*Cerpen oleh: Nevvin Hanjuna. Pelaku seni sehari-hari.
Sekolah adalah mimpi dari setiap manusia untuk mendapatkan ilmu melalui pendidikan untuk masa depan yang lebih baik. Aku pun terkadang menjadi impian untuk dikenakan bagi setiap manusia, mulai dari pelosok desa hingga kota.
Sejak kecilnya Darsan, ibu selalu sibuk saban malam merangkai beberapa lembar kain menjadi sebuah seragam supaya bisa Darsan kenakan dengan layak. Putih dan merah adalah seragam pertama yang Darsan kenakan ketika sekolah dasar. Malam itu, ibu menyibukkan dirinya bersama mesin jahit yang usianya tidak muda lagi; merangkai beberapa logo, sleting, saku di antara baju dan celana.
Terkadang, ibu merasa malu ketika aku kisut saat dipakai Darsan bersekolah. Setiap Senin, ibu selalu merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan tak pernah lupa menyemprotkan wewangian padaku. Aku selalu terlihat rapi ketika dipakai Darsan bersekolah. Begitu harumnya aku, sampai setiap orang sangat betah ketika berada di sampingku.
Aku selalu menemani Darsan saat bersekolah. Ketika upacara pun, aku sangat bangga terlihat rapi dan wangi di antara seragam murid-murid yang lain. Aku telah menjadi bagian dari jasa setiap manusia yang kini menjadi orang-orang hebat di negeri ini. Saat lagu wajib nasional dinyanyikan, aku tak bisa hanya diam menyaksikan Darsan bernyanyi. Terpa angin pagi mengelus tubuhku, mengajakku bernyanyi dan memaknai warna tubuhku. Aku telah menyaksikan perjuangan setiap manusia di atas bangku sekolah, hingga kini mereka terlahir menjadi sosok manusia yang sangat tinggi. Mulai dari pejabat, presiden, menteri, dan petinggi yang lain.
Aku tak pernah menyesal ada sebagai seragam, namun terkadang aku merasa sedih ketika semua melupakanku. Kini, aku telah jauh dari mereka yang pernah mengenakanku. Terkadang pula, usiaku tak terlalu panjang; mereka memilih menghanguskanku daripada memberikanku kepada orang lain atau mengabadikanku.
Darsan, kini, telah tumbuh besar; kini, dia disibukkan mencari sekolah menengah pertama yang berkualitas. Aku masih digunakan Darsan untuk mendaftar ke setiap sekolah menengah pertama. Kini, Darsan telah mendapatkan mimpinya; bersekolah di sekolah yang dia inginkan. Aku pun digantikan oleh Darsan menjadi putih-biru. Aku merasa bangga bisa mengantarkan Darsan hingga sekolah menengah pertama yang telah lama ia impikan. Putih-merahku yang terpampang logo tutwuri handayani kini pun tersimpan di dalam lemari.
Kini, Darsan telah tumbuh besar, menjadi siswa yang pandai di kelasnya, hingga ia menjadi seorang pemimpin dalam kelasnya. Kulitku pun berubah menjadi putih dan biru tua. Aku selalu menemaninya ketika ia mengayuh sepeda yang ayah berikan. Tetes keringat Darsan membasahi tubuhku. Harum tubuhku berubah menjadi bau keringat yang tak sedap untuk dicium.
Terkadang pula, aku menjadi tempat curahan para siswa yang menuliskan dan menggambarkan berbagai macam dengan tinta bolpoin di atas tubuhku. Aku merasa sangat ternodai, apalagi ketika sakuku diisi berbagai macam benda yang menodai tubuhku. Namun, ibu selalu merawatku dengan ketulusannya; mencuci tubuhku hingga bersih dan menyemprotkan kembali wewangian di atas tubuhku yang mulai pudar.
Darsan, kini, menjadi pribadinya sendiri. Ia sudah tak pernah lagi diantarkan ibunya menuju sekolah. Ia menggunakan sepeda kesayangannya untuk bersekolah. Namun kini, Darsan jarang mematuhi perintah ibu. Kadangkala, Darsan tak pernah jujur dan seringkali berbohong, setelah ia mendapatkan teman-teman yang beragam sudut pandang pola berpikir.
Aku merasa malu ketika Darsan sering membolos sekolah. Belum lagi, ketika aku diletakkan di tempat yang tidak semestinya. Aku selalu mendapat perhatian setiap orang yang melihatku di jalanan.
Darsan, kini, menduduki bangku kelas 3 SMP. Dua tahun sudah, Darsan mengemban tanggungjawab sebagai seorang pemimpin dalam kelasnya. Namun kini, Darsan sudah tidak dipercaya lagi oleh kawan-kawan sekelasnya dan wali kelasnya. Reputasinya sebagai pemimpin dan anak yang pandai dalam kelasnya kini sudah tiada.
Kini, ia dikenal sebagai murid yang kurang sopan dan kerapkali membolos jam pelajaran sekolah. Ibu pun harus berulangkali menghabiskan waktunya untuk menemui guru Darsan, karena tindakan dan perilaku Darsan yang sudah di luar batas wajar aturan sekolah. Tanpa jemu, ibu selalu menasehati darsan untuk mengubah perilakunya. Tapi, Darsan tetap saja bersikukuh dan mengeyel.
Kini, Darsan akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Seringkali, ia mendapat ancaman akan dikeluarkan dari sekolah, apabila selalu melanggar peraturan sekolah. Darsan pun tak mau jika ia dikeluarkan dari sekolahnya. Dalam kesendirian dan kesunyian, aku sebagai seragam yang telah menyaksikan perjuangan manusia dalam menimba ilmu, merasa sedih, jika aku tidak bisa dijaga oleh Darsan.
Kini, Darsan sanggup menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama. Aku masih digunakan Darsan untuk mencari dan mendaftar sekolah menengah atas. Darsan sudah menemukan sekolah yang ia inginkan. Di sanalah, Darsan meneruskan sekolah menengah atasnya.
Kini, sepeda yang seringkali Darsan gunakan di bangku sekolah menengah pertama, sudah berubah menjadi sepeda motor yang sangat bagus. Di tahun ajaran pertama sekolah menengah atas, aku jarang merasakan bangku kelas yang nampak rapi dan buku-buku pelajaran yang disodorkan para guru.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang sangat memalukanku. Bau asap rokok kerapkali membuatku risih, belum lagi tubuhku yang semakin kisut ketika aku diletakkan dalam tas tanpa dilempit.
Aku sudah tak tahan lagi dengan perilaku Darsan melakukanku dengan caranya sendiri. Sakuku kini bukan lagi ternodai oleh tinta bolpoin yang meluap. Sakuku seringkali diisi oleh beberapa batang rokok dan barang-barang tak pantas lainnya. Aku hampir mati tanpa daya; hakekatku menjadi seragam sekolah tak berguna lagi.
Tahun ini, Darsan mengakhiri pendidikannya selama 12 tahun. Desing suara knalpot motor membuatku bising, belum lagi, noda warna pilok yang membuatku tanpa ada martabatnya menjadi seragam.
Kini, Darsan sudah mengenal apa itu wanita, cinta, dan pergaulan yang semakin bebas. Aku seringkali dibawanya bersama wanita yang tak kukenal. Aku merasa sendiri berada di dalam kos, walau ada Darsan bersama wanita yang ia cintai. Aroma alkohol menempel di atas tubuhku. Aku diletakkan di atas lantai yang kotor, aku melihat Darsan bersama wanita yang ia bawa tanpa mengenakanku. Mereka sudah tak membutuhkanku; telanjang di hadapan mataku, melakukan hubungan yang belum pantas untuk Darsan lakukan. Aku seperti telah mati, tak berguna.
Dalam kesendirian waktu, aku teringat perjuangan ibu melawan malam, menahan kantuk hanya untuk melahirkanku sebagai pakaian generasi bangsa; agar menjadi manusia berguna dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam semesta.
Kini, pupus sudah mimpi ibu; mengharapkanku sebagai pengantar Darsan menjadi siswa yang berbudi. Apalah daya jika aku ada hanya sebagai seragam. Aku tak bisa berbicara melawan apa saja yang menodaiku.
Aku terlalu lemah menjadi seragam; menjadi hina dan ternodai. Andaikan saja waktu mengizinkanku berbicara di antara lemahnya tubuhku yang dihinakan, tak ingin aku terlahir sebagai pengantar generasi yang hidup tanpa moral, budi, dan nurani.
Hakekatku hanyalah sebagai seragam yang mati tanpa suara. Segala daya upaya sudah kulakukan dalam perjalanan setiap manusia untuk mengantarkannya menjadi manusia berbudi luhur. Kehidupan hanyalah kehidupan; yang tak mungkin dapat mengubahku menjadi hidup selayaknya manusia. Jasaku telah digunakan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia untuk mengantarkan mereka menuju pintu gerbang pembebasan kebodohan.
Kini, aku sudah dilupakan zaman dan waktu. Mereka sudah menjadi manusia hebat bagi diri mereka sendiri, sedangkan aku masih saja tetap menjadi seragam, dimana hakekatku memanglah sebuah seragam yang dilupakan tanpa daya upaya. Kini, aku sendiri di dalam lemari, bahkan terkadang, aku sudah dibinasakan dalam peradaban manusia.