–
*)Ditulis oleh Mey Hariprasetyo. Skenais lokal Cilacap, desainer grafis, & bekerja sepenuh waktu sebagai warga Donan.
–
Pada dini hari, 17 Juli 2015, saya melamun sendiri di kamar melalui sebuah lamunan yang aneh; lamunan yang membuat saya begitu bersemangat dan merasa harus mengetik di PC beralaskan ban mobil. Saya melamun menjadi pengajar di kampung saya dan punya siswa-siswi yang saya bimbing.
Kelas yang saya cintakan adalah kelas santai dan penuh mengandung arti; yang membuat siswa-siswi saya menganggap ini sangat penting; karena saya merasa punya kewajiban untuk menjadi bagian dari suatu generasi yang bisa dipercaya menjalankan dunia ini supaya menjadi lebih baik.
Ceritanya, kami berada di lapangan penuh rumput kecil dan pohon besar yang segar untuk mengajar dan belajar oleh siswa-siswi. Kita juga bisa memandang langit luas dan pucuk-pucuk pohon besar. Bangku siswa-siswi berbentuk melingkar agar mudah untuk mengajar . Kelas itu terdiri dari sekitar 30 orang siswa-siswi.
Ceritanya, mereka siswa-siswi baru namun wajah-wajahnya adalah wajah teman-teman bermain saya sendiri. Di dunia nyata, saya hanyalah seorang laki-laki yang belum juga lulus kuliah dan masih meminta uang dari orang tua saya.
Sebuah Kelas yang Mengeksplisitkan Wacana Umum
“Selamat siang, teman-teman. Nama saya Dwi Mey Hariprasetyo. Ini adalah kelas yang saya wajibkan untuk siswa-siswi bimbingan saya di luar kurikulum kita. Kelas ini tidak akan menambah nilai di KHS teman-teman namun saya harap bisa menambah nilai dalam hidup kita secara umum.”
“Saya mengumpulkan teman-teman semua di sini bukan untuk menambah beban hidup di luar kelas-kelas wajib yang sudah berat. Kelas ini ditujukan dan dirancang untuk melihat diri dan masyarakat kita dengan lebih kritis.”
“Saya yakin teman-teman semua tahu bahwa kita adalah anak-anak hasil penjajahan. Bahwa kita hidup di era yang serba cepat dalam tuntunan kapitalisme. Akan tetapi, saya yakin tidak banyak yang sadar apa artinya itu.”
Kita adalah anak-anak yang segala persepsi dan perspektifnya ditekan oleh konstruksi umum. Keinginan-keinginan kita disetir oleh wacana-wacana akan kebahagiaan yang distandarkan oleh sistem. Namun kita tidak bisa lepas dari itu semua, bahkan untuk hal-hal terkecil dan remeh dalam sanubari kita.
Kita tetap ingin, misalnya, perempuan yang cantik, putih, dan langsing sebagai pacar kita. Agar bisa memberi kita rasa aman dalam hidup. Rasa aman dalam hidup, ketika muda, mungkin cowok-cowok skater atau anak band keren yang pakai celana denim mahal, flanel kotak-kotak, dan sepatu Vans atau Converse atau Doc Mart. Cowok keren memberi rasa aman sosial bagi para perempuan yang akhirnya merasa diakui bahwa dia cukup cantik untuk cowok-cowok itu. Ketika agak dewasa, cowok-cowok akan memilih gadis-gadis berhijab untuk mendapatkan rasa aman. Karena imaji publik yang tercipta ketika kamu bersanding dengan perempuan yang (tampak) beragama akan lebih baik. Imaji publik dan bagaimana kamu mendapatkan rasa aman ketika dilihat oleh orang lain/masyarakat/keluargamu membuatmu secara tidak sadar merasa harus membuat pencitraan. Pencitraan itu merasuk ke kehidupanmu; mencengkeram sel-sel otak dan tubuhmu, menyetir kehidupan seksmu, tanpa kamu sadari.
“Kuliah ini ditujukan supaya kalian bisa memandang ke sekeliling dengan kacamata yang lebih luas. Melihat dari atas, dari bird sight view, segala kesibukan yang membuat dunia ini terus berputar. Saya tidak berharap kalian bisa mengemas diri dengan keinginan-keinginan membeli sepatu Converse tanggal 17 Agustus atau pergi ke masjid sekadar supaya dikira taat. Atau pula, ke Natasha supaya putih dan tanpa kerut. Juga, mendengarkan lagu-lagu indie terbaru yang begitu entah supaya bisa masuk kelompok sosial tertentu atau berbangga diri kalau sudah punya berbagai kemeja dan tas ransel Lea. Atau bekerja di PT penghancur bumi hanya demi beberapa juta gaji setiap bulannya.”
“Saya hanya ingin teman-teman saya ini sadar bahwa untuk bisa mendapatkan semua benda itu harus ada kelas pekerja, perempuan, dan anak-anak yang membanting tulang di sweat shop; untuk membuat barang-barang yang tidak bisa mereka beli. Harus ada anak-anak lulusan SMK yang bekerja di tempat parkir mal 8 jam sehari untuk mencatat nomor plat motor kalian yang keluar-masuk area basement yang suram.”
Bahwa kita tidak bisa asal ngomong kata “eksotis” karena kata itu sungguh rasis. Kita tidak boleh asal jeplak soal “pengangguran” karena otak bisa jadi sangat depresif bagi pria muda. Bahwa perempuan dan laki-laki punya hak yang sama di kasur sehingga yang “jalang” dan yang “hidung belang” itu sebenarnya tidak perlu tercipta kalau kita menyikapi dan memandang seks dengan bijaksana.
“Saya ingin teman-teman menjadi generasi yang dewasa dan berani; yang tidak perlu melakukan hal-hal rendahan dan menjijikkan untuk melawan sistem. Hanya perlu perspektif yang sedikit digeser dan diperlebar; supaya kalian bisa melihat arti dari barang-barang koleksi yang kalian pilih; pakaian-pakaian yang pagi ini kalian pilih, kegiatan-kegiatan yang kalian pilih, permainan, dan pelajaran yang kalian pilih.”
Bahkan cita-cita yang kalian pilih; bahwa ada tangan-tangan tidak kelihatan yang bekerja melangkahkan kaki kalian dan menggerakkan lengan kalian dan memutar otak kalian tanpa kalian sadari sehingga pilihan-pilihan paling sepele kalian itu sebenarnya tidak kalian pilih sendiri. Bahwa kita masing-masing hanyalah sebuah bidak catur di semesta yang luas ini.
“Untuk memulai kelas ini, tolong ambil kertas dan pulpen, lalu tulislah satu rahasiamu yang paling mendalam dalam satu kalimat saja. Misalnya, ‘Saya sering mencuri’, ‘Saya sangat suka seks’, ‘Saya mencukur bulu pubis saya secara berkala’, ‘Saya tidak punya uang samasekali’, ‘Saya masih perawan’, ‘Saya sangat ingin punya pacar’, ‘Saya berharap saya lahir dari keluarga yang lebih kaya’ atau apapun itu. Tidak perlu buru-buru. Silakan renungkan selama setengah jam, lalu kumpulkan kertas itu dalam lipatan yang kecil. Tidak perlu menulis nama.”
Setiap hari, kita akan membuka satu rahasia dan merefleksikannya pada semua orang. Kita akan melihat mengapa kita turut andil dalam rasa bersalah orang lain. Kita akan menginternalisasikan rasa bersalah itu ke dalam diri kita sendiri. Kita akan mencari tahu mengapa kita, setiap orang di sini, punya bagian sebagai mata-mata publik; ikut bersalah kenapa ada teman yang mencukur bulu kemaluannya atau membenci orang tuanya. Semua demi imaji yang lebih baik di mata publik.
“Oh iya, silakan makan, minum, dan merokok di kelas ini. Ini adalah sebuah meja bundar di suatu sudut kampung di mana kita bisa mempertanyakan segalanya. Semoga di akhir setiap sesi, kita bisa menjadi orang yang lebih baik.”