*)Ditulis oleh Aming (Trias Putra Pamungkas). Seniman grafis realis masa depan.
Babak Pertama: Pengakuan
Ini sebuah cerita dimana saya dan kawan saya membentuk sebuah perpustakaan jalanan yang saat itu lagi gencar-gencarnya lapakan buku digelar ke ruang publik. Mungkin bisa dikatakan Perpustakaan Jalanan Bandung-lah yang menginspirasi kenapa saya dan satu kawan saya membuat perpustakaan jalanan di kota kami—yaitu di Cilacap.
Selama 17 tahun tumbuh besar di Cilacap, baru terpikirkan ide membuat perpustakaan jalanan. Bisa dikatakan itu ide yang sangat gila dan konyol. Kenapa saya bisa bilang seperti itu? Karena saya dan satu kawan saya, membaca buku pun jarang dan tidak memiliki koleksi buku yang dibaca. Selama sekolah, kami berdua sempat hidup di jalanan dan jarang mampir di perpustakaan sekolah, bahkan bisa dikatakan tidak pernah samasekali. Setiap hari, bisa dikatakan kami habiskan untuk mengobrol hal yang tidak penting, mabuk, dan ngamen. Saya dan satu kawan saya baru mendapatkan ide membuat perpustakaan jalanan karena kejadian yang menurut kami itu konyol dan belum semestinya itu terjadi.
Pada malam hari, kami berdua nongkrong di pusat kota Cilacap sambil menikmati kopi yang kami pesan di warung depan tempat kami nongkrong. Tiba-tiba ada anak kecil kira-kira berumur 10 tahun lewat depan kami. Tapi ada yang aneh dengan anak kecil itu dan ternyata benar; anak kecil itu sedang live di salah satu medsos via handphone. Di situ, saya yang melihat kejadian itu kagum; kenapa anak dengan umur segitu sudah pandai main medsos dan melakukan selayaknya vlogger masa kini?
Di situ sempat bertanya kepada diri saya sendiri, “Apa iya orang tuanya tidak memperhatikan anaknya bermain gadget?”. Saya tidak menyalahkan gadget karena sekarang gadget menjadi alat yang semua orang miliki dan menjadi alat komunikasi. Tapi di sini saya garis bawahi “pengawasan orang tua terhadap anaknya saat bermain gadget” sampai kejadian itu bisa terjadi. Setelah kejadian itu berlalu, saya pun berpikir di dalam diri. Memang, sebelumnya saya dan kawan saya sering nongkrong di situ tapi pada saat kejadian itu; tidak tahu-menahu ada angin lewat apa yang menginspirasi kami untuk membuat sebuah perpustakaan jalanan.
Sempat kami obrolkan sebelum membuat perpustakaan jalanan bahwa kami masih bingung soal buku kita dapat dari mana. Terus tujuan kita mau ngapain dan di situ belum sampai bahas logo. Kita baca buku aja tidak pernah, apalagi buka perpustakaan jalanan yang tiap hari dicekoki kertas dengan tulisan panjang-lebar dan tidak menarik daripada seikat ciu yang tiap hari kami konsumsi.
Di suatu malam, di tempat dimana kami kumpul berkarya; yaitu sanggar Sangkan Paran, kami berdua ngobrol soal ide pembuatan perpustakaan jalanan ditemani kopi manis buatan peserta pelatihan kerja lapangan (PKL) yang sangat manis; mungkin pada saat itu gula masih murah. Setelah berdiam diri dan menikmati kopi dan sebatang rokok, kita baru terpikir nama yang menyangkut di isi kepala; yaitu kata “kaji” dengan diawali dengan kata “meng-“ menjadi kata “mengkaji” yang diartikan sebagai telaah kembali atau dipikirkan kembali sampai matang yang kita gabungkan dengan kata “pustaka” untuk mewakili buku perpustakaan. Kami menyiasati arti ini untuk para pengunjung agar pembaca nantinya dapat mengkaji, menelaah kembali buku yang telah ia baca; jangan sampai buku dan informasi yang ia dapatkan itu hanya ditelan mentah-mentah tanpa melewati proses peresapan; atau dipikirkan kembali benar atau salahnya suatu bacaan dan informasi yang didapatkan. Kami juga secara tidak langsung membuat pembaca atau pengunjung lapakan buku kami agar tidak terpancing berita yang belum tentu benar dari sumbernya. Singkat cerita, tepat tanggal 23 Juni 2017, nama Mengkaji Pustaka menjadi nama perpusjal kami yang dibangun dengan rasa yakin-percaya diri meskipun dengan sedikit pengalaman dan belum adanya sumber daya manusia memadai—hanya bergerak dua orang yang mengurus lapakan buku di pusat kota yang ramai.
Setelah kami mengesahkan nama Mengkaji Pustaka, kami pun berpikir tujuannya apa membuat perpustakaan jalanan tersebut? Dengan pengalaman yang amat kurang, tujuan awal dibangunnya perpusjal di Cilacap hanya menyadarkan minat baca masyarakat yang semakin hari digerus oleh gadget dan berita tidak jelas lainnya; berharap dari sini bisa membuat masyarakat menjadi bijaksana dalam menanggapi berita yang beredar di masyarakat.
Perjalanan di Masyarakat
Dengan belum memiliki buku yang akan disajikan ke masyarakat, akhirnya kami memutuskan untuk meminjam dari sanggar yang saat itu memiliki banyak buku yang cukup untuk dibaca gratis ke masyarakat. Di tempat ini benar-benar semua dikerjakan dengan kebelumtahuan kami tentang literasi itu diawali. Setelah mendapat persetujuan dari pemilik sanggar, buku yang terdapat di sanggar kami bawa ke pusat kota untuk dibaca gratis oleh masyarakat.
Awal lapakan buku; perihal penataan, pengelompokkan, dan pembagian buku masih berantakan. Hanya satu prinsip kami; yang penting jalan dulu aja, susah-senang itu bonus. Dengan bermodalkan nekat dan tulisan “baca buku gratis”, kami mulai menggelar lapakan buku gratis di alun-alun yang kebetulan berdepanan dengan lembaga pemasyarakatan (LP).
Seperti biasa; awal buka lapak baca buku gratis berbeda dengan buka warung mie ayam yang dimana pecinta kuliner lebih banyak daripada pecinta buku. Kami berdua mulai belajar untuk adaptasi dengan lingkungan sekitar antara lapak buku, pengunjung, pedagang, dan masyarakat.
Dengan seringnya kami lapakan di situ, masyarakat mulai tahu keberadaan perpusjal di alun-alun kota. Pengunjung silih berganti berdatangan dari orang tua, anak muda, anak-anak, pengamen, pedagang, sampai orang mabuk pun datang ke lapakan kami. Di situ mulai ada interaksi sosial dengan masyarakat dengan adanya keberadaan kami yang menyajikan buku untuk dibaca gratis.
Mungkin sebabnya di alun-alun yang menjadi pusat nongkrong masyarakat lokal maupun pendatang dan terdapat banyak pedagang; akhirnya menjadikan mindset mereka bahwa apapun yang disajikan di hadapan mereka adalah dijual. Meskipun di situ sudah terdapat tulisan “baca buku gratis”, tapi masih banyak masyarakat yang datang ke lapakan selalu berkata,”dijual, mas?” dan “ini berapaan, mas?”. Dengan begitu, kami mencoba menjelaskan tentang keberadaan kami bahwa dengan menyajikan bacaan buku gratis sebenarnya sebagai media untuk berkomunikasi dengan masyarakat supaya gemar membaca kembali.
Tetapi tidak semudah itu mengembalikan kebiasaan gemar membaca di masyarakat karena banyak rintangan yang perlu dilewati. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, informasi pun dapat masuk secara cepat di gadget kita. Tapi harus digarisbawahi, setiap berita yang masuk di gadget kita, baik-buruknya tergantung kita menanggapi berita tersebut. Maka dari itu, keberadaan kami di sini dan menggelar lapakan baca buku gratis di pusat kota untuk mencari informasi berita dan interaksi langsung antara masyarakat dengan berbagai sudut pandang.
Dari situlah ada sebuah diskusi yang menjadi alat menyadarkan masyarakat untuk tidak terpancing berita berita yang belum tentu benarnya. Selain itu, di lapakan perpusjal juga diisi banyak kegiatan; seperti halnya puisi, musik, & diskusi.
Pernah kami melakukan puisi jalanan yang dimana selain mengetes mental kami, juga melihat reaksi masyarakat. Alhasil karena seringnya melakukan hal tersebut, sampai-sampai penjual mie ayam pun turut berceloteh dengan nada seperti membaca puisi, “Oh, mie ayam, kau begitu lembut saat lidahku merasakan manisnya sekujur tubuhmu”. Sontak, kami yang berada di situ sempat terkejut melihat kejadian itu. Di situ kami mulai percaya diri untuk melakukan eksperimen itu dan mulailah berpikir bahwa hal yang menurut mereka baik maka akan diterima dan diikuti.
Dari puisi, lanjut ke musik jalanan yang dimana musik bisa sebagai senjata saat di jalanan— yaitu ngamen. Hehe. Memang, awalnya saya dan satu teman saya pernah merasakan hidup di jalan sebagai pencarian jati diri—dari situ mulai menemukan jati diri yang merdeka. Ngamen jalanan dianggap buruk, oke, saya terima, tapi bagaimana caranya dari yang dilihat buruk menjadi baik?
Tidak hanya mengembalikan minat baca masyarakat tapi juga menghapuskan stigma negatif di masyarakat “punk = negatif”. Tidak selamanya punk negatif, tidak selamanya punk merusak fasilitas umum karena sejujurnya punk itu adalah manusia merdeka; tidak suka diatur dan tidak suka mengatur seperti halnya Pram bicara. Apakah punk identik dengan tato, dekil, dan urakan?
Kami tepis semuanya di perpusjal ini. Anak punk buka perpustakaan jalanan berati kami masih peduli kepada semuanya tanpa ada perbedaan aku, kamu, dia, dan mereka. Sama halnya seorang manusia yang membutuhkan manusia lainnya. Di sini kami mencoba menghibur pengunjung lapakan buku kami maupun pengunjung lainnya—karena kami buka lapakan di pusat kota, yaitu Alun-alun Cilacap. Karena yang kami bisa pada saat itu hanya bermain musik, ya, kami menghibur dengan cara menyenandungkan lantunan lagu-lagu pergerakan seperti lagu yang sampai sekarang masih dinyanyikan yaitu “buruh-tani” (Lagu Pembebasan karya V. A. Safi’i mantan aktivis PRD).
Lagu yang ngga mungkin lewat dari playlist di otak selain itu juga ada lagu dari Iksan Skuter, Taring Padi, Merah Bercerita—yang dimana salah satu personilnya adalah anak dari Wiji Thukul. Dari musik dan interaksi langsung ke masyarakat luas, tidak bisa dihindarkan bahwa masyarakat suka bernyanyi dan hiburan.
Tidak hanya sekali yang ikut bernyanyi bersama dan request lagu favorit merekas sampai-sampai memiliki niatan untuk berdiskusi tentang musik dan pergerakan, namun hal itu belum terlaksana karena belum memiliki banyak wawasan terhadap musik. Ingin mendatangkan narasumber tapi belum ada uang karena setiap hari kami hanya mendapatkan uang dari ngamen untuk dibagi dua; sisanya buat beli rokok & kopi. Tapi tidak menghentikan niat kami untuk berdiskusi. Dengan segala niat dan tekad yang kuat, akhirnya kami membuka diskusi bareng berbagai kalangan dari Cilacap & Purwokerto. Bertempat di House of Rainbow, lumayan banyak yang datang di kegiatan tapi masih belum maksimal perlu banyak belajar lagi.
Sebelum kegiatan itu berlangsung, kami pun sempat buka diskusi publik di pusat kota terkait sampah plastik yang semakin menggila dari para pengguna plastik sekali pakai yang hanya membuat gunung sampah semakin tinggi. Dalam diskusi itu, kami mengajak teman-teman dari SONI (Save Our Nusakambangan Island) dan Gerakan Citanduy Lestari sebagai narasumber karena merekalah yang tahu dan paham terhadap masalah itu. Kami berharap kegiatan diskusi seperti itu menjadi dampak baik untuk masyarakat dan juga untuk kami sendiri sebagai pelaku yang sering buang sampah seenaknya jidat. Dari situlah jadi sering buka diskusi publik di lapakan perpusjal.