–
*)Penulis Murray Bookchin. Pelopor ilmu ekologi sosial dan penggagas demokrasi munisipalisme-libertarian. Pendiri Institute for Social Ecology di Vermont, Amerika Serikat pada 1974.
–
Hampir satu setengah abad lalu, Thomas Carlyle—filsuf Skotlandia era Victoria—menggambarkan ekonomi sebagai “ilmu yang suram”. Pernyataan tersebut menjadi kokoh; terutama saat diterapkan pada ekonomi yang didasarkan pada konflik—yang tak dapat dihindari—antara “kebutuhan yang tak terpuaskan” dan “sumber daya alam yang langka”. Dalam ilmu ekonomi ini, manusia menganggap bahwa “ketersediaan karunia yang terbatas” yang dikelola secara “kikir” adalah penyebab manusia mengalami kemerosotan ekonomi, kesengsaraan, perselisihan sipil, dan kelaparan.
Sekarang ini, istilah “ilmu yang suram” tepatnya menggambarkan tren tertentu dalam gerakan ekologi. Tren tersebut tampaknya naik seiring adanya gelombang besar kebangkitan religiusitas dan mistisisme. Saya tidak mengaitkan tren suram ini kepada sebagian besar pecinta lingkungan yang bermotivasi tinggi, beritikad baik, dan yang seringkali radikal dengan berusaha sungguh-sungguh mengetahui krisis ekologi. Akan tetapi, tren tersebut lebih cocok dituduhkan kepada kecenderungan eksotis yang mendukung mazhab ekologi dalam, biosentrisme, kesadaran Gaian (aliran pemuja dewi bumi), dan eko-teologi. Apalagi tren tersebut secara serentak mengutip kultus-kultus utama yang merayakan penghormatan semu-religius kepada alam dengan cara sering memfitnah keberadaan manusia beserta sifat-sifatnya.
Para ekolog mistik—seperti banyak dari revivalis religius saat ini—memandang nalar secara curiga dan menekankan pentingnya pendekatan irasional dan intuitif terhadap permasalahan ekologi. Pendeta Thomas Berry; yang dianggap sebagai ahli ekologi terkemuka oleh banyak orang di zaman kita, mengungkapkan, “Proses sangat rasional yang kita junjung tinggi sebagai satu-satunya cara yang benar untuk memahami adalah menggunakan suatu ironi tertentu yang ditemukan melalui pengalaman mengiimajinasikan mimpi secara mistis. Kesulitan zaman kita ialah ketidakmampuan kita untuk bangkit dari patologi budaya semacam ini.”
Seseorang tidak harus menjadi anggota klerus/golongan rohaniawan untuk mengutarakan gagasan atavistik (menurun dan berulang-ulang) tersebut. Melalui gagasan lebih sekuler, Bill Devall (profesor sosiologi) & George Sessions (profesor filsafat) menulis “Deep Ecology”—yang diterbitkan tahun 1985—sebagai salah satu buku yang paling banyak dibaca oleh penganut ekologi mistik. Buku tersebut menawarkan pesan realisasi diri melalui pencelupan diri pribadi ke dalam “Diri Kosmik” yang kabur atau sebagaimana mereka katakan sebagai “diri dalam diri” yang mana maksudnya ialah “Diri” diartikan sebagai “keutuhan organik”.
Bahasa yang terdapat pada buku “Deep Ecology” jelas-jelas merupakan bahasa penyelamatan. Seperti dalam kutipan “Proses membuka diri secara utuh ini juga dapat diringkas dalam frasa ‘Tiada satu pun yang diselamatkan sampai kita semua diselamatkan’ di mana frasa ‘satu’ tidak hanya mencakup diri saya sebagai seorang individu; tetapi semua manusia, paus, beruang grizzly, ekosistem hutan hujan, gunung dan sungai, mikroba terkecil di tanah, dan sebagainya.”
Seruan hortatory (persuasif) ini menimbulkan beberapa masalah yang sangat membingungkan. Ungkapan “dan sebagainya” justru mengabaikan kebutuhan untuk berurusan dengan mikroba patogen, hewan pembawa penyakit mematikan, gempa bumi, dan topan—sebagai kutipan makhluk dan fenomena yang dianggap kurang memuaskan secara estetika dibandingkan dengan paus, beruang grizzly, serigala, dan gunung. Pandangan selektif tentang ketersediaan biotik dan fisiografi dari “Alam Pertiwi” ini telah menimbulkan beberapa masalah besar bagi pesan ekologi mistik tentang keselamatan universal.
Para ahli ekologi mistik cenderung menurunkan permasalahan sosial dengan menyederhanakan permasalahan manusia (subyek yang umumnya tidak disukai oleh mereka) menjadi persoalan tingkat “spesies”—atau sekadar ke masalah genetika. Pendeta Berry mengatakan bahwa umat manusia harus “diciptakan kembali pada tingkat spesies” melalui “pengkodean budaya ke genetik kita demi memperoleh petunjuk”. Retorika yang menyesuaikan bagian dari “The Dream of The Earth” (buku karangan Thomas Berry yang terbit tahun 1988) ini cenderung mythopoeic (bergenre mitos fiksional); karena menjelaskan “kode genetik kita” mengikat kita dengan “dimensi yang lebih besar dari alam semesta”. Atau maksudnya, alam semesta “membawa misteri mendalam dari keberadaan kita di dalam dirinya sendiri”. Dari nasihat-nasihatnya ini, Berry menikmati popularitas besar pada akhir-akhir ini. Pernyataan-pernyataannya juga telah dikutip melalui beberapa persetujuan. Bahkan pernyataan itu dipakai dalam literatur lingkungan konvensional—yang tidak membicarakan tentang keanekaragaman mistik.
Penginjilan kosmologis seperti itu memakai pernyataan ekologis untuk mencela kemanusiaan. Ketika manusia dijalin ke dalam “jaring kehidupan” sebagai suatu spesies yang tidak lebih dari spesies “Alam Pertiwi” lainnya—yang tak terhitung jumlahnya, maka manusia kehilangan tempat uniknya dalam evolusi alam sebagai makhluk rasional dengan kualitas potensial yang tak tertandingi; seperti dianugerahi dengan sifat sosial yang mendalam, kreativitas, dan kapasitas untuk berfungsi sebagai agen moral.
Konsep “antroposentrisitas” sebagai gagasan semu-teologis yang memandang bahwa dunia ada untuk digunakan manusia, diejek oleh para ahli ekologi mistik yang mendukung konsep yang sama-sama bersifat semu-teologis tentang “biosentrisitas” atau gagasan yang menyatakan bahwa semua bentuk kehidupan secara moral dapat saling dipertukarkan satu sama lainnya melalui “nilai-nilai intrinsik” mereka di dunia. John Seed dan Joanna Macy; dua ahli ekologi mistik, melalui meditasi ala Gaia mereka yang agung, memerintahkan manusia fana untuk memikirkan tentang kematian berikutnya. “Apakah daging dan tulangmu akan kembali ke dalam siklus kehidupan? Pasrahlah. Cintailah cacing montokmu—yang akan menggerogotimu—nanti. Sucikanlah lelah melalui air mancur kehidupan,” ujar mereka. Di wilayah Sunbelt Amerika yang terlalu dipanggang kemistikan, omong-kosong semacam itu sering diturunkan menjadi slogan-slogan stiker pada bumper atau ditunjukkan melalui pelafalan puitis di berbagai asrama di kota-kota besar dan kota-kota kecilnya kaum Anglo-Amerika.
Secara keseluruhan, penyederhanaan krisis ekologi berdasarkan sumber biologis dan psikologis telah sama saja menghasilkan “perbaikan” yang sempit—sama halnya melihat kesuraman ekonomi pada masa lalu sebagai keoptimisan. Bagi banyak—mungkin sebagian besar—ahli ekologi mistik, resep standar untuk “masa depan berkelanjutan” adalah dengan melibatkan gaya hidup berhemat secara kejam. Pada dasarnya, kedisiplinan yang lugu ditandai oleh kesederhanaan pola makan, kerja keras, penggunaan sumber daya alam hanya untuk bertahan hidup, dan kepercayaan teisme primitif—yang inspirasinya bersumber dari spiritualitas era Pleistosen atau Neolitik dibandingkan menggunakan ilham dari rasionalitas Renaisans (Zaman Pencerahan).
Ekologi mistik menyempitkan pemahaman makna antara “rasionalitas” dan “spiritualitas” secara ekologis dan hal tersebut selalu diadu satu sama lain layaknya malaikat dan setan. Biasanya, para mistikus menganggap teknologi, sains, dan nalar sebagai sumber dasar krisis ekologi dan berpendapat bahwa hal-hal ini harus diatasi atau bahkan diganti dengan kerja keras, ramalan, dan intuisi. Yang lebih meresahkan lagi, yaitu banyak ahli ekologi mistik adalah penganut neo-Malthusian; yang menganut unsur-unsur kekejaman dengan menganggap kelaparan dan penyakit sebagai hal yang perlu dan bahkan diinginkan untuk mengurangi populasi manusia.
Masa depan suram yang ditimbulkan oleh ahli ekologi mistik samasekali bukan karakteristik dari visi yang diproyeksikan oleh gerakan ekologi satu generasi lalu. Sebaliknya, para ahli ekologi radikal tahun 1960-an merayakan prospek kehidupan yang memuaskan, terbebas dari rasa tidak aman material, kerja keras, dan penyangkalan diri terhadap hal yang dihasilkan oleh pasar dan kapitalisme birokratik.
Visi utopis ini—yang paling dimajukan oleh ekologi sosial pada tahun 1964 dan 1965, bukanlah sesuatu yang antiteknologi, antirasional, atau anti-ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam gerakan ekologi, hal ini mengungkapkan tentang prospek munculnya tatanan sosial baru, hal-hal teknologis, dan pembebasan spiritual. Ekologi sosial menyatakan bahwa gagasan untuk mendominasi alam berasal dari dominasi manusia oleh manusia—yang tidak hanya dalam bentuk eksploitasi kelas melainkan juga dominasi hierarkis. Pandangan ekologi sosial ini tidak seperti teknologi, alasan, atau sains dari kapitalisme yang menghasilkan ekonomi dengan secara sistematis anti-ekologis. Dipandu oleh pepatah pasar yang kompetitif tentang “tumbuh atau mati”, kapitalisme benar-benar akan melahap biosfer, mengubah hutan menjadi kayu, dan tanah menjadi pasir.
Oleh karena itu, kunci untuk menyelesaikan krisis ekologi bukan hanya perubahan dalam spiritualitas dan bukan melalui kemunduran menjadi religiusitas era pra-sejarah. Akan tetapi, juga melalui perubahan besar dalam masyarakat. Ekologi sosial menawarkan visi masyarakat komunitarian non-hierarkis yang akan didasarkan pada komunitas konfederal melalui cara demokrasi langsung dengan teknologi yang terstruktur di sekitar matahari, angin, dan sumber energi terbarukan; seperti budidaya makanan dengan metode organik & penggunaan gabungan antara kerajinan dan mesin—yang sangat fleksibel, otomatis, dan canggih—untuk mengurangi kerja keras manusia sehingga orang-orang menjadi bebas untuk mengembangkan diri mereka sebagai citizen yang sepenuhnya infomatif dan kreatif.
Hilangnya utopia gerakan tahun 1960-an ke dalam era reaksioner tahun 1970-an membuat kemunduran hebat karena jutaan orang menganut spiritualitas kebatinan yang telah menjadi fenomena laten dalam gerakan budaya tanding dekade sebelumnya. Ketika kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial mulai berkurang, orang-orang mencari realitas pengganti untuk menutupi penyakit masyarakat yang ada dan merasa kesulitan untuk menyingkirkannya. Terlepas dari selingan singkat resistensi lingkungan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, kancah besar gerakan ekologi mulai menarik diri dari kepedulian sosial ke masalah spiritual—yang banyak di antaranya bersifat mistis dan teistik.
Di universitas-universitas, Lynn White Jr. yang mengadvokasi penjelasan religius terhadap krisis ekologi mulai memberikan pandangannnya tentang karakter dunia lain—atau menginisiasi kemunduran atas persoalan ekologi. Pada kisaran masa yang sama, artikel “Tragedy of The Commons” karya Garrett Hardin telah membawa “hantu Malthusian” ke dalam wacana ekologi di akademi dan membelokkan dorongan sosial menjadi lebih jauh dari gerakan ekologi era 1960-an ke dalam permainan angka demografis. Kedua akademisi ini telah mengembangkan pandangan mereka—yang sebagian besar tersebar—di Majalah Science yang hanya memiliki jangkauan publik terbatas sehingga membikin Paul Ehrlich; seorang entomologis/pakar serangga California, mengalihkan perhatian ekologis awal era 1970-an dari ranah sosial menjadi ke masalah tunggal tentang pertumbuhan populasi pada buku “The Population Bomb”—sebuah buku tipis histeris yang tercetak banyak sekali dan mencapai jutaan pembaca.
Dengan gaya menulis seperti seorang perwira Schutzstaffel (organisasi paramiliter Nazi-Jerman) yang melakukan perjalanan di ghetto Warsawa; pada halaman depan risalahnya, Ehrlich tidak melihat apa-apa selain hanya menyatakan, “Orang-orang!… Orang-orang!” Artinya, ia gagal melihat kekejaman masyarakat yang telah merusak kehidupan manusia. Inilah sebuah pertautan singkat yang menyatukan orang-orang kulit putih. Dan lebih tegasnya, Hardin dan Ehrlich memberikan interpretasi non-sosial terhadap masalah ekologi—malah bukan melalui ikhtisar ekologi kebersamaan.
Arne Naess; seorang pendaki gunung & akademisi Norwegia, memberikan tinjauan yang begitu luas pada tahun 1973. Ia menciptakan istilah “ekologi dalam” dan merawatnya sebagai filosofi atau kepekaan ekologis yang mengajukan “pertanyaan mendalam” untuk membedakannya dengan “ekologi dangkal”. Sementara, ekologi mistik siap diluncurkan sebagai “Kebijaksanaan Bumi” yang baru dengan melakukan daur ulang ke dalam bentuk spiritualisme ala California oleh Devall dan Sessions—dengan perpaduan aneh antara agama Budha, Taoisme, kepercayaan penduduk asli Amerika, pemikiran Heidegger, dan filsafat Spinoza dengan yang lainnya.
Kepekaan ekologi yang membingungkan ini mencuat dari kampus menjadi headline pada koran-koran—entah bagaimanapun—disebabkan oleh gerakan penyelamatan hutan belantara dari Earth First!. Gerakan ini mulai mengambil tindakan langsung secara dramatis terhadap penebangan hutan-hutan tua dan ketidaksenonohan serupa yang dilakukan pada kawasan alam liar oleh perusahaan Amerika.
Para pendiri Earth First!; khususnya David Foreman, adalah konservasionis yang jemu dengan taktik lobi tidak efektif dari organisasi konservasi yang berbasis di Washington. Karena terinspirasi oleh Edward Abbey; penulis novel “The Monkey Wrench Gang”—yang sangat populer—yang berpandangan keliru dan selalu mendekati rasisme dengan cara memuja “kebudayaan Eropa Utara” ala Amerika; para pemimpin Earth First! mulai memanfaatkan mazhab ekologi dalam sebagai sebuah filsafat.
Hal tersebut bukan untuk menyatakan bahwa sebagian besar pelaku Earth First! mengetahui apapun tentang “ekologi dalam”—walaupun mereka mengklaimnya sebagai “ekologi dalam”. Tetapi, Devall dan Sessions telah menempatkan Malthus di jajaran para nabi dan menggambarkan “masyarakat industri” (bukan kapitalisme) sebagai perwujudan dari penyakit yang secara umum diolok-olok oleh para ahli ekologi mistik. Memang, buku-buku mereka jelas berorientasi membahas hutan belantara, mengekspresikan “biosentrisme” secara tegas, dan tampaknya memberi sedikit perhatian atas tempat umat manusia di alam semesta.
Konsistensi tidak pernah menjadi titik kuat dari gerakan antirasional apapun. Sehingga, tidak mengherankan apabila Devall dan Sessions dengan saleh memuja konsep “diri dalam Diri” sebagai bentuk kepedulian panteisme atau hylezoisme. Foreman tidak ragu untuk menggambarkan manusia sebagai “kanker” pada dunia alami. Secara cukup mengejutkan, Gary Snyder—penyair dari gerakan ekologi dalam—menggambarkan bahwa manusia mirip seperti “belalang”.
Pada nyatanya, ekologi mistik adalah ilmu yang suram yang antimanusia. Pendeta Berry, misalnya; terlepas dari kesalehannya yang lembut, menjadi sangat ganas dalam memperlakukan manusia. Ia menggambarkan keberadaan manusia sebagai “model keburukan makhluk duniawi”. “Sesungguhnya, kita adalah penghentian, bukan pemenuhan dari proses bumi. Jika ada parlemen makhluk, mungkin keputusan pertamanya adalah untuk memilih umat manusia keluar dari komunitas kehidupan. Kehadirannya terlalu mematikan untuk ditoleransi lebih jauh. Kitalah kesengsaraan dunia; wujud dari kehadiran iblisnya. Kita adalah pelanggaran aspek paling suci di bumi,” ungkap Berry.
Ecclesiastic vitriol—sejenis satir gerejawi—seringkali lebih selektif. Dalam kasus terbaik, satir ini menargetkan sindiran kepada orang kaya, bukan orang miskin; penindas, bukan yang tertindas; dan penguasa, bukan kaum bawahan. Tetapi ekologi mistik lebih cenderung mencakup semuanya. Berry menggeneralisir “kita”—seperti perlakuannya terhadap “manusia”—sebagai spesies daripada sebagai makhluk yang dikategorikan berdasarkan penindasan ras, jenis kelamin, sarana materi kehidupan, budaya, dan sejenisnya—karena ia cenderung meresapi ekologi mistik.
Erik Dammann; seorang penulis Norwegia, dengan bermaksud baik mengatakan “kita semua adalah kapitalis”. Karyanya, “The Future in Our Hands” telah dipuji oleh Arne Naess sebagai manifesto virtual untuk perbaikan sosial. Tiada satu pun dari para tunawisma di kota-kota Amerika, para korban AIDS yang dibiarkan mati di “Needle Park” di Zurich yang terkenal kejam, & orang-orang yang bekerja terlalu keras di tambang dan pabrik-pabrik Dunia Pertama yang dianggap penting dalam pembelaannya Dammann. Ia malah menganjurkan “kita” yang berada di Amerika dan Eropa untuk mengurangi konsumsi barang atasnama orang miskin di Dunia Ketiga.
Tampaknya, dipuji karena tujuan pengurangan konsumsi adalah latihan amal yang tidak efektif karena itu bukanlah mobilisasi sosial; dalam humanitarianisme, itu bukanlah perubahan sosial. Juga, hal ini merupakan latihan analisis sosial yang dangkal; yang secara kotor dimainkan begitu dalam di bawah faktor-faktor sistemik; yang telah menjadikan para elit kekuasaan makan berlebihan dan massa kelas bawah kelaparan di seluruh dunia. Hampir semua yang kita pelajari dari niat baik Dammann adalah bahwa “kita” secara oikumenis (keseluruhan tunggal) harus disalahkan atas penyakit dunia. Kita diibaratkan “konsumen” mistis yang secara rakus meminta barang-barang yang produksinya harus dipaksakan oleh perusahaan “kita” dengan bekerja terlalu keras.
Terlepas dari retorika radikal yang digunakan Devall dan Sessions, resep praktis utama untuk perubahan sosial yang mereka tawarkan kepada “kita” melalui ekologi dalam hanyalah doa naif. “Prinsip pertama kami,” tulis mereka, “adalah untuk mendorong lembaga, pembuat undang-undang, pemilik properti, dan manajer untuk mempertimbangkan proses secara bersama daripada memaksakan proses alami.” Mereka berujar bahwa, “Kita harus bertindak melalui proses politik untuk memberi tahu para manajer dan lembaga pemerintah tentang prinsip-prinsip ekologi dalam untuk mencapai beberapa perubahan signifikan dalam arah kebijakan manajemen jangka panjang yang bijak.”
Liberalisme ala Devall dan Sessions yang cair ini digemakan secara lebih eksplisit dalam buku terbaru Paul dan Anne Ehrlich yang berjudul “Healing The Planet”. Dalam buku ini, para penulis menyatakan kepatuhan mereka pada ekologi dalam sebagai “gerakan semu-religius” (menggunakan kata-kata mereka sendiri) yang mengakui bahwa “filosofi baru yang sukses tidak dapat didasarkan pada omong kosong ilmiah”. Penistaan sains semacam ini hampir tidak layak bagi penulis yang reputasinya didasarkan pada kepercayaan ilmiahnya—dengan atau tanpa penggunaan kata “omong kosong” yang tidak jelas untuk memenuhi syarat pernyataan mereka. Belakangan ini, dengan lebih waspada dibandingkan karya tulisnya yang agak histeris pada sebelumnya; Ehrlich menawarkan sesuatu untuk semua orang melalui sejumlah skenario yang agak membingungkan; yang menunjukkan kepedulian terhadap orang miskin serta orang kaya, Dunia Ketiga dan Pertama, & bahkan mengakui kaum Marxis serta konservatif. Tetapi, hampir semua bagian penting dalam buku ini mengulangi refrain yang menandai karya-karya mereka sebelumnya; yakni “mengontrol pertumbuhan populasi adalah sangat penting”.
Bagaimanapun, perlakuan Ehrlich terhadap masalah-masalah sosial mendasar mengungkapkan sejauh mana mereka sampai pada kesepakatan dengan status quo. “Ekonomi berbasis pasar kita yang demokratis sampai saat ini adalah sistem politik dan ekonomi paling sukses yang diciptakan oleh manusia,” ujarnya. Inilah hubungan sistemik antara ekonomi “berbasis pasar” dan penjarahan tanpa ampun di planet ini yang hampir tidak tampak pada cakrawala sosialnya Ehrlich.
Solusi yang ditawarkan Naess mungkin kurang tegas dan lebih mengganggu. Ketika ia menimbang filosofi politik alternatif seperti komunisme dan anarkisme; Bapak Ekologi Dalam ini menegaskan melalui buku “Ecology, Community, and Lifestyle”—yang baru-baru ini diterjemahkan; bahwa ekologi dalam memiliki hubungan dengan “anarkisme non-kekerasan kontemporer”. Tetapi, pembaca—yang mungkin terpana oleh komitmen terhadap alternatif libertarian ini—bisa mengetahui dengan cepat bahwa ekologi dalam memiliki alasan sederhana untuk menuju sentralisme negara yang cukup kuat. Naess menuliskannya, “dengan tekanan populasi manusia yang besar dan meningkat secara eksponensial, dan juga kondisi perang seperti di banyak tempat; tampaknya menjadi hal tak terhindarkan untuk mempertahankan beberapa lembaga terpusat yang cukup kuat”. Faktanya, melalui pernyataan ini, neo-Malthusianisme ala Naess dan pandangan pesimisnya tentang kondisi manusia memperkuat keyakinan elitis dalam gerakan ekologi untuk menuju sentralisasi negara dan penggunaan paksaan. Pandangan para ahli ekologi dalam seperti Christopher Manes—yang rekan-rekannya sendiri menganggapnya sebagai ekstremis—nyaris tidak pantas dijadikan diskusi serius. Manes menyambut epidemi AIDS sebagai alat kontrol populasi. Banyak penulis ekologi mistik menggemakan klaimnya bahwa “alam liar dan bukan peradaban adalah dunia yang nyata”.
James Lovelock; arsitek hipotesis Gaia, memiliki suatu kecaman yang sangat menggema terkait manusia sebagai sumber krisis ekologi. Ia mempunyai sebuah gagasan mitos bahwa bumi dipersonifikasikan sebagai Gaia (dewi bumi ala Yunani kuno) yang secara harfiah berarti organisme yang hidup. Dalam teologinya ini, “kita” tidak hanya terkesan sepele dan bisa dihabiskan. Juga, seperti yang dikatakan beberapa penganut Gaia; kita adalah “kutu cerdas” atau parasit di planet ini. Bagi Lovelock, kata “kita” bisa menggantikan semua perbedaan antara elit dan para korbannya menjadi tanggungjawab bersama atas penyakit ekologis masa kini.
Lovelock juga berkata, “Perhatian humanis kita atas orang miskin di pusat-pusat kota atau Dunia Ketiga, dan obsesi kita yang hampir tidak senonoh terhadap kematian, penderitaan, dan rasa sakit ini adalah kejahatan terhadap diri sendiri. Pemikiran seperti ini justru mengalihkan pikiran kita tentang perilaku kasar dan dominasi berlebihan terhadap dunia alami. Kemiskinan dan penderitaan tidaklah dikirim karena hal itu merupakan konsekuensi dari apa yang kita lakukan.”
“Ketika kita mengendarai mobil sambil mendengarkan radio memberitakan tentang hujan asam, kita perlu mengingatkan diri kita bahwa kita secara pribadi adalah pencemar. Oleh karena itu, kita bertanggungjawab secara pribadi atas penghancuran pohon oleh kabut fotokimia dan hujan asam,” ujar Lovelock. Dengan argumen seperti ini, maka konsumen kelas rendah dipandang sebagai sumber nyata dari beban ekologis. Dalam perspektif keilahian Gaia-Lovelock, justru produsen yang memiki perusahaan dan mengatur selera publik melalui media massa bukanlah sebagai perusak.
Gerakan ekologi memang terlalu penting untuk diambilalih oleh para mistikus pengkhayal dan misantropis reaksioner. Gerakan buruh tradisional—yang begitu banyak ditempati kaum radikal demi harapan untuk menciptakan masyarakat baru—telah layu dan gerakan populis era lama yang berstrata agraria dengan pengikut cukup banyak telah mati di Amerika Serikat. Masa depan liberalisme-Rooseveltian sedang bergantung pada keseimbangannya karena program New Deal (kebijakan politik-ekonomi era Roosevelt) diserang oleh Reagan-Bush. Kebijakan New Deal tersebut mereformasi kooptasi atas hampir semua hal yang berguna; termasuk gagasan lingkungan yang konvensional; yang dilambangkan melalui kemudahan berkorporasi sambil menggembar-gemborkan slogan “Setiap Hari adalah Hari Bumi!”.
Akan tetapi, dunia alami sendiri tidak dapat diadopsi. Kompleksitas proses organik dan iklim masih menentang kontrol ilmiah; seperti halnya dorongan pasar untuk berkembang masih menentang kontrol sosial. Konflik antara dunia alam dan masyarakat saat ini telah meningkat selama dua dekade terakhir. Dislokasi ekologis dengan proporsi besar mungkin mulai menaungi isu-isu yang lebih sensasional—yang menjadi berita utama saat ini.
Benturan yang menentukan menjadi tampak. Di satu sisi, ada sistem ekonomi “tumbuh atau mati” yang lepas kendali. Sementara di sisi lain, kondisi rapuh diperlukan demi pemeliharaan bentuk kehidupan yang maju di planet ini. Nyatanya, benturan ini berhadapan dengan kemanusiaan itu sendiri melalui alternatif yang radikal; yakni terbentuknya masyarakat ekologis yang terstruktur berdasarkan idealisme ekologi sosial; tentang jaringan komunitas yang konfederal, langsung demokratis, dan berorientasi ekologis. Atau malah alernatif lainnya mengenai masyarakat otoriter; yang interaksi antara manusia dan dunia alami akan terstruktur melalui komando ekonomi dan politik. Prospek alternatif yang ketiga; tentu saja, adalah penghancuran umat manusia dalam serangkaian bencana ekologi yang tak dapat diubah.
Gerakan ekologi yang sembrono dan membiarkan dirinya dibimbing oleh berbagai macam mistik tidak akan bisa dimaafkan sebagai sebuah tragedi yang berproporsi sangat besar. Terlepas dari atmosfir distopia yang tampaknya melingkupi banyak gerakan; visi utopis tentang masyarakat yang demokratis, rasional, dan ekologis masih dapat dilakukan saat ini seperti generasi masa lalu.
Ketegangan misantropis yang mengalir melalui gerakan atasnama “biosentrisitas”, antihumanisme, kesadaran Gaian, dan neo-Malthusianisme begitu mengancam ekologi dalam arti luasnya. Hal ini menyebabkan ekologi sebagai kandidat paling potensial yang kita miliki untuk menjadi “ilmu yang suram”. Upaya banyak ahli ekologi mistik yang mengeksploitasi masyarakat saat ini sebagai penyebab krisis, epidemi, kemiskinan, dan kelaparan menjadikan para elit kekuasaan dunia sebagai pertahanan ideologis paling efektif demi memelihara kekayaan ekstrem di satu sisi dan kemiskinan di sisi lain.
Bukan hanya massa besar manusia yang harus membuat pilihan sulit tentang masa depannya dalam periode dislokasi ekologis yang sedang berkembang. Gerakan ekologi sendiri harus membuat pilihan-pilihan sulit tentang kesadaran tujuannya di saat mistifikasi sedang bertumbuh.
Desember 1991
–
[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Seorang sibuk yang masih sempat melatih kucing memakan buah plum.]