*)Ditulis oleh Toto Priyono.Esais. Bermukim di Cilacap.
Buku bukan saja akan menjadi barang kesenian, tetapi juga menjadi barang yang dapat memantik pemikiran manusia. Anak-anak muda itu yang berkumpul sembari membaca, bukan hanya menjadi pemuda yang berbeda, tetapi selalu akan menjadi pemuda yang “beda” dalam menjadi pemuda. Membaca berarti menenggelami fenomena dunia kapan pun masanya.
Cerita malam minggu Komunitas Mengkaji Pustaka di sana dengan kopdar lapakannya. Ruang terbuka hijau sebagai tempat konsep perpustakaan jalanan yang mereka gelar bukan saja untuk memanjakan anggota komunitasnya dengan koleksi buku bacaannya, tapi juga disediakan untuk masyarakat yang ingin membaca.
Semangat menularkan virus literasi merupakan satu dari tidak terbatasnya tujuan-tujuan mereka, Komunitas Mengkaji Pustaka, supaya masyarakat lebih gemar membaca. Simpul-simpul keramaian di kota Cilacap merupakan tempat mereka melapakkan semua koleksi buku-bukunya. Tetapi minat baca masyarakat yang masih rendah tidak menutup mata mereka untuk tetap melapak; menjajakan dan berharap buku koleksinya yang dialasi dengan spanduk itu dibaca masyarakat. Membaca berbagai buku di lapakan itu gratis atau tidak dipungut biaya sepeserpun.
Memang semangat membaca di balik gempitanya hiburan di sana—termasuk kemajuan teknologi sendiri—menjadi kecil peluangnya. Membaca saat ini memang bukan gaya hidup yang populer bagi pemuda. Membaca, popularitasnya masih di bawah pemuda-pemuda yang malam minggunya nongkrong dengan sepeda motornya, mobilnya, bahkan gantangan-gantangan burungnya.
Tetapi dengan hobi; apakah hobi itu mempunyai kelas—di mana ada yang lebih berkelas dari hobi-hobi tersebut? Tentu tidak ada hobi yang tidak mempunyai kelas. Semua hobi sejatinya adalah berkelas. Oleh karenanya, hobi selalu ditunggu oleh mereka yang ingin mengobati kesuntukan hidupnya sebagai hiburan dan pengisi waktu luang me-refresh kembali sepaneng-nya jalan pikiran sebagai manusia di abad ke-21. Karena akhirnya manusia hanya dipaksa bagaimana menjadi bahagia menjalani hidup ini dengan sumber daya yang ada, termasuk melayani hobi-hobinya sendiri untuk tidak terasing sebagai manusia.
Dengan melayani hobi itu sendiri, mereka bukan hanya bahagia dengan bukunya, motornya, atau mobilnya sendiri. Namun kepuasan terhadap apa yang disenanginya itu bukan saja menambah wawasan dalam pergaulannya, tetapi juga pertemanannya melalui hobi-hobinya tersebut sebagai bingkai kehidupan manusia.
Komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap sendiri berdiri tahun 2017 yang lalu. Tentu kelatahan berkembangnya konsep perpustakaan jalanan di setiap kota besar seperti Bandung, Surabaya, dan Jogjakarta membawa modal komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap dalam mempioneri semangat berliterasi khususnya di kota Cilacap. Masih rendahnya minat baca masyarakat sendiri tidak menyurutkan mereka untuk tetap melapak apa pun kondisinya. Mereka percaya bahwa “buku” sebagai media pengetahuan manusia dalam membuka cakrawala ilmu pengetahuan tentang dunia haruslah tetap dibaca—apa pun karya dari buku-buku tersebut.
Koleksi buku Komunitas Mengkaji Pustaka sendiri bukan hanya buku-buku berkonten dewasa tetapi juga buku-buku anak-anak berbentuk komik dan semacammnya. Buku politik, filsafat, dan novel-novel romatik merupakan buku-buku dewasa yang sering dilapakkan oleh mereka, pegiat literasi kontemporer kota Cilacap, Komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap.
Eksistensi Buku dan Geliat Terus Berideologi
Ideologi tidak pernah mati, ia tidak mati selama manusia masih mau berpikir. Namun pertanyaan dari kegemaran membaca buku sendiri sebagai wadahnya ilmu pengetahuan, apakah ideologi hanya untuk mengisi pemikiran bukan suatu gerakan di abad ke-21 ini?
Di tahun pra-1945 sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan adalah orang-orang yang membaca buku seperti Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, dan masih banyak tokoh-tokoh pergerakan kemeredekaan lain. Semua membaca buku untuk membangun Indonesia yang merdeka melepaskan diri dari bentuk kolonialisme Belanda.
Tanpa membaca, Soekarno mungkin tidak akan pernah melahirkan ide-ide Marhaenisme atau Tan Malaka dengan buku karyanya, Madilog, juga M. Hatta yang rela hidup dalam pengasingan bila ia masih bersama buku-buku yang dicintainya sebagai pengetahuannya akan dunia.
Tetapi di abad ke-21 ini, yang dalam konteksnya sudah bukan lagi di zaman pergerakan kemerdekaan, apakah buku-buku yang memantik ideologi baru tidak akan dilahirkan lagi ketika masyarakat sudah berpasrah terhadap hidup yang ada? Di mana abad ke-21 masyarakat cenderung menjadi satu dimensi; hidup hanya bagaimana cara mencukupi kebutuhan hidupnya saja sehari-hari?
Saat ini di balik lemahnya kebiasaan membaca buku untuk pengetahuan hidup, mereka, masyarakat, juga sudah dimapankan dengan sistem kapitalisme yang ada. Di mana mereka harus kerja, mencukupi kebutuhan, dan menikmati kebutuhan itu sebagai hiburan kebebasan; selagi masih ada uang untuk menikmatinya, masyarakat bebas menikmati wahana kesenangan berbayar yang ada dari hasil kerja keras mereka sendiri.
Masyarakat satu dimensi mungkikah sudah tidak membutuhkan pemikiran baru untuk perubahan eksistensi hidup mereka sendiri? Atau dengan buku-buku yang sudah jarang dibaca oleh masyarakat Indonesia kini, yang di dalam berbagai media online di sana; masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan waktunya untuk bermain smartphone minimal selama empat jam dalam sehari?
Mungkinkah benar buku dan dalamnya pengetahuan sudah tidak diperlukan lagi di abad ke-21 ini, sebagai berbuahnya ideologi; termasuk ide-ide bagaimana manusia itu harus hidup bahkan secara pribadi? Untuk itu berideologi secara radikal melawan tatanan yang sudah mapan adalah ilusi angan-angan manusia abad ke-21?
Di sudut ruang yang paling gelap sana, pada saatnya karena matahari itu berputar mengitari bumi, akan ada gilirannya nanti cahaya matahari tersebut akan masuk, datang, dan menghampiri. Indonesia sendiri di abad ke-21 ini, keadaannya memang sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
Tetapi dalam laju kehidupannya, ia baik-baik saja karena dimensi berkebutuhan manusia menjerat mereka sehingga mereka lupa pada isu-isu fundamental ekonomi misalnya tentang kepemilikan lahan, ruang hidup mereka terancam dengan maraknya industrialisasi, dan juga kehidupan politik yang dikuasai oleh oligarki.
Obrolan di sela-sela saat melapak dengan gelaran buku Komunitas Mengakaji Pustaka di Ruang Terbuka Hijau Kota Cilacap malam Minggu, menariknya buku yang sedang dibaca seorang pemuda tentang Marhaenisme; ide dari sang proklamator kemerdekaan Negara Indonesia kita. Justru yang membuat pertanyaan kita semua, apakah masih relevan di abad ke-21 ini kita berbicara ideologi saat masyarakat sudah menjadi satu dimensi dan cenderung menutup mata secara sosial di balik mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri?
Upaya yang dilakukan pemuda dalam lingkar perpustakaan jalanan ini, Komunitas Mengkaji Pustaka yang digawangi para pemuda, bahwa sampai kapapun ideologi itu harus tetap menyala. Memang saat ini, berbagai ideologi itu belum mengilhami banyak masyarakat.
Namun apa yang dilakukan oleh segelintir pemuda di Cilacap sendiri melalui Komunitas Mengkaji Pustaka ini dalam mencintai buku sebagai akar ideologi—untuk bagaimana diri pribadi hidup dalam masyarakat—merupakan akar dari masih dibutuhkannya berbagai ideologi itu sebagai penjaga asa untuk tumbuhnya ide-ide dalam pikiran manusia supaya kehidupan terus lebih baik secara pribadi maupun bermasyarakat itu sendiri. Mungkin semangat untuk terus membaca buku sebagai jalan ilmu pengetahuan pada saatnya akan berwujud gerakan yang nyata dalam kehidupan sosial bermasyarakat pemuda di masa depan. Ketika pengetahuan sudah mengilhami, kerusakan alam semakin nyata, industrialisasi yang justru mencaplok lahan petani, jurang kemiskinan dan kekayaan sesama manusia semakin jauh adanya; bukan tidak mungkin ketika pengetahuan manusia sudah ada dan menjadi ideologi, manusia hanya berpangku tangan melihatnya?
Pasti kehendak alamiah sebagai manusia, mahluk penjaga alam tempat hidupnya sendiri, akan mereka bela, pasti mereka akan dibela! Karena alam dan segala isinya adalah bagian dari kesatuan yang tidak dapat terpisah dari kehidupan manusia.
The third world countries is facing a learning crisis. While countries have significantly increased access to education, being in school isn’t the same thing as learning. Worldwide, hundreds of millions of children reach young adulthood without even the most basic skills like calculating the correct change from a transaction, reading a doctor’s instructions, or understanding a bus schedule—let alone building a fulfilling career or educating their children.
Education is the center of building human capital. The latest World Bank research shows that the productivity of 56 percent of the world’s children will be less than half of what it could be if they enjoyed complete education and full health.
Delivered well, education—along with the human capital it generates—benefits individuals and societies. For individuals, education raises self-esteem and furthers opportunities for employment and earnings. And for a country, it helps strengthen institutions within societies, drives long-term economic growth, reduces poverty, and spurs innovation.
A Global Learning Crisis
One big reason the learning crisis persists is that many education systems across the developing world have little information on who is learning and who is not. As a result, it is hard for them to do anything about it.
And with uncertainty about the kinds of skills the jobs of the future will require, schools and teachers must prepare students with more than basic reading and writing skills. Students need to be able to interpret information, form opinions, be creative, communicate well, collaborate, and be resilient.
An Indonesian Learning Crisis
According to the Political And Economic Risk Consultant Survey (PERC), the quality of education in Indonesia ranks 12th out of 12 countries in Asia. Indonesia’s position is below Vietnam. Data reported by The World Economic Forum Sweden (2000), Indonesia has low competitiveness, which ranks only 37th out of 57 countries surveyed in the world.
The causes of the low quality of education in Indonesia include problems of effectiveness, efficiency, and standardization of teaching, in addition to the lack of creativity of educators in guiding students, curriculum that makes education be on the skids. The curriculum is only based on government knowledge without regard to community needs.
Lecturers only force the children to be master of all materials that has been curated. They never considering whether the material is in accordance with children potential or not. Finally students not develop based on their potential but as if due to compulsion.
It must be acknowledged that the majority of our students have absolutely not have purposes of what they will become, although some of them have it but it’s still not clear. So, what happens is that they learn to float and have no clear direction that is important to go to school. One important thing is our educators do not direct the children to realize their ideals, but how students can memorize all the subject matter without exception.
Change Starts with A Great Teacher
A growing body of evidence suggests the learning crisis is, at its core, a teaching crisis. For students to learn, they need good teachers, but many education systems pay little attention to what teachers know, what they do in the classroom, and in some cases whether they even show up.
Fortunately for many students, in every country, there are dedicated and enthusiastic teachers who, despite all challenges, enrich and transform their lives. They are heroes who defy the odds and make learning happen with passion, creativity, and determination.
One such hero works in the Ecoles Oued Eddahab School in Kenitra, Morocco. In a colorful classroom that she painted herself, she uses creative tools to make sure that every child learns, participates, and has fun. In her class, each letter in the alphabet is associated with the sound of an animal and a hand movement. During class she says a word, spells it out loud using the sounds and the movement, and students then write the word down. She can easily identify students who are struggling with the material and adjust the pace of the lesson to help them get on track. Children are engaged and attentive. They participate and are not afraid to make mistakes. This is a teacher who wants to make sure that all children learn.
But even heroes need help. We need to be sure that all teachers are motivated to do their best and that they are equipped with what they need to teach effectively.
Technology Offers New Possibilities for Teaching and Learning
Rapid technological change is raising the stakes. Technology is already playing a crucial role in providing support to teachers, students, and the learning process more broadly. It can help teachers better manage the classroom and offer different challenges to different students. And technology can allow principals, parents, and students to interact seamlessly. Millions of students are benefiting from the effective use of technology, but millions more in the developing world are not.
We know learning happens best when instruction is personalized to meet the needs and strengths of each child, individual progress is tracked, and prompt feedback provided. Adaptive technology was used to evaluate students initial learning level to then walk them through math exercises in a dynamic, personalized way; based on artificial intelligence and what the student is ready to learn. After three months, students with the lowest initial performance achieved substantial improvements. This shows the potential of technology to increase learning outcomes, especially among students lagging behind their peers.
In a field that is developing at dizzying speeds, innovative solutions to educational challenges are springing up everywhere. Our challenge is to make technology a driver of equity and inclusion and not a source of greater inequality of opportunity. We are working with partners worldwide to support the effective and appropriate use of educational technologies to strengthen learning.
When Schools and Educations Systems are Managed Well, Learning Happens
Providing quality education requires building systems that deliver learning, day after day, in thousands of schools, to millions of students. Successful education reforms require good policy design, strong political commitment, and effective implementation capacity. Of course, this is extremely challenging. Many countries struggle to make efficient use of resources and very often increased education spending does not translate into more learning and improved human capital. Overcoming such challenges involves working at all levels of the system.
At the central level, ministries of education need to attract the best experts to design and implement evidence-based and country-specific programs. District or regional offices need the capacity and the tools to monitor learning and support schools. At the school level, principals need to be trained and prepared to manage and lead schools; from planning the use of resources to supervising and nurturing their teachers.
Education Reform: The Long Game is Worth It
By their nature, the payoffs from investing in education require patience and persistence. In fact, it will take a generation to realize the full benefits of high-quality teachers, the effective use of technology, improved management of education systems, and engaged and prepared learners. However, global experience shows us that countries that have rapidly accelerated development and prosperity all share the common characteristic of taking education seriously and investing appropriately.
The schools of the future are being built today. These are schools where all teachers have the right competencies and motivation; where technology empowers them to deliver quality learning and where all students learn fundamental skills, including socio-emotional, and digital skills. These schools are safe and affordable to everyone and are places where children and young people learn with joy, rigor, and purpose.
Governments, teachers, parents, and the international community must do their homework to realize the promise of education for all students, in every village, in every city, and in every country.
Pertanyaan itu diajukan dengan bercanda. Tapi selama bertahun-tahun, aku semakin percaya jika urat nadi pustakawan dibuka, tintalah yang akan mengalir dari mereka; alih-alih darah. Meski begitu, aku tidak berharap dia menjawab dengan melakukannya.
“Buku.” Pustakawan itu mengulurkan panci. “Ingin cocoa lagi?”
“Ya, boleh.”
Kami duduk dalam berkat keheningan yang disediakan oleh musem digital yang mengherankan sembari menghirup mug kami. Sementara, aku menunggu untuk melihat apa yang harus dia perlihatkan kepada aku. Pertama kalinya aku bertemu dengan pustakawan itu sebagai seorang bibliofil berusia delapan tahun yang ingatan paling nyata di masa kecilnya adalah tentang perpustakaan umum setempat dan semua buku-buku yang menunggu untuk dibaca. Bocah itu telah tumbuh menjadi pengumpul buku; hobi yang kukejar dalam waktu luang yang tersisa dari tugas sehari-hariku sebagai fungsionaris pemerintahan kecil.
Setelah cocoa habis, pustakawan membawaku melewati meja kosong di Ruang Baca; melewati meja hening tempat seorang pustakawan memeriksa buku-buku yang kurang berharga dari koleksi untuk menuju ke tempat suci: ruang buku langka atau lebih tepatnya “ruang-ruang” buku langka. Lagipula, ini British Library. Dibutuhkan lebih dari satu kamar untuk buku-buku langka.
Pustakawan menunjukkan lemari pajangan baru yang telah ditaruh pada tempat terhormat, bahkan di antara Gutenberg dan Caxtons, Kells dan Opticks, dan Folios Pertama dan Folios Kedua.
Buku itu terbuka pada halaman 1:
Beberapa kejahatan dari dongeng saya mungkin sudah melekat dalam keadaan kita. Selama bertahun-tahun, bagaimanapun juga, kita hidup dengan satu sama lainnya di gurun terbuka; di bawah surga acuh-tak acuh.
“Bukan ini,” kataku.
“Ya, ini.”
“Bukan.”
“Iya.” Wajah pustakawan yang berkerut menjadi tersenyum lebar tak terduga.
Dari beberapa pusaka suci para kolektor buku, inilah yang termasuk paling suci: edisi pertama buku Seven Pillars of Wisdom karya T. E. Lawrence pada tahun 1922; yang telah dicetaknya secara pribadi di Oxford University Press. Hanya ada delapan salinannya yang dibuat. Enam salinannya diperhitungkan. Tapi tampaknya sekarang, jumlah salinan yang diperhitungkan akan naik menjadi tujuh.
“Di mana kamu menemukannya?” Aku bertanya ketika akhirnya aku siap untuk beristirahat dari memeriksanya, menatapnya, dan biasanya minum dalam keajaiban itu. Kukira, seorang ibu baru harus merasakan sesuatu yang serupa ketika merenungkan anak pertamanya.
“Sudah di sini selama ini,” kata pustakawan itu. “Terselip di salah satu gudang. Entah bagaimana itu telah diberi label sebagai risalah arsitektural milik koleksi Penjaga Barang Antik Oriental pada masa Museum dan Perpustakaan berbagi tempat. Aku hanya menemukannya secara kebetulan.”
Kami berdua menatapnya.
“Sepertinya,” kataku, “kamu mungkin orang pertama yang menyentuh buku itu setelah Lawrence sendiri.”
“Dan orang bodoh yang mengira itu adalah buku tentang arsitektur,” kata pustakawan itu. “Aku menyangka aku tahu siapa yang mungkin melakukannya.” Wajahnya menjadi serius ketika dia merenungkan hukuman yang tepat akibat salah membaca buku.
Memandangnya, aku berpikir bahwa dia hampir tidak berubah samasekali selama bertahun-tahun aku mengenalnya: rambut beruban dan tetap berwarna seputih-putihnya, kulit sepucat cahaya buatan, wajah tipis yang terbelah oleh kacamata permanen berbingkai sabit yang bertengger di ujung hidungnya. Bahkan, pustakawan itu mungkin telah melihat rumah di ruang jenazah sambil melangkah di antara papan-papan yang dingin. Aku mengakui bahwa kadang-kadang aku merasa seolah-olah kami adalah ahli patologi dari budaya sastra yang hilang ketika kami berjalan di aula dan koridor perpustakaan yang sunyi.
“Apakah kamu sudah mengunggahnya?”
Pustakawan itu menggelengkan kepala.
“Aku lupa. Aku mengerti tapi aku ingin membagikan hasil temuanku dulu. Aku akan, seperti katamu, mengunggahnya. Sekarang.”
Cendekiawan yang tertarik, kemudian akan dapat memeriksa salinan tiga dimensi buku yang sempurna. Sementara, mereka yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan suatu ujung percakapan pesta makan malam, dapat mengunduh input saraf yang cukup untuk menanamkan kenyamanan memori membaca buku tanpa keharusan melelahkan—bagi yang pernah harus melihatnya. Lagipula, dengan sebagian besar bacaan, orang ingin membaca buku itu; bukan untuk benar-benar membacanya. Dalam dunia kita yang serba cepat dan tergesa-gesa, meng-input saraf serupa dengan kamu dapat membaca semua kanon klasik pada sore hari dan masih punya waktu untuk makan malam.
“Tetap saja,” aku menimpalinya, pada kepergianku yang lambat keluar dari perpustakaan dan kembali ke dunia biasa, “Aku yakin bahwa dengan penemuan seperti ini akan ada beberapa sarjana yang ingin melihat buku yang sebenarnya.” Aku berhenti pada pintu keluar. “Bagaimana menurutmu?”
Pustakawan menggelengkan kepalanya. Cahaya terpantul di kacamatanya.
“Tidak, kurasa mereka tidak akan datang. Bahkan untuk ini.” Dia mulai menutup pintu, lalu berhenti.
“Kembalilah dalam seminggu,” katanya. “Aku mungkin punya sesuatu untuk ditunjukkan kepadamu.”
“Apakah itu…”
Tapi pintu telah tertutup, memotong pertanyaanku. Pustakawan itu selalu mengarahkanku untuk masuk dan keluar dari salah satu pintu masuk samping yang dimaksudkan untuk staf. Aula tinggi pada pintu masuk umum tetap terbuka dan kosong—seperti gua yang belum ditemukan di negara yang dilupakan.
Aku membuka kerah, memasang panel digital dan merapatkan telinga pada ocehan informasi, kemudian menuju ke dunia modern.
***
Seminggu kemudian, aku kembali. Tapi tidak sendirian. Arus manusia terus-menerus keluar-masuk lewat pintu utama—dari potongan pakaiannya, kebanyakan dari mereka akademisi. Sebelum Aula Besar, terdapat makam yang lengang. Para cendekiawan sedang semangat-semangatnya berdebat satu sama lainnya atau mungkin sedang mempersiapkan siswanya untuk penugasan. Sementara, apa yang tampak sebagai kepastian banyak orang sedang terjadi di sekitar meja informasi utama, di mana ada pertanda mencolok yang menunjukkan jalan menuju display Lawrence dipajang.
Pesan-pesan muncul pada papan di dinding dan langit-langit; mengarahkan pihak-pihak yang berminat pada siklus hidup kumbang (Lantai 2, Baris J, Bookmark DX80130 DSC), hipostaik para archon (Lantai 3, Baris O, Bookmark 412.978000 DSC), dan hubungan kerabat di antara chavs (Sub Basement 4, Baris B, Bookmark YK.2005.a.10262).
Pesan-pesan itu terus berubah sampai aku menyadari bahwa itu adalah jawaban yang diberikan kepada kerumunan cendekiawan yang berkerumun di sekitar meja utama. Dan di sana, di tengah-tengah lingkaran, yang dikelilingi oleh tim asisten junior, adalah pustakawan. Dia mengangguk ke arahku, mengucapkan beberapa patah kata kepada salah satu pembantunya dan beralih dari meja.
Aku memberi isyarat yang meliputi orang-orang, kesibukan, dan sebenar-benarnya kehidupan.
“Mengherankan,” ujarku. “Luar biasa. Apa yang terjadi?”
Dengan gerakan intim tak terduga, pustakawan meraih lenganku. Aku harus mengakui bahwa ini mengejutkanku: tapi aku tak terlalu kaget. Berdasarkan tingkat kegembiraannya, aku tak percaya jika pustakawan menyadarinya. Dia membimbingku melintasi Aula Besar, mengabaikan pertanyaan para cendekiawan yang putus asa, dan menuntunku melalui salah satu pintu yang bertuliskan “Hanya Staf”. Rasa damai dan ketenangan serta-merta menghinggapi.
“Apakah kamu keberatan jika kita berjalan?,” tanya pustakawan itu. “Aku sangat khawatir jika aku akan segera disapa saat kita berani naik lift. Tapi aku ingin mengajakmu berkeliling pada hari ini sepanjang hari.”
Kami berjalan menaiki tangga.
“Aku yakin, kamu bukanlah spesialis teori informasi.”
“Tidak juga, tidak. Lembaran kertaslah yang aku pahami. Apa yang dimuatnya, tidak.”
“Kalau begitu, aku harus memakai analogi,” kata pustakawan itu. “Pertimbangkanlah otakmu. Pada intinya, adalah sumsum tulang belakang dan struktur otak primitif yang kita bagikan kepada para chordata lain. Struktur ini adalah dasar untuk semua pencapaian pikiran manusia; dari sonata-sonata Shakespeare hingga Mazmur Daud hingga ke musik Mozart. Tapi ingatlah tentang substruktur, bukan Shakespeare. Sekarang, ada beberapa bagian yang sangat primitif dari dunia modern; yang saling berhubungan. Bagian-bagiannya telah ada sejak awal tetapi semuanya telah dilupakan sebagai jaringan yang lebih rumit yang dibangun di atas. Ada satu tempat di mana benda-benda tua ini masih dicatat.” Pustakawan itu berhenti dan berbalik untuk menatapku. Aku harus mengakui bahwa diriku bersyukur karena beristirahat; sebab pendakiannya terbukti lebih lama dari yang aku perkirakan.
Sambil berbicara tanpa menoleh, pustakawan itu melanjutkan pendakian, “Faktanya, perpustakaan tidak pernah mengunggah beberapa dari teks-teks ini.” Dia melirik ke arahku, tersenyum. “Bisakah kamu memberinya penghargaan? Masalahnya, relatif mudah untuk menemukan informasi dan kemudian menghapus salah satu substruktur utama. Jadi untuk hari ini, setidaknya setiap sarjana yang mencoba mengakses informasi akan menemukan pesan kesalahan dan pemberitahuan yang menyarankannya untuk memperbaiki ke perpustakaan umum setempat.”
Akhirnya kami tiba di puncak tangga dan berhenti di pintu.
“Mari kita diam-diam memeriksa bukti aktivitas ilmiah.”
***
Mungkin sangat disayangkan bila pustakawan membuka pintu tepat saat seorang peneliti menjatuhkan buku yang sedang diambilnya dari rak. Dia menjatuhkan buku itu karena dia mencoba menjawab teleponnya secara bersamaan tanpa menumpahkan secangkir kopi.
“Hei, terima kasih,” kata si peneliti saat pustakawan itu layaknya elang sastra yang menyambar buku dari lantai. Mata cendekiawan itu melebar ketika pustakawan meletakkan kembali buku itu di rak.
“Aku butuh itu,” katanya.
“Beri aku kartu perpustakaanmu,” balas pustakawan.
Mengambil kartu yang disodorkan padanya, pustakawan langsung memeriksa gambar yang tertera apakah mirip dengan subyeknya—saat itu, pagi merupakan waktu yang telah sedikit terlewati untuk membedakan antara gambar dan kenyataan yang ada. Dengan gunting kecil dari sakunya, pustakawan itu memotong kartu keanggotaan menjadi dua. Ia dengan senang hati membagi gambarnya menjadi dua bagian.
Setelah membuka-tutup mulutnya beberapa kali seolah ingin bicara, kerutan di wajah pustakawan selalu cukup bisa menghentikannya. Cendekiawan itu pun berjalan dengan susah-payah menuju lift.
“Dan, matikanlah teleponmu.”
Kami tidak bergerak sampai pintu lift tertutup. Pustakawan mengirim pesan ke resepsi; memberi tahu mereka untuk mengawal pembaca yang sebelumnya dari tempat itu. Dengan demikian, suasana hati pustakawan yang sebelumnya baik menjadi suram dan kami meminum cocoa kami dalam suasana mendekati keheningan.
Aku berharap penyalahgunaan buku yang kami lihat akan terbukti sebagai kesalahan tunggal. Tapi sayangnya, bukan itu masalahnya. Menurut perhitungan kami, telah ditemukan beberapa kasus makan dan minum tanpa izin. Kami mendengar banyak percakapan terlarang; baik secara langsung maupun melalui telepon. Ada sejumlah kasus ABH (actual biblio harm) yang sangat memperihatinkan, seperti sudut halaman dibalik dan buku dikembalikan ke rak yang salah. Dan, ada beberapa contoh yang benar-benar mengkhawatirkan dari GBH (grievous biblio harm); di mana volume yang berkekurangan dan tak berdosa memiliki catatan yang ditulis di marginnya atau dibiarkan lumpuh dengan tulang punggungnya yang patah. Yang terakhir ini adalah kasus yang sangat menyedihkan.
Kami menemukan The Principles of Lingerie karya Reginald Spode ditinggalkan tergeletak di atas meja; tulang punggungnya retak, isinya terbuka, dan dengan banyak tanda marginal mengotori kemurnian perawannya. Tanda kejahatan tidak ditemukan dari luar sampul manis yang kusut.
Menghadapi kemarahan ini, pustakawan melakukan sesuatu yang benar-benar luar biasa. Tentu saja, The Spode harus diambil demi segera diperbaiki tapi kami memiliki tugas mendesak lainnya untuk diperhatikan. Jadi, alih-alih mengekspos buku itu ke pelecehan lebih lanjut, pustakawan sengaja menyimpannya dengan salah.
Aku terkejut. Namun kemudian, ketika tersadar akan pengorbanan pustakawan, kejutan itu berubah menjadi kekaguman.
“Sungguh, itu adalah hal yang lebih besar dari yang kamu lakukan hari ini.”
Tapi pustakawan itu tak bergeming. Lagipula, itu adalah perpustakaan. Bukan berarti anda bisa mengatakan itu merupakan perilaku sebagian besar pembaca. Ke mana pun kami melangkah, selalu ada latar suara percakapan secara konstan yang termodulasi oleh penguasaan banyak rahang. Tampaknya, sarjana hari ini tidak dapat melibatkan otak tanpa dimulai dengan rahangnya.
Aku memiliki janji urusan lainnya pada sisa hari itu. Jadi, aku meninggalkan pustakawan saat berperang melawan gelombang ketakbegunaan manusia yang dia hadapi, tapi aku meneleponnya tepat sebelum perpustakaan ditutup. Pustakawan menjawabnya dalam mode bersuara. Kukira setelah hari seperti itu aku lebih suka tidak muncul di layar apa pun juga.
“Bagaimana hari ini berlalu?”
Melalui telepon, pustakawan itu terdengar lelah.
“Itu akan terus terjadi. Tampaknya banyak buku telah diganti secara salah. Aku menjadi khawatir akan menghabiskan waktu berjam-jam berikutnya untuk menata rak-rak.” Meskipun melalui penglihatan yang kurang, aku bisa melihatnya menggelengkan kepalanya. “Tak pernah ada semacam ini di Alexandria.”
”Apakah kamu ingin aku membantu?”
“Tidak, tidak, terima kasih. Aku yakin kita bisa melakukannya dengan ‘Permisi, Tuan, buku itu bukan untuk dipinjamkan’.”
Sambungan pun terputus.
***
Minggu berikutnya, seusai bekerja seperti biasa, aku pergi ke perpustakaan selagi masih buka. Pemberitaan tidak banyak membahas tentang hilangnya pengambilan data akademik negara. Sehingga, tidak mengherankan jika antrian yang mendaftar untuk menjadi pembaca bahkan lebih panjang dibandingkan sebelumnya. Melewati area meja tempat aplikasi diproses, aku menyadari bahwa hal itu hanya akan membuatnya lebih lama.
Pekan lalu, dengan antusiasme pustakawan untuk para pembaca baru, meja telah dijaga oleh semua staf yang paling cerdas dan tercepat. Hari ini, hanya ada satu pustakawan yang bertugas; orangnya agak jompo, tuli, dan bijaksana melayani.
Kepala perpustakaan tidak ada di kantornya. Aku juga tidak dapat menemukannya di aula dan ruang baca yang masih penuh sesak. Ini menjadi pencarian yang sangat teralihkan atas fakta di hadapanku tentang penyalahgunaan buku yang merajalela. Ketika aku kembali ke Aula Besar, aku merasa gemetaran akibat hal-hal mengerikan yang telah aku lihat.
Di sinilah, utusan pustakawan akhirnya menemukanku. Aku dibawanya turun melalui semua tingkat perpustakaan ke lantai dasar. Di sana, aku menemukan pustakawan dan menghampirinya sambil merentangkan tangan.
“Temanku tersayang, bagaimana kamu bisa tahan?”
Pustakawan itu berhenti sejenak dengan pekerjaannya. “Ah, aku senang dengan perkataanmu. Terkadang aku berpikir aku hanya seorang bujangan tua, tumbuh dengan caranya sendiri, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan zaman modern. Tapi kamu setuju; perilaku ini keterlaluan. Itu tidak bisa dilanjutkan.”
“Apakah kamu akan menghubungkan kembali perpustakaan kepada jaringan?”
Pustakawan itu menggelengkan kepalanya, agak sedih. “Seandainya semudah itu. Tampaknya tidak ada perbaikan yang mungkin. Tentu saja, pada akhirnya agen-agen luar akan melacak kesalahan dan memperbaikinya. Tapi waktu adalah esensi di sini. Jika tindakan tidak segera dilakukan, beberapa buku akan menjadi rusak tanpa bisa diperbaiki. Sebagai seorang penulis segala hal di abad ke-20 yang terlupakan; aku menerima risiko hukuman. Tuhan akan membebaskanku karena Dia tahu aku bertindak untuk kemuliaan-Nya. Tugasku adalah melindungi perpustakaan. Atau, seperti yang ditulis oleh penulis yang bahkan lebih tidak jelas—jika kamu akan memaafkan ketidakakuratan dan parafrase; aku adalah salah satu penguasa rahasia dunia. Akulah pustakawan. Aku mengontrol informasi. Jangan pernah membuatku kesal.”
Pustakawan itu berdiri.
“Ayo,” katanya, “mari kita bergegas melihatnya.”
Kami keluar dari lift dan menuju beranda atap.
Melihat ke bawah, jauh ke bawah, aku bisa melihat arus pustakawan yang terus-menerus memuat buku ke belakang armada truk.
“Ke mana mereka membawa buku-buku itu?,” tanyaku.
“Sebuah perpustakaan adalah hal ideal di masa aman sebagai tempat belajar bagi para sarjana. Akan tetapi, bagaimana dengan zaman yang kurang pasti? Sejarah mengajarkan kita bahwa koleksi terbesar sekalipun bisa menjadi korban dari gerombolan yang bodoh jika mereka tidak dijaga. Jauh dari sini, kami mempunyai ketentuan yang dibuat demi keamanan buku-buku ini; yaitu perpustakaan lainnya yang aman dan terselamatkan. Tapi yang paling penting, adalah rahasia. Dan ke situlah, aku membawa buku-buku itu.”
Aku memperhatikan truk-truk terakhir melaju pergi, menghilang menuju senja. Kami terdiam berdiri ketika malam tiba di atas kota. Jauh di bawah, perpustakaan telah menutup pintunya. Pustakawan sedang menunggu sesuatu meskipun aku tidak tahu apa itu.
Kemudian, dengan tanpa keributan, satu per satu lampu padam. Sebuah keheningan yang tidak wajar mulai menyebar ke seluruh kota saat kegelapan menyebar.
“Apa yang terjadi?”
“Apakah kamu ingat pertanyaanmu kepadaku; yang mana yang lebih penting: buku atau manusia? Tentu saja, jawabanku agak lucu. Tapi aku menjadi semakin khawatir tentang perbedaan antara peradaban saat ini dan semua buku yang mewakili: cerita, pengetahuan, seni, hukum, dan sains. Kejadian beberapa hari terakhir telah memutuskanku. Jika bahkan para sarjana tidak dapat dipercaya terhadap buku, maka masyarakat ini tidak lagi dapat disebut beradab. Oleh karena itu, sekarang saatnya untuk memulai lagi.” Dia menunjuk ke arah sebaran palung kegelapan—yang kian menumpuk jeritan dan pekikan kematian. “Jika kamu tahu apa yang harus dilakukan, mekanisme yang kompleks mudah dihancurkan. Banyak hal dapat ditemukan di buku-buku lama yang terlupakan.”
“Tapi, tapi, mereka akan memperbaikinya. Mereka akan menemukan apa yang telah kamu lakukan dan memperbaikinya.”
“Tak semudah itu, temanku. Proses yang tak dapat dihentikan telah digerakkan. Ayo, saatnya untuk berangkat. Meskipun,” dan pada titik ini, aliran listrik gagal mengunggah cahaya listrik perpustakaan itu sendiri, “aku khawatir kita harus menggunakan tangga.”
Yang terakhir kali aku lihat dari teman waktu tertentuku adalah ketika dia naik ke truk terakhir untuk meninggalkan perpustakaan dan pergi menuju kegelapan.
Sekarang, aku menuliskan ini dengan cahaya lilin, beberapa bulan kemudian (aku takut aku telah melupakan ketepatan tanggalnya). Aku akan menyegel kesaksianku ke dalam botol dan meletakkannya di tempat yang tersisa di perpustakaan—karena banyak bangunannya telah dihancurkan oleh kerumunan beberapa minggu yang lalu meskipun mereka tidak menemukan makanan atau bahan bakar. Jika suatu hari nanti, teman lamaku muncul dari tempat kudusnya dengan buku-buku untuk memulai peradaban baru, aku berharap catatanku dapat ditemukan: sebuah catatan singkat tentang akhir dunia.
DailyScienceFiction.com, 5 Agustus 2011
_
[Penerjemah: Taufik Nurhidayat.Tidurnya di perpustakaan lorong menuju sumur belakang rumah.]
Cerpen ini dipungut dariDailyScienceFiction.comuntuk disebar gratis dengan alihbahasa Indonesia kepada kaum pembaca blog kami. Tautannaskah asli bisa dibaca di sini.
Tidak akan pernah habis untuk dibahas, kemajuan dan tumbal dari kemajuan tersebut sepertinya memang “benar”: akan menjadi nyata dalam realita kehidupan manusia.
Mungkin, berpikir akan sesuatu membuat manusia menjadi tahu sesuatu. Tentu sesuatu yang diperkirakan itu akan terjadi saat ini, maupun di masa depan sebagai pemenuhan jalinan dalam berkehidupan setiap manusia.
Memang tak dapat dipungkiri, semua manusia mendambakan kemajuan. Tetapi perkara menjalani kehidupan maju tersebut, apakah tidak memundurkan kaum-kaum yang tidak dapat maju dengan adanya konsep kemajuan itu; jika pada akhirnya hanya manusia-manusia tertentu saja yang dapat untung di sana?
Ini tidak hanya menjadi pertanyaan tetapi juga menjadi suatu kekhawatiran sosial yang mungkin tidak disadari banyak orang. Kehidupan bermuara pada modernitas, pembangunan, dan harapan-harapan kemudahan zaman; yang memang akan menjadi sesuatu yang harus dikejar sebagai impian banyak manusia saat ini maupun yang kini tengah berpikir jauh sebagai lompatan ke depan.
Namun kuatnya sistem kapitalisme dalam mempengaruhi kehidupan manusia sungguh sudah melampaui. Bukan tidak setuju dengan sistem ini, tetapi jika modal hanya ditujukan pada perolehan keuntungan semata, pada akhirnya, siapa yang akan memperhatikan nasib mereka—dalam hal ini “manusia” yang terpinggirkan dari wacana bermodal itu sendiri?
Sesuatu yang hanya akan menciptakan teka-teki, namun dalam hal kajian terhadap sesuatu, teka-teki itu selalu saja dapat untuk dipecahkan. Lebih jauh lagi, tujuannya bukan hanya untuk terpecah, tetapi harus memberi solusi kongkrit pada setiap obyek masalah; yang harus dihadapi bersama yakni sebagai sebuah jalan untuk menang secara bersama-sama dalam balutan bentuk ideal kemanusiaan.
Dalam menjalankan sebuah sistem sendiri, apapun bentuknya, memang dibutuhkan kerelaan pada obyek kemanusiaan yang harus menjadi tujuan. Tetapi sekali lagi, kemajuan dalam sistem apapun itu, jika tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ideologi yang humanis akan menjadi kenyataan kosong bagi kehidupan manusia.
Kembali pada sub pokok bicara “kemanusiaan” di abad ke-21 ini, apakah akan sesuai jika di dalam ranah keilmuannya sendiri, ilmu humaniora dipandang sebagai keilmuan yang menciptakan penganggur bagi negeri sekelas dan sebesar Indonesia? Mungkin menjadi apa yang dinamakan kemajuan industri dan teknologi, semua bentuk keilmuan harus pro kepada teknologi dan menciptakan banyak sumber daya manusia untuk kebutuhan industri itu sendiri?
Tetapi di dalam menjalaninya, kini sebagai masyarakat yang tentu lebih kompleks dari industri dan teknologi, mungkinkah tidak akan menjadi ketimpangan sendiri di dalam bermasyarakat tanpa ilmu humaniora di dalamnya? Bukankah dengan didukung teknologi maupun industri dan ilmu humaniora yang maju, akan menciptakan suatu terobosan-terobosan baru berkehidupan sosial secara seimbang? Negara sekelas Jerman sendiri saja tetap gigih membangun ilmu humaniora meskipun industri dan teknologi mereka juga sangat maju dan terkenal di dunia.
Bentuk ruang-ruang yang tidak tergarap oleh sisi kemanusiaan, bahkan akan menjadi ruang yang gelap untuk dilucuti keberadaannya, justru bukankah menjadi kecurigaan sendiri? Jangan-jangan, ilmu humaniora dikerdilkan di Indonesia untuk memperluas industrialisasi itu sendiri; yang diperuntukkan perolehan modal dari sistem kapitalisasi supaya mereka semakin kuat pengaruhnya di Indonesia dengan sistem ekonominya?
Berbagai kemungkinan-kemungkinan itu memang bisa saja akan terjadi. Jika ditelisik lebih dalam pun, manusia memang sudah tidak dapat lepas dari kapital. Semua digiring untuk butuh untuk kerja mencari uang sebanyak-banyaknnya dan belanja sepuasnya; meskipun sistem mengakomodasi mereka untuk tetap berhutang yang menjadi tali dengan permodalan.
Dalam setiap bentuk buaian akan sistem kapitalisme sendiri, memang semua tidak dengan lebih mudah untuk sama-sama mengingkari. Tentu karena semua manusia di dunia sudah diikat kuat dalam genggaman mereka—para manusia-manusia yang menang dalam sistem kapitalisme ini.
Seperti para pegawai rendahan sekelas gaji upah minimum kabupaten di Jawa Tengah yang terkenal rendah saja, cita-citanya kini membeli smartphone seharga belasan juta. Apakah jika sudah seperti itu, dalam ideologinya sendiri mereka sudah diracuni oleh sistem; di mana mereka—manusia—mencari uang semata untuk bereksistensi dengan kemewahan yang ditawarkan juga oleh uang pada akhirnya?
Bukankah akan menjadi pertanyaan sendiri, ketika manusia semakin kuatnya dengan harapan perolehan uang dalam waktu kehidupannya, hal-hal yang penting seperti properti dalam bentuk agraria misalnya; yang masih banyak manusia desa akan semakin mudah dilepaskan untuk kepentingan pembangunan yang justru tidak menguntungkan mereka di masa depan: apakah penting punya uang banyak?
Tentang wacana yang akan menjadi kabur pada akhirnya; pembelian properti masyarakat, pembangunan atasnama modal untuk modal, dan semakin lemahnya daya pikir manusia; yang terus akan terbuai dengan kemewahan yang justru membelenggu mereka sendiri. Pada akhirnya, tetap kapitalis-kapitalis juga yang akan diuntungkan pada akhirnya.
Dan menjadi masyarakat di abad ke-21 ini, akan menciptakan kelas yang menang dan kalah pada akhirnya. Namun dalam praktiknya sendiri, sistem kapitalisme bukan tanpa kelebihan. Tentu di sini adalah hak milik tersebut sebagai bagian dari aset masyarakat itu sendiri. Mempertahankan aset itu—contohnya “agraria”—adalah upaya untuk menang di dalam masyarakat kapitalis.
Karena dalam sistem kapitalisme, pemenang adalah pemilik; dan itu mengapa kepemilikan agraria haruslah diperhatikan; supaya tidak terlalu jauh untuk sebuah pembangunan yang tetap akan memenangkan mereka: para pemodal dengan jumlah besar.
Pembangunan, Kemiskinan, dan Ancaman Kepemilikan Lahan
Ibarat bemain dengan logika sendiri, memang terlihat dalam kehidupan “maju” bukanlah sesuatu yang mengecewakan. Manusia memang ingin kehidupan maju dan membanggakan sebagai jawaban dari segala bentuk harapannya. Namun menjadi “maju” dalam bentuk pembangunan yang tidak disadari itu, kita harus bertanya: akan ada berapa manusia yang dimiskinkan oleh pembangunan itu?
Pertanyaan yang tidak dapat dilepas ini, dalam bayangan sendiri, pembangunan memang diperuntukkan untuk umum. Tetapi dalam menjadi umum, apakah tidak rancu ketika untuk menjadi penikmat fasilitas umum sendiri harus menyesuaikan kelas sosial antara kelas mampu dan tidak mampu dalam jumlah kapital?
Bagaimana pembangunan dalam kapitalisme, semua diorentasikan pada modal dan kembali lagi teruntuk modal. Siapakah yang tetap berjaya dalam hal ini; yakni tetap para pemodal!
Modal dan lajunya kehidupan abad 21 ini memang ibarat sebuah pertalian yang disepakati bersama. Sebagai tawaran-tawaran dari bermodal itu sendiri, apakah benar yang penting hari ini punya uang bukan punya sumber-sumber aset produksi untuk menunjang kehidupan itu sendiri? Inilah yang terkadang dikaburkan oleh keinginan menjadi bermodal itu sendiri.
Kebutuhan menjadi mewah, tidak berorentasi masa depan, dan kemudahan segala bentuk apapun asal punya modal “uang”; semua dapat terbeli termasuk yang “dikesankan oleh hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan dari perolehan kapital mereka sendiri”.
Ideologi berpikir dengan kapitalis memang tengah menjadi wabah baru manusia abad ke-21. Sebagain besar dari mereka tidak menganggap penting aset yang produktif seperti agraria itu sendiri.
Sampai kapanpun, manusia tetap akan kembali pada alam untuk menanam apa yang mereka akan tanam sebagai bahan makanan. Jika pun nanti di masa depan akan ada makanan buatan yang lebih efisien, apakah sesuatu yang dibuat itu tidak akan membutuhkan alam pada akhirnya?
Alam sebagai ibu dan lahan untuk menanam manusia adalah bentuk kasih dari seorang ibu untuk kehidupan manusia. Dan apakah manusia akan peka terhadap kasih ibu “agraria” jika dibandingkan dengan kebutuhan pertalian mereka akan uang dan kemewahan—bukan dalam bentuk produktivitas pangan yang lebih dibutuhkan?
Pertanyaan tetap pertanyaan tetapi kenyataan merupakan bukti itu. Lahan-lahan di Pulau Jawa semakin tergerus industri dan pembangunan yang justru mengerdilkan produktivitas pangan Tanah Jawa itu sendiri sebagai simbol kemakmuran.
Pembangunan lahan industri pabrik, jalan tol, perumahan, dan sebagainya yang mengurangi secara membabi buta lahan di Tanah Jawa, bukan saja akan menimbulkan masalah sosial baru di masa yang akan datang. Tapi juga, ancaman-ancaman kemiskinan yang terus akan dirasakan manusia Jawa pada saatnya. Mungkin jika tanah Jawa dijadikan industri yang besar untuk Indonesia, secara garis besar apakah tidak akan tetap dimiskinkan jika sebagian besar masyarakat adalah buruh dengan keterbatasan upah, lalu di sana harga kebutuhan pokok seperti pangan harus tinggi harganya karena produksi pangan semakin sedikit?
Yang mungkin sudah terjadi tetapi tidak disadari, populasi penduduk Jawa yang semakin meningkat jumlahnya sendiri, bukan saja akan menjadi fokus baru di balik terus dibangunnya pembangunan dan tetap pembangunan.
Perumahan dan pabrik-pabrik industri mungkin sebagian dari itu, tetapi pembangunan jalan tol yang akan terus dibangun melingkari Tanah Jawa. Jika di bagian Jawa utara sudah dibangun jalan tol, kini giliran Jawa bagian selatan yang akan menerimanya. Mungkinkah bencana atau anugerah dari pembanguan itu?
Tentu perkaranya hanyalah berubahnya tranformasi lahan—yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat dan masih dinikmati hasilnya dari lahan tersebut sebagai lahan pangan—berganti aspal-aspal entah milik siapa. Bukankah jika milik negara, apakah semua lapisan masyarakat menikmati apa yang diusahakan negara? Bukankah yang tetap sejahtera adalah mereka-mereka para pegawai negara dengan bentuk sebagai yang katanya mengabdi pada masyarakat itu?
Pembangunan dalam sistem kapitalisme memang bukan saja tidak untuk sebagai sebuah keadilan. Jika bukan pemodal dan negara, hasilnya pun akan tetap dinikmati oleh mereka para kapitalis birokratis yang bersembunyi di balik jubah negara.
Mungkin jika harus dirasakan dampaknya lebih dalam, setiap apa yang disebut pembangunan, memang akan mengancam semua bentuk kepemilikan lahan. Terkadang tawaran yang menggiurkan dari uang hasil dari penjualan lahan itu menjadi sesuatu yang rancu. Dapatkan manusia akan mempertahankan lahan tanahnya jika apa yang menjadi ide-ide mereka sederhana; yakni menjadi hedonis dengan uang yang akan mereka peroleh?
Bukankah menjadi bukti itu sendiri bagaimana Jalan Tol Trans Jawa di bagian utara Jawa mengurangi poduksi pangan itu karena sawah yang digunakan sebagai pembangunan jalan sudah tidak produktif lagi, bahkan sudah mati?
Dan siapakah yang menerima berkah dari pembangunan itu; apakah mereka para kaum manusia terpinggirankan yang diuntungkan? Tentu yang dapat menikmati adalah mereka-mereka dengan keterpunyaan modal yang tinggi; di mana untuk masuk jalan tol saja harus punya mobil dan uang untuk mempergunakannya.
Masa depan agraria di Pulau Jawa memang sudah akan mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Bukan apa, mungkin dampak dari hari ini tidak akan terasa. Mereka yang menjual lahan-lahan mereka untuk pembangunan masih dapat menikmatinya untuk dirinya sendiri. Tetapi, bagaimana dengan keturunan mereka kelak?
Inilah sumber dari berbagai masalah itu. Di belahan bumi sana, berperang mempertahankan lahan, manusia usahakan mati-matian namun tawaran akan uang dan kemewahan hidup sesaat justru mengaburkan nilai-nilai perjuangan akan lahan itu sendiri.
Bahwasanya jelas di sini. Lahan, selama ia masih diolah oleh manusia, di sana akan terdapat kehidupan berapapun lintas generasinya. Untuk itu, mempertahankan lahan adalah mempertahankan akan abadinya kemakmuran bagi manusia.
Bukankah menjadi dasar dari berpikir itu sendiri—untuk manusia khususnya—yang mempunyai lahan agar tidak sebegitu mudahnya menjual lahannya; yang akhirnya di masa keturunannya, mereka tidak sejahtera karena tidak mempunyai lahan bagi kebutuhan pangan-pangan mereka?
Saat ini, sebab dari berbagai musabab itu, Tanah Jawa yang terkenal dengan kesuburannya bukan tidak mungkin di masa depan akan menjadi miskin karena alih fungsi lahan itu sendiri. Nahasnya bukan masyarakatnya yang menikmati, tetapi segelintir orang dalam sistem kapitalisme yang justru menikmati itu.
Kesadaran akan agraria untuk masa depan lebih baik bukan saja harus ditanamkan dengan berbagai tawaran ide-ide hedonisme sementara yang lebih menggiurkan; namun berpikir orentasi masa depan. Bukankah kemewahan hidup tidak akan terbawa mati dan manusia mati jika ia punya anak akan meninggalkan anaknnya? Akan diwarisi apa anak tersebut? Kemiskinan tidak punya lahan pangan?
Sesuatu yang belum terjadi dan akan direncanakan untuk terjadi adalah pembangunan Jalan Tol Trans Jawa segmen selatan Pulau Jawa. Bukan hanya akan menjadi ancaman nyata lagi bagi agraria Tanah Jawa kembali, namun akan menjadi momok kemiskinan lagi; yang akan terjadi berikutnya di masa depan masyarakat Jawa.
Pembangunan jalan tol segmen jalur selatan Jawa di satu Kabupaten Cilacap sendiri berpotensi akan kehilangan lahan sawah sekitar 537 hektar—dikutip oleh Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap. Bukankah dari sini, kita dapat menghitung berapa dalam waktu sekali panen, kita kehilangan hasil dari panen pangan tersebut? Inikah yang akan diwariskan untuk keturunan kita dengan “kemiskinan” karena sudah tidak punya lahan lagi?
Menjadi masyarakat yang punya hak secara pribadi akan kepemilikan lahan, bukankah itu sebuah kekuatan masyarakat untuk menentang pembangunan yang justru memiskinkan?
Perkaranya, kini “kemewahan” yang banyak masyarakat pamerkan. Manusia akan selalu butuh uang untuk gaya hidup mereka dan apa yang mungkin dapat mereka jual sebagai akomodasi kemewahan adalah menjual lahan; yang juga merupakan solusi bagi masyarakat yang selalu kekurangan gaya dan melupakan pentingnya masa depan untuk anak-cucu mereka sendiri.
Berbicara masyarakat bukan saja berbicara tatanan; tetapi juga harus berbicara ide-ide dalam bermasyarakat. Memang, menjadi satu manusia ideal harus betumpu pada tujuan “ideal” itu sendiri yang disepakati bersama.
Namun dalam bangunan bermasyarakat, apakah konsep ideal tidak menjadi kabur ketika satu dari banyak masyarakat sendiri mempunyai gagasan bagaimana menjadi ideal itu menurut versinya masing-masing?
Tentu tidak akan menjadi mudah ketika manusia berbicara ide—apalagi saat ia harus berbicara ide—namun ide itu dihadapkan dengan kerumunan yang juga membawa ide-idenya sendiri-sendiri dalam balutan bermasyarakat. Ibaratnya menjadi satu semut dalam satu rumah diisi jutaan semut yang menghuninya; satu manusia tidak dapat mengubah apapun terkecuali: ia memang sudah punya kekuatan dalam mempengaruhi banyak manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
Maka tidak heran, pemimpin-pemimpin diciptakan dalam struktur sosial bermasyarakat; bawasannya titah atau pengaruh mereka dapat mempengaruhi wacana ide berpikir manusia dalam hidup bermasyarakat. Tetapi apa yang tidak dapat disentuh oleh manusia berpengaruh tersebut (pemimpin) adalah ranah tradisi dan anggapan yang berbudaya secara turun-temurun menjadi keyakinan banyak masyarakat.
Secara tidak langsung, keyakinan-keyakinan tersebut menjadi dalil-dalil baru dalam hidup bermasyarakat yang diyakini secara ideologis bawah sadar mereka. Dalil tersebut seperti hukum dan apa bentuk hukum tersebut adalah adanya konsep dari stigma buruk dalam sebuah persepsi; yang menjadi acuan dalam bermasyarakat itu sendiri sebagai “ideal” dari yang dipilih atau disepakati menjadi ideal.
Sebut salah satu yang banyak terhukum masyarakat saat ini adalah stigma menjadi (sebagai) “perempuan”. Mengapa perempuan cenderung rentan terkena dampak buruk dari stigma tersebut di masyarakat?
Perlu diingat, peradaban saat ini bukan saja bentuk dari keterpengaruhan di masa lalu, tetapi pengetahuan yang dibangun cenderung maskulin dan meminggirkan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang setara. Karena di dalam keyakinan masyarakat tradisional, perempuan bukan saja harus patuh, kalem, dan tidak mengikuti gaya hidup yang nakal, tetapi juga dari dalam strata sendiri harus lebih rendah dari laki-laki, padahal semua manusia diciptakan untuk menjadi sama; tidak ada perbedaan, baik di dalam masyarakat maupun sebagai pribadi manusia itu sendiri.
Perempuan terlihat lemah karena pandangan sosial yang memposisikan mereka lemah; bukan berarti dipandang “lemah” tidak bisa menjadi kuat. Perempuan merupakan makhluk yang paling kuat meskipun ia direndahkan secara pandangan sosial—tetapi kekuatan itu terletak pada sikap mau mengalah terhadap peradaban yang sebenarnya menindas mereka.
Pada dasarnya, perempuan adalah makhluk paling berani menata dirinya. Mereka adalah pemimpin sekaligus mampu “mengalah” untuk menjadi perempuan itu sendiri; yang bila mereka menggugat: dunia memang milik mereka (women the real leader of the world).
Mungkin inilah jawaban dari kebudayaan Jawa, misalnya; meskipun sosok pemimpin perempuan sendiri banyak di belahan dunia lain, tetapi kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terdekat dan nyata dapat kita lihat. Mengapa tempat bersemayamnya raja-raja Jawa dinamakan keraton? Bukankah keraton sendiri berasal dari kata “keratuan” (ratu: perempuan); yang dimana pemimpin sebenarnya harus berjiwa feminis?
Sosok atau figur jiwa perempuan menjadi ibu bagi kehidupan seperti harus dilibatkan dalam struktur tertinggi politik masyarakat Jawa. Ini menunujukkan bahwa peradaban memang harus feminim supaya jiwa merawat kehidupan seperti ibu yang merawat dengan baik anak-anak mereka; sebagai bagian dari menjaga kehidupan itu sendiri.
Namun kembali tentang sesuatu yang telah membudaya dari generasi ke generasi, bahwa dibutuhkan kesadaran secara total dalam bermasyarakat untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi peran maskulinitas peradaban dunia. Yang justru terjadi, faktor kejayaan, ekspansi, dan kehendak kuasa menjadi cermin peradaban masyarakat dunia saat ini; bukan merawat dunia seperti peran ibu (feminin).
Memang bukan hanya berbicara keadilan gender, tetapi juga mana peran yang baik untuk sama-sama merawat dunia dan masyarakatnya. Masih banyaknya perang di dunia, ketimpangan sosial, dan eksploitasi pada alam yang berlebihan mungkin harus berkaca pada apa sebenarnya yang salah dari peradaban dunia itu sendiri saat ini? Maskulinitas yang terkadang jumawa; mengidealkan kuasa dalam permainannya, apakah ini biang dari semakin terdegradasinya kehidupan dunia dimana alam dan masyarakat semakin mempunyai kualitas hidup yang rendah?
Bukan saja menjadi catatan, dalam menjadi manusia, memang faktor feminin dan maskulin dapat termanifestasi di tubuh yang sama. Tetapi berbicara adikodrati sebagai manusia, mereka akan optimal ketika mereka menyadari tubuhnya masing-masing dan tidak mungkin manusia akan optimal tanpa ia bersatu dengan tubuhnya sendiri; dalam arti, permpuan tetap menjadi feminin dan laki-laki akan tetap menjadi maskulin.
Stigma Moral Terhadap Perempuan
Menjadi manusia memang tidak berbeda. Setiap manusia berhak berpikir; berhak menentukan hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Begitu pula menjadi perempuan, mereka bebas menjadi apapun yang mereka mau. Kita, antara perempuan dan laki-laki, terperangkap di tubuh yang sama; yakni manusia.
Tetapi, ide tentang moralitas seperti sebuah sandungan dalam menjadi manusia. Semua serba atasnama keyakinan yang dipercayainya masing-masing dalam memandang hidup. Norma-norma yang masyarakat pandang seperti sebuah dalil sosial padahal sosial terbentuk dari pribadi-pribadi antara laki-laki dan perempuan; dimana wacana menghakimi sebagai masyarakat haruslah bagaimana menjadi manusia secara pribadi terlebih dahulu.
Hidup di dalam keyakinan pada tradisi seperti gampang yang susah. Di samping gampang telah memiliki pakem yang ada, susah ketika pakem tersebut tidak sesuai dengan apa yang manusia kehendaki di dalam menjadi masyarakat itu sendiri sebagai pribadi. Menjadi masyarakat ibarat manusia menjadi dua kaki; satu kaki harus taat pada norma masyarakat, satu kaki lagi harus dapat menjadi bebas sebagai pribadi manusia.
Maka moralitas dan strata sosial dalam masyarakat seperti hanya akan berbuah paradoks. Namun yang tetap menang di sini yakni laki-laki yang dipandang lebih superior dibandingkan perempuan. Dalam hal moralitas juga sama; laki-laki seperti biasa dipandang dalam hal-hal merokok, mabuk, dan bekerja kasar, misalnya. Berbicara hal yang sama menjadi manusia, perempuan seharusnya dipandang sama jika mereka harus merokok, mabuk, atau kerja kasar untuk mengisi harinya sebagai manusia.
Saya tidak sepakat bahwa rokok dan apapun itu terlarang bagi perempuan secara wacana ide moralitas kepatutan menjadi masyarakat. Mau mabuk atau apapun, itu adalah kebebasan sebagai manusia, termasuk perempuan itu sendiri.
Mabuk, rokok, dan segala macamnya, termasuk mencari nafkah keluarga, bukankah sudah menjadi produk kebudayaan dari dulu yang dilabeli untuk laki-laki? Pola pikir masyarakat sudah terbentuk begitu berpakem: wanita itu harus kalem, penurut, dan tidak mengikuti gaya hidup yang nakal. Jelas, pandangan masyarakat menstigma bahwa “kalau dia perempuan tidak benar karena di luar dari pakem itu” yang menjadi perspektif ideal bagi masyarakat.
Namun lambat laun, ini hanya budaya, bisa berubah tergantung pola pikir lagi di masyarakat. Setelah masyarakat dewasa memandang kehidupan, membuat berpakem-pakem itu akan hilang dengan sendirinya, karena keadaan gaya hidup populer dan segala macamnya termasuk dalam semesta wacana pemenuhan kebutuhan keluarga akan terus mengikuti kebutuhan zaman.
Bukankah kini karena kebutuhan hidup, perempuan mencari nafkah sudah menjadi biasa untuk sama-sama memenuhi kebutuhan keluarga? Sepertinya benar perspektif yang diyakini masyarakat dalam wacana ide masyarakat sendiri, yang belum dewasa memandang sesuatu di luar pakem menurut pandangan mereka.
Dalam bergaya hidup sebagai modern sendiri, kini memang sudah tidak akan zaman lagi “ini bagian laki-laki, ini bagian perempuan”. Semua aspek kehidupan masyarakat cenderung akan menunjukkan kesetaraan di masa depan termasuk dalam ruang mencari nafkah, gaya hidup, bahkan kebutuhan hidup untuk “nakal” itu sendiri; yang kini dijadikan sebagai pelarian kebosanan pada hidup yang “mengapa harus begini-begini saja hidup sebagai manusia itu?”.
Ketika hidup manusia sudah setara dalam pandangan masyarakat sendiri, kini perempuan yang dikerdilkan peranannya dan moralitasnya untuk bagaimana menjadi perempuan, akan mendapat hak yang sama di masa mendatang. Perempuan yang sebenarnya kuat dan punya insting dalam merawat kehidupan sendiri dengan potensi yang tersembunyi dari mereka, nantinya ketika tidak ada lagi wacana ide masyarakat dalam kesetaraan lebih merendahkan perempuan, bukan tidak mungkin perempuan mengambil alih peradaban untuk memimpin dunia dengan sikap dan kekuatannya sebagai perempuan: sang pemberi dan melahirkan hidup.
*)Penulis: Toto Priyono.Bermukim di Cilacap sambil meminati kajian sosio-humaniora dan beresai.
–
Bagi kaum awam seperti mereka dan saya, menjadi “Singapura-nya Indonesia” berarti akan terciptanya gedung-gedung tinggi, rapi, indah, dan maju. Banyaknya pekerjaan yang tersedia nanti di kota metropolitan mirip Singapore ini dengan julukan “The Singapore of Java” sangat membantu kami warga sebagai warga Cilacap karena kami tidak perlu susah-susah merantau ke kota lain untuk mencari sesuap nasi, bahkan sampai ke luar negeri (ke Singapura-nya betulan).
Memang pada tahun 2014 lalu, politikus yang menjabat Presiden untuk kedua kali, Bapak Republik Indonesia tercinta, Joko Widodo, sempat mencanangkan bahwa Cilacap akan menjadi Singapura-nya Indonesia lewat industri yang akan dibangun di Cilacap, yakni PLTU (pembangkit listrik tenaga uap). Tentu kabar baik ini diterima dengan senang oleh semua pihak lapisan masyarakat. Harapan mereka mungkin akan menjadi kebenaran karena yang bilang sendiri adalah Jokowi, calon presiden Indonesia waktu 2014 itu dan juga belum lama tahun 2019 ini.
Namanya juga orang desa, melihat Singapura itu hanya di gambar saja. Kotanya begitu maju, sampai-sampai dengan Photoshop (aplikasi edit foto), mereka gambarkan Kota Cilacap yang maju. Dari perbatasan Kota Cilacap, terlihat megah diisi oleh penggambaran dengan bentuk gedung-gedung tinggi yang mewah dan megah. Sayang, dokumentasi itu sudah tidak terlihat di berbagai media sosial tentang Cilacap; jadi gambar tersebut tidak saya bagi di sini, tetapi jika Anda orang Cilacap pasti mengetahui.
Orang berharap boleh saja (menggambarakan kegembiraan?). Apalagi, jelas boleh asal “kalau tidak sesuai harapan jangan kesal”. Tentu harapan kemajuan kota menjadi gambaran warga Cilacap yang girang akan wacana Jokowi yang dulu bahkan hingga kini saat menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Tetapi apakah harapan tidak hanya menjadi harapan? Sudahkah Cilacap selangkah memiliki kemiripan dengan panutannya, Singapura? Inilah yang akan dipertanyakan; realitas kini dan progres kemajuan dari Cilacap itu sendiri sebagai “The Singapore of Java”.
Cilacap Kini Kota PLTU
Gagasan menjadi Singapura-nya Jawa memang mungkin. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memberikan jargon yang sama; bahwa Cilacap dapat menjadi Singapura-nya Jawa. Tentu alasan Pemkab sendiri akan datangnya investasi besar-besaran ke Cilacap menjadi faktor ketertarikannya bertumpu pada PLTU yang akan dibangun di Cilacap—yang kini sudah terbangun dan sebagian lagi telah berfungsi. Tetapi sejak dalam pembangunannya, dari satu PLTU hingga sekarang, yang telah mencapai empat pembangkit PLTU, geliat investasi di Cilacap cenderung stagnan. Memang sedikit ada kenaikan, tetapi sifatnya hanya akomodasi proyek PLTU saja.
Saya kira pengembangan infrastruktur menjadi biang tersendatnya investasi ke Cilacap. Kota yang buntu membuat enggannya para investor menanamkan modalnya ke Cilacap. Mengapa untuk menarik Investor dibutuhkan infrastrukur? Jelas, untuk menunjang faktor distribusi barang jadi produksi dan barang mentah untuk diproduksi oleh industri.
Jargon Cilacap untuk menjadi Singapura-nya Indonesia di Jawa pada saat itu, menurut saya terkesan hanya manifesto PLTU dengan segenap janjinya “sebagai kepentingan proyek strategis nasional pemerintahan Jokowi” untuk tidak mendapat banyak pertentangan masyarakat. Dengan kurang berkembangnya investasi di Cilacap, jika memang Cilacap akan dijadikan oleh pemerintah pusat menjadi “The Singapore of Java”, tentu pemerintah pusat menggiring investor ke Cilacap dan menyiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu sebagai kawasan ramah Investor.
Bukankah kenyataannya itu tidak dilakukan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Cilacap sendiri yang mendukungnya? Oleh karenanya, janji daerah maju dan investor datang seperti hanya gurauan politikus yang sudah biasa terjadi. Memang, saya di sini tidak tahu bagaimana investasi di Cilacap akan berkembang nantinya.
Tetapi kita boleh sejenak berpikir secara rasional, bagaimana investor akan datang ketika infrastrukturenya belum siap? Adanya PLTU sebagai bahan utama masuknya investor memang hanya ucapan manis kepada masyarakatnya saja, buktinya tetap nihil. Produksi listrik PLTU yang produksi listriknya dapat disalurkan kemanapun asal terdapat penghantarnya, itu yang tidak terbaca oleh masyarakat dan pemerintahan daerahnya, dalam hal ini: Kabupaten Cilacap.
Infrastruktur yang mandeg di Kabupaten Cilacap sendiri membuat investasi di Cilacap masih kalah jumlahnya oleh kabupaten-kabupaten lain di Jawa Tengah, yang lebih siap dalam infrastruktur seperti Solo, Klaten, Salatiga, dan Sukoharjo. Mengapa investor memilih daerah mereka?
Tentu karena faktor Tol Trans Jawa yang mengakomodasi sebagai akses kebutuhan utama industri yang diperlukan. Daerah jalur Tol Trans Jawa sendiri mendapat berkah sebagai wilayah industri baru pindahan industri dari Jabodetabek; yang di sana dinilai tidak banyak menguntungkan karena faktor pengupahan yang sudah tinggi kepada buruh.
Dengan berubahnya iklim wilayah sebagai tujuan investasi industri dan infrastruktur yang cenderung belum menampakkan kemajuan di Kabupaten Cilacap, membuat Cilacap hanya akan dihuni oleh Industri PLTU yang akan terus berekspansi. Kini sudah ada empat PLTU yang sudah terbangun di Kabupaten Cilacap. Mungkin jika ke depan tidak ada penolakan berarti dari masyarakat Kabupaten Cilacap, selama konsumsi listrik di Jawa dan Bali masih kurang, terus menambah PLTU di Kabupaten Cilacap adalah jelas menjadi kenyataan itu.
Rayuan investasi dari adanya PLTU sendiri sudah tidak akan bisa diharapkan lagi bagi masyarakat Kabupaten Cilacap. Yang ada, Cilacap kini menjadi Kota PLTU dengan berbagai dampak sosial atau dampak lain seperti kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari aktivitas produksi industri PLTU itu sendiri. Sekali lagi, wacana keuntungan investasi dari industri PLTU sampai jargon “The Singapore of Java” adalah kebohongan belaka.
Tidak lebih, hanya upaya strategi dari Pemerintah Pusat dan Daerah yang setuju pembangunan PLTU sebagai proyek strategis nasional yang tidak menguntungkan masyarakat Kabupaten Cilacap tetapi justru merugikan masyarakat di sekitarnya. Bukankah kasus rencana pemindahan siswa SDN 03 Slarang pada Kamis (4/4/2019) karena terdampak proyek pembangunan PLTU Karangkandri di Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, sudah menjadi bukti yang merugikan masyarakat itu?
Terkadang, harapan, wacana, dan kenyataan tidak semua berbanding lurus; begitu pun dengan investasi kemudian julukan “The Singapore of java”. Semua hanyalah bentuk rayuan indah untuk menggiring opini supaya industri—dalam hal ini PLTU—tidak mendapat penolakan berarti dari masyarakat Kabupaten Cilacap itu sendiri.
Bagaimanapun, semua industri ada nilai kurang dan lebihnya; tinggal masyarakat lihat, jika dampak lingkungan tidak diperhatikan oleh manajemen PLTU, maka menentang adalah sesuatu yang perlu. Perkara nanti di masa depan ketika banyak PLTU itu tidak terpakai lagi dan hanya akan menjadi barang bekas yang rusak, mungkin julukan Cilacap sebagai Kota PLTU berganti menjadi Kota Penampung Rongsok PLTU.
Permainan kosakata seperti telah menjadi hal yang lumrah dalam memandang pergaulan masa kini. Setiap zaman pasti akan menciptakan suatu narasi yang; kita, “manusia”, seperti dituntut untuk menelanjangi diri; dimana apa yang dibutuhkan dalam menjalani hidup seyogianya hanyalah untuk sebuah candaan, tentu agar keinginan kita menjadi kabur dan tidak memperkeruh perkara-perkara apa yang harus dibutuhkan dalam menjadi manusia termasuk memandang cinta itu sendiri.
Mungkin akan menjadi aneh ketika manusia tidak menyadari sebuah kata “tren” di abad 21 ini. Memang tidak semua manusia dapat diseragamkan; bahwa mereka—manusia abad ke-21—harus hidup mengikuti tren. Namun di sini yang harus disadari: tidak semua orang hidup bersama dengan “tren”. Seperti yang banyak terlihat sekarang, tren sendiri bukan berarti hanya isu yang diperbicangkan orang secara berlebihan.
Barang dan bahasa juga termasuk dalam “tren” yang di dalamnya hangat juga untuk diperbincangkan; yang terkadang tidak disadari tetapi hal tersebut merupakan identitas budaya baru yang menjadi pijakan manusia untuk menanggapi suatu feonomena diri bersama dengan zamannya. Namun tentang budaya yang terbangun itu, sebenarnya sudah lama ada, hanya saja tidak disadari dan belum sempat ternamai sebagai simbol itu sendiri.
Perkara menjadi anak muda dan berbudaya, bukan saja ia harus mengubah segala sesuatunya sebagai identitas dari zamannya, tetapi juga sebagai titik pijak; dimana akan ada sesuatu yang mengingatkan dari hidup manusia ketika kita membangun budaya “tren” dalam menjalani hidup ini. Yang mungikin kini menjadi ingatan kolektif para generasi milenial di sana, tren akan grup band dan karya-karyanya di tahun 2010-an ke belakang yang mereka banyak menyinggung kata cinta di dalamnya. Waktu itu, generasi mereka—“milenial”—berada di dalam gelora anak muda yang mencirikan sebagai “pemain cinta”. Dan, hiburan dari apa yang disebut patah hati, bahagia atas nama cinta, dan kenangan-kenangan pengalaman dari menjalani cinta itu seperti termanifestasikan dari karya-karya berupa lagu dari grup band pada masanya.
Saya kira, milenial yang patah hati mengenal baik lagu Vagetoz atau dengan mereka yang menginginkan indah dan bahagianya “cinta” akan terus-menerus mendengarakan lagu dari grup band Naff. Kemudian dengan mereka yang menatap impian, mencoba mengais-ngais karya dari J-Rocks dengan musik yang menghentak untuk meraih mimpi.
Tidak disadari juga sebagai budaya masa itu oleh milenial; bahwa mereka mengikatkan diri pada wadah “fans” dimana grup band yang menjadi representasi perasaannya; itulah yang menjadi identitas dalam pergaulannya. Pada masa itu, semua bertanya; grup band apa yang menjadi karya-karya favoritnya? Tentu grup band tersebut yang membawa diri dan perasaan mereka sebagai yang; entah itu sedang patah hati, bahagia, bahkan yang sedang mengejar mimpinya. Dan saya membayangkan, mungkin yang menjadi kenangan akan karya-karya lagu dari musik sendiri saat ini—mencerminkan sebuah tren pada zamannya, akan menjadi sebuah ingatan masa lalu oleh Generasi Z di masa depan. Dan karya dari lagu tersebut adalah lagu-lagu yang menjadi tren masa kini: 2019.
Nantinya, Generasi Z ketika mendengar lagu Mundur Alon-alon atau Kartonyono Medot Janji, ia teringat masa lalunya. Praktis jika ingatan mereka atau karya dari lagu-lagu saat ini mencirikan narasi patah hati, tentu mereka—Generasi Z—merupakan generasi yang mengingat patah hati.
Bucin: Berakar dari Ingatan “Romansa” Masa Lalu Milenial
Berangkat dari ingatan, mungkin apa yang terjadi sebagai sebuah wacana ingatan saat ini bagi milenial adalah perkara romansa cinta yang terbangun di masa lalu yang saat ini sulit untuk diwujudkan sebagai tujuan dari merawat ingatan itu sendiri. Dimana ia sudah bukan lagi pemain cinta yang percaya diri; karena bagi milenial kini, bermain cinta tanpa kerelaan waktu, biaya, dan fasilitas-fasilitas yang mengakomodasinya akan menjadi cinta yang hambar; mungkin salah satu contoh dari cinta kaum milenial kini adalah menjadi pernikahan itu sendiri.
Dan tentang yang banyak manusia sana anggap sebagai “bucin” merupakan produk masa lalu yang harus tetap ada di saat masa lalu sebagai ukuran yang dibutuhkan oleh generasi milenial saat ini. Jelas, untuk tetap merasakan romansa bahagia, patah hati, dan mimpi-mimpi akan keabadian diri dalam memandang cintanya karena masih riskan dengan pernikahan.
Bucin atau budak cinta sepertinya memang bukan stigma yang buruk. Pada dasarnya, semua orang berpotensi menjadi budak di kala manusia itu butuh sesuatu. Kebutuhan adalah perbudakan dan itu mengapa kaum budak diadakan di dalam sistem masyarakat dunia untuk menjawab apa-apa yang menjadi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dalam arti; majikan butuh pembantu, pembantu juga sebaliknya butuh majikan, karena tentu untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing.
Maka tidak heran, kebutuhan akan cinta sendiri pun tetap akan mengundang sistem-sistem baru dalam saling membutuhkan antar relasi manusia. Tetapi nahasnya hidup manusia memang menderita karena manusia ingin bahagia. Yang perlu menjadi garis bawah itu sendiri, bahkan pertanyaan yang belum ada habisnya dari awal lahirnya manusia adalah jawaban dari manusia yang ingin bahagia menempuh jalan cinta.
Secara harafiah, mungkin kata “cinta” jika dijabarkan merupakan sesuatu yang universal. Bukankah universalitas dari cinta itu sendiri tergantung dari manusia itu sendiri dalam menafsirkannya?
Inilah yang tidak dapat disamakan atau disama-samakan. Penafisran akan sesuatu bergantung pada kesadaran manusia itu sendiri, dimana cara berpikir menentukan cara manusia untuk sadar. Dan kini, penafsiran akan cinta sendiri begitu disempitkan; hanya sebatas antara pria dan wanita yang diharapkan akan saling butuh untuk saling membahagiakan satu dengan lainnya. Padahal filsuf “cinta” Cina, Jenderal Tiang Feng atau Cu Pat Kay pernah berkata, “Cinta, penderitaannya tiada akhir.”
Namun bucin yang sudah menjadi fenomena zaman berakar dari masa lalu manusia yang mengikuti tren pada masa dimana mereka merindukan sesuatu. Jelas, di sini, bucin merupakan produk zaman yang menjadi budaya dalam percintaan itu sendiri yang bertransformasi tetapi tidak disimbolkan melainkan hanya sebagai sebuah wacana
Dan saat ini oleh milenial, bucin adalah simbol baru para pemain cinta yang merindukan saat-saat mereka bahagia menjadi cinta itu sendiri. Namun yang tidak disadari; di dalam kebahagiaan selalu terselip kesengsaraan. Bermain cinta ibarat bermain di dua kaki yang sama, yakni antara kebahagiaan dan kesengsaraan itu sebagai bentuk dari mewujudkan cinta.
Menjadi manusia apapun namanya; baik label, stigma, atau juga khas dari candaan yang mereka bawa, sepertinya yang dicari dalam menjadi manusia adalah pembeda dan menjadi bucin mungkin merupakan bagian dari pembeda hidup manusia tersebut. Seperti ungakapan Zarathustra, bahwasannya jiwa manusia dimetaforakan menjadi tiga bentuk: yaitu jiwa Onta, Singa, dan Bayi. Mungkin kejiwaan dari kebijaksanaan seorang bucin ada pada jiwa Onta; dimana Onta makhluk penurut dan jika dibebani semakin berat, ia semakin bahagia dengan bebannya tersebut dalam menjalaninya.
Tetapi perlu dicatat; bahwa semua manusia berpotensi menjadi bucin tergantung dari bagaimana manusia itu sendiri memandang bahagia. Jika bahagia dari cinta menjadi “bucin” merupakan realitas yang harus dijalankan itu, tidak dipungkiri manusia akan menjadi bucin pada waktunya.
Oleh karenannya, pengejaran-pengejaran akan bentuk cinta itu sendiri memang sah-sah saja sebagai manusia yang ingin dibahagiakan cinta. Derita dan bahagia yang dibawa dari konsep cinta seperti telah melampaui saat kita harus menjadi budak cinta atau membutuhkan cinta itu sendiri sebagai sebuah pembeda dari hidup manusia.
Bersama dengan kebahagiaan; memang rasa bahagia tidak dapat diukur oleh logikanya sendiri. Setiap dari satu manusia dengan manusia lain mempunyai caranya untuk menjadi manusia yang berbahagia. Mungkin dengan “mem-Bucin” itu sendiri adalah titik tertinggi bahagia mereka, yang akan menjadi bahagia dengan laku membudakkan diri pada cinta.
Ingatan memang hanya menjadi ingatan. Saya kira bucin sebagai tren zaman sendiri tetap akan dijadikan sebuah kenangan pada masanya juga oleh milenial. Seperti karya dari lagu-lagu masa lalu, yang dalam kenangannya, manusia mengingat saat-saat itu di masa depan. Romansa kisah dari generasi milenial yang mungkin dalam dekade ke depan sudah tidak dapat lagi menjadi muda diganti dengan muda-mudanya generasi Z. Dan bucin akan tetap menjadi produk bahasa kebudayaan zaman yang akan terkenang nanti oleh generasi milenial ketika mereka sudah mempunyai anak; yang mana “bucin” itu hanya untuk bagaimana anak dapat tumbuh dan berkembang secara layak.
Yang perlu tetap harus diikuti adalah bagaimana nanti generasi Z membanaun budaya cintanya sendiri; apakah mereka akan seperti milenial yang membangun romansa cintanya dengan dan sebagai “bucin” karena pada saat itu menjadi pemain cinta yang menghamba pada karya-karya dari lagu cinta sangat begitu komplit seperti di sebelum tahun 2010-an?
Bukankah karya lagu-lagu saat ini yang banyak berisi patah hati dikombinasikan dengan dangdut koplo untuk bergoyang seperti Kartonyono Medot Janji atau entah apa yang merasukimu versi gagak menjadi pertanyaan sendiri yang sangat ambigu sekaligus bermakna dua? Jadi sekiranya fenomena apa nanti di masa depan yang akan di buat oleh generasi Z dalam memandang budaya baru akan cinta mereka? Mungkin jika saya mau berhipotesa membaca zaman; “bucin” tidak mungkin akan menjadi warisan yang abadi untuk setiap zaman.
Nantinya, generasi berikutnya—yakni generasi Z yang patah hati sekaligus berjoget dangdut koplo—akan membuat sebuah wacana; bahwa mereka bukan budak cinta yang terlahir dari romansa, tetapi menjadi budak bahagia yang tidak peduli cinta; yang penting joget saja saat bahagia maupun menderita karena cinta.
Pada dasarnya, asmara merupakan suatu hal yang tertunggu oleh manusia. Bayangan bahagia dengan ber-asmara sendiri menjadi dasar bahwa; mereka (manusia) harus ber-asmara—apapun keadaannya—termasuk dengan cara menjalin asmara secara digital di era teknologi maju ini.
Asmara sendiri yakni suatu jalinan. Mungkin dapat dikatakan sebagai tali kasih antara pria dan wanita yang sama-sama berharap saling membahagiakan antarsatu dengan lainnya.
Tentang berbagai cara itu—antara manusia dan peradaban, bukan saja manusia dihadapkan pada realita yang harus mencari jalan bagimana ber-asmara secara efektif di era masyarakat teknologi maju ini, tetapi juga membuat alternatif secara pribadi sebagai solusi bersama yang sama-sama menang untuk dijalani.
Kehidupan manusia abad 21 yang kompleks bukan hanya menjadi catatan penting, dan ketika orang mencatat di sana, manusia harus memikirkan sebuah solusi, dan dengan cara apakah hidup di era teknologi ini? Kiat-kiat seperti apakah agar semua menjadi seimbang; termasuk dalam menjalin asmara itu sendiri antara menjadi pria dan wanita?
Memang harus dikatakan berkali-kali bahwa ketika manusia tidak memanfaatkan teknologi betul di abad 21, ia bukan hanya akan terasing, tetapi terpenjara oleh sistem hidup yang jika disadari mengekang manusia tanpa ampun. Industrialisasi, modal, kerja, dan konsumsi merupakan entitas yang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia abad 21.
Manusia butuh kerja untuk mendapat uang, tentu uang itu sebagai bahan atau alat bertahan hidup. Namun harapan akan uang dari kerjanya, apakah secara mudah dapat menjawab segala kebutuhan selain kebutuhan pokok; yakni dalam hal mengakomodasi kebutuhan ber-asmara tersebut yang jalinannya juga butuh modal di dalamnya?
Banyaknya industri yang sama atau ekonomi yang bebas dalam menjalankannya, bukankah itu menjadi problematika baru dalam setiap pendapatan—dalam hal ini, bagi “buruh” industri?
Di mana persaingan dalam bisnis yang tidak sehat akan mempengaruhi harga produksi sendiri, yang berimbas pada upah buruh abad 21 yang cenderung murah? Belum lagi dengan regulasi pengupahan minimum dari pemerintah yang sangat minim jumlahnya; yakni hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari di wilayah tertentu saja.
Keterikatan bukan hanya dengan uang, tetapi juga waktu dan jarak yang manusia abad 21 harus tempuh sebagai mengisi hidup itu sendiri. Contohnya, sebuah gambaran di kota kecil seperti Cilacap yang ruang industrinya begitu sempit dan jumlanya dapat terhitung jari. Belum lagi dengan ukuran nilai UMK (upah minimum kabupaten) yang relatif kecil sendiri membuat anak muda harus menjadi pekerja urban agar hajat hidup mereka melalui apa yang dibutuhkan sebagai akomodasi hidup sendiri dapat terpenuhi dari upah kerja mereka.
Saya kira menjadi kaum urban pun secara tidak langsung adalah solusi terbaik untuk meniti jalan yang lebih baik daripada harus di tempat yang kurang mendukung dalam hidup. Mungkin ini dapat dikatakan sebagai hijrah untuk menjadi manusia lebih baik itu. Dan bagaimana manusia abad ke-21 ini mengukur kadar baik untuk dirinya sendiri?
Hidup secara baik abad ke-21 adalah mereka yang secara ekonomi lebih sebagai nilai agar akomodasi hidup mereka seperti menikmati fasilitas hidup seperti rumah, kendaraan, dan menikmati tempat makan mewah dapat terpenuhi, tentu tidak ketinggalan di sini adalah kebutuhan bahagia atas asmara itu sendiri. Namun menjadi problematika baru menjadi ber-asmara abad 21. Tidak mudahnya mencari akomodasi dalam memenuhi kebutuhan adalah biang dari masalah ini. Manusia tidak bebas dengan pemilihan-pemilihan dimana ia harus bekerja, ia harus melanjutkan kuliah, dan ia harus melanjutkan hidupnya sendiri.
Saat bekerja harus terpusat di kota industri, kuliah di pusat-pusat kota pelajar, dan melanjutkan hidup sebagaimana lingkungan itu mendukung untuk hidup manusia yang membutuhkan uang di dalamnya sebagai alat dari hidup.
Harus diakui bahwa abad 21 merupakan peradaban yang kompleks, harapan manusia tidak dapat menjadi sederhana. Hidup dengan cara sederhana berasa menjadi manusia yang kuno. Apakah di abad 21 ini untuk bahagia dengan ber-asmara sendiri menjadi sulit dan sesuatu yang sangat membutuhkan perjuangan termasuk ber-asmara secara digital itu sendiri di abad ke-21 ini?
Inilah yang bukan hanya akan menjadi fenomena baru di abad-abad berikutnya paska abad ke-21. Tetapi menjadi tantangan manusia dalam menanggapi industri dan teknologi. Ruang dan waktu manusia hidup tidak segampang keputusan yang ia harus jalani tanpa memandang dampak yang harus mereka terima. Hidup jauh dengan keluarga dan orang-orang terkasih dalam balutan asmara seperti telah menjadi resiko yang harus manusia terima di dalamnya.
Tentu peradaban abad ke-21 merupakan peradaban dengan keterpilihan tinggi. Manusia bukan hanya harus menjadi manusia, tetapi menjadi nilai di balik kelebihan apa yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Terus bertambahnya penduduk bumi dan tenaga manusia yang harus terkurangi karena teknologi sendiri menjadikan semua serba diteknologikan; termasuk dalam ber-asmara itu sendiri karena tuntutan ruang dan waktu dalam menjalani kehidupan.
Sebagai contoh kasus misalnya; mungkin ini adalah realita yang terjadi di abad 21 dalam manusia memandang asmara: “jarak yang terpisah jauh dan hidup bersama menjadi tidak mungkin karena pendapatan sebatas upah minimum yang hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri”. Ketika akan sama-sama bekerja di daerah yang sama “bisa”, mencari pekerjaan di abad 21 ini bukan perkara yang mudah.
Pekerjaan memang banyak tetapi dengan “kerja kasar” dan gaji di bawah upah minimum, apakah manusia yang menganggap dirinya manusia dengan pendidikan tinggi—yang banyak disandang manusia abad 21 ini—mau untuk menjalaninya tanpa adanya sedikit gengsi bahwa: “aku ini seorang sarjana” tidak pantas dibayar murah dan bekerja secara kasar?
Saya kira nasib manusia merupakan nasib dari ketentuan orang lain, semua serba orang lain. Karena tentu orang lain adalah wacana manusia mengukur dirinya sendiri. Dia, “manusia”, dapat nasib seperti ini karena orang lain tidak bisa sama bernasib seperti dia. Bukankah ini juga terjadi pada nasib ekonomi rumah tangga dimana kelas menjadi barometer dalam mengukur kondisi ekonomi saat ini?
Ada kepentingan untuk hidup dan keinginan dari rasa bahagia itu sendiri. Hidup memang perlu materi, tetapi seberapa banyak orang yakin akan kebahagiaan yang mereka dapat hasilkan dari asmara?
Tentu banyak dari kita percaya itu, tetapi apakah mungkin dengan berbagai ruang-ruang dan waktu yang terepresi sebagai akomodasi mengejar itu semua, yang mau-tidak mau manusia harus menjalaninya seperti dia harus bekerja jauh dari orang yang terkasih, tentu karena keadaan untuk memperbaiki mutu ekonomi mereka sendiri, bukankah harus ada sesuatu kerelaan yang harus dikorbankan?
Hanya saja tetap menjadi pertanyaan lagi, bagaimana mencari solusi dari ruang dan waktu yang terepresi di abad 21 ini? Asmara dan setiap bentuk transformasinya pada setiap jaman, mungkin juga mengikuti peradaban yang ditawarkan termasuk enggannya manusia untuk menjadi primitif kembali dengan makan -gak makan asal kumpul.
Namun manusia cenderung ingin berubah menjadi lebih dan lebih lagi dari saat ini. Tetapi apapun bentuk dari transformasi, kehendak manusia sepertinya memang menyembah pada perubahan dan seorang yang hidup di dalamnya harus mampu; setidaknya mengikuti arus berbagai perubahan yang dunia ini tawarkan.
Perubahan dalam menjalani hidup ber-asmara sendiri memang bukan sesuatu yang harus ditawar lagi, tetapi dijalankan sebagaimana dapat efisien dan efektif dalam setiap bentuk keluaran kebahagiaan yang dihasilkan. Tidak peduli lagi secara fisik tidak bersentuhan, tetapi secara mental ia dapat disatukan.
Namun jika dihadapkan dengan bagaimana asmara secara digital itu dipikir, bukankah menjadi sesuatu yang ganjil manusia bercinta dengan hand phone-nya sendiri, laptopnya sendiri, bahkan imajinasinya sendiri yang terkadang ia tidak sadar pada setiap saat-saatnya; bahwa ia justru mencintai laptop atau handphone-nya sendiri?
Kehidupan yang menuntut memang seperti harus dijalani manusia. Tetap kembali lagi pada pemikiran-pemikiran yang semakin kompleks dalam menanggapi sesuatu dasar dari ruwetnya sebagai manusia. Kembali hanya konsekuensi yang berbicara pada akhirnya, seperti yang sebelumnya sudah saya katakan: “manusia dapat melakukan ini karena ia tidak bisa melakukan itu”.
Mungkin menjadi benar; solusi dari keterpisahan jarak karena sama-sama mempunyai tujuan sendiri tetapi menginginkan jalinan asmara, ya, mau-tidak mau teknologi harus dilibatkan. Tentu sebagai jawaban dari status itu sendiri, adanya keterpisahan karena jarak, ruang, dan waktu; bahwasannya orang-orang juga ingin bahagia di balik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bagaimanapun caranya.
Seperti berbagai manusia di sana yang berani bekerja jauh sampai keluar negeri, bukankah teknologi sangat membantu mereka dalam mengkomunikasikan; bahwa aku istri, pacar, atau ayah bagi mereka-mereka yang tidak melihatnya secara langsung dan teknologi menciptakan itu melalui layar-layar digital yang dapat manusia nikmati di abad 21 ini?
Itu antara kebahagiaan dan cita-cita menjadi pemilik ekonomi yang lebih baik. Karena saya di sini berpandangan; cita-cita manusia abad 21 ini bukan menjadi suatu profesi. Setiap profesi di abad 21 ini tidak menjamin kekayaan, namun jika ditilik secara mendasar, cita-cita manusia ingin kaya karena tawaran konsep dari bahagia; termasuk tidak terpisahnya dirinya bersama seorang yang terkasihnya karena motif pencarian ekonomi.
Dan jika ekonomi belum menjawab setiap akomodasi hidup itu, mejalani kisah asmara secara digital seperti menjadi solusi bahwa rasa bahagia harus tetap menyala; memenuhi kebutuhan hidup dari pendapatan untuk konsumsi dalam ekonomi baik untuk memenuhi dirinya sendiri atau keluarga seperti sudah harga mati walaupun: harus terpisah jauh antara ruang, jarak, dan waktu.
Gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder)—yang sebelumnya disebut sebagai “fobia sosial”—adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan kecemasan luar biasa dan kesadaran diri yang berlebihan dalam situasi sosial sehari-hari. Orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial memiliki ketakutan yang terus-menerus, intens, dan kronis karena merasa diawasi dan dihakimi oleh orang lain dan menjadi malu atau terhina oleh tindakan mereka sendiri.
Ketakutan mereka mungkin sangat parah sehingga mengganggu pekerjaan, sekolah, atau kegiatan lainnya. Sementara banyak orang dengan gangguan kecemasan sosial mengakui bahwa ketakutan mereka berada di dekat orang lain mungkin berlebihan atau tidak masuk akal; mereka pun tidak dapat mengatasinya. Mereka sering khawatir selama berhari-hari atau berminggu-minggu sebelum situasi yang menakutkan. Selain itu, mereka sering mengalami depresi dan rendah diri.
Gangguan kecemasan sosial dapat dibatasi hanya pada satu jenis situasi—seperti ketakutan berbicara di depan umum—atau seseorang dapat mengalami gejalanya kapanpun saat mereka berada di sekitar orang lain. Jika tidak diobati, fobia sosial dapat memiliki konsekuensi yang parah. Misalnya, ini dapat mencegah orang pergi bekerja atau sekolah atau mencegah mereka berteman.
Gejala-gejala (simptom) fisik yang sering menyertai tekanan intens dari gangguan kecemasan sosial ialah wajah memerah, berkeringat, gemetar, mual, dan kesulitan berbicara. Gejala-gejala yang terlihat ini meningkatkan rasa takut akan ketidaksetujuan; sehingga mereka sendiri dapat menjadi fokus tambahan dari rasa takut tersebut dan menciptakan lingkaran setan: ketika orang-orang dengan gangguan kecemasan sosial khawatir mengalami gejala-gejala ini, maka semakin besar peluang mereka untuk mengembangkannya.
Gangguan kecemasan sosial sering terjadi dalam keluarga dan dapat disertai dengan depresi atau gangguan kecemasan lainnya; seperti gangguan panik atau gangguan obsesif-kompulsif. Beberapa orang dengan gangguan kecemasan sosial mengobati sendiri dengan alkohol atau obat lainnya yang dapat menyebabkan kecanduan.
Diperkirakan, sekitar 7 persen dari populasi Amerika Serikat memiliki gangguan kecemasan sosial dalam periode 12 bulan tertentu. Gangguan kecemasan sosial terjadi sekitar dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria—meskipun proporsi pria lebih tinggi mencari bantuan untuk kondisi tersebut. Gangguan ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja awal dan jarang berkembang setelah usia 25 tahun.
Gejala-gejalanya
Diagnosis gangguan kecemasan sosial hanya dilakukan jika penghindaran, ketakutan, atau antisipasi kecemasan terhadap situasi sosial atau kinerja ini mengganggu rutinitas sehari-hari, fungsi pekerjaan, dan kehidupan sosial atau jika ada kesusahan yang ditandai sebagai akibat dari kecemasan tersebut. Buku “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder” (DSM) versi ke-5; yang disusun oleh American Psychiatric Association dan diterbitkan pada 18 Mei 2013, memberikan kriteria berikut untuk mendiagnosis gangguan kecemasan sosial:
Individu takut satu atau lebih situasi sosial atau kinerja dimana ia terkena kemungkinan pengawasan oleh orang lain. Contohnya, bertemu orang yang tidak dikenal, diamati saat makan atau minum, berpidato, atau melakukan pertunjukan.
Individu takut berperilaku dengan cara yang menyebabkan rasa malu atau dievaluasi secara negatif.
Paparan situasi sosial hampir selalu menyebabkan kecemasan yang intens.
Situasi yang ditakutinya akan dihindari atau ditanggung dengan kecemasan dan kesusahan.
Ketakutan atau kecemasan itu tidak sebanding dengan ancaman aktual yang ditimbulkan oleh situasi sosial.
Ketakutan atau kecemasan itu menetap dan biasanya berlangsung selama enam bulan atau lebih.
Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau kesulitan yang mengganggu secara signifikan terhadap fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan seseorang.
Gejala-gejala fisik gangguan kecemasan sosial meliputi:
Wajah memerah, berkeringat, gemetar, mengalami detak jantung yang cepat, atau merasakan “pikiran menjadi kosong”.
Mual atau sakit perut.
Menampilkan postur tubuh yang kaku, kontak mata yang buruk, atau berbicara terlalu pelan.
Selain itu, diagnosis dapat menentukan apakah kecemasan atau ketakutan hanya ada ketika orang tersebut berbicara atau tampil di depan umum.
Penyebabnya
Sementara penelitian untuk lebih memahami penyebab gangguan kecemasan sosial sedang berlangsung, beberapa penyelidikan dilakukan dengan melibatkan struktur kecil di otak yang disebut “amigdala”. Amigdala diyakini sebagai situs sentral di otak yang mengendalikan respons rasa takut.
Gangguan kecemasan sosial bisa diwariskan. Faktanya, kerabat lingkar pertama memiliki kesempatan dua hingga enam kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan sosial. Penelitian yang didukung oleh National Institute of Mental Health (NIMH) juga telah mengidentifikasi situs gen pada tikus yang mempengaruhi rasa takut yang dipelajari. Para ilmuwan sedang mengeksplorasi gagasan bahwa sensitivitas yang meningkat terhadap ketidaksetujuan mungkin berbasis fisiologis atau hormonal. Peneliti lain sedang menyelidiki pengaruh lingkungan pada perkembangan fobia sosial. Penganiayaan anak dan kesulitan adalah faktor risiko untuk gangguan kecemasan sosial.
Penanganannya
Sebagian besar gangguan kecemasan dapat diobati dengan sukses oleh para profesional perawatan kesehatan mental yang terlatih. Gangguan kecemasan sosial sering dirawat secara efektif dengan dua bentuk perawatan: psikoterapi dan obat-obatan.
1.) Terapi
Cognitive-behavioral therapy (CBT) atau terapi perilaku-kognitif adalah bentuk psikoterapi yang sangat efektif dalam mengobati kecemasan sosial yang parah. Tujuan utama CBT dan terapi perilaku adalah untuk mengurangi kecemasan dengan menghilangkan kepercayaan atau perilaku yang mempertahankan gangguan kecemasan. Misalnya, menghindari obyek atau situasi yang ditakuti bisa mencegah seseorang untuk mengetahui bahwa hal tersebut tidak berbahaya.
Unsur kunci CBT untuk kecemasan adalah paparan; dimana orang menghadapi hal-hal yang mereka takuti. Proses paparan pada umumnya melibatkan tiga tahap. Pertama, seseorang diperkenalkan dengan situasi yang ditakuti. Langkah kedua adalah meningkatkan risiko ketidaksetujuan dalam situasi itu sehingga seseorang dapat membangun kepercayaan bahwa ia dapat menangani penolakan atau kritik. Langkah ketiga dengan mengajarkan teknik seseorang untuk mengatasi ketidaksetujuan. Pada tahap ini, orang diminta untuk membayangkan ketakutan terburuk mereka dan didorong untuk mengembangkan respon konstruktifnya terhadap ketakutan ini dan persepsi ketidaksetujuan yang dirasakannya.
Tahap-tahap ini sering disertai dengan pelatihan manajemen kegelisahan—misalnya, mengajarkan teknik pernapasan dalam untuk mengendalikan kecemasan mereka. Jika ini dilakukan dengan hati-hati dan dukungan dari terapis, ada kemungkinan untuk meredakan kecemasan yang terkait dengan situasi yang ditakuti. Jika Anda menjalani CBT atau terapi perilaku, paparan akan dilakukan hanya ketika Anda siap; yang akan dilakukan secara bertahap dan hanya dengan izin Anda. Anda akan bekerja dengan terapis untuk menentukan berapa banyak yang dapat Anda tangani dan dengan kecepatan seperti apa Anda dapat melanjutkannya.
CBT dan terapi perilaku tidak memiliki efek samping yang merugikan selain ketidaknyamanan sementara dari peningkatan kecemasan. Tetapi, terapis harus terlatih dengan baik dalam teknik perawatan agar dapat bekerja sesuai yang diinginkan. Selama perawatan, terapis kemungkinan akan memberikan pekerjaan rumah—masalah khusus yang perlu ditangani pasien di antara sesi. CBT atau terapi perilaku umumnya berlangsung sekitar 12 minggu. Ini dapat dilakukan dalam suatu kelompok asalkan orang-orang dalam kelompok tersebut memiliki masalah yang cukup serupa. Terapi suportif seperti berkelompok, berpasangan, atau terapi keluarga dapat membantu untuk mendidik orang lain yang terpengaruh dengan gangguan tersebut. Kadang-kadang, orang dengan kecemasan sosial juga mendapat manfaat dari pelatihan keterampilan sosial.
2.) Medikasi/Obat-obatan
Obat yang tepat dan efektif juga dapat berperan dalam pengobatan—bersamaan dengan psikoterapi. Obat-obatan antidepresan seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan monoamineoxiidaseinhibitors (MAOIs), serta obat-obatan benzodiazepin (zat berefek sedatif/menenangkan) yang berpotensi tinggi. Beberapa orang dengan bentuk kecemasan sosial yang muncul hanya ketika mereka harus tampil di depan orang lain telah dibantu oleh beta-blocker; sejenis obat yang menurunkan denyut jantung dan mengurangi gejala fisik kecemasan.
Penting untuk dipahami bahwa perawatan gangguan kecemasan sosial tidak bekerja secara instan dan tidak ada satu rencana yang bekerja dengan baik untuk semua pasien. Perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Seorang terapis dan pasien harus bekerjasama untuk menentukan rencana perawatan mana yang paling efektif dan menilai apakah rencana perawatan tampaknya sesuai. Penyesuaian pada rencana kadang-kadang diperlukan karena pasien merespon secara berbeda-beda terhadap pengobatan.
Referensi Lanjut:
Psychologytoday.com
American Psychiatric Association (APA) atau psychiatry.org
National Institute of Mental Health (NIMH) atau nimh.nih.gov
Selamat Hari Sehat Mental Sedunia yang Ke-27 pada 2019!
–
Hari Kesehatan Mental Sedunia diselenggarakan tiap 10 Oktober. Tak cuma diperingati, solidaritas sehat mental perlu kita upayakan bersama dengan kepekaan nurani dan daya intelektual mumpuni supaya bisa menjalani roda gerak hidup yang lebih baik bagi antarsesama.
–
Artikel ini dialihbahasakan dari PsychologyToday.com sebagai upaya solidaritas literer bagi para pegiat sehat jiwa dan penyintas gangguan mental. Mari membaca, mari bersaudara!
Sharon Bard tengah berwisata ke Latvia pada Oktober 2017. Jam 4 pagi, ia terbangun oleh nada pemberitahuan yang berdengung dari ponselnya. Email masuk dari seorang teman yang telah memeriksa rumahnya di Santa Rosa, California. Ungkapan dalam email tertulis agak halus—mengingat sedang mengabarkan suatu berita yang mengkhawatirkan: kebakaran terjadi, para pejabat menganjurkan evakuasi, dan rumah ala pedesaan milik Bard di ujung jalan mungkin akan terkena imbasnya.
Kemudian datanglah pertanyaan bertubi-tubi. Sekitar enam atau tujuh email dari orang lain dikirimkan kepadanya disertai pertanyaan yang lebih mendesak seperti “Ya Tuhan, apakah kamu baik-baik saja?”. Sehingga Bard pun memeriksa CNN dan tentu saja: ada berita kebakaran.
Ini tak hanya menjadi berita lokal. Apa yang belum diketahui Bard maupun orang lain pada saat itu adalah hal tersebut akan menjadi kebakaran besar yang paling merusak dalam sejarah California; yang disebut sebagai “Tubbs Fire”. Bencana tersebut sedang dalam perjalanannya untuk menghancurkan lebih dari 5500 bangunan, menewaskan 22 orang, dan menyebabkan kerusakan seharga 1,2 milyar dollar.
Selama tiga hari setelah email pertama mengagetkannya, Bard bertukar pesan dengan teman-temannya dalam keadaan panik. Orang-orang mengecek kabarnya dan ia mengecek kabar orang lain. Lewat pencarian online, ia menemukan tiap sisi gambar propertinya dari foto udara—saat sebelum dan sesudah kebakaran. “Aku sadar itu sudah berlalu dan semuanya hilang,” kata Bard sambil membungkuk di atas teh pada sebuah kafe kelas atas di Healdsburg—yang terletak di sisi utara Santa Rosa. Dia berusia 73 tahun dengan rambut abu-abu yang cocok dengan hoodie abu-abunya yang melingkupi kemeja hawaii berpastel halus. “Saya melihat properti saya. Ada bangunan utama, kolam renang, dan rumah kolamnya. Itu menjadi abu. Kolam pun menjadi abu,” ujarnya.
Namun Bard tidak menghentikan turnya dan memakai penerbangan pertamanya untuk kembali. Santa Rosa sedang berada dalam karantina dengan kualitas udara yang mengerikan. “Saya pikir, psikis saya terpecah menjadi dua bagian,” katanya. “Sebagian diri saya mencoba untuk tetap tinggal di sana karena saya sedang berada dalam tur dan sebagian lainnya mengalami semacam kepanikan. Saya harus berurusan dengan hal tersebut tapi saya tak tahu harus berbuat apa. Saya belum mau menghadapinya.”
Perasaan yang dialami Bard biasa terjadi pada orang yang hidupnya mengalami malapetaka—bahkan dari kejauhan. Memang, beberapa hal bisa mengguncang jiwa; layaknya bencana. Akan tetapi, sains baru mulai memahami bagaimana kesehatan mental bisa jadi menderita setelah terjadi badai, kebakaran, atau gempa bumi.
Survei menyatakan bahwa; setelah badai Katrina menghantam Pantai Teluk pada tahun 2005, satu dari enam orang yang selamat memenuhi kriteria PTSD (post-traumatic stress disorder); sementara setengahnya terkena anxiety (gangguan kecemasan-red) atau gangguan mood. Kasus bunuh diri dan pemikiran untuk bunuh diri berlipatganda setelah badai. Tetapi, ada kelangkaan penelitian yang kaya data dan berskala besar mengenai cara terbaik untuk merancang kampanye dalam mengobati populasi yang menghadapi bencana.
Hingga akhirnya, terjadilah Tubbs Fire dan kebakaran hebat lainnya pada tahun 2017. Healthcare Foundation Northen Sonoma County—dimana Santa Rosa berada—mempelopori proyek ambisius yang bernama “Wildfire Mental Health Collaborative”. Itu adalah proyek kerjasama antara National Association for Mental Illness, psikolog, peneliti, organisasi masyarakat, dan banyak lagi. Semuanya bekerja bukan hanya untuk memberikan layanan kesehatan mental kepada para penyintas; tetapi untuk mempelajari jenis perawatan apa yang berhasil dan tidak berpengaruh terhadap jenis traumanya. Idenya adalah mengambil apa yang telah mereka pelajari dan menggunakannya untuk kalangan lain yang hidupnya porak-poranda akibat bencana, kebakaran hutan, atau kemalangan lainnya.
Sudah saatnya untuk tidak menjadi lebih kritis. Perubahan iklim bisa mengintensifkan bencana alam seperti badai; karena badai menyerap air hangat. Apakah Tubbs Fire disebabkan ulah manusia? Peralatan dari utilitas lokal seperti PG&E—perusahaan gas & elektrik di Pasifik—mungkin menjadi penyebabnya. Lantas, perubahan iklim memperburuk kekeringan di California; yang pada gilirannya memperbanyak sumbu untuk kebakaran hutan. Yang berarti, akan lebih banyak kematian, lebih banyak kerusakan properti, dan terjadinya serangan supercharged pada kesehatan mental. Perubahan iklim akan terjadi pada kita semua, namun apa yang dipelajari para penyelidik tersebut setelah Tubbs Fire dapat mengubah cara manusia beradaptasi.
Mungkin, tidak mengherankan jika tak ada yang benar-benar membicarakan dampak kesehatan mental dari perubahan iklim—kita memang mengalami kesulitan berbicara tentang kesehatan mental dalam keadaan apapun. Tetapi implikasi kesehatan mental sangatlah besar dan hal tersebut sudah ada di sini. Di Kanada utara, contohnya, mencairnya es laut akan menyulitkan pemburu Inuit untuk menjelajah. Untuk orang-orang yang mempunyai ikatan kuat dengan tanahnya, hal itu merupakan kesedihan ekologis; suatu kehancuran psikologis yang datangnya bersamaan dengan gangguan dari dunia alami.
Hal tersebut menjadi semacam serangan kronis jangka panjang. Sedangkan, bencana melanda dengan cepat dan seringkali membawa dampak psikologis secara tiba-tiba. Kebakaran hutan terasa sangat dahsyat dengan adanya badai. “Anda tahu badai akan datang. Ada persiapan yang dapat Anda lakukan dan Anda memiliki kesempatan untuk mengungsi,” kata Adrienne Heinz, peneliti psikologi yang bekerja pada Wildfire Mental Health Collaborative. “Kebakaran hutan dapat berubah begitu cepat dengan adanya angin,” ujarnya. Itu tak hanya membuat api liar menjadi sangat berbahaya. Tapi juga, para pengungsi harus meninggalkan harta kesayangannya.
Paska kebakaran, persoalan kesehatan mental tak menjadi prioritas tinggi dalam daftar siapapun. Tujuan langsung yang disasar cenderung berurusan dengan efek fisik—semisal benda terbakar atau perkara menghirup asap—dan mencari perlindungan kepada teman atau keluarga. Dampak psikologis mungkin tidak pernah ditangani. “Ada biaya, geografi, dan prioritas yang bersaing pada saat itu,” kata Heinz. “Ada penjadwalan, ada stigma, beserta sejuta alasan mengapa orang tidak mau melakukannya.”
Juga, saat korban menetap bersama teman atau keluarganya atau dalam pengungsian yang disediakan FEMA (agen penanganan bencana di bawah Department of Homeland Security, Amerika Serikat-red), tempat yang sempit dapat menyebabkan beban psikologis. “Itulah kualitas utama dari perubahan hidup yang akan berkaitan dengan depresi, kecemasan, lekas marah, serta pola hubungan yang tegang,” ujar Heinz.
Bahkan ketika orang yang selamat memperhatikan masalah kesehatan mental, itu mungkin dilakukan untuk orang yang dicintainya, bukan untuk dirinya sendiri. “Sangat penting bagi Anda untuk menjaga diri sendiri,” kata Debbie Mason, CEO Healthcare Foundation Northern Sonoma County. “Setidaknya seperti metafora: pakailah masker oksigenmu sendiri sebelum kamu merawat orang lain,” lanjutnya.
Penyelidikan dari Mason justru membuat bantuan itu mudah ditemukan. Healthcare Foundation Northern Sonoma County telah meluncurkan MySonomaStrong.com, situs web dwibahasa yang menyediakan sumber daya untuk perawatan diri dan untuk menemukan terapi profesional gratis. Sebuah aplikasi baru bernama Sonoma Rises juga membantu menghubungkan para penyintas dengan layanannya dan memungkinkan mereka melacak kesejahteraan mental mereka.
Kampanye ini tidak hanya mencoba ide-ide acak dengan harapan mereka akan berhasil. “Kami belajar di New Orleans bahwa strategi yang bekerja sangat baik adalah adanya makan malam komunitas, dimana seorang profesional kesehatan mental akan masuk dan memfasilitasi percakapan terapi kelompok,” kata Mason. “Jadi, kami menambahkan itu ke menu kami.” Mereka juga melatih 300 profesional kesehatan mental dalam keterampilan untuk pemulihan psikologis yang mencakup strategi seperti manajemen pemicu.
Seusai serangan 9/11, agen-agen pelayanan mengetahui bahwa sesi drop-in menjadi populer sehingga para penyelenggara di Sonoma County menambahkannya sebagai metode campuran. “Kemudian kami melangkah mundur dan berkata, ‘Baiklah, jika kami memiliki kesempatan untuk melakukan studi kasus tentang tanggapan terbaik, apa yang mungkin kita pikirkan bersama untuk ditanggapi oleh komunitas kita?’. Sehingga kami pun menambahkan yoga,” kata Mason. Para korban selamat berkumpul untuk sesi trauma, informasi gratis, dan fokus pada relaksasi. Mereka “mengundang” bukan “mengarahkan”—yang berarti, para peserta lebih mengendalikan pengalaman mereka dan hampir 60 instruktur yang terlatih secara khusus diberi kompensasi untuk waktu mereka.
Untuk saat ini, Sonoma sedang menyusun strategi yang sukses melalui anekdot untuk mengobati trauma paska bencana. Dan itu menciptakan peluang yang akhirnya mengukur metode apa yang berhasil. “Jika kita ingin membuat perbedaan dan menyebarluaskan apa yang telah kita pelajari dan perangkat yang kita buat sehingga masyarakat tidak harus tergantung untuk menemukan kembali kendalinya,” kata Heinz, “kita perlu meletakkan beberapa ilmu di balik apa yang kita lakukan.”
Persoalan mempelajari dampak kesehatan mental dari bencana adalah bencana bergerak lebih cepat daripada sains. Dalam tradisi riset, Anda harus mendapatkan dana, bertarung antarpeneliti, dan memenangkan persetujuan dari universitas Anda. Hal ini bisa memakan waktu setengah tahun. Tetapi, kasus Sonoma berbeda. Pendanaan telah mengalir dari donor dan para ahli telah menawarkan untuk melatih para terapis.
Namun bukan berarti ini murni kampanye akar rumput—Universitas Stanford pun ikut membantu. “Apa yang kami sadari adalah jenis pekerjaan dan evaluasi yang perlu mereka lakukan. Kami benar-benar membutuhkan beberapa infrastruktur,” kata Shannon Wiltsey Stirman, seorang psikolog dan peneliti di Stanford. Semisalnya, jika para peneliti ini menyimpan informasi kesehatan yang sensitif.
Namun bagaimana Anda dapat menentukan efektivitas terapi paskabencana? Sebagian caranya dengan membuat terapis memecah hal-hal menjadi beberapa komponen. “Jadi misalnya,” kata Stirman, “apakah mereka telah berupaya membantu orang meningkatkan dukungan sosial mereka? Apakah mereka telah membantunya bekerja dengan menggunakan keterampilan tertentu yang terbaca? Sudahkah mereka mengolahnya dengan memproses atau menulis tentang trauma itu?”
Di satu sisi, perawatan mental tidak berbeda dengan perawatan fisik; yang berarti, para peneliti dapat mengambil data keras darinya. Jadi misalnya, pasien mengambil survei untuk melaporkan sendiri bagaimana mereka mengatasi masalahnya. “Itu sama seperti mengambil tekanan darah mereka,” kata Stirman. Dengan cara ini, para peneliti dapat melihat hal-hal seperti gejala depresi dan kualitas tidur dari waktu ke waktu secara sistematis.
Menentukan efektivitas MySonomaStrong.com sedikit lebih mudah karena Anda dapat melacak penggunaan situs. Sama dengan aplikasi, mengukur yoga dapat dilakukan dengan cara yang sama—melacak frekuensi penggunaan. Dengan data, para peneliti dapat membangun gambaran yang lebih baik tentang strategi apa yang berhasil paskabencana.
Tak berarti, setiap komunitas akan menanggapi hal-hal ini dengan cara yang sama. Anda tidak bisa mencari tahu apa yang berhasil di Sonoma untuk kemudian menerapkannya di tempat lain dengan cara menghafalnya—tidak setiap tempat terbuka untuk melakukan yoga seperti California. Anda harus mempertimbangkan kebutuhan dan sikap orang-orang yang terpengaruh. Tetapi penelitian baru ini membantu menentukan apa yang mungkin menjadi taruhan terbaik bagi komunitas.
“Saya melihat saat ini jelas-jelas menakutkan,” kata Heinz. “Tetapi ini juga merupakan jendela peluang untuk meningkatkan apa yang kami lakukan sehingga kami memiliki prosedur operasi standar bilamana ada ungkapan ‘Hai, masyarakat ini telah dilanda kebakaran hebat. Kami tahu dari ilmu pengetahuan bahwa ini, ini, dan ini bisa efektif’.”
Sama seperti setiap komunitas yang berbeda; demikian pula dengan jenis bencananya. Apa yang mungkin dilakukan untuk kesehatan mental setelah kebakaran hutan mungkin tidak begitu efektif setelah badai; dimana orang mungkin dapat kembali ke rumah yang rusak namun dapat diselamatkan.
Bagaimanapun, perhitungan iklim ada di sini dan kemanusiaan adalah jalan; yang jauh di belakang dalam mempertimbangkan implikasi kesehatan mental dari apa yang kita hadapi. “Sejujurnya saya berpikir bahwa NIH (pusat riset medis di bawah Department of Health & Human Services, Amerika Serikat-red) harus memiliki lembaga pemulihan bencana,” kata Heinz. “Ada satu unit untuk alkoholisme, ada satu untuk penyalahgunaan narkoba, ada untuk penuaan, dan jantung dan paru-paru. Kita perlu memiliki mekanisme yang dilembagakan demi mempelajari dan mendukung masyarakat. Dengan peningkatan frekuensi yang diantisipasi dari peristiwa ini, Anda membutuhkan sistem perawatan.”
Sharon Bard menjadi tidak baik dalam beberapa bulan setelah kebakaran. “Aku akan histeris karena sesuatu yang sangat kecil,” kata Bard. “Saya selalu kelebihan beban dan saya tidak bisa memproses informasi baru. Saya lelah, saya merasa rapuh, saya gemetar,” jelasnya.
Bard menjalani terapi dan sekarang setelah dia lebih tenang, kondisinya membaik. Dia baru saja pindah ke hunian sewa baru yang tidak jauh dari tempat saya bertemu dia untuk minum teh. Dia bisa melakukan banyak tugas lagi. Dalam waktu singkat, dia bisa berbelanja, mengumpulkan meja Ikea, dan berkebun. “Itu cukup bagus untuk saya dalam sehari,” katanya.
Tetapi, kebakaran akan selalu ada di sana. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti meja dapur bisa menjadi suatu pengingat (dari tragedi-red)—meja dapur di tempat barunya lebih tinggi daripada di rumahnya yang hilang. “Setiap kali saya mendekatinya, itu bisa menjadi pemicu,” katanya.
Sekarang, Bard harus memutuskan apakah akan membangun kembali; untuk menambah lebih banyak lagi pemicu ingatannya. Membangunnya akan melalui jalan birokrasi yang menyebalkan dengan izin, asuransi, dan kontraktor. “Semacam itu bisa memicu kepanikan,” katanya, “dan juga, apa yang saya lakukan? Apa yang saya lakukan?”
Bard adalah korban kebakaran paling merusak dalam sejarah California, tetapi juga korban perubahan iklim. Tak lama kemudian, kita semua akan melalui dengan cara kita sendiri; entah itu gelombang panas, kenaikan permukaan laut, es yang mencair, ataupun monster badai. Namun, mungkin apa yang dipelajari Sonoma dari percobaan ini dapat memberikan perangkat kepada otak kita untuk bangkit.
Selamat Hari Sehat Mental Sedunia yang Ke-27 Tahun 2019!
–
Berita narasi ini diambil dari Wired.com sebagai upaya solidaritas literer terhadap para pegiat kesehatan jiwa dan penyintas mental illness.
–
Setiap tanggal 10 Oktober akan selalu diperingati sebagai Hari Sehat Mental Sedunia. Upaya kru redaksi komunitas kami dengan cara menerjemahkan artikel berita narasi tersebut adalah sebentuk solidaritas literer karena persoalan kesehatan mental benar-benar nyata adanya namun sebagian besar masyarakat kita masih abai bahkan cenderung salah tanggap terhadapnya.
–
Semua manusia mempunyai persoalan mentalnya masing-masing. Mari membaca, mari bersaudara!