–
*)Penulis Carmen Lareva. Pejuang keadilan gender di Amerika Latin abad ke-19.
–
Kepercayaan yang bodoh nan jahat mengatakan bahwa ide-ide anarkis terlihat kabur di hadapan segala sesuatu yang indah; seperti seni, ilmu pengetahuan, dan terutamanya pada kehidupan rumah tangga. Bahkan dari waktu ke waktu, kita berkesempatan mendengar hal ini dari beberapa bibir perempuan pekerja. Mereka berkata, “Oh, ide yang hebat. Ide-ide anarkis anda ini menginginkan kita semua; para istri, anak perempuan, ibu, dan saudara-saudara perempuan berubah menjadi selir; menjadi mainan kotor untuk gairah manusia yang tak terkendali!” Kepada mereka yang berbicara seperti ini dan berpikir dengan cara inilah, kita menyapa diri kita sendiri. Mari kita lihat!
Dalam bermasyarakat, kita beranggapan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih memalukan daripada perempuan yang malang. Kita jarang sekali menikmati pubertas karena menjadi target pelecehan seksual dan lirikan seksual yang sinis oleh jenis kelamin yang lebih kuat/kaum lelaki. Yang melakukan eksploitasi semacam ini pun berasal dari kelas yang sama dengan kaum yang dieksploitasi. Kemudian dalam mencapai hal keperempuanan, kita paling sering terperangkap dalam kekekalan dari hal-hal yang tidak murni; atau berpegang teguh pada pandangan rendah dan cemoohan masyarakat yang memandang hancurnya diri kita sebagai sesuatu yang tidak idealis, tidak penuh kasih, dan memandangnya sebagai penyelewengan.
***
Jika kita mencapai hal seperti pernikahan—yang diyakini oleh beberapa perempuan akan memberinya kebahagiaan, maka kita akan menjadi lebih buruk bahkan seribu kali lebih buruk. Kita akan mendapati keadaan tentang pasangan yang kehilangan pekerjaan, bayarannya yang pas-pasan, sakit-sakitan, dan lain sebagainya.
Bagi suami-suami kita, mengubah hal yang seharusnya menjadi “kata terakhir” dalam kamus kebahagiaan adalah semacam kengerian dan beban berat. Sebagai seorang anak lelaki, memang tidak ada hal yang begitu indah, puitis, lembut, menyenangkan, dan menawan selain “pernikahan” sebagai kata terakhir dalam kebahagiaan.
Akan tetapi, celakalah orang yang miskin. Celakalah rumah tangga dengan endapan kemiskinan sambil menggendong si kecil yang membutuhkan perawatan, belaian, dan perhatian kita. Celakalah rumah tangga yang tak akan bertahan lama; yang sebelumnya ditimpa seribu pertengkaran dan banyak kesengsaraan! Tahukah kamu, kenapa?
Karena bayi yang baru lahir membikin ribuan tuntutan. Tuntutan ini bisa mencegah ibu muda untuk membantu pasangannya menanggung biaya mengurus rumah. Bahkan, bayi itu bisa tumbuh ketika pendapatan mereka sedang menyusut. Saat kehadiran bayi seharusnya menjadi keinginan tersayang dan kebahagiaan terbesar dari rumah tangga, ia justru dianggap sebagai beban, penghalang, dan sumber kesal serta pemiskinan; yang harus dijaga dengan sangat hati-hati melalui metode coitus interruptus (menarik penis keluar vagina saat sedang ejakulasi), penipuan, serta hubungan seksual menyimpang dengan sekuel penuh penyakit yang memuakkan. Oleh karenanya, ribuan demi ribuan praktik memuakkan dan menjijikkan dilakukan saat ranjang perkawinan diubah menjadi setumpuk kata-kata kotor. Karenanya pula, terjadilah degradasi, kebosanan, dan penyakit, serta nada-nada pelanggaran terhadap kehormatan akan banyak diucapkan. Maka terjadilah zina!
Singkirkanlah sebabnya dan lenyapkan akibatnya. Dengan menghapuskan kemiskinan, maka keburukan juga akan hilang. Rumah pun akan menjadi surga yang nikmat dan menyenangkan.
***
Seringkah kita mendengar rahasia dari teman-teman perempuan kita yang telah menjadi kambing hitam dari tindakan seperti itu?! Lalu?
Saat kita melampiaskan tindakan serupa kepada pria, maka sampaikanlah respon teman-teman kita kepadanya, “Apakah anda tidak tahu betapa mahalnya urusan untuk membesarkan anak, bidan, dokter, tagihan medis, biaya makanan, perawatan, dan kemudian menyusui? Bagaimana aku bisa mengatasinya saat dua dari kita yang bekerja sekarang hampir tidak bisa mengurangi pekerjaaan sehari-hari? Bagaimana aku bisa mengelola sendiri dengan pengeluaran meningkat dan penghasilan menyusut? Lupakanlah soal anak-anak! Iblis bersama mereka!”
Kawan-kawan perempuan terkasih, bagaimanakah kamu bisa menyukai hal itu? Apakah itu cinta, kehidupan rumah tangga, dan kelembutan? Sangat menyakitkan memikirkan bahwa seorang perempuan harus melalui hal semacam ini. Namun melalui ini adalah keharusan!
Sekarang dalam memproklamirkan cinta yang bebas; persatuan bebas dari kedua jenis kelamin adalah keyakinan teguh kita untuk dapat membuang semua pengalaman tidak menyenangkan ini. Bersatulah dengan bebas dan tanpa rasa takut. Rasakanlah sakitnya kita demi memelihara dan menetapkan keadaan ini. Persatuan orang-orang yang membumbung dengan sayap cinta mungkin akan menghasilkan buah-buah cinta, melebur menjadi satu makhluk, dan tentu saja keduanya akan menjadi bahagia secara bebas. Sebagai mitra dalam tindakannya masing-masing, mereka tidak akan memiliki alasan untuk takut satu sama lain. Kita telah diberitahu tentang cinta, tentang persatuan, dan segalanya.
Ketika menjadi bebas seperti yang kita inginkan; pria akan boleh terus-menerus beralih dari satu perempuan ke perempuan berikutnya. Dan, dengan tidak adanya ketakutan terhadap anggapan masyarakat atau hukum; maka tidak akan ada lagi kesetiaan. Sedangkan hari ini, hukum menghukum pezina laki-laki maupun perempuan. Ketakutan terhadap stigma sosial pun akan membikin kegagalan berpasangan hidup dan ketidakpatuhan satu sama lain.
***
Kawan-kawan perempuan tercinta, tiada hal apapun yang bisa jauh dari kebenaran. Kurang-lebihnya, apa yang dicari oleh kedua jenis kelamin itu bukanlah kepuasan nafsu jasmaniah. Bukan itu!
Apa yang mereka kejar adalah kegembiraan, kebahagiaan, ketenangan, dan perilaku baik. Dan setiap makhluk semi-terdidik saat ini berusaha untuk menghasilkan dan mencapai mimpi yang dirindukannya; sesuai kondisi masyarakat yang sangat sinis dan mementingkan diri sendiri secara material karena kapital adalah hal yang dibutuhkan untuk membeli atau mendapatkan kesenangan dan kebutuhan seseorang. Maka setiap orang melakukan upaya yang lebih besar atau lebih kecil untuk mendapatkannya.
Selain itu, kita yang sering disebut “ampas” masyarakat justru menghidupi diri seperti yang kita lakukan saat ini sejak usia dini; dengan melakukan pekerjaan seperti yang saat ini kita praktikkan—yang tidak hanya menjadi rendahan dan memalukan, tetapi juga brutal. Tentu saja, kita tidak memiliki pendidikan yang digunakan borjuis sebagai monopoli. Melalui keinginan mereka untuk memonopoli segala hal; kita menjadi tidak fasih terhadap ribuan kesenangan—seperti terhadap lukisan, musik, puisi, patung, dan lainnya—yang dipersembahkan bagi mereka yang berstatus lebih tinggi. Masalahnya, tidak ada pertanyaan terhadap segala hal; kecuali terhadap apa yang kita lakukan selama hidup kita yang celaka ini. Jika kita berpendidikan, kita akan jauh lebih materialistis daripada yang seharusnya kita miliki dan bukan hanya lewat cara-cara borjuasi seperti hari ini—tetapi bahkan lebih baik. Seni membangkitkan perasaan seseorang; dan bahkan tanpa sedikit pun adanya ini, kita jelas tidak bisa mencapai kemampuan tinggi seperti itu.
***
Pendidikan tidaklah gratis dan kita tidak punya cukup waktu untuk mendapatkannya. Lantas, bagaimana kita bisa terdidik?
Adakah yang tidak tahu bahwa masa pengasuhan kita justru ditelan oleh siksaan tempat kerja? Kita tak akan mendapatkan pendidikan di sana. Justru sebaliknya, kita akan menemukan segalanya di sana, kecuali pendidikan! Dan dari waktu ke waktu, para pekerja perempuan yang malang telah menjadi sasaran nafsu borjuis. Kita dengan cepat dikirim dan dilemparkan ke kuburan yang tidak nyaman; tanpa pertahanan, dengan kelaparan yang tinggi, tak bisa puas di balik lapisan rasa hina dan air mata, dan sementara ada yang dengan senang hati menerima penderitaan sebagai pelarian diri dari cemoohan-cemoohan para penyiksanya!
Semua berjalan sangat alami pada masyarakat ini karena masifnya kita berkubang pada ketidaktahuan. Ambillah jiwa yang kelaparan dan berikanlah dia sepotong roti—tidak peduli seberapa kotornya roti itu, dan pada saat yang sama, tawarkanlah kepadanya rebec (sejenis alat musik gesek), lukisan, atau puisi—bahkan jika puisi itu karya abadi Shakespeare atau Lord Byron. Manakah yang akan dia pilih pertama? Tentunya roti daripada buku atau rebec! Sebab roh memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi—sebelum dapat memanifestasikan kehadirannya—dan mendahulukan kebutuhan materi yang lebih mendesak dibandingkan yang spiritual.
Oleh karenanya, takkan ada perselisihan dalam masyarakat yang anggota atau komponennya telah dididik dengan cukup sempurna. Para pasangan dapat bersatu secara bebas tanpa ada perasaan takut kebahagiaannya akan berkurang akibat tiadanya restu pihak ketiga.
Melalui hasrat mereka untuk memerintah segalanya, hukum dan masyarakat memaksa kita untuk melakukan penghormatan buta kepada mereka dalam ritual ini. Kita; para perempuan, tidaklah percaya pada berkah atau ritual yang menurut kita; seperti membawa dua anjing bermain-main di jalanan dan ketika kita bergabung bersama mereka, kita mengatakan padanya, “Saya mengizinkan anda berbahagia.” Dalam kasus seperti ini, mereka akan melanjutkan kelakuannya dan seakan-akan kita telah melakukan yang berlawanan.
***
Saat waktunya tiba, borjuis yang hampir mati akan mewariskan hasil rampasan/curian mereka kepada anak-anaknya—yang harus dibagikan ke sana-sini. Sebab jika mereka tidak melakukannya, hukum tidak akan mengakui warisan mereka. Inilah pengaturan bisnis karena bisnis menjadi prioritas di mata mereka.
Akan tetapi, dalam masyarakat yang tidak mengenal “kesepakatan” semacam itu, kebutuhan untuk omong kosong seperti itu tak akan ada. Sebagaimana diktum saat ini, pernikahan atau—lebih tepatnya—upacara pemberkatan hanya melambangkan persetujuan masyarakat terhadap tindakan tersebut. Jadi, jika ada masyarakat lain menganut koalisi bebas antarjenis kelamin, maka koalisi bebas ini akan disetujui dan terbentuk. Akan banyak perempuan dan laki-laki yang puas dengan persatuan/koalisi bebas ini disebabkan rasa ngeri mereka atas cibiran orang lain. Maka inilah cara satu-satunya yang bisa menghentikan cibiran mereka. Dengan begitu, marilah kita izinkan mereka untuk melanjutkan cibirannya dan membiarkan diri kita melakukan apa yang kita inginkan atau melakukan apapun yang kita bisa lakukan tanpa merugikan siapapun.
Ketakutan pada hukuman akan mengawetkan perselingkuhan. Dan hal ini, bukanlah keyakinan kita atau kebijaksanaan yang layak; bahkan diperlukan upaya untuk membantahnya. Siapapun akan mengakui bahwa itu adalah “penyimpangan” yang bila didata; akan terjadi antara sembilan puluh kali kasus dari setiap seratus kali kemungkinan tanpa diketahui pihak berwenang, hukum, dan pihak lainnya.
Kita juga percaya bahwa seseorang yang takut terhadap bermacam hukuman akan tetap setia berkomitmen terhadap apa yang menipu atau membujuknya. Mungkin baiknya juga untuk menjadi tidak setia atau akan lebih baik keluar dari kungkungannya. Jika dia mencintai pria atau perempuan lain, ini jelas karena dia tidak mencintai orang yang mengharuskannya untuk berbagi roti dan atap berdasarkan aturan masyarakat. Pula sementara ini, mungkin prostitusi tidak bisa mendekati dengan sangat dekat kepada hal semacam itu. Karena jika melakukan hal itu, dia diharuskan untuk berpura-pura mencintai seseorang yang dia benci, menipu, dan menjadi seorang munafik—atau singkatnya; memberikan dirinya kepada seorang pria atau perempuan yang dia benci. Dengan kasus semacam ini, wajarlah bahwa rumah tangga tidak akan lama karena dilanda pertengkaran, gesekan, dan ribuan hal lainnya, atau kejadian-kejadian yang dapat memperparah kehidupan kedua pasangan.
Jika mereka bebas dalam tindakan mereka, hal-hal tersebut tidak akan terjadi dan mereka mungkin menikmati budaya apapun yang ditawarkan masyarakat kita di masa depan.
1896
–
[Pengalihbahasa: Taufik Nurhidayat. Petualang antikekang.]