HISTORI

Bermula dari Skena: Cilacap Harus Membaca!

 

Kisah ini bermula dari perkawanan duo punker jalanan Cilacap. Mereka yang bernama Nevin & Aming memiliki kepedulian terhadap perilaku kawan-kawan sekitarnya. Skena punk tempat mereka bergaul di kala remaja hanya diisi gaya hidup eskapis sambil sesekali berhura-hura.

Bukan bermaksud moralis, Nevin & Aming hanya ingin arti attitude (perlawanan) di skenanya tidak sia-sia. Jikalau punk hanya dijadikan skena pelarian atas permasalahan sosial yang ada    sama seperti yang Aming & Nevin lihat, maka para pelakunya hanya keasyikan ngoplo (mencandu narkotika), sibuk mendatangi area konser, dan bahkan seringkali berkelahi antarsesamanya sendiri.

Keadaan seperti itulah yang kerap mengganggu basis pikiran Nevin & Aming. Betapa tidak, punk begitu dekat dengan kesenian. Dari narasi sejarahnya pun, punk menjadi kanal (sub)kultur penyampaian protes atas ketidakadilan sosial. Melihat kenyataan ini, sudah seharusnya para pegiat punk memiliki gerakan kebudayaan yang kiranya memberi kesadaran kritis kepada komunitas internal maupun eksternalnya (anggota masyarakat lain) guna menyoal permasalahan sosial akibat sistem yang sengaja dibikin saling menindas.

Namun jika skena punk di Cilacap selalu dijadikan pelarian yang ujung-ujungnya menjadi pelampiasan destruktif terhadap diri dan lingkungan pergaulannya sendiri    bahkan dilakukan secara dominan oleh para pelakunya, maka ada kesalahan membaca (memikirkan dan menyikapi) konsepnya. Apalagi melihat potensi tongkrongan punk di Cilacap selalu ramai diisi anak-anak muda, hal semacam ini menjadi miris jika punk scene tak mampu menjadi lahan edukasi kritis bagi para peminatnya. Lucunya, bukankah di Cilacap sudah terlalu banyak persoalan sosial yang mesti tak mampu ditangani otoritasnya sendiri? Pula, bukankah di Cilacap selalu berlalulalang anak-anak muda yang eksentrik dan meminati urusan seni dan kebudayaan? Mengapa selalu begini?

 

 

Mengapa Pustaka?

Salah membaca konsep adalah suatu persoalan anak muda Cilacap. Kasus pada skena punk di atas adalah satu contohnya. Di pergaulan lainnya, masih banyak kasus yang menyeret anak-anak muda Cilacap pada gelimang trendy belaka namun lupa mempertanyakan esensi mengapa kita musti mengikuti tren tertentu dan siapa yang selalu diuntungkan di baliknya.

Tren; pada satu sisi akan menjadi medium pembelajaran menuju pengetahuan baru dan penyadaran. Sedangkan di sisi lainnya bisa menjadi semacam pembodohan jika yang dilakukan hanyalah unjuk pengakuan dan pemujaan atas apa yang digelutinya.

Cilacap; dengan segala riuh potensi anak mudanya selalu menjadi kanal pembanjiran tren yang sedang terjadi. Lewat medium referensi jarak jauh (seperti media digital), anak-anak muda Cilacap gampang mengamini sebuah tren. Dan pada pergaulan dunia nyata yang ada, sosialisasi nilai-nilai trendy marak terjadi; tiada lain demi memperoleh simpati.

Sayangnya, di kota tepian selatan Jawa ini masih miskin ruang-ruang kultural progresif   yaitu ruang-ruang supaya terjalinnya kritik fenomena dan realita sekitarnya. Hal ini bisa membikin melesetnya penafsiran anak-anak muda Cilacap atas hal-hal trendy. Jika terus begini terjadi, anak-anak muda selalu sibuk membudayakan pemujaan tren tapi selalu terlalu bodoh mengaitkannya dengan realita pembentuk di sekitarnya. Alhasil, anak muda Cilacap selalu banyak yang terjebak pada konsumerisme akut terhadap tren tapi jarang ada yang mau dan bisa memproduksi kebudayaannya di tempat hidupnya sendiri.

Lalu kenapa lewat pustaka?

Diakui atau tidak, pustaka (benda teks) adalah hal yang masih akrab beredar sekitar kita. Lingkungan otoritas pendidikan pun masih wajib menjadikan pustaka sebagai alat sosialisasi pengetahuan. Sementara hampir semua anak muda Cilacap menyentuh institusi pendidikan formal sehari-harinya, meskipun sebagian mereka melupakan sejenak persoalan sekolah di pergaulan luarnya, tapi di lingkup pergaulan informal pun mereka masih menyentuh teks. Juga, pustaka sudah diamini secara alam bawah sadar oleh kebanyakan orang Cilacap lintasgenerasi sebagai medium baik pembelajaran.

Karenanya, penghadiran pustaka-pustaka di ruang publik atau untuk kajian intrakomunitas masih menjadi metode relevan supaya olah tafsir  anggota masyarakat Cilacap   khususnya anak muda    demi keberlangsungan kebudayaan Cilacap yang progresif atau tidak terjebak fanatisme pemujaan atas tren-tren tertentu maupun sibuk berkompetisi menaikkan citra identitasnya, sementara masih banyak persoalan sosial yang tak mampu kita tangani bersama.

 

 

Perjalanan: Selalu Panjang!

Refleksi dari skena pun diwujudkan. Lewat gelaran lapak baca buku/perpustakaan jalanan pada 23 Juni 2017 di Alun-alun Cilacap adalah laku menghadirkan jawaban lain atas skena kebudayaan (literasi) di Kota Cilacap. Ramai dan sepi sudah pasti dilampaui.

Nevin, Aming, dan kawan-kawan di Komunitas Mengkaji Pustaka tidak sendiri melakukan gerakan ini. Di kubu lain, ada sepasang pemuda akademik   yakni Rizaldi & Kautsar   yang turut membuka model gerakan sama dengan menggunakan nama Perpustakaan Jalanan Cilacap. Sesuai kesepakatan, mereka pun melebur.

Melihat fakta bahwa persoalan kebudayaan selalu dinamis nan pelik, serta literasi bisa menjadi senjata pengolah kewarasan berbudaya, konsep gerakan literasi Mengkaji Pustaka tak hanya pada gerakan lapak baca.

Penghadiran lapak-lapak baca pada publik hanyalah awalmula atau perkenalan saja. Walau ke depannya, metode lapak baca ini harus selalu dihadirkan, komunitas ini juga menghendaki terjadinya pendirian komunitas-komunitas sejenisnya dan memasifkan laku produksi literatur.

Dengan mimpi-mimpinya, maka perjalanan ini akan harus selalu panjang. Membaca Cilacap dan Cilacap Membaca adalah keharusan!