya tidak lagi diharapkan untuk melawan penindasan orang lain tanpa melawan penindasan kita sendiri. Combahee River Collective perihatin dengan bagaimana pengalaman hidup kita membentuk hidup kita; dan politik identitas menawarkan gerakan sosial, seperti gerakan perempuan; karunia untuk mengungkap apa yang telah diabaikan atau direndahkan. Wanita kulit hitam yang miskin dan kelas pekerja menginginkan feminisme seperti wanita kulit putih kelas menengah. Politik identitas tidak hanya menunjukkan kepada perempuan kulit hitam bahwa kita layak untuk feminisme—layak diperlakukan sebagai manusia—tetapi juga memberi perempuan kelas menengah kulit putih hadiah untuk memahami bahwa agar feminisme berhasil; atau feminisme tidak dapat berpura-pura bahwa dunia hanya seputar di perjuangan untuk paritas antara wanita kulit putih dan pria kulit putih.

 

Standar Kulit Putih

Pandangan dunia dan pengalaman komunitas kulit putih juga membentuk perdebatan tentang politik identitas. Identitas rasial adalah rangkaian kategori sosial yang ditemukan yang berdampak pada kekuasaan dan lembaga secara sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun ras dibangun secara sosial, ia memiliki implikasi material dan praktis bagi kehidupan mereka yang telah ditetapkan kategori rasialnya di ujung spektrum kekuasaan yang hilang. Kategorisasi rasial yang berada di sisi spektrum yang bukan kulit putih cenderung tidak memiliki kekuatan dan agensi vis-à-vis yang ada di sisi spektrum putih.

Standar kulit putih di Amerika berfungsi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan “kontrol” dalam eksperimen. Dalam sebuah eksperimen, untuk mengukur apakah perubahan telah terjadi atau tidak, Anda harus memiliki kontrol—sebagian besar dianggap sebagai standar pembanding perubahan. Anda tahu jika perubahan telah terjadi melalui percobaan Anda ketika entitas yang sedang diujicobakan berubah sebagai hasil dari intervensi Anda—karena kontrol tidak berubah.

Dalam eksperimen sosial yang disebut “Amerika”, kemajuan atau perubahan ditentukan oleh apakah kondisi orang kulit putih telah berubah atau tidak dan bertentangan dengan standar kulit putih. Cara lain untuk melihatnya bukanlah sebagai eksperimen, melainkan melalui sudut pandang dari apa yang dianggap “normal”. Jika saya pergi ke toko sekarang dan mencari Band-Aids, warnanya akan cocok dengan kulit putih, bukan kulit saya. Jika saya mencari pantyhose, sepertinya saya tidak akan menemukan warna yang cocok dengan kulit saya. Dan hingga setahun yang lalu, hampir mustahil bagi wanita kulit berwarna untuk menemukan alas bedak  yang cocok. Di Amerika, “telanjang” atau “warna dasar” berarti putih. Sekali lagi, standar di Amerika adalah apa yang berkulit putih; apa yang menarik bagi orang kulit putih, apa yang masuk akal bagi orang kulit putih, apa yang mengaktifkan dan memotivasi orang kulit putih, dan sebagainya. Ini tidak hanya berlaku di toko kecantikan; itu juga berlaku di seluruh perekonomian, demokrasi kita, dan seluruh masyarakat kita.

Jika kulit putih adalah standarnya, itu juga merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ide, tindakan, atau pengalaman memiliki nilai, manfaat, atau nilai. Standar kulit putih berusaha menentukan apa yang valid. Standarnya terlalu sering menyangkal pengalaman dan pandangan dunia orang yang bukan kulit putih; karena pendapat, nilai, kebutuhan, dan kepercayaan orang yang bukan berkulit putih dianggap tidak bermanfaat, apalagi jika dibandingkan dengan kecenderungan kulit putih.

Ketika gerakan Black Lives Matter meledak di seluruh dunia, warna putih berfungsi untuk menentukan apakah kemarahan orang kulit hitam itu sah atau tidak, dan pada saat yang sama, warna putih berusaha untuk mendefinisikan kembali gerakan itu sebagai berbahaya, tanpa tujuan, sesat, dan kejam. Standar kulit putih berusaha menghilangkan kekuatan Black Lives Matter sebagai slogan dan seruan bersama dengan “All Lives Matter”—yang secara efektif menghapus penyebutan ras. Mengubah “Black Lives Matter” menjadi “All Lives Matter” telah mengubah wacana tentang rasisme struktural, polisi, dan bentuk kekerasan negara lainnya menjadi percakapan dua dimensi dimana ras penting atau tidak penting. Bahasa “ras netral” adalah prinsip inti dari warna putih—ras dan penindasan rasial atau pengucilan rasial dibuat tidak terlihat di permukaan, sementara pada saat yang sama, diizinkan untuk mengatur ekonomi, demokrasi, dan masyarakat.

Standar putih adalah kontrol karena warna putih pada dasarnya adalah tentang kekuasaan. Standar kulit putih berupaya membentuk pandangan dunia, gagasan, dan pengalaman karena standar itu berupaya mempertahankan kekuatan yang telah diberikan; dan kemudian memberi orang yang telah ditetapkan sebagai kulit putih untuk tujuan menerapkan standar kulit putih; dengan demikian, menerapkan kekuasaan. Perdebatan tentang politik identitas tidak terkecuali pada aturan ini.

Tidak semua orang melihat politik identitas sebagai anugerah. Paska pemilu 2016, sejumlah besar artikel muncul di outlet berita; mengecam “politik identitas liberal”. Pakar televisi mulai mengecam “politik identitas” sebagai alasan Demokrat kalah dalam pemilihan presiden.

Ada sejumlah argumen yang digunakan untuk melawan politik identitas dan itu digunakan untuk beberapa alasan. Salah satu argumen tersebut menyatakan bahwa fiksasi pada keragaman membuat orang tidak mampu melihat di luar pengalaman mereka sendiri; mencegah mereka untuk dapat membangun hubungan dengan mereka yang tidak berbagi pengalaman mereka. Dan, dalam ranah politik, mereka berpendapat bahwa fokus pada perbedaan, daripada kesamaan kita, adalah kesalahan strategis dalam pemilu. Perlu dicatat bahwa argumen ini terutama digunakan untuk mereka yang tidak berkulit putih.

Argumen-argumen ini bertumpu pada gagasan bahwa politik identitas, sebagaimana mereka mendefinisikannya, meminggirkan orang-orang—namun mereka gagal untuk mengakui bahwa politik identitas tidak bertanggungjawab atas prevalensi identitas-identitas itu. Identitas hanya penting bila—bukan karena kesalahan Anda sendiri—Anda diberi identitas yang menjanjikan hasil hidup yang lebih buruk daripada mereka yang tidak diberi identitas yang terpinggirkan dari kekuasaan.

Menurut logika pengkontra politik identitas, tidak ada yang harus memperhatikan fakta bahwa disebut “Black” hampir menjamin bahwa peluang hidup Anda akan lebih buruk daripada seseorang yang diberi identitas “putih”; karena dapat mengasingkan orang kulit putih, maka biarkanlah hal itu keluar dari pembicaraan. Alih-alih membahas fakta bahwa orang kulit hitam lebih mungkin meninggal saat melahirkan daripada orang kulit putih, bahwa orang kulit hitam dengan disabilitas delapan kali lebih mungkin untuk ditembak dan dibunuh oleh polisi daripada rekan kulit putih mereka, atu bahwa orang kulit hitam rata-rata dua kali lebih mungkin menjadi miskin atau menganggur daripada orang kulit putih, atau rumah tangga kulit putih 13 kali lebih kaya dari rumah tangga kulit hitam. Kritikus politik identitas lebih suka kita tidak mengatasi perbedaan ini; karena takut mengasingkan orang yang tidak mengalaminya.

Masalah sebenarnya di Amerika bukanlah politik identitas dan membuat perbedaan terlihat—justru perbedaan itu adalah hal yang pertama. Kritikus politik identitas, secara sengaja atau tidak sengaja, menjunjung tinggi logika standar kulit putih yang berfungsi serupa dengan dekrit yang disajikan dalam film The Wizard of Oz—mereka ingin Anda tidak memperhatikan pria di balik tirai.

 

 

Politik Identitas: Penyambung atau Pemisah?

Kekeliruan lain dari kritikus politik identitas adalah dalam mengidentifikasi dan menangani perbedaan dengan cara—entah bagaimana—mencegah orang dengan sejarah, latar belakang, etnis, identitas, atau pengalaman yang berbeda untuk menemukan kesamaan. Misalnya, komunitas kulit hitam bukanlah satu-satunya yang menderita karena cara kulit putih mendistribusikan kekuasaan secara tidak merata demi komunitas kulit putih. Komunitas yang tidak berkulit putih bukanlah sebuah monolit—dan komunitas  yang berbagi pengalaman marginalisasi atau pencabutan hak pilih dapat dan sering bersatu; melintasi perbedaan mereka untuk mengakhiri marginalisasi itu. Tetapi ini tidak dan tidak boleh berarti bahwa mereka meninggalkan identitas mereka di depan pintu. Sama seperti komunitas kulit hitam yang mengalami efek negatif dari kekuatan kulit putih yang mengakar, begitu pula komunitas Latin, komunitas Arab, komunitas Muslim, komunitas Kepulauan Pasifik, komunitas diaspora Asia, dan sebagainya. Yang jelas, komunitas-komunitas ini tidak berkumpul begitu saja karena mereka terpinggirkan. Mereka bersatu untuk mencapai tujuan bersama—kebebasan dan kesetaraan bagi kita semua.

Kritik politik identitas benar ketika mereka memperingatkan bahwa fokus terutama pada pengalaman dapat mengurangi pembangunan aliansi atau mengembangkan rencana tindakan. Itu memang benar ketika politik identitas tidak diarahkan untuk menggeser keseimbangan kekuasaan. Namun, kritikus politik identitas harus berhati-hati untuk tidak melukis dengan kuas yang begitu luas. The Combahee River Collective bukanlah sebuah lingkaran rajutan; mereka adalah sekelompok perempuan kulit hitam; banyak di antaranya diidentifikasi sebagai lesbian dan miskin; yang mendorong gerakan yang seharusnya mereka ikuti agar lebih efektif dalam mengakui dampak ras, kelas, gender, disabilitas, dan lebih banyak lagi tentang isu-isu yang mereka coba dampakkan, bersama-sama, untuk kepentingan kolektif.

Menuntut siapapun untuk menceraikan pengalaman hidup mereka dari keikutsertaannya dalam aksi politik tidak hanya berbahaya, tetapi juga memperkuat dinamika kekuasaan yang berdampak buruk bagi kolektif. Yang ironis dari kontroversi seputar politik identitas adalah hanya sedikit yang tampaknya mempermasalahkan politik identitas kulit putih yang membentuk hidup kita. Kritik terhadap politik identitas hanya muncul ketika mereka yang terpinggirkan dan terputus dari kekuasaan menegaskan bahwa pengalaman mereka penting dan menuntut tindakan untuk memastikan bahwa mereka sebenarnya dapat mencapai keseimbangan sosial, ekonomi, dan politik dengan kulit putih.

Menjelang Pemilihan Presiden 2016, Donald Trump menggunakan slogan “Make America Great Again”— Membuat Amerika Hebat Lagi—menyindir bahwa Amerika itu hebat sebelumnya, sehingga seseorang untuk bertanya: “Apa yang kita coba pulihkan ke Amerika dan apa yang kita coba ubah?”. Sepanjang kampanye, jawabannya menjadi jelas; Amerika, tampaknya, hebat sebelum demografinya berubah; sebelum wanita memiliki hak, sebelum orang kulit hitam dapat membela hak mereka, dan seterusnya.

Amerika yang diminta oleh Trump adalah Amerika yang dijalankan dan didominasi oleh pria kulit putih, Kristen, serta heteroseksual; bahwa Amerika didukung oleh pekerjaan manufaktur kerah biru, dan di Amerika itu, orang kulit berwarna, wanita, dan lainnya tidak memiliki hak yang sama dengan pria kulit putih. Yang diidealkan oleh Trump dan—sebelumnya—Presiden Ronald Reagan, adalah Amerika yang ilegal bagi orang kulit hitam untuk berbagi akomodasi publik dengan orang kulit putih.

Masalah yang dihadapi oleh mereka yang mengecam politik identitas adalah dengan apa yang politik identitas lakukan ketika digunakan untuk memberdayakan mereka yang tidak memiliki kekuasaan—dalam masyarakat, dalam ekonomi, dan dalam demokrasi Amerika. Politik identitas adalah ancaman bagi mereka yang mengelola dan memegang kekuasaan; karena ia menggoyahkan kontrol yang dibandingkan dengan semua yang lain. Politik identitas adalah ancaman bagi kekuatan kulit putih karena ia menegaskan bahwa standar kulit putih telah membentuk semua kehidupan kita dengan cara yang tidak menguntungkan kita—bahkan mereka yang memiliki hak istimewa itu. Jauh dari dekrit kebenaran politik, politik identitas meminta kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya, dan lebih dari itu, menuntut kita untuk menyamakan lapangan permainan.

Mereka yang mengklaim bahwa politik identitas kontraproduktif dan memecah belah sering berusaha membangun gerakan di atas kesamaan yang mereka klaim bisa semua kita miliki. Maka, mereka mengutip status ekonomi sebagai penyeimbang yang dapat didukung semua orang. Namun dalam ekonomi yang rasial dan genderis, gagasan seperti itu adalah angan-angan terbaik sekaligus ketidaktahuan paling buruk yang disengaja.

 

 

Konsekuensi dari Kesalahan Perdebatan

Pertarungan atas politik identitas adalah salah; ia memaksa pilihan yang salah dan bahkan lebih buruk lagi, pilihan yang tidak otentik. Gerakan konservatif telah mengidentifikasi ras dan gender—khususnya, sebagai arena dimana netralitas strategis—untuk mempertahankan kekuasaan kulit putih, heteroseksual, laki-laki, cisgender—dengan mengorbankan semua orang yang tidak menempati posisi sosial tersebut. Mereka telah mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan akibat ras, gender, dan indikator sosial lainnya yang memiliki implikasi ekonomi sebaiknya dibiarkan tidak dibahas; jangan sampai terungkap bahwa ada orang yang diuntungkan dari pencabutan hak dan penindasan komunitas yang terpinggirkan. Bersamaan dengan itu, kekuatan yang sama di dalam gerakan liberal dan progresif telah mengadopsi sikap yang sama; menggunakan poin-poin pembicaraan dari kaum konservatif untuk membenarkan perlawanan mereka terhadap penindasan yang meningkat selain yang diakibatkan oleh ketidaksetaraan ekonomi.

Hal ini tentu saja membawa konsekuensi bagi gerakan progresif dan upaya keterlibatan sipil. Penolakan untuk mengakui ketidakadilan di dalam suatu gerakan hampir menjamin bahwa ketidakadilan tersebut tidak akan ditangani dengan cara yang substantif—yang menjamin bahwa kehidupan mereka yang paling bergantung pada gerakan sosial transformatif tidak akan berubah secara substantif.

Kita harus perihatin tentang hal ini karena sebenarnya itulah agenda yang ingin dicapai oleh oposisi kita—tidak ada perubahan substantif nyata dalam hubungan kekuasaan atau hasil mereka.

24 September 2019

_

 

[Diterjemahkan oleh Taufik Nurhidayat, dari artikel berjudul Identity Politics: Friend or Foe?Othering & Belonging Institute, UC Berkeley.]

Nasib Masyarakat Terdampak Polusi Mematikan di Tengah Wabah Corona

Ilustrasi gambar diambil dari video karya Jati Andito.

 

 

*)Oleh: Danang Kurnia Awami. Aktivis gerakan sosial. Kini mengabdi sebagai asisten bantuan hukum di LBH Yogyakarta.

_

Wabah COVID-19 memang sedang melanda masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Berbagai langkah coba dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menangani virus tersebut, baik di sektor ekonomi, sektor sosial, ataupun sektor kesehatan. Data penanganan COVID-19 di covid19.go.id telah menunjukkan total kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 12438. Ada 2317 orang sembuh, sedangkan 895 orang meninggal (06/05/2020).

Virus ini bukan satu-satunya ancaman yang ditemui masyarakat Indonesia. Bertahun-tahun lalu hingga sekarang, masyarakat Indonesia telah terancam dengan berbagai penyakit yang menyerang alat pernafasan dan organ vital lainnya. Salah satu penyebabnya adalah polusi udara. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara (PLTU-B) cukup banyak berkontribusi dalam hal ini.

Tim Peneliti Universitas Harvard dan Greenpeace Indonesia telah melakukan riset terhadap dampak PTLU Batubara. Penelitian tersebut menyebutkan kehadiran PLTU-B menyebabkan peningkatan beberapa penyakit; seperti ISPA, kanker, paru-paru, penyakitj antung, bronkitis, dan lain-lain. Penyebabnya paparan partikel halus beracun dari pembakaran batubara.

Hasil penelitian Greenpeace Indonesia juga menunjukkan bahwa penyakit-penyakit yang disebutkan di atas berakibat kematian dini. Angka estimasi kematian dini akibat PLTU-B yang saat ini sudah beroperasi mencapai sekitar 6500 jiwa/tahun di Indonesia. Jika rencana penambahan PLTU tetap dilakukan, korban kematian dini berpotensi hingga 15700 jiwa/tahun di Indonesia. Kalau jumlah di atas digabungkan dengan yang di luar Indonesia akan mencapai total 21200 jiwa/tahun. Selain si mungil COVID-19 yang menyebar cepat dan mematikan, ISPA memang dikategorikan oleh WHO sebagai penyakit yang cenderung epidemi dan pandemi.

 

Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga

Pandemi global COVID-19 telah menimpa 34 provinsi di Indonesia. Menurut data yang dilansir oleh covid19.go.id, empat daerah tersebar COVID-19 paling banyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Keempat daerah itu menjadi lokasi persebaran cukup banyak dan besar pembangunan PLTU. Salah satu keberadaan PLTU terbesar berada di Kabupaten Cilacap—bagian Provinsi Jawa Tengah; yang menjadi urutan keempat persebaran COVID-19—dengan total kapasitas 2260 MW. Saat ini pun, Kabupaten Cilacap termasuk paling banyak sebaran COVID-19 di Jawa Tengah menurut data cncbindonesia.com (03/04/2020).

Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap melalui website resminya melaporkan data orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan positif corona. Jumlah total ODP sebanyak 1474 orang; dengan rincian 1386 orang selesai pemantauan dan 88 orang dalam pemantauan. Total 131 orang telah berstatus PDP; terdiri dari 80 hasil lab negatif, 18 jiwa meminggal, dan 51 orang PDP saat ini. Positif corona keseluruhan 41 orang; 35 orang masih positif, yang sembuh 5 orang, sedangkan yang meninggal terdapat 1 orang (06/04/2020).

Di sisi lain, sebagian masyarakat Cilacap yang terdampak PLTU cukup banyak mengidap ISPA sebelum COVID-19 datang. Contohnya adalah beberapa desa di Kecamatan Kesugihan. Data Puskesmas Kesugihan II menunjukkan hingga Juni 2018 terdapat 3360 warga terkena ISPA dengan rincian 2241 pengidap baru dan 1119 pengidap lama. Seperti halnya hasil penelitian Greenpeace, temuan kami di dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) PLTU-B PT Sumber Segara Primadaya (S2P) menyebutkan bahwa keberadaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) diprediksi akan berdampak pada peningkatan jumlah pengidap ISPA dari tahun ke tahun.

Data corona dan data ISPA di atas menunjukkan kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi masyarakat Cilacap, khususnya warga di sekitar PLTU cukup berat. Sebagai warga yang dihadapkan dengan polusi udara hasil pembakaran batubara, potensi kerentanan mereka bias dikatakan akut dalam menghadapi pandemi COVID-19. Apalagi ISPA dan COVID-19 tidak terlalu jauh berbeda dampaknya.

Selain rentan dalam sektor kesehatan, sebenarnya mereka juga rentan dari sisi perekonomian. Mereka kehilangan mata pencaharian yang bias dikatakan lebih berkelanjutan, yaitu pertanian. Sebagian dari mereka harus berpikir susah payah untuk beralih pekerjaan semenjak PLTU datang.

PLTU telah mengusik perekonomian mereka melalui pembangunan di atas lahan yang awalnya sawah. Paska itu, warga berbondong-bondong alih profesi menjadi pengangkut dan penambang pasir. Tragedi itu tak sepenuhnya membuahkan solusi berkelanjutan bagi warga. Baru-baru ini, warga mulai mengalami kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya akibat penghasilan yang didapat tak cukup banyak.

Musibah bertubi-tubi yang menimpa warga tersebut sangat kecil kemungkinan untuk diatasi sendiri. Sejauh ini, langkah nyata membantu warga terdampak PLTU masih belum signifikan (khusunya Warga Winong). Kehadiran pemerintah diperlukan untuk mengatasi itu. Selama ini, pemerintah telahmelakukan pembiaran terhadap persoalan yang lalu, sehingga menyebabkan peningkatan kerentanan warga di masa pandemi ini.

Jangan sampai pembiaran itu berulang kembali. Terlebih lagi, saya berpendapat bahwa perlu perhatian yang lebih terhadap warga terdampak PLTU dengan rasionalisasi penjelasan-penjelasan di atas. Perhatian lebih yang dimaksud tanpa menafikan kesengsaraan di seluruh penjuru negeri ini.

 

COVID-19: Kebijakan Pemerintah Perlu Dikritik

Gambar diambil dari ChinaDaily.com.cn.

___

 

*)Oleh Toto Priyono. Esais. Bermukim di Cilacap.

 

Suatu kebijakan jika memang tidak didasari pada penalaran rasional, ia hanya akan menggelikan pikiran. Tentu bukan menggelikan pikiran orang-orang yang suka kepada pembuat kebijakan tersebut, tetapi menggelikan seorang intelektual yang sudah mampu menimbang dengan rasional; mana kebijakan yang bijak untuk dijalankan, mana yang tidak dan hanya menjadi seremonial .

Pada dasarnya, suatu kebijakan yang dibuat tergantung kualitas dari nalar para pembuat kebijakan tersebut. Umumnya suatu keputusan tentu dapat diukur. Siapakah yang membuat keputusan, di sanalah kedalaman dari rasional manusia bicara. Keadaan rasional pada ujungnya akan bijaksana sebab tradisi berpikir tersebut merupakan jalan menuju kebijaksanaan.

Untuk itu, dalam menanggapi sebuah kasus atau fenomena besar yang menjadi problematika publik; yang memunculkan ketakutan, kegelisahan, bahkan kekhawatiran, haruslah dalam hal ini pemerintahan negara dapat memberi rasa aman pada masyarakatnya. Seperti apakah menciptakan rasa keamanan tersebut?

Menciptakan rasa aman bagi masyarakat adalah dengan dibuatnya kebijakan-kebijakan yang bermanfaat untuk bersama. Tidak hanya untuk pemerintahan negara sendiri, tetapi juga harus memikirkan orang lain yakni masyarakat luas sebagai obyek yang harus dilindungi dengan kebijakan yang negara buat itu.

Setiap perbincangan semesta wacana ideologi poltik, tidak ada suatu negara bisa dianggap gagal. Dalam tradisi Yunani kuno yang mempengaruhi olah pikir masyarakatnya sendiri, memunculkan suatu filsafat bernegara karya filsuf Plato; yang menciptakan sebuah ide bernegara melalui sistem republik. Di dalam kehidupan negara ada undang-undang yang harus masyarakat patuhi sebagai peraturan negara. Dalam hal ini, mempengaruhi kebijakan tersebut dilakukan secara mufakat atau kesepakatan;  yang didasari norma-norma intelektualitas mumpuni di bidangnya masing-masing. Maka dalam sisi ideal kepemimpinan yang mumpuni, seorang pemimpin negara seharusnya filsuf yang mampu berpikir rasional dan bijaksana mengambil keputusan bersama sebagai suatu kebijakan negara.

 

 

COVID-19 dan Refleksi Kebijakan Negara

Pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini membuat negara melalui pemerintahannya berbondong-bondong membuat suatu kebijakan. Untuk sebuah kebijakan negara, Indonesia yang sedang berkampanye melawan virus COVID-19 juga membuat kebijakan baru menyusul kebijakan lama yang salah satu dari kebijkan itu meniadakan tarif listrik bagi pelanggannya selama masa pandemi virus COVID-19.

Maka dari itu, pelanggan tidak mampu khusunya yang mendapat subsidi dari negara; golongan pelanggan 900 watt dan 450 watt, akan digratiskan biaya listrik selama tiga bulan ke depan—menyusul ekonomi lesu disebabkan oleh virus COVID-19 yang mempengaruhi aktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, terus bertambahnya pasien COVID-19 di Indonesia secara otomatis akan disusul dengan kebijakan-kebijakan pemerintah baru menanggapi sebuah isu tersebut.

Salah satu kebijakan yang digalakkan pemerintah saat ini adalah kewajiban masyarakat menggunakan masker saat harus beraktivitas. Negara menyarankan masyarakat untuk tidak keluar rumah menjaga diri di awal-awal virus tersebut mulai mewabah di Indonesia.

Masyarakat yang terkekang aktivitasnya tetap akan merasa jenuh. Pada akhirnya, mereka akan tetap berkumpul dengan tetangga, kalau tidak pergi keluar rumah menyegarkan suasana. Apalagi masyarakat pedesaan, ada atau tidaknya virus COVID-19, tidak mempengaruhi mereka dalam beraktivitas. Yang ke pasar tetap ke pasar, ke sawah juga demikian, pos ronda pun tetap ramai orang. Masyarakat desa mana peduli jarak pergaulan aman dari virus yang negara terapkan melaui aturan lisan—disampaikan polisi saat mereka harus berpatroli menjaga kerumunan.

Tetapi lagi-lagi, tidak lebih sebagai aturan menangapi sesuatu; hanyalah seremonial belaka yang digembor-gemborkan. Karena pada praktiknya, itu tidak benar-benar dimatangkan sebagai sebuah kebijakan negara yang harus dipatuhi. Tetap kosong yang tidak berisi samasekali. Sebagai suatu contoh, di mana refleksi kebijakan negara tersebut nyatanya memang hanyalah sebuah seremonial, termasuk dalam penanganan COVID-19.

Kebijakan wajib masker sendiri yang diterangkan secara resmi melalui juru bicara pemerintah kepada masyarakat pada intinya peduli dengan kesehatan masyarakat. Namun dalam praktiknya sendiri, proyek-proyek pemerintahan seperti galian-galian—baik pipa minyak maupun saluran air pinggir jalan raya—tetap berjalan. Ini jelas sangat kontradiktif di balik pemerintah katanya serius menanggapi masalah COVID-19 demi kesehatan masyarakatnya. Bukankah tidak mungkin dalam aktivitas kerja dilakukan jaga jarak fisik  satu meter? Atau menghindari kerumunan; bahwasanya kerja proyek memang dalam praktiknya sendiri berkerumun?

Sementara, selama masa pandemi virus COVID-19, banyak perusahaan melakukan WFH (work form home) atau belajar online bagi siswa sekolah. Proyek galian di jalan raya sendiri melibatkan banyak pihak. Di pinggir jalan raya sendiri merupakan jalur pipa PDAM dan banyak perusahaan telekomunikasi lainnya yang numpang lahan tanah Dinas PU sebagai jalur kabel fiber optik mereka. Kebanyakan pipa PDAM juga hancur oleh ekskavator (bechoe) menyebabkan layanan kepada masyarakat sendiri terganggu. Bukankah kebutuhan air PDAM sama pentingnya?

Seharusnya jika pemerintah menerapkan kebijakan fokusnya pada kesehatan masyarakat, tentu proyek-proyek negara juga harus dihentikan sementara; meminimalisir penyebaran COVID-19 dan disampaikan kepada masyarakat seperti pemakaian masker yang langsung disampaikan dengan seriusnya didepan media. Apa artinya kebijakan wajib masker jika dari pemerintah sendiri justru lalai dalam tindakan-tindakan pencegahan yang bisa dilakukan dirinya?

Termasuk proyek-proyek PU yang pekerjanya sendiri adalah masyarakat; bukankah  dapat dihentikan sementara tanpa pertentangan? Jelas, Negara Indonesia melalui pemerintahannya mengambil kebijakan yang kontradiktif. Hanya seremonial belaka, seperti showcase memanfaatkan isu COVID-19. Sebab, di dalam kebijakannya terdapat pertentangan.

 

 

Mohisme dan Filsafat Kepemimpinan

Mohisme, sebuah paham filsafat kuno negeri Cina yang tentu tidak sepopuler Taoisme atau aliran Konfusius dalam semesta wacana pengetahuan dunia. Negara Cina dengan sejarah  panjang dinasti dalam ketatanegaraan sendiri membuat filsafat kepemimpinan pada zamannya begitu maju. “Pemimpin yang pandai dan bijaksana akan membuat orang bodoh tunduk dan patuh di bawah kendalinya. Berbeda ketika pemimpin bodoh berkuasa, orang-orang pandai dalam negara akan membrontak karena kebodohan pemimpinnya,” begitulah kata-kata bijak Mo Zi (Mohisme) dalam ide-ide kepemimpinan.

Tentu barometer dari kepemimpinan adalah kebijakan dari pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam hal ini, pemerintahan negara adalah pemimpin dari masyarakat yang ada di negara itu. Oleh karenanya, pemerintahan negara dalam menanggapi sebuah kasus dapat tercermin dari bagaimana kualitas cara kepemimpinan itu sendiri.

Penanganan COVID-19 di Indonesia dan lambannya pemerintah bergerak cepat menjadi tanda. Belum dengan kebijakan-kebijakan kontradiktif pemerintah dalam isu COVID-19 ini. Kaum intelektual yang berontak menggugat kepada negara terkait penanganan COVID-19 adalah pertanda bahwa; Mohisme sebagai tinjauan pengetahuan filsafat akan kepemimpinan patut dikaji lagi kebenarannya.

Dalam filsafat Mohisme sendiri, ujung dari kebijakan pemimpin pemerintahan yang tepat adalah dengan berdiskusi. Pemimpin wajib berpengetahuan; dalam hal ini, suka membaca buku. Sebab di dalam membaca lalu berdiskusi dengan para intelektual, seorang pemimpin dapat menimbang kebijakan apa yang tetap diterapkan di negaranya.

Mungkin masalah kurang membaca menjadi andil kebijakan Negara Indonesia yang sering tidak tepat dan cenderung lamban dalam menanggapi sesuatu masalah. Faktor kepemimpinan pemerintahan negara yang lemah dalam pengetahuan akan membuat kebijakan yang kacau. Dan kebijakan COVID-19 ini, pemerintahan Negara Indonesia jelas tidak melibatkan diskusi pelik dengan para ahli, budayawan, intelektual, bahkan pakar-pakar kesehatan seperti dokter. Maka dari itu, kebijakan yang dihasilkan selalu bercabang dan kontradiktif terkait dengan berbagai isu. Salah satunya, yakni perang melawan virus corona atau COVID-19.

COVID-19: Bagian dari Seleksi Alam?

Kartun karya Bret A. Miller tahun 2009. Diambil dari Crev.info.

 

*]Ditulis oleh Toto Priyono. Bermukim di Cilacap sambil menulis hal-hal kekinian dan sosio-humaniora.

 

_

Saat berbagai kekhawatiran yang belum terjadi menjadi beban pikiran, lalu membunuh mentalitas; hanya ungkapan semu menjadi sandaran-sandaran menjalani hidup. Memang sesuatu yang hidup butuh menguatkan; tidak lebih manusia menguatkan diri dengan cara berdamai dengan dirinya, bahkan saat di mana ia berusaha keras melawan sesuatu yang sedang menimpanya.

Tetapi jika pekerja tidak dapat bekerja, seniman tidak dapat melukis, penyair tidak dapat menulis, pedagang tidak dapat berdagang, pasti manusia dan dunia tidak akan pernah dalam keadaan baik-baik saja (damai). Karena satu ungkapan yang membekas, di mana lagi akan kita gantungkan keluh dan kesah ini sebagai manusia?

Memang sesuatu yang memanggil harus terus dijawab. Apakah jawaban kita sebagai manusia ada yang pasti? Tentu saat kita menjawab; tidak ada kepastian dari hidup. Bahkan sekelas karyawan yang statusnya pegawai tetap sekalipun, di dunia kerja mereka sendiri dapat di-PHK atau pemberhentian kerja ketika suatu hari nanti ekonomi lesu; perusahaan tempat mereka bekerja mengalami kebangkrutan.

Bagi seorang manusia, yang seharusnya siap disambut kedatangannya adalah perubahan dunia. Sebab dalam hal apa pun, dunia akan terus bergerak mengikuti arusnya. Menjadi manusia merupakan pengikut dunia yang siap tidak siap, mau tidak mau; manusia harus melalui semua yang terjadi akibat dari perubahan dunia; yang akan ditawarkan sebagai tantangan alam untuk kehidupan manusia.

Semua akan terdampak perubahan jika memang dunia melalui alam berkehendak melakukan perubahan itu. Maka  dari bibit-bibit perubahan, mungkinkah ulah beberapa gelintir manusia juga mendasari perubahan pada alam—yang tidak disadari sedang melakukan seleksi terhadap apa yang menjadi bagian dari dirinya; yakni salah satunya manusia?

Jika dirasa, bahkan tidak mungkin dipikirkan, perkara virus merupakan suatu hal yang biasa. Flu, demam, dan batuk-batuk, misalnya; adalah suatu hal yang harus terjadi dirasakan oleh manusia bersama dengan daya tubuhnya berdasarkan perubahan iklim yang harus ia rasakan sendiri efeknya. Saat ini dengan berbagai media yang justru menebar ketakutan akan bahaya virus COVID-19—yang disinyalir juga salah satu virus cukup berbahaya di dunia, apakah benar “memang benar-benar berbahaya bagi semua manusia”? Menjadi titik tolak, bahwasanya sebuah virus, pasti sudah ada yang lebih berbahaya dari COVID-19 di masa lalu sebelum ilmu pengetahuan dari kesehatan manusia semaju saat ini.

Sejatinya virus seperti flu, ia juga dapat menular. Tetapi dengan daya tahan tubuh yang kuat, manusia pasti akan tahan dengan virus flu tersebut. Jika memang sudah wabah dan musimnya sendiri, flu memang cepat berkembang, tetapi ketika manusia menjaga dirinya dengan baik, pasti kemungkinan tertular virus—baik flu atau pun COVID-19 sekalipun—dapat ditanggulangi dengan daya tahan tubuh yang dilatih untuk kuat. Bukan sebaliknya, tanpa aktivitas yang justru membuat daya tahan tubuh semakin lemah.

Harus diakui, sesuatu yang terus diberitakan media pasti menjadi sesuatu yang cepat sekali berkembang. Karena di jaman digital ini, media seperti dapat disamakan sebagai virus. Cepat dalam mempengaruhi pikiran, termasuk menciptakan keadaan paranoid semua konsumennya. Oleh sebab itu, menjadi manusia abad ke-21—di mana abad ini merupakan abad yang didesain kehidupannya melalui internet, pikiran manusia dengan sangat mudah dipengaruhi melalui telepon genggam pintar mereka sendiri. Di abad digital ini, telepon genggam pintar menjadi teman wajib bagi hidup manusia. Karena latar belakang zaman, bukan zaman yang mengikuti manusia tetapi manusia yang harus mampu mengikuti zamannya.

Bagaimana zaman mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia merupakan catatan sejarah. Abad ke-18 di mana Revolusi Industri terjadi di Eropa, dengan kecepatan produksi, mempengaruhi efisiensi tenaga kerja manusia. Pada saat tersebut, dunia juga sama; menatap wilayahnya untuk ikut dalam revolusi  industri tersebut yang pada akhirnya setiap zaman mempunyai identitasnya sendiri; seperti apa manusia dalam menanggapi sebuah kemajuan untuk melanjutkan kehidupan. Awal Revolusi Industri 1.0 berbasis pada mesin di abad ke-18. Kemudian menyusul industri berbasis listrik abad ke-19. Lalu abad ke-20, otomasi komputer menjalar ke seluruh dunia. Dan di abad ke 21 ini, wajah dunia berbasis digital di mana internet merupakan sumber utama kehidupan baru merevolusi kehidupan lama manusia.

Sektor bisnis atau sektor-sektor lainnya, dalam hal ini adalah pengguna atau kontrol melalui jaringan internet yang terpadu dari evolusi teknologi sebelumnya. Salah satu hal kecil bentuk kontrol melalui internet saat ini adalah penggunaan barang-barang elektronik rumah tangga seperti lampu, AC, kipas angin yang sudah dapat dikendalikan jauh melampaui nalar manusia. Asal ada jaringan internet sebagai pengendali barang tersebut, ia dapat berfungsi meskipun hanya melalui telepon genggam pintar mereka.

Seharusnya manusia abad ke-21 dengan kemajuan yang begitu pesat tidak heran dengan: “bila saat ini informasi digital sendiri melampaui hebatnya pikiran manusia”. Sebenarnya jika ingin dirasakan dengan akal sehat, nalar manusia telah terdiferensiasi menjadi separo. Seakan-akan, mereka meletakkan akal sehat mereka untuk percaya buta tanpa menimbang suatu kebenaran yang mereka percayai.

Sebab harus kembali diingat bahwasanya abad ke-21, siapa yang dapat memegang suatu kendali media, di sanalah ia sangat berpotensi menang dalam pertempuran. Di abad ke 21, media merupakan Tuhan baru bagi manusia; di mana kata “amin” sangat murah bagi mereka yang katanya percaya Tuhan.

Lalu meletakkan Tuhan-tuhan baru mereka hanya sebatas konten dan membagi dari orang-orang yang sebenarnya melakukan dalih sebuah keisengan. Yang ingin membuat suasana ramai membunuh dirinya dalam ke-gabut-an (tanpa aktivtas) untuk sama-sama mempengaruhi orang lain; membentuk suatu kegiatan yang sebenarnya efeknya sebatas itu saja. Semuanya ada dasar; dan apakah dasar dari terjadinya isu besar seperti virus COVID-19 ini di dunia?

 

 

Argumentasi Fenomena Virus COVID-19

Ungkapan “separuh nalar” berarti sesuatu itu tidak secara penuh dipercaya berdasarkan keyakinan. Di dalam era keterbukaan abad ini, derasnya informasi membuat jalannya sendiri. Bahwasanya semua manusia dapat membuat informasi atas dasar nalarnya. Entah dari mana dasar itu diberitakan, dalam era keterbukaan semua adalah pakar, asalkan ia ingin berpendapat melalui media yang dapat diaksesnya. Tidak ada yang salah dan apa masalahnya?

Tentu seyogyanya bibir manusia atau suara hati yang membuat gelisah (unek-unek) harus disampaikan. Namun apakah harus mengikuti sebuah kaidah-kaidah ilmiah “akademis” untuk membuat suatu pendapat itu? Memang tidak harus. Manusia punya pelbagai dasar; agama, sains, filsafat, atau dengan tulisan ala receh yang hanya disisipi sedikit humor menipu.

Tetapi semua itu tetap kembali; bukan pada kualitas bagaimana manusia menyajikan informasi atau dalam kasus pembuatan konten tertentu. Yang menjadi masalah sendiri, bagaimana manusia mengolah informasi tersebut. Terkadang hal yang separo nalar sendiri justru membuat gempar sebab latah pada sesuatu yang dianggapnya menarik sudah menjadi dalih kebanyakan manusia saat ini—ketika mereka merayakan euforia media (dalam hal ini: internet) sebagai kepanjangan bibir mereka. Maka beredarnya berbagai informasi tentang COVID-19 menjadi hal penting untuk disimak keberadaannya dalam media internet saat ini. Sebab simpang siur informasi tersebut membuat kebenaran seperti bercabang yang tidak ada ujungnya dalam setiap argumentasi.

Banyak versi pembahasan mengenai virus COVID-19. Masing-masing menganalisa bahwasanya virus ini merupakan senjata biologis; puncak dari ketegangan perang dagang negara adidaya—dalam hal ini, tentu Amerika Serikat dan China. Dalam argumentasinya, ada yang menduga tentara Amerika-lah yang menyebarkan virus tersebut di Wuhan, China. Tapi berbeda secara ilmu pengetahuan kesehatan sendiri, virus COVID-19 ini adalah sejenis virus yang dibawa oleh hewan-hewan liar yang banyak diperjual-belikan di banyak pasar secara bebas di wilayah Wuhan—disinyalir menjadi wilayah awal dari penyebaran virus COVID-19 di dunia ini.

Di sisi lain, ada versi di mana industrialisasi juga menyumbang besar pengaruh pandemi virus COVID-19 melalui kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri. Kerusakan alam sendiri akibat ekosistem yang tidak seimbang menjadi polemik bagaimana kuatnya virus COVID-19 menyerang dunia saat ini karena sudah tidak stabilnya alam menyehatkan dirinya sendiri.

Semenjak saat pemerintah Indonesia mementingkan jalannya ekonomi negara tanpa mengambil kebijakan karantina wilayah atau lockdown seperti negara lain, informasi akan dugaan baru virus COVID-19 muncul di berbagai media sosial. Dugaan tersebut bahwasanya virus COVID-19 ini merupakan virus yang sengaja dibuat elit-elit dunia untuk membuat negara bangkrut dengan kebijakan karantina wilayah; yang pada akhirnya membuat negara melakukan pinjaman ke bank yang menguntungkan beberapa gelintir elit dunia melalui pinjaman dana negara-negara.

Bercabang-cabangnya informasi tentang kebenaran virus COVID-19 sebenarnya bukanlah soal yang perlu diperdebatkan manusia. Pada intinya, orang-orang tengah ketakutan. Barang-barang seperti alat kesehatan laris manis, juga barang-barang industri seperti makanan laku keras, dan elit-elit politik seperti mengampanyekan secara besar-besaran informasi COVID-19; yang di dalam praktiknya sendiri, Presiden Jokowi pada saat awal virus COVID-19 mewabah di Indonesia langsung mengonfirmasi sendiri bahwa di Indonesia sudah ada warga yang terjangkit.

Sebenarnya, saya sendiri skeptik terhadap virus COVID-19  “ganas”. Waspada memang perlu, tetapi tidak berlebihan ketakutannya. COVID-19 mungkin sama seperti virus-virus lainya. Ketika ketahanan tubuh manusia lemah, baru dapat masuk ke badan manusia sehingga mempengaruhi kesehatannya. Korban-korban meninggal akibat virus COVID-19 sendiri banyak dari manusia lanjut usia dan balita yang sebelumnya sudah ada komplikasi penyakit.

Sepertinya memang ada konspirasi politik-ekonomi dunia berpengaruh di sini. Kadang, saya berpikir COVID-19  ini dibuat untuk mempengaruhi krisis dunia; pada akhirnya mempengaruhi ekonomi-politik, serta mereorganisasi negara yang kuat dan lemah dalam hal perekonomian. Karena opsi perang terbuka saat ini untuk mempengaruhi kondisi ekonomi global sudah banyak ditentang masyarakat dunia.

Membuat heran, berhembusnya virus COVID-19 ini, justru elit-elit politik dunia  yang membesar-besarkannya di hampir semua negara. Tetapi ini juga  perkiraan dari dalam dugaan subyektif saya sendiri. Pada dasarnya, virus itu dilawan dengan ketahanan tubuh, tetapi orang-orang disuruh di rumah mengurangi aktivitas; sebab dalih berkumpul sendiri merupakan celah masuknya wabah virus COVID-19.

Paradoks sebenarnya. Manusia juga butuh aktivitas melawan virus COVID-19 ini. Tapi ketika COVID-19 merupakan sesuatu yang alami bagian dari seleksi alam, mengapa keputusan dunia tidak “satu suara” mengambil kebijakan demi keselamatan umat manusia? Ataukah pandangan orang-orang beragama tentang Dajjal (wujud manusia jahat) sedang mengeliminir manusia yang sudah overpopulasi itu benar; dengan senjata biologis mengorbankan kemanusiaan membuat negara-negara rusuh?

Banyak versi terkait penyebab COVID-19 ini bermunculan. Terlalu banyak untuk dipikir manusia; mana yang benar atau tidak benar dengan gencarnya media membuat berita. Satu yang dipandang realistis adalah tindakan kemanusiaan itu sendiri selayaknya bencana besar dunia. Di India, isu lockdown membuat rusuh. Italia juga demikian; dengan media mengabarkan banyak korban jiwa berjatuhan di sana. Presiden Amerika menginginkan warganya terus bekerja demi kuatnya ekonomi. Sedangkan negara sosialis seperti Vietnam dan China sukses menangani wabah ini dengan baik tanpa banyak korban jiwa dan penyebaran virus yang berarti di wilayahnya.

COVID-19, dalam pelaksanaan penanganannya sendiri beragam di berbagai negara. Juga, unsur kemanusiaan terpinggirkan penanganannya. Sepertinya virus COVID-19 bukan sebuah bencana alam atau seleksi alam. Saya tidak akan menduga siapa yang membuat; tetapi pelaksanaan dalam penanganan sendiri merupakan ciri di mana ini memang dibuat; tetap isu yang dibuat-buat. Meskipun semakin hari semakin banyak orang meninggal akibat virus COVID-19 dari  berita media, bisa saja, yang meninggal memang sewajarnya meninggal lalu dikaitkan dengan isu-isu virus COVID-19.

 

COVID-19 dan Kejengahan Berpikir

Ilustrasi karya Cat O’ Neil dari Financial Times/FT.com.

___

*)Ditulis oleh Toto Priyono. Esais peminat sosio-humaniora, bermukim di Cilacap.

Seperti kehilangan satu bab dalam kehidupan. Memang di saat manusia memaknai sebuah rasa pada setiap bentuk kehidupannya, ia bukan hanya akan menjadi sepucuk kepentingan tetapi menjadi hal-hal yang tentunya meyakinkan. Bahwasannya kehidupan ini tetap akan menunjukkan bagaimana manusia akan menjalani hidup yang pada dasarnya ia tidak dapat bertumpu pada orang lain; melainkan ia harus menjalani hidup ini dari dan untuk dirinya sendiri.

Setiap bentuk kekhawatiran dari hidup, ia tidak akan berarti di kala perut-perut manusia itu sendiri mulai lapar. Panas, hujan, ataupun badai menghadap manusia sekalipun, yang dalam ruang hidupnya sendiri telah menjadi teman tidak dapat ditinggalkan. Namun manusia dalam wacana pemikirannya, apa yang merugikan haruslah dihindari.

Tetapi kenyataan hidup itu merupakan buah-buah dari sisi kontradiktif yang harus diterima oleh manusia.  Karena kebutuhan untuk makan sendiri lebih wajib daripada setiap hari ia, manusia, harus ibadah menatap surga. Sebab tanpa perut merasa kenyang, surga adalah janji yang bohong dikhayalkan oleh manusia. Bahkan dalam situasi di mana mencari makan disandingkan dengan potensi terkena penyakit melalui virus corona atau COVID-19, misalnya, atau dengan ancaman-ancaman penyakit lain.

Apakah benar manusia akan menurut pada ketakutannya akan penyakit itu jika kepentingan akan kebutuhan makannya sendiri tidak terpenuhi? Seringkali, saat pikiran ditaburi berbagai informasi ragam ketakutan, keganasan, atau dengan doktrin-doktrin yang mereka terima tentang kehidupan sengsara menjadi manusia, adalah wadah sebuah kekhawatiran.

Tentang bagaimana pikiran itu mempengaruhi, dalam satu titik, pikiran manusia mampu melampaui ketakutan untuk menjadi sebuah keberanian. Karena tentu permainan pikiran merupakan salah satu kelemahan manusia di balik gagahnya sifat alamiahnya menaklukan alam dengan berbagai ancaman yang akan diterima. Di sini jelas, alam dan interpretasi keganasannya seringkali mengancam. Namun perkara ancaman itu, bukankah kehendak manusia hanya untuk bertahan hidup di dunia—di mana salah satu cara yang tidak dapat ditinggalkan adalah kebutuhan untuk makan?

Oleh sebab itu, seberapa pun takut pikiran manusia mempengaruhi kehidupannya, ketakutan paling nyata adalah bagaimana ia sendiri tidak dapat makan; sebab di sana, manusia tidak dapat melanjutkan kehidupan. Maka ancaman apa pun, tidak akan pernah mempan dalam pikiran jika manusia memang belum tercukupi kebutuhannya untuk makan.

Kebutuhan makan merupakan distrosi dari pikiran, karena seberapa hebat pemikiran, ia tidak akan pernah jalan ketika perut manusia belum merasa kenyang. Ketakutan apa pun yang timbul dalam semesta wacana pemikiranya memalui media keterpengaruhan sebenarnya ia hanya mempengaruhi perut-perut manusia yang sudah kenyang dan hidup tanpa kekhawatiran. Maka kabar yang setiap hari berhembus di media sana merupakan alat untuk menyasar orang-orang yang sudah kenyang perutnya tersebut untuk mempengaruhi pikirannya, lalu ia akan mempengaruhi manusia-manusia lain di sekitarnya. Sebagai argumen sendiri, apakah dengan berbagai isu ketakutan masyarakat dunia akan virus COVID-19 ini mempengaruhi manusia-manusia yang lapar butuh makan?

Tentu tidak demikian. Seseorang yang lapar dan tidak punya apa-apa lagi untuk memenuhi kebutuhan makannya seperti uang atau bahan makanan. Manusia akan berontak mencarinya meskipun dengan rasa ketakutan untuk melawan pikirannya sendiri—begitupula dengan negara di mana mereka takut dan melakukan karantina wilayahnya. Mereka adalah negara-negara lapar yang takut dan khawatir tidak dapat makan atau berjalan hidup di hari depan; yang dalam semesta wacananya sendiri tetap yang dipikirkan adalah ekonomi. Sebab jika negara bangkrut secara ekonomi, orang-orang yang ada di dalam negara sendiri justru sebenarnya takut mati kelaparan.

 

Indonesia Juga Negara Lapar

COVID-19 dan ungkapan karantina wilayah merupakan satu dari berbagai kata ketakutan pikiran masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Dalam wacananya sendiri, media di indonesia sangat gencar memberitakan kasus COVID-19 dengan narasi ketakutan. Tetapi dari sekian banyak pengonsumsi kuat media adalah kelas menengah yang mapan secara ekonomi; memungkinkan perut mereka dapat tetap kenyang walaupun jika selama setahun ini isu virus corona atau COVID-19 tetap berlaku.

Berbeda dengan kelas bawah—yang secara ekonomi sendiri untuk kebutuhan makan sangat rentan, mana peduli mereka terhadap media atau tentang omongan tetangga. Bahkan omongan para birokrat sendiri yang menganjurkan tetap di rumah atau tidak mudik untuk warga perantauan ke kampung halaman karena takut menularkan virus COVID-19. Untuk itu, mungkinkah anjuran-anjuran dalam bentuk pesan sendiri tanpa tindakan yang terasa akan benar-benar dilaksanakan?

Tentu ini bukanlah pilihan yang baik dan bijaksana bagi para perantau dengan adanya isu-isu terhadap penularan COVID-19 yang melumpuhkan ekonomi kota; yang penduduknya didominasi kelas menengah-atas. Jika ekonomi lumpuh dan perantau hanyalah menghuni pos kelas bawah rentan secara ekonomi di perantauan—yang bergantung pada aktivitas ekonomi kota dan aktivitas itu lumpuh, bagaimana mereka akan bertahan hidup di kota? Mungkinkah manusia akan makan aspal dan beton-beton di kota?

Warga kelas bawah kota yang didominasi pengungsi ekonomi dari desa tentu juga sama; masih manusia yang tidak takut apa pun meskipun pikirannya terpengaruh ketakutan akan informasi di media terkait dengan virus COVID-19 itu ketika perutnya sendiri lapar dan takut akan kelaparan di masa yang akan datang dengan tetap nekat mudik ke desa. Ketika di desa, para pengungsi ekonomi di kota masih dapat makan. Karena dalam kondisi krisis, desa lebih tahan secara ekonomi daripada perkotaan sebab pertanian masih dapat berjalan; memungkinkan manusia masih dapat makan.

Maka wacana hanya sampai kepada wacana kembali. Mungkin gembor-gembor stay at home atau work form home hanya berlaku untuk para karyawan kerah putih (kantoran) atau keluarga kalangan menengah ke atas yang tidak rentan secara ekonomi. Berbeda dengan karyawan rendahan (pekerja kasar) atau buruh-buruh rendahan yang dibayar sesuai pekerjaan.

Meskipun anjuran dari birokrat negara dan elit negara untuk menjaga diri supaya tidak terpapar virus COVID-19 dengan tetap di rumah atau kerja dari rumah, hanyalah status saja seolah-olah negara melalui pemerintah memberi perhatian terhadap warganya. Namun dalam pelaksanaanya sendiri, birokrat—dalam hal ini orang-orang dalam pemerintahan negara—yang secara ekonomi berstatus menengah ke atas dan menumpang hidup dari keberadaan negara juga sebenarnya takut jika negara melakukan karantina wilayah. Mereka takut negara bangkrut dengan mematuhi undang-undang negara yang harus memberi makan masyarakat selama karantina wilayah. Oleh sebab itu, istilah “Negara Indonesia juga lapar” sebenarnya bukan negaranya yang miskin tetapi para birokrat yang takut miskin ketika negara bangkrut.

Mungkin inilah sebab mereka melakukan kebijakan terkait kesehatan masyarakat dalam hal pencegahan virus COVID-19 cenderung kontradiktif. Mereka menginginkan kebijakan karantina wilayah dengan tetap di rumah atau kerja dari rumah namun lepas tanggungjawab; tidak mau menanggung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan dasarnya, yakni kebutuhan makan.

Negara Indonesia yang lapar ini melakukan kebijakan yang arahnya tetap pada tujuan ekonomi supaya tidak bangkrut. Maka dari itu, kebijakan termasuk penggelontoran dana beratus-ratus triliyun dalam pencegahan virus COVID-19 sendiri merupakan kebijakan yang tidak ramah penanganan COVID-19 untuk kesehatan masyarakat.

Penghapusan biaya listrik sendiri selama masa darurat bencana COVID-19 bukanlah solusi tepat karena di masa selanjutnya harganya listrik sendiri dapat dimonopoli negara. Bisa terjadi, ketika sudah tidak darurat bencana, harga listrik dinaikkan; mengamankan lagi uang negara. Pada akhirnya, masyarakat-masyarakat juga yang terkena imbasnya nanti. Atau dengan program-program pemerintah melalui Keluarga Harapan, Kartu Pra Kerja, dan sebagainya—yang dapat angin segar tambahan anggaran, bukankah itu program rutin pemerintah; bukan upaya penanganan kesehatan masyarakat terkait kesehatan? Upaya apa yang dilakukan pemerintah Negara Indonesia tidak lebihnya hanyalah politik etis dalam penanganan virus COVID-19?

Di sisi lain, ketika proyek-proyek pemerintah seperti pekerjaan umum di jalan raya dengan pembuatan saluran air masih berjalan, anehnya birokrat berjalan-jalan keliling di jalan-jalan raya nasional dengan menyemprot cairan disinfektan. Bukankah jika kesehatan masyarakat nomor satu, maka proyek-proyek tersebut diberhentikan dahulu; sebab dalam pengerjaannya sendiri merupakan elemen masyarakat yang bekerja dan mereka juga butuh kesehatan?

Negara yang para birokratnya lapar akan selalu lamban dalam penyelesaian masalah, baik bencana atau apa pun yang melibatkan anggaran negara. Maka tidak heran, di saat negara lain bereaksi atas pandemi virus COVID-19 mementingkan kesehatan masyarakat, Indonesia sendiri justru mementingkan ekonomi dan membuat kebijakan yang justru tidak ramah kesehatan masyarakat. Membuat aturan dan himbauan ini dan itu tetapi hanya omong tanpa tindakan sesuatu yang berarti. Seperti janggalnya keputusan yang dapat berubah setiap jam yang tadinya tidak dihimbau mudik, kini berubah menjadi diperbolehkan demi untuk terjaganya iklim ekonomi negara Indonesia.

COVID-19 adalah tentang sebuah kejengahan aturan dan himbauan maupun gemboran media abal-abal yang ingin hidup dengan isu—karena terpenting ada konsumsi dan ekonomi untuk media tersebut jalan. Pada dasarnya, Pemerintah Indonesia yang lapar tidak pernah serius untuk penanganan kesehatan masyarakat. Umumnya negara lapar, ia butuh makan, makan, dan makan. Siapakah yang kurang makan tersebut dan tidak pernah kenyang, adalah orang-orang yang ada dalam pemerintahan negara.

Di saat masyarakat butuh sehat, negara melalui pemerintahannya justru lamban dalam mengambil kebijakan, bahkan membuat kebijakan tetap tidak pro-rakyat (masyarakat). Maka selamanya, negara juga termasuk penjajah yang mementingkan dirinya; bukan rakyatnya sebagai prioritas utama; membuat kebijakan justru lebih menguntungkan banyak gelintir orang yang ada di dalamnya.

Flu Makroekonomi

 

 

 

*]Digagas oleh: Beatrice Weder di Mauro. Profesor ekonomi internasional di Graduate Institute of Geneva dan anggota kehormatan di INSEAD Emerging Markets Institute, Singapura. Sejak Juli 2018, ia menjabat sebagai Presiden dari  Centre for Economic Policy Research (CEPR). Dari tahun 2001 hingga 2018, dia memegang Ketua Ekonomi Makro Internasional di Universitas Mainz, Jerman.

 

_

Ingatkah kapan terakhir kali Anda terkena flu?

Kemungkinan bersama dengan demam, kelelahan, dan rasa sakit; ada perasaan bahwa dunia ini benar-benar menyedihkan dan sangat tidak adil. Lalu suatu pagi, semuanya menghilang. Setelah merasa lega dan bersyukur secara singkat, dunia kembali terasa normal dan Anda dengan cepat melupakan semua episode itu.

Beginilah kiranya cara kita berpikir tentang “gangguan kesehatan” sementara bagi ekonomi. Istilah “flu makroekonomi” adalah ketika pasokan  dalam kondisi sementara negatif  dan juga mengalami kejutan permintaan sehingga output (hasil produksi) menurun untuk sementara waktu; hanya untuk mengarah ke pemulihan cepat dan kemungkinan mengejar ketertinggalan kemudian. Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam satu kuartal (seperempat tahun) mungkin lebih rendah. Tetapi, di masa depan akan lebih tinggi dan bahkan sepenuhnya mengkompensasi kekurangan output.

Tidak ada alasan bagi pemangku kebijakan untuk merasa gugup atau terlalu aktif. Lakukan apa yang terbaik dari kebijakan moneter konservatif klasik: tunggu lebih banyak data. Itu cuma flu biasa atau lebih tepatnya bersin makroekonomi—-bukan pandemi; jadi janganlah panik.

COVID-19 masih bisa berubah seperti sekarang ini dengan gangguan beberapa minggu dan kemudian akan banyak pengejaran ketertinggalan produksi dan konsumsi yang hilang. Tapi, hal itu menjadi sangat tidak mungkin.  Memang,  kemungkinan gangguan akan semakin besar dalam skala sedunia dan mungkin akan tetap saja. Setidaknya, itulah yang disimpulkan pasar  pada minggu lalu dengan agak terlambat.

Dampak pada pertumbuhan global dan regional dari skenario seperti itu masih sangat tidak pasti. Namun, beberapa perkiraan awal menyatakan bahwa akan terjadi penurunan dampak secara besar. Ambillah contoh skenario paling ekstrem dari yang parah tentang pandemi global sementara yang disajikan oleh Warwick McKibbin dan Roshen Fernando: kerugian PDB (nilai pasar untuk barang & jasa yang diproduksi suatu negara periode tertentu) rata-rata adalah 6,7%, dengan kerugian 8,7% untuk AS dan kawasan Euro.

 

 

Kejutan Skala Global, Durasi, dan Keteguhan

Sebagian besar, ukuran keterkejutan akan ditentukan oleh ukuran yang diambil untuk menghindari penularan skala besar dan untuk membatasi area penyebaran. Seperti diketahui sekarang, virus ini sangat menular tetapi tidak terlalu fatal. Dalam sebagian besar kasus, tampaknya itu tidak lebih buruk dari flu musiman. Dengan demikian, pengisolasian—yang mengganggu pekerjaan & membatasi pertemuan dan perjalanan—akan menjadi kejutan negatif bagi supply yang lebih besar daripada jumlah kematian—bahkan yang terakhir pun masih bisa menjadi besar.

Lockdown secara penuh maupun sebagian seperti di Cina adalah suatu ukuran paling ekstrem dan dapat membuat produksi dan konsumsi hampir terhenti. Tindakan ekstrem semacam itu kemungkinan akan tetap terbatas pada area tertentu dan akan sulit untuk dipertahankan dalam waktu yang lama.

Ukuran yang kurang ekstrem, seperti membatalkan acara berskala besar, cenderung tetap terjadi lebih lama. Minggu ini, Pemerintah Perancis melarang semua acara lebih dari 5000 orang dan Pemerintah Swiss melarang acara lebih dari 1000 orang (mengapa perbedaannya tidak jelas?). Beberapa dari acara ini dapat ditunda, tetapi banyak yang tidak bisa. Juga, pada minggu ini semakin banyak perusahaan telah memberlakukan pembatasan global pada perjalanan internasional yang tidak sepenuhnya penting bagi bisnis; mere untuk meka telah beralih untuk menunda acara klien atau menahannya dari jarak jauh dan merupakan menetapkan shift kerja (dengan tim A dan B bergantian antara bekerja dari rumah dan di kantor). Tindakan semacam itu juga bisa dilakukan lebih lama karena akan sulit bagi pengambil keputusan untuk menyatakan dengan jelas selama jumlah yang terinfeksi masih meningkat.

Gangguan rantai pasokan juga bisa berubah menjadi lebih besar dan lebih luas dari yang saat ini terbukti. Maersk, salah satu perusahaan pengiriman terbesar di dunia, telah membatalkan puluhan kapal kontainer dan memperkirakan bahwa pabrik-pabrik Cina telah beroperasi antara 50% – 60% dari kapasitasnya. Pengiriman barang ke Eropa dari Asia melalui laut memakan waktu sekitar lima minggu. Jadi, barang yang datang saat ini merupakan stok dari masa pra-virus. Dewan Pengiriman Internasional (International Chamber of Shipping) memperkirakan bahwa virus ini membuat industri kehilangan $ 350 juta per minggu sebagai pendapatan yang hilang. Lebih dari 350000 kontainer telah dipindahkan dan ada 49% lebih sedikit pelayaran dengan kapal kontainer dari Cina antara pertengahan Januari dan pertengahan Februari.

Bagaimana dengan permintaan yang melonjak? Yang jelas, korban pertama adalah industri transportasi dan perhotelan. Pelabuhan dan terminal menghadapi penurunan pendapatan pada saat yang sama dengan biaya yang dihadapi lebih tinggi dari kemacetan pekarangannya karena penumpukan kontainer kosong, serta adanya permintaan para pelanggan untuk meniadakan biaya penyimpanan karena force majeure (keadaan tak terelakkan). IATA (International Air Transport Association) memperkirakan bahwa industri penerbangan dapat menghadapi kerugian 29 miliar dolar AS dari pendapatan penumpang ketika mereka meramalkan pola dampak SARS terhadap perjalanan udara. Pada akhirnya, ukuran keterkejutan permintaan hanya akan ditentukan sebagiannya oleh bahaya infeksi secara obyektif atau oleh ukuran resmi untuk jarak sosial. Ketakutan dan ketidakpastian akan menentukan kehati-hatian. Jika terjadi kekhawatiran, rapat akan dibatalkan alih-alih menjalankan risiko; sehingga terjebak dalam isolasi karantina rumah.

Cina telah menjadi sumber permintaan utama dalam ekonomi dunia dan banyak industri inti Eropa sangat bergantung pada pasar Cina. Penjualan di Cina menyumbang hingga 40% dari pendapatan industri mobil Jerman—sebagai contohnya—dan mereka telah runtuh selama beberapa minggu terakhir. Ini tampaknya menjadi contoh di mana kekurangan permintaan lebih cenderung bersifat sementara: mobil baru biasanya bukan barang penting dan pembelian bisa ditunda sampai situasi normal.

Efek waktu mungkin lebih permanen. Gangguan terhadap perusahaan, individu, dan pemerintah mengalami implikasi bahwa globalisasi dan integrasi mungkin berisiko dari kejutan kesehatan semacam itu. Perusahaan mungkin akan mempertimbangkan pelajaran yang mereka pelajari bahwa rantai pasokan global dapat tiba-tiba rusak oleh guncangan kesehatan. Memang, COVID-19 pada akhirnya mungkin akan membuat lebih banyak para merkantilis di pemerintah AS mengundurkan diri.

Pemerantara dan pengatur keuangan juga cenderung memasukkan kejutan pandemi sebagai penilaian risiko dan tes stres mereka. Bagaimana pemerintah menangani krisis, mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang untuk stabilitas dan kepercayaan. Tanggapan terhadap wabah di negara tetangga, misalnya, dengan menutup perbatasan dan menunda kereta—seperti yang dilakukan Austria dan Italia—dapat mempromosikan stigmatisasi dan disintegrasi.

Diskriminasi ras dan nasional telah membesarkan kepala mereka yang berakal picik. Di masa kebangkitan nasionalisme dan populisme, ketakutan dan kecurigaan orang terhadap “orang lain” mungkin menjadi kekuatan untuk disintegrasi yang lebih buruk daripada Brexiteers. Akhirnya, virus mungkin menjadi endemik, artinya terus beredar pada manusia; dan itu akan menjadi endemik manusia coronavirus yang kelima.

 

Bagaimana Para Pembuat Kebijakan Menanggapi Resesi?

Meskipun virus ini mulai menyebar di AS baru-baru ini, pihak Federal Reserve telah bereaksi dengan menurunkan suku bunga darurat untuk meyakinkan investor. Bank sentral utama lainnya memiliki ruang lebih sedikit untuk memotong suku bunga, tetapi mereka harus siap untuk menyediakan likuiditas jika terjadi gangguan pasar atau tekanan pada perantara keuangan dan tetap meminjamkan untuk usaha kecil. Mereka harus memberi sinyal kesiapan untuk meninjau menu program mereka sekali lagi jika memang ada kekurangan jangka panjang dalam permintaan dan melakukannya dengan berkoordinasi bersama bank sentral lain.

Tetapi, kebijakan fiskal jelas akan menjadi alat yang lebih baik jika skenario pelayanan terwujud. Langkah-langkah fiskal dapat dengan cepat dikerahkan sebagai bantuan yang ditargetkan untuk mereka yang terkena dampak karantina dan kekurangan pendapatan. Sebagai contoh, Italia telah mengumumkan serangkaian bantuan untuk komunitas dan perusahaan yang paling terkena dampaknya dengan menggunakan instrumen serupa dengan yang akan dikerahkan setelah bencana alam. Pemerintah Jerman berbicara tentang Kurzarbeit sebagai skema subsidi negara untuk melindungi pekerjaan yang digunakan selama krisis keuangan global. Ini juga mengisyaratkan kesiapannya untuk mempertimbangkan paket stimulus fiskal. Cina, Hong Kong, dan Singapura telah memutuskan langkah fiskal substansial untuk merangsang permintaan dan meningkatkan kepercayaan (hampir 2% dari PDB untuk kasus Singapura).

Langkah-langkah untuk membendung penyebaran COVID-19 masih terfokus pada beberapa negara yang belum terlindungi, namun mungkin akan terjadi goncangan global dan umum yang sebanding dengan Lehman Shock (kebangkutan Lehman Brothers yang memicu krisis ekonomi 2008). Kemudian, para pemimpin dunia berkumpul untuk mengumumkan tanggapan bersama terhadap krisis bersama.

Stimulus fiskal dan paket keuangan yang terkoordinasi adalah nilai tertinggi untuk G20 dan jelas berkontribusi untuk meredam guncangan terhadap ekonomi dunia. Para pemimpin saat ini menghadapi tes stres yang serupa dan mereka akan diukur dengan kemampuan mereka untuk menghadapi ancaman bersama ini secara efektif. Ini terutama berlaku untuk Eropa.

Perpecahan kecil yang saat ini menjangkiti Uni Eropa (UE) harus disisihkan untuk menunjukkan kemauan dan kemampuan untuk bertindak bersama dan untuk menunjukkan solidaritas dengan mereka yang terjebak. Selain menggunakan fleksibilitas aturan fiskal Eropa untuk menambah ruang belanja, UE juga harus mempertimbangkan dana bantuan bencana bersama untuk membantu daerah dan masyarakat yang terkena dampak. Kata-kata terkenal Jean Monnet bahwa Eropa akan ditempa dalam krisis mungkin berdering sekali lagi.

Dalam nada yang sama, pemerintah dan pembuat kebijakan harus sangat berhati-hati untuk mengirim pesan kohesi, tanggungjawab, dan kepemimpinan untuk mencegah rasa takut dan panik. Mereka dapat belajar dari Singapura dalam hal ini. Singapura telah berjuang melawan penyakit ini sejak Tahun Baru Imlek; itu sangat terhubung dengan Cina dan memiliki lonjakan kasus sejak awal, tetapi tampaknya telah cukup berhasil menahan penyebaran.

Dari awal, pemerintah Singapura berkomunikasi secara luas dan meminta warga untuk berperilaku secara bertanggungjawab dan saling menghormati. Pada waktu bersamaan, hal itu menjadi transparansi dan kejujuran ​​tentang tindakan yang harus diambil jika eskalasi tingkat ancaman berlanjut. Ini bisa menjadi sebuah contoh bagaimana masalah kohesi sosial dapat ditemukan ketika pemerintahnya menyediakan beberapa masker untuk setiap rumah tangga tetapi mengurangi penggunaan masker kecuali oleh mereka yang merasa sakit (atau oleh petugas kesehatan). Masalahnya adalah relatif sederhana ketika Anda berpikir bahwa: ada satu negara di dunia di mana semua orang bergegas untuk menimbun masker (serta makanan, kertas toilet, dan sebagainya) dan menggunakannya untuk melindungi diri mereka sendiri, hingga diketahui bahwa tidak ada cukup masker untuk setiap orang sehat di dunia.

Ada keseimbangan sosial lain di mana masker digunakan oleh mereka yang mungkin mentransmisikan kuman (COVID-19 atau yang lain) untuk melindungi orang yang lainnya. Yang terakhir,  jelas merupakan proses sosial yang lebih baik tetapi membutuhkan kepercayaan yang harus dibantu pemerintah untuk membangunnya melalui tindakan mereka sendiri.

Secara keseluruhan, banyak yang akan tergantung pada bagaimana pemerintah menangani pertemuan yang dekat dengan alam dan ketakutan ini. Itu bisa menjadi krisis ekonomi dimensi global dan ancaman bagi globalisasi atau itu bisa menjadi momen bagi para pembuat kebijakan untuk mengelola respon krisis bersama dan bahkan berhasil membangun kembali kepercayaan terhadapnya.

_

[Diterjemahkan oleh: Trias Putra Pamungkas. Penekun desain grafis dan penerjun literasi sosial. Alamat IG: klik sini.]

 


Naskah ini merupakan suatu esai yang dinukil dari buku “Economic in the Time of COVID-19” yang diterbitkan oleh Center of Economic Policy Research di London, Inggris.


 

 

 

 

Kenapa Tidak Melindungi Tikus Selayaknya Primata?

_

*)Digagas bersama oleh:

_

Akhir 1990-an, Jaak Panksepp, bapak ilmu saraf afektif, menemukan bahwa tikus tertawa. Fakta ini  tetap tersembunyi karena tikus menertawakan celetuk ultrasonik yang tidak dapat kita dengar. Ketika Brian Knutson, anggota laboratorium Panksepp, mulai memantau vokalisasi mereka selama melakukan permainan sosial, ia menyadari ada sesuatu yang muncul secara tak terduga yang mirip dengan tawa manusia.

Panksepp dan timnya mulai mempelajari fenomena ini secara sistematis dengan menggelitiki tikus dan mengukur respons mereka. Mereka menemukan bahwa vokalisasi tikus lebih dari dua kali lipat selama tergelitik. Dan ketika tikus terikat dengan ticklers, mereka lebih sering mendekatinya untuk bermain-main. Tikus-tikus itu merasa bersenang-senang. Namun penemuan itu mendapat tentangan dari komunitas ilmiah sebab dunia tidak siap dengan tikus yang tertawa.

Penemuan itu hanyalah puncak gunung es. Sekarang kita tahu bahwa tikus tidak hanya  hidup di masa sekarang, melainkan juga mampu menghidupkan kembali ingatan pengalaman masa lalu dan merencanakan mentalnya di hadapan rute navigasi yang nantinya akan mereka lalui. Mereka secara timbal balik memperdagangkan berbagai jenis barang dengan satu sama lainnya—dan memahaminya tidak hanya ketika mereka berutang budi kepada tikus lain, tetapi juga memahami bahwa bantuan itu dapat dibayar kembali dalam mata uang yang berbeda. Ketika mereka membuat pilihan yang salah, mereka menampilkan sesuatu yang tampak sangat dekat dengan penyesalan.

Meskipun memiliki otak yang jauh lebih sederhana dibandingkan manusia, ada beberapa pembelajaran di mana mungkin mereka mengungguli Anda. Tikus dapat diajarkan keterampilan yang menuntut secara kognitif; seperti mengendarai kendaraan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, bermain petak umpet dengan manusia, dan menggunakan alat yang sesuai untuk mengakses makanan di luar jangkauan.

Namun penemuan yang paling tak terduga ialah bahwa tikus mampu berempati. Sejak 1950-an dan 1960-an, studi perilaku secara konsisten menunjukkan bahwa tikus jauh sebagai makhluk egois—yang ditunjukkan oleh citra populer atas mereka. Semuanya dimulai dengan sebuah penelitian di mana tikus menolak menekan tuas untuk mendapatkan makanan ketika tuas itu juga memberikan kejutan kepada sesama tikus di kandang yang berdekatan.

Tikus-tikus lebih suka kelaparan daripada menyaksikan tikus lain menderita. Studi lanjutan menemukan bahwa tikus akan menekan tuas untuk menurunkan tikus yang dihukum oleh kekangan; yang menunjukkan bahwa mereka akan menolak untuk menyusuri jalan setapak di labirin jika itu menghasilkan kejutan yang dikirim ke tikus lain; dan bahwa tikus-tikus yang terkejut sendiri lebih kecil kemungkinannya membiarkan tikus-tikus lainnya ikut terkejut, karena mereka sendiri yang mengalami ketidaknyamanan. Tikus saling menjaga satu sama lain.

Tetapi penemuan mengenai empati tikus juga menemui keraguan. Bagaimana tikus bisa berempati? Tentunya pasti ada yang salah dengan prosedur eksperimental. Sehingga, program penelitian empati tikus menjadi terbengkalai selama sekitar 50 tahun. Dunia tidak siap lagi dengan empati dibandingkan tawa dari tikus.

 

***

Tahun 2011, persoalan empati tikus muncul kembali ketika sekelompok ilmuwan menemukan bahwa tikus akan secara andal membebaskan tikus lain yang terperangkap dalam tabung. Itu bukan hanya karena mereka ingin tahu atau ingin bermain dengan peralatan; sebab jika tabung itu kosong atau berisi tikus mainan, mereka akan cenderung mengabaikannya. Dan tabung itu tidak mudah dibuka—itu membutuhkan usaha dan keterampilan—sehingga tampaknya tikus itu benar-benar ingin membebaskan sesama mereka.

Kebanyakan ilmuwan merasa tidak yakin. Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa tikus-tikus itu mungkin hanya ingin bergaul  dengan seseorang atau mereka merasa jengkel dengan suara-suara gaduh dari tikus yang terperangkap sehingga menginginkannya berhenti. Tikus, menurut para ilmuwan ini, tidak bertindak atas dasar kepedulian terhadap yang lain; melainkan karena egoisme murni. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari tikus?

Sementara, skeptisisme semacam ini biasanya dipuji oleh para ilmuwan dan ini merupakan berita buruk bagi para tikus. Sejak percobaan 2011 itu, telah terjadi ledakan studi berbeda yang terus menempatkan tikus dalam situasi berbahaya untuk melihat apakah orang lain akan membantu mereka.

Mereka menemukan pola yang sama: tikus lebih mungkin dan lebih cepat untuk membantu tikus yang tenggelam ketika mereka sendiri telah mengalami basah kuyup. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memahami bagaimana perasaan tikus yang tenggelam. Tikus juga akan membantu tikus yang terjebak bahkan ketika mereka dapat melarikan diri dan menghindari situasi; sesuatu yang banyak manusia gagal lakukan. Hasil penelitian ini menarik, tapi mereka tidak menunjukkan kepada kita lebih dari apa yang kita duga dari pekerjaan serupa yang dilakukan pada 1950-an dan 1960-an—yang menunjukkan bahwa tikus empatik. Sementara itu, penelitian telah menimbulkan dan terus menimbulkan rasa takut dan kesulitan yang signifikan kepada tikus.

Para ilmuwan terus bersedia membahayakan tikus karena mereka dipandang sebagai alat penelitian yang murah dan sekali pakai. Di AS, tikus tidak dilindungi oleh undang-undang kesejahteraan hewan: para ilmuwan dapat secara legal melakukan apa pun yang mereka inginkan. Ini berlaku untuk bagaimana tikus diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan dibunuh. Meskipun para ilmuwan telah menemukan bahwa membunuh tikus menggunakan karbondioksida menyebabkan kesusahan yang tidak perlu, ini terus menjadi metode yang populer untuk membuang mereka begitu kegunaannya telah berakhir. Dan, ada pula metode lain. Ilmuwan John P. Gluck dalam bukunya Voracious Science and Vulnerable Animals (2016), menjelaskan bagaimana ia diajari untuk menidurkan tikus ketika kloroform habis:

Supervisor saya mengambil seekor tikus jantan besar di tangannya, lalu berbalik menghadap dinding batu bata yang menjalar ke ujung bangunan. Sambil mengangkat bagian belakang tubuhnya, ia melemparkan tikus itu ke dinding—layaknya pelempar bola baseball yang sedang melakukan fastball. Tikus itu meletup ketika menabrak dinding dan langsung jatuh  ke atap yang tertutup kerikil, bergetar, dan kemudian berbaring diam dalam naungan bayangan dinding.

 

Para ilmuwan sekarang bermain-main dengan empati tikus untuk menemukan cara mengobati psikopatologi manusia. Dalam beberapa kasus, tikus diberikan perlakuan yang untuk sementara waktu menonaktifkan kemampuan empati mereka; seperti pemberian ansiolitik, parasetamol, heroin, maupun kejutan listrik. Dalam kasus lain, hal ini dapat memberikan kerusakan permanen pada tikus. Tikus juga bisa dipisahkan dari ibu mereka saat lahir dan lalu dibesarkan dalam isolasi sosial. Dalam beberapa penelitian, amigdala mereka (area otak yang bertanggungjawab untuk emosi dan afiliasi) mengalami rusak secara permanen. Tujuan eksplisit dari penelitian ini adalah untuk menciptakan populasi tikus yang sakit mental, trauma, dan menderita secara emosional.

Ada pula kekhawatiran tentang percobaan ini dari perspektif kesejahteraan; yakni kekhawatiran yang lebih dalam dari perspektif etika yang menghormati otonomi individu. Eksperimen ini mengubah individu yang sehat dan berempati menjadi psikopat berperasaan. Ini merupakan pelanggaran mendalam terhadap integritas agen psikologis. Namun penelitian-penelitian semacam ini dibenarkan sebagai cara untuk menciptakan model binatang dari penganiayaan masa kanak-kanak, psikopati, defisit fungsi sosial dalam kecanduan opioid, kegelisahan dan depresi, gangguan perilaku, dan perasaan tidak berperasaan—yang idealnya akan membantu kita nanti untuk merawat kondisi ini pada manusia.

Logika di balik penelitian ini paradoks: tikus cukup dekat dengan kita untuk menjadi model bagi psikopatologi manusia tetapi cukup jauh dan berada di luar masalah etika. Para peneliti saat ini hampir tidak akan bermimpi menciptakan manusia psikopat sebagai bahan pembelajaran atau menunjukkan subyek anak manusia yang benar-benar tak terselamatkan untuk memberikannya kesempatan selamat. Alasannya sederhana: manusia memiliki sifat empatik yang harus dihormati. Tapi kita melakukannya pada tikus, meskipun sifatnya empatik.

 

***

Faktanya, sebelumnya kita pernah melakukannya pada primata. Sampai sebelum mereka dilindungi oleh undang-undang kesejahteraan, para peneliti memperlakukan primata seperti halnya tikus diperlakukan hari ini.

Beberapa penelitian dengan tikus bahkan merekapitulasi episode yang paling sarat moral dalam sejarah penelitian primata: studi perampasan ibu dan studi isolasi sosial Harry Harlow tahun 1960-an. Selama beberapa dekade, Harlow menciptakan primata yang rusak secara psikologis untuk lebih memahami psikopatologi manusia. Bayi kera dipisahkan dari ibu mereka selama enam hingga dua belas bulan sehingga ia dapat mempelajari efek dari pemutusan ikatan keibuan. Remajanya diisolasi dengan apa yang Harlow sebut sebagai “lubang keputusasaan”: sangkar logam kecil yang dimaksudkan untuk mendorong depresi pada kera yang sehat dan bahagia. Itu bekerja dengan sangat baik.

Dalam Voracious Science and Vulnerable Animals, Gluck menulis tentang bagaimana rasanya bekerja di laboratorium Harlow di University of Wisconsin-Madison sebagai mahasiswa PhD. Bahkan ketika siswa mengusulkan “proyek kecil sadis” untuk membutakan dan memekakkan telinga bayi monyet untuk melihat bagaimana ibu mereka akan membesarkan mereka, Gluck mengatakan bahwa Harlow tidak pernah mengangkat satu pun masalah etika. Penelitian ini dibenarkan selama itu menawarkan manfaat bagi manusia, meskipun Harlow sendiri memiliki temuan bahwa monyet mempunyai kesadaran diri, emosional yang kompleks, pembelajar, dan mampu mengalami tingkat penderitaan yang substansial. Menciptakan dan memperlakukan monyet dengan gangguan kejiwaan seperti depresi dipandang menawarkan manfaat bagi manusia dan fakta seperti itu saja yang membenarkan penelitian tersebut.

Sebagai kerabat terdekat kita, simpanse juga menjadi subyek penelitian medis selama beberapa dekade sebelum pemerintah memutuskan untuk melarang penelitian semacam itu. Simpanse terinfeksi hepatitis dan HIV tetapi juga digunakan untuk menguji insektisida dan kosmetik dan disuntik dengan pelarut pembersih industri dan benzena.

Dalam memoarnya, Next of Kin: My Conversation with Chimpanzees (1997), Roger Fouts—yang memulai pekerjaannya dengan simpanse sebagai mahasiswa paskasarjana—bercerita tentang mengunjungi seorang teman lama di LEMSIP, sebuah laboratorium biomedis yang dijalankan oleh New York University. Simpanse Booee tumbuh dengan menandatangani kontrak dengan Fouts dan simpanse lain. Tetapi ketika dana proyek habis, Booee dikirim ke LEMSIP, terinfeksi hepatitis C, dan disimpan sendirian di kandang. Fouts melaporkan bahwa ia mencoba membantu Booee dan simpanse lain yang pernah bekerja dengannya dan kegagalannya sangat merugikan dirinya—yang mengarah pada penyalahgunaan alkohol dan depresi berat.

Bertahun-tahun kemudian, ketika seorang produser dari 20/20—acara berita investigasi channel ABC Amerika Serikat—menghubungi dan bertanya apakah dia akan bersatu kembali dengan Booee di depan kamera, Fouts merasa ragu-ragu namun dia pikir dia berhutang kepada Booee untuk menceritakan kisahnya di televisi nasional. Klip itu ada di YouTube sekarang dan menunjukkan Fouts berjalan layaknya kera ke laboratorium; secara terengah-engah dengan  gerakan simpanse yang khas dan mendekati kandang Booee sambil mengucap, “Hai Booee, kamu ingat?” Booee masih ingat sambil memanggil kembali nama panggilan lamanya untuk Roger, “Rodg”. Kemudian ia meminta makanan dan permainan kejar-kejaran dan gelitikan. Tapi ketika tiba saatnya Fouts pergi, Booee pindah ke bagian belakang kandang dan menolak untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia terluka.

Saat ini, situasi untuk primata telah membaik. Pada tahun 1985, lanskap penelitian AS berubah melalui amandemen substansial pada Animal Welfare Act yang mewajibkan semua lembaga yang menggunakan hewan untuk membuat Institutional Animal Care and Use Commitees secara resmi untuk mengawasi dan mengatur penggunaan hewan berdarah panas dalam penelitian (kecuali untuk burung, tikus berjenis rat,  dan tikus berjenis mice).

Kesejahteraan simpanse—meskipun tidak sempurna—lebih baik daripada tikus. Pada 2010, National Institutes of Health (NIH) di AS menugaskan penelitian kepada Institute of Medicine untuk menentukan apakah penelitian biomedis simpanse memberikan kemajuan bagi barang-barang publik. Dalam laporan mereka, panitia menyimpulkan bahwa simpanse telah menjadi model hewan yang berharga dalam penelitian terdahulu, maka sebagian besar penggunaan simpanse saat ini tidak diperlukan untuk penelitian biomedis. Hal ini menyebabkan semua penelitian biomedis di AS berakhir secara efektif pada 2015—empat belas tahun setelah Eropa menghentikan program penelitian simpanse.

Sementara, NIH menginstruksikan komite Institute of Medicine untuk menghindari pertimbangan etis dalam rekomendasi mereka—itu tertera jelas dalam laporannya. Simpanse dibebaskan dari penelitian biomedis karena mereka dipandang sebagai hewan luar biasa—yang hampir seperti manusia. Studi ini berpendapat bahwa hewan yang terkait erat dengan manusia tidak boleh digunakan untuk penelitian, sementara hewan yang kurang akrab dapat digunakan sebagai gantinya. Makanya, penggunaan simpanse memiliki biaya moral.

Dalam mengumumkan keputusan untuk mengakhiri era pengunaan simpanse sebagai subyek penelitian, Direktur NIH, Francis Collins, mengulangi ide-ide ini; menjelaskan bahwa simpanse adalah “hewan istimewa, kerabat terdekat kita” yang DNA-nya 98 persen sama dengan kita. Di AS, sebagian besar simpanse sedang pensiun ke tempat-tempat suci yang didanai pemerintah federal yang dirancang untuk mendukung kepentingan mereka. Dengan status khusus mereka, persetujuan untuk penelitian pada simpanse pribadi masih diadakan di AS dan akan memerlukan pembuktian bahwa penelitian tersebut juga menguntungkan simpanse liar.

Proteksi terhadap monyet bergerak ke arah yang sama. Ilmuwan primata muda saat ini–sebagian besar—telah dilatih untuk melihat masalah etika dari perampasan ibu dan program penelitian isolasi sosial, juga untuk melihat subyek monyet mereka sebagai makhluk sosial yang dapat berkembang dan menderita. Ketika para peneliti selesai dengan proyek penelitian monyet mereka, mereka mencari tempat-tempat perlindungan untuk dikirim. Gerakan-gerakan menuju pemensiunan monyet ini mengikuti norma yang sama dengan yang dipelajari simpanse. Monyet adalah makhluk cerdas, sosial, dan emosional yang bukan hanya produk sampingan dari penyelidikan ilmiah. Ketika kegunaannya dalam sains selesai, mereka harus diperhatikan dengan minat mereka di garis depan. Itu hal yang benar untuk dilakukan.

 

***

Hal yang sama—semacam di atas—tidak berlaku untuk tikus. Bahkan penggunaannya di laboratorium meningkat. Karena tikus laboratorium dianggap hewan yang tidak pantas dilindungi, maka tidak ada statistik resmi tentang jumlah tikus yang digunakan di AS. Perkiraannya berkisar antara 11 juta hingga 100 juta tikus—yang digunakan di AS saja—dengan hampir semuanya terbunuh begitu kegunaannya berakhir.

Apa yang menyebabkan perbedaan dalam perawatan dan perlindungan antara primata dan tikus ini?

Pertanyaan itu sendiri mungkin tampak aneh karena jawabannya sangat jelas: simpanse adalah kerabat terdekat kita, sedangkan kera dan monyet mirip manusia. Kita terpesona oleh laporan tentang primata liar dan ilmuwan yang paling dikenal mempelajari simpanse, Jane Goodall—sebagai pahlawan rakyat.

Sementara, tidak ada peneliti tikus terkenal. Tidak ada tikus terkenal yang kisahnya diceritakan dalam film, televisi, atau buku. Berbeda dengan Digit (gorila favorit Diane Fossey), David Greybeard (simpanse pertama yang melakukan kontak dengan Jane Goodall di Gombe Stream Research Centre), Washoe (simpanse yang mempelajari tanda-tanda bahasa isyarat Amerika dari Roger Fouts), Ai (ilmuwan simpanse Tetsuro Matsuzawa menyebutnya “rekan peneliti”), Kanzi (bonobo Sue Savage-Rumbaugh yang diajari untuk memahami bahasa Inggris lisan setara level manusia berusia tiga tahun), atau Nim Chimpsky (yang dipelajari oleh Herbert Terrace dan bintang Project Nim (2011)).

Dalam banyak cara, ilmu pengetahuan saat ini membenarkan pandangan populer mengenai simpanse (serta kera dan monyet lainnya). Simpanse adalah pengguna alat cerdas yang menciptakan teknologi baru untuk mengakses makanan dan untuk komunikasi. Simpanse hidup di wilayah yang mereka perjuangkan dan pertahankan. Simpanse adalah spesies budaya dan imigran simpanse mengadopsi praktik-praktik komunitas baru mereka—bahkan ketika praktik-praktik baru itu kurang efisien daripada yang lama. Simpanse memiliki kepribadian, mereka memiliki hubungan, dan mereka saling membantu untuk saling menjaga. Salah satu dari kita berpendapat bahwa simpanse memiliki bentuk agensi moral dan yang lain berpendapat bahwa mereka dapat dianggap sebagai agen normatif yang hidup dan mendukung norma sosial. Simpanse dianggap luar biasa, tetapi tikus adalah hama.

Hampir disangkal bahwa manusia tidak suka tikus. Jika kita membuat daftar hewan-hewan yang menghasilkan kebencian terkuat di dalam diri kita, tikus akan sangat dekat dengan urutan teratas. Orang-orang yang memenuhi kota-kota Barat juga dipandang sebagai hama dengan kehidupannya yang  kurang berharga dan kita tidak memikirkannya untuk coba memberantasnya.

Baru-baru ini, sebuah artikel di majalah online The Conversation mengangkat kekhawatiran bahwa strategi manajemen populasi tikus mungkin secara tidak sengaja menciptakan tikus yang sangat sehat atau rentan terhadap penyakit, tetapi logikanya murni antroposentris.  Kekhawatirannya adalah kita mungkin akan menciptakan tikus yang bahkan lebih berbahaya dan sulit untuk dihilangkan. Tidak hanya kurang perhatian, tikus-tikus sering dipandang sebagai sesuatu yang kita inginkan tidak ada. Kehadiran tikus identik dengan kotoran, penyakit, dan kejijikan. Dan tikus adalah salah satu hal terburuk yang bisa Anda gunakan untuk memanggil seseorang.

Kurangnya perhatian umum terhadap tikus tercermin dalam penggunaannya dalam penelitian biomedis. Tikus—yang berjenis rat  dan mice—telah lama berperan sebagai model organisme terkemuka; mengingat otak mereka yang besar, kemudahan penanganan dan perumahan, dan kesamaan biologis dan perilaku dengan manusia.

Tikus itu murah dan mudah digunakan. Tidak seperti primata, mereka mudah dibiakkan, mudah diperoleh dengan pesanan via pos, dan mudah disimpan dalam kotak-kotak tersendiri pada laboratorium. Mereka juga mendatangkan keuntungan lebih lanjut bila dibandingkan primata; seperti fakta bahwa masa kehamilan mereka jauh lebih pendek, mereka memiliki jumlah keturunan yang lebih besar, mereka dapat mencapai kematangan lebih cepat, dan memiliki rentang hidup yang lebih pendek.

Genom rat diurutkan sepenuhnya pada tahun 2004; yang memungkinkan kemajuan signifikan pada pemahaman kita tentang bagaimana gen bekerja. Ukurannya yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan mice juga menjadikan mereka model ideal untuk penelitian kardiovaskular, juga memungkinkan kemajuan pemahaman kita tentang obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Rat lebih dipilih dibandingkan mice untuk studi perilaku dan psikologis karena mereka memiliki sifat sosial yang lebih baik dengan meniru diri kita. Semua keuntungan ini akan mempersulit pertanyaan tentang penggunaan tikus dalam penelitian biomedis. Namun tidak ada spesies yang akan menjadi subyek penelitian lebih baik dalam memajukan pengobatan manusia dibandingkan diri kita sendiri; dan dengan ini kita akan sangat mampu memahami bahwa ada batasan moral tertentu yang tak dapat dilintasi—tidak peduli apa pun kemungkinan keuntungan yang didapat darinya.

Mungkin tikus membutuhkan seorang duta besar; seorang tokoh layaknya Jane Goodall yang dapat menceritakan kisah-kisah hidup mereka dan menghadirkan tikus sebagai individu; bukan sebagai rujukan kata benda penghitungan generik. Meskipun ada pendukung tikus di luar sana, mereka tidak mendapatkan banyak perhatian.

Inggris memiliki Natoinal Fancy Rat Society yang dibentuk pada tahun 1976 dan menyebut dirinya sebagai “klub untuk semua orang yang menghargai tikus karena apa adanya—sebagai hewan peliharaan yang unggul dan mewah”. Pada tahun 1983, di AS terdapat American Fancy Rat and Mouse Association. Organisasi-organisasi tersebut memiliki pameran dan kompetisi reguler yang menilai tikus melalui pertandingan dengan berbagai standar atau kepribadian mereka. Sekarang, kelincahan tikus menjadi ajang olahraga internasional dan YouTube pun dipenuhi oleh video tikus yang sedang menjalankan kursus kecil-kecilan. Namun ini bukanlah Westminster Kennel Club (pameran khusus anjing di New York City sejak 1877); karena Anda tidak akan mendengar hasil dari kompetisi pertunjukan tikus pada berita lokal.

APOPO, suatu LSM di Belgia, menyelenggarakan HeroRats yang telah menyelamatkan banyak nyawa dengan mengidentifikasi ranjau darat yang tersisa dari perang dan konflik di seluruh dunia. “Tikus-tikus itu berkeliaran, mengendus-endus di sana-sini, lalu mereka akan berhenti, menciumi aroma udara, dan kemudian menggaruk tanah. Itu berarti mereka menemukan ranjau darat!,” kata Lann Sa, seorang petani Kamboja yang sudah kehilangan satu kakinya karena ranjau darat.  “Kurang dari dua minggu kemudian, ladang kami bebas dari ranjau darat. Anak-anak kami aman, ladang kami penuh dengan tanaman.”

Tikus-tikus itu dibesarkan oleh manusia sejak bayi dan dilatih untuk mengharapkan makanan ketika mereka mencium bau TNT.  Tikus raksasa berkantung Afrika yang bekerjasama dengan APOPO memiliki badan yang terlalu ringan untuk memicu ranjau darat dan mereka tidak akan menderita kerugian dalam pekerjaannya. Setelah beberapa tahun bekerja, tikus menikmati masa pensiun di kandang rumah mereka; dengan bermain, makanan ringan, dan bersosialisasi kepada manusia. Tikus memiliki kepribadian dan preferensi yang berbeda. Shuri, sesosok tikus HeroRat yang ditampilkan di beranda APOPO, adalah tikus favorit staf dengan kepribadian yang nakal yang membawa senyum ke wajah semua orang yang ia temui. Camilan andalannya ialah kacang.

Ketika di masa lalu kita meluangkan waktu untuk memperlakukan tikus sebagai individu—seperti yang dilakukan Fouts dengan Booee dan Goodall dengan David Greybeard, kita dapat melihat tikus bukan sebagai alat penelitian, tetapi sebagai makhluk hidup yang berkapasitas untuk menikmati kehidupan  yang kaya emosional. Ketika para peneliti menemukan lebih banyak hal mengenai primata, mereka menyadari bahwa primata memerlukan perlindungan; yang mengarahkannya pada pembentukan undang-undang kesejahteraan dan komite pengawasan. Namun ketika kita mengetahui lebih banyak tentang tikus, alih-alih mengubah cara kita memperlakukan mereka, ilmu pengetahuan justru mengulangi kesalahan yang dibuat pada awal penelitian primata. Logika Harlow yang secara etis dipertanyakan adalah bahwa monyet cukup mirip dengan manusia untuk digunakan sebagai model gangguan mental manusia, tetapi tidak cukup mirip untuk menjamin tingkat perlindungan yang sama dari bahaya. Pembenaran untuk penelitian tikus adalah bahwa tikus cukup mirip dengan manusia untuk berfungsi sebagai model kesehatan manusia yang baik—termasuk kesehatan mental, tetapi tidak cukup serupa untuk menjamin perlindungan hukum dari bahaya.

Beberapa ilmuwan bahkan menyambut kurangnya perhatian terhadap tikus—bersamaan dengan hewan pengerat lainnya—karena dianggap “menawarkan alternatif yang murah, nyaman, dan tidak terlalu kontroversial secara etis—layaknya primata non-manusia—dalam studi kognisi sosial”. Sementara, penggunaan tikus dalam penelitian mungkin dianggap kurang kontroversial secara etis daripada penggunaan primata karena kurangnya jumlah duta tikus—dan hal ini secara etis relatif tidak untuk dibenarkan.

Jadi, bisalah dimengerti untuk membuat kesalahan etis dalam sekali. Tetapi setelah menyadari kesalahannya, kita harus lebih siap untuk melihat masalah lainnya dalam kasus-kasus baru. Kemajuan moral tergantung pada kesadaran bahwa dua kasus yang sama adalah relevan secara moral.

Kegagalan untuk menggeneralisasi dari satu kasus ke kasus lain dapat mengarahkan kita untuk terus membuat kesalahan etis yang sama dalam konteks baru. Kita tidak dapat menyangkal biaya moral menciptakan psikopatologi pada tikus untuk mengobati psikopatologi pada manusia sambil menimbang biaya-biaya tersebut dan mengutuk praktik pada primata. Kesamaan yang sangat menarik dalam membenarkan sains adalah bahwa primata rentan terhadap rasa sakit fisik dan mental, serta mereka memiliki emosi dan hubungan yang dapat dihancurkan ketika mereka dirampas dari perawatan ibu secara normal; adalah penciptaan biaya moral untuk mengartikan bahaya tersebut. Biaya moral ini ada pada tikus juga. Hanya pandangan mata moral kita yang pendek dan antroposentrisme tanpa henti yang telah mencegah kita untuk memperhitungkannya.

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Suka kucing.]

 


Artikel asli bisa dibaca di sini.