–
*)Ditulis Rynaldi Fajar. Pegiat literasi bersama Komunitas Mengkaji Pustaka dan pelaku garis depan lapak Perpustakaan Jalanan Cilacap. Sedang mencoba menekuni pers mahasiswa di Surakarta.
–
Tidur lelapku terbangun; terkejut akibat hiruk-pikuk jalan raya depan rumahku yang saban hari selalu demikian. Tak terkecuali kendaraan besar moda angkutan barang para korporasi yang ada di Cilacap; yang melaju kencang manakala jalanan sepi. Mereka melaju kencang dengan rakusnya pada jalan yang dilewati dan menggetarkan tanah akibat ulahnya. Demikianlah kehidupanku yang saban hari risau merasakan hal yang selalu sama.
Tatkala pembangunan pabrik Semen Nusantara pada tahun 1975, terjadi okupasi lahan di depan rumah yang kuhuni hingga sekarang; menjadi jalan penghubung dari pabrik Semen Nusantara menuju Jalan Tentara Pelajar—terbentang panjangnya dari Pertigaan Saliwangi hingga pertigaan menuju kawasan industri tersebut. Hingga sekarang, jalan itu masih dinamai Jalan Nusantara. Historis pembangunannya dikonstruksi oleh PT. Semen Nusantara.
Pada tahun 1977 semenjak selesainya pembangunan pabrik dan mulai proses produksi semen, jalan tersebut hingga sekarang menjadi jalan distribusi. Tak hanya distribusi semen namun juga distribusi barang dari pelabuhan manakala terjadi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) serta korporasi lainnya yang membangun pabriknya atau tempat produksinya untuk mendistribusikannya ke lain tempat.
Tak cukup heran bagiku, warga yang mendiami kawasan sekitar perindustrian ini terkadang ada yang naik pitam karena ulah pengendara truk yang mengendarai dengan seenaknya. Tak sedikit orang juga ada yang tertabrak, tewas terlindas, bahkan menabrak truk yang parkir sembarangan. Dengan tingkat pemahaman masyarakat yang masih percaya dengan takhayul, hal ini seringkali dianggap sebagai tumbal atau lain sebagainya.
Perlulah disadari bahwa peran korporasi saja membawa dampak yang lebih buruk bagi ekologis kita sendiri. Semenjak penambahan pembangunan PLTU di Karangkandri menjadi dua bahkan sekarang bertambah lagi dan terintegrasi dengan PLTU yang ada di Bunton, proses produksi listrik dari batubara yang menjadi komoditasnya saja sudah membawa polutan yang lebih buruk bagi masyarakat Cilacap—tak terkecuali sekitaran jalan yang dilewati distribusi batubara. Tak hanya Jalan Nusantara namun jalan-jalan yang terbentang dari pelabuhan Tanjung Intan sampai titik terakhir batubara diproses menjadi uap pembangkit listrik. Sering kita menemui batubara yang terjatuh berserakan di jalanan yang terbentang jalur distribusi batubara. Dari truk yang mendistribusikan batubara; bahkan membawanya saja terlihat mengerikan sampai menggunung dan ditutupi dengan terpal.
Dampak dari debu batubara merupakan debu jenis fibrogenic; merupakan debu yang beracun bagi pernafasan kita. Apabila terpapar debu batubara, akan membahayakan paru-paru dan bila terpapar secara berlebih dapat menyebabkan pneumokoniosis. Kita tak bisa pragmatis dengan mengambil keputusan berpindah tempat tinggal yang sudah tak menyehatkan lagi. Kita juga tak ingin menghilangkan mata pencaharian para kelas pekerja yang berkutat pada roda panas korporasi itu. Namun itulah yang diinginkan para kapitalis agar kita terjadi kontradiksi secara horizontal—sementara mereka masih hidup glamor dan filantropis bila berkenan.
Ekologi kita tergerus serta-merta akibat ulah koporasi. Menghirup udara sehat pagi hari sekarang saja hanya utopia. Distribusi sudah semenjak malam menyingsing, proses produksi juga belangsung saban malam hari. Kesehatan paru-paru kita sudah mulai kita pertanyakan: perlukah kita menangani kesehatan paru-paru kita akibat ulah para korporasi yang mendirikan pabriknya di tanah kita tercinta? Memang perlu berbagai mitigasi yang kita lakukan; mana saja yang tepat namun selama mereka masih melakukan hal yang sama, kita tak akan dapat berubah dan akan selalu menerima hal yang sama. Sudah saatnya kita bersuara akan kerusakan ini. Merdekalah kita dalam sanubari. Kita harus adil; adil sejak dalam pikiran.