Asap adalah Pertanda; Kita di Cilacap Harus Menyibaknya

 

Kita yang hidup di Cilacap mungkin cenderung berjibaku dengan asap kendaraan bermotor. Atau mungkin bagi warga kita yang bertempat tinggal sekitar pabrik, kilang, dan manufaktur besar lainnya; seringkali bisa melihat asap keluar dari cerobong. Apapun sumbernya, asap adalah efek dari aktivitas produksi manusia. Asap akan selalu menjadi pertanda bagi kita bahwa ada sesuatu sedang diupayakan. Namun apakah kita tahu “sesuatu yang diupayakan” itu bermanfaat untuk (si)apa? Apakah kita semua bisa merasakan manfaat baik setelah asap mengepul dan menyambar ke udara?

Dalam menghadapi asap kendaraan bermotor sehari-hari, kita cenderung masih bisa mengakalinya. Kita pun cenderung bisa bertahan dengan polusi keseharian di wilayah kita (Cilacap) meskipun kita tak tahu penyakit apa yang akan kita hadapi kemudian. Bahkan, sebagian dari kita masih ada yang meremehkan perkara asap hingga akhirnya tetap abai di kala polusi terjadi. Termasuk di wilayah kita sendiri, acapkali polusi hanya dianggap perkara sampingan. Contohnya, ketika bocoran kilang mencampuri perairan nelayan hingga limbah cerobong pembangkit listrik mencemari udara-air-tanah warga perkampungan. Lalu, apa respon sebagian warga kita terhadapnya? Biasa saja! Ya, masih banyak yang biasa saja gegara menganggap polusi—sebagaimana asap—adalah perkara lumrah dari aktivitas industri berkeuntungan besar yang tidak banyak kita mengerti keuntungannya akan menghidupi siapa.

Oleh karenanya, apa yang terjadi di Cilacap ini adalah kenyataan juga yang dihadapi orang-orang Sumatera dan Kalimantan sana. Asap besar mengepung mereka. Titik api mulai berkobaran. Rimba-rimba baru mulai disasar menjadi arena industri. Kabar yang beredar; di setiap kasus kebakaran hutan-lahan (karhutla) yang terjadi, akan selalu ada lahan baru bagi industri perkebunan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mengakui hal tersebut. Melalui Doni Monardo; Kepala-nya, BNPB menyatakan 80 % dari lahan yang dibakar akan menjadi kebun industri sawit. Ia juga menemui fakta pembakaran yang rapi dari hutan-hutan pedalaman Riau bahwa lahan yang dibakar sudah dikotak-kotakkan di sekitar lahan sawit sebelumnya sehingga tak sampai membakar lahan sawit yang sudah ada. Dari enam provinsi di Indonesia yang didata BNPB sejak 31 Agustus 2019, tercatat sebanyak 328724 hektare lahan terbakar yang terdiri atas lahan “gambut” dan “mineral”. Sebagai badan resmi terpercaya negara, BNPB pun mengklaim data yang diperolehnya valid.

Sementara, birokrat negara lainnya justru membuat pernyataan menyesatkan. Wiranto; Menkopolhukam kita, justru menghimbau agar korporasi hutan industri menjadi “bapak asuh” bagi para petani/peladang pedalaman Kalimantan. Secara langsung, ia menuduh bahwa masyarakat yang bercocok tanamlah yang membuat kebakaran terjadi sedemikian parahnya. Memang, di pedalaman Kalimantan terdapat lahan-lahan gambut yang tak mudah padam ketika lapisan atasnya dibakar. Para petani/peladang pun biasanya membakarnya untuk memulai musim cocok tanam baru. Namun apa yang dilakukan mereka dengan sistem adat turun-temurun tidaklah gegabah.

Idealisme masyarakat asli Kalimantan adalah sebagaimana hidup bersama kelestarian alam. Mereka bercocok tanam tidak dengan asal mengekspansi lahan hutan yang masih rimba. Dalam bertani/berladang, mereka akan memastikan dulu mana lahan yang tidak terlalu dekat dengan rimba. Pun ketika gambut dibakar, kaum tani/ladang ini akan menungguinya sampai api benar-benar padam. Makanya dengan hal ini dan kesadaran akan potensi rimba, sudah sejak lama masyarakat adat Dayak mengenal sistem “ladang berpindah”; yang dimaksudkan supaya aktivitas pertanian/perladangan bisa seiring dengan upaya restorasi hutan sekitarnya. Bahkan untuk menebang satu batang pohon besar pun, mereka musti menyediakan puluhan atau malah ratusan batang kecil sebagai bibit baru penggantinya. Lantas, argumen Wiranto supaya korporasi (perusahaan besar) menjadi “bapak asuh” bagi petani/peladang lokal ini apakah bukan sebagai ungkapan “menggurui mahaguru”?

Justru, yang kerap terjadi ialah korporasi besar seringkali menandaskan rimba-rimba di sana sebagai wahana ekspansi pembukaan tambang (batu bara) dan juga perkebunan industri (sawit). Tak disangkal lagi, sudah banyak bukti kasus penyingkiran rimba di Sumatera dan Kalimantan demi orientasi ekspor besar-besaran sawit & batu bara. Gajah, orangutan, macan, harimau, dan binatang rimba lainnya yang merangsek ke perkampungan warga menjadi bukti bahwa sumber nutrisi mereka dirampas industri. Tak hanya binatang, manusia pun kerap mendapat represi lahan tatkala berhadap-hadapan dengan industri. Dan kini, asap mungkin akan mengabarkan semuanya dari pedalaman.

Sekali lagi, asap adalah pertanda; pertanda dari apa yang tersembunyi di pedalaman. Asap-asap itu; yang sesekali muncul pada berita media lalu menghilang lagi, telah menyapa kita dengan sesaknya—sesesak nasib petani/peladang yang digusur kebun-kebun industri; setebal kabut kesenjangan manfaat antara petinggi korporasi dan orang-orang biasa seperti kita.

Dari Sumatera dan Kalimantan, kita bisa tahu ada kematian yang tak diperlukan. Binatang-binatang rimba terpotret sudah tewas terpanggang. Elsa Pitaloka; bayi berusia empat bulan musti meregang nyawa akibat radang paru-paru dan radang selaput otak. Ia meninggalkan dunia di Rumah Sakit Islam (RSI) Ar-Rasyid Palembang. Pihak RSI mengungkapkan sebab penyakitnya adalah infeksi saluran pernafasan bawah. Walaupun infeksi yang diderita Elsa bisa terjadi sebelum tragedi karhutla, namun asap karhutla bisa turut memperparahnya. Pula data yang beredar; seperti yang dikutip CNN Indonesia pada 23 September 2019 ini, kementerian kesehatan (Kemenkes) merilis ada 919516 orang terkena ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang tersebar di wilayah Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

Berikutnya, dengan maraknya berita dan potret digital efek miris karhutla yang bertebaran di media sosial; apakah kita yang di Cilacap tak perlu panik menghadapinya?

Tenang saja, kita sudah bertahun-tahun membiarkan kewarasan kita tegar menghadapi korporasi. Tanyakanlah pada warga di perkampungan yang berdekatan dengan kilang-kilang, pembangkit listrik, dan pabrik industri. Sapalah juga debu-debu jalanan yang dilalui truk-truk besar yang bolak-balik pelabuhan. Apakah kita tidak sesak?

Oh ya, cerobong-cerobong asap dan kilang sudah menjulang sejak lama. Apa yang kita banggakan? Ingatlah selalu bahwa asap adalah “pertanda”; tanda dari pekatnya uang mengalir ke atasan, tebalnya kabut kesenjangan yang sulit ditatap, juga tanda dari adanya rumah-rumah kosong sekitar pembangkit listrik yang ditinggalkan penghuninya akibat polusi, suatu tanda dari warga Winong (Slarang) yang musti mandi dengan membeli air-air galon, tanda protes lama warga kisaran Donan yang perairannya memanas akibat pemasakan kilang, serta tanda dari nelayan kita yang tak mencari penghasilan ketika minyak mentah mencampuri perairan pun ditambah lagi minggatnya ikan-ikan akibat takut pada pendaran cahaya pembangkit listrik yang menjilati perairan. Betul, asap adalah pertanda; kewajiban kita yang waras adalah menyibaknya!

-Klik di sini untuk download versi digitalnya-

 


Pernyataan ini adalah secarik sikap dan sekelumit kajian serta wacana ke depan bagi warga Cilacap; yang kami sebarkan pada agenda #MengusapAsap kala 26 September 2019 di Kota Cilacap.

Semoga bisa menjadi agen kewarasan bersama!