Nasib Masyarakat Terdampak Polusi Mematikan di Tengah Wabah Corona

Ilustrasi gambar diambil dari video karya Jati Andito.

 

 

*)Oleh: Danang Kurnia Awami. Aktivis gerakan sosial. Kini mengabdi sebagai asisten bantuan hukum di LBH Yogyakarta.

_

Wabah COVID-19 memang sedang melanda masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Berbagai langkah coba dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menangani virus tersebut, baik di sektor ekonomi, sektor sosial, ataupun sektor kesehatan. Data penanganan COVID-19 di covid19.go.id telah menunjukkan total kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 12438. Ada 2317 orang sembuh, sedangkan 895 orang meninggal (06/05/2020).

Virus ini bukan satu-satunya ancaman yang ditemui masyarakat Indonesia. Bertahun-tahun lalu hingga sekarang, masyarakat Indonesia telah terancam dengan berbagai penyakit yang menyerang alat pernafasan dan organ vital lainnya. Salah satu penyebabnya adalah polusi udara. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara (PLTU-B) cukup banyak berkontribusi dalam hal ini.

Tim Peneliti Universitas Harvard dan Greenpeace Indonesia telah melakukan riset terhadap dampak PTLU Batubara. Penelitian tersebut menyebutkan kehadiran PLTU-B menyebabkan peningkatan beberapa penyakit; seperti ISPA, kanker, paru-paru, penyakitj antung, bronkitis, dan lain-lain. Penyebabnya paparan partikel halus beracun dari pembakaran batubara.

Hasil penelitian Greenpeace Indonesia juga menunjukkan bahwa penyakit-penyakit yang disebutkan di atas berakibat kematian dini. Angka estimasi kematian dini akibat PLTU-B yang saat ini sudah beroperasi mencapai sekitar 6500 jiwa/tahun di Indonesia. Jika rencana penambahan PLTU tetap dilakukan, korban kematian dini berpotensi hingga 15700 jiwa/tahun di Indonesia. Kalau jumlah di atas digabungkan dengan yang di luar Indonesia akan mencapai total 21200 jiwa/tahun. Selain si mungil COVID-19 yang menyebar cepat dan mematikan, ISPA memang dikategorikan oleh WHO sebagai penyakit yang cenderung epidemi dan pandemi.

 

Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga

Pandemi global COVID-19 telah menimpa 34 provinsi di Indonesia. Menurut data yang dilansir oleh covid19.go.id, empat daerah tersebar COVID-19 paling banyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Keempat daerah itu menjadi lokasi persebaran cukup banyak dan besar pembangunan PLTU. Salah satu keberadaan PLTU terbesar berada di Kabupaten Cilacap—bagian Provinsi Jawa Tengah; yang menjadi urutan keempat persebaran COVID-19—dengan total kapasitas 2260 MW. Saat ini pun, Kabupaten Cilacap termasuk paling banyak sebaran COVID-19 di Jawa Tengah menurut data cncbindonesia.com (03/04/2020).

Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap melalui website resminya melaporkan data orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan positif corona. Jumlah total ODP sebanyak 1474 orang; dengan rincian 1386 orang selesai pemantauan dan 88 orang dalam pemantauan. Total 131 orang telah berstatus PDP; terdiri dari 80 hasil lab negatif, 18 jiwa meminggal, dan 51 orang PDP saat ini. Positif corona keseluruhan 41 orang; 35 orang masih positif, yang sembuh 5 orang, sedangkan yang meninggal terdapat 1 orang (06/04/2020).

Di sisi lain, sebagian masyarakat Cilacap yang terdampak PLTU cukup banyak mengidap ISPA sebelum COVID-19 datang. Contohnya adalah beberapa desa di Kecamatan Kesugihan. Data Puskesmas Kesugihan II menunjukkan hingga Juni 2018 terdapat 3360 warga terkena ISPA dengan rincian 2241 pengidap baru dan 1119 pengidap lama. Seperti halnya hasil penelitian Greenpeace, temuan kami di dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) PLTU-B PT Sumber Segara Primadaya (S2P) menyebutkan bahwa keberadaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) diprediksi akan berdampak pada peningkatan jumlah pengidap ISPA dari tahun ke tahun.

Data corona dan data ISPA di atas menunjukkan kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi masyarakat Cilacap, khususnya warga di sekitar PLTU cukup berat. Sebagai warga yang dihadapkan dengan polusi udara hasil pembakaran batubara, potensi kerentanan mereka bias dikatakan akut dalam menghadapi pandemi COVID-19. Apalagi ISPA dan COVID-19 tidak terlalu jauh berbeda dampaknya.

Selain rentan dalam sektor kesehatan, sebenarnya mereka juga rentan dari sisi perekonomian. Mereka kehilangan mata pencaharian yang bias dikatakan lebih berkelanjutan, yaitu pertanian. Sebagian dari mereka harus berpikir susah payah untuk beralih pekerjaan semenjak PLTU datang.

PLTU telah mengusik perekonomian mereka melalui pembangunan di atas lahan yang awalnya sawah. Paska itu, warga berbondong-bondong alih profesi menjadi pengangkut dan penambang pasir. Tragedi itu tak sepenuhnya membuahkan solusi berkelanjutan bagi warga. Baru-baru ini, warga mulai mengalami kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya akibat penghasilan yang didapat tak cukup banyak.

Musibah bertubi-tubi yang menimpa warga tersebut sangat kecil kemungkinan untuk diatasi sendiri. Sejauh ini, langkah nyata membantu warga terdampak PLTU masih belum signifikan (khusunya Warga Winong). Kehadiran pemerintah diperlukan untuk mengatasi itu. Selama ini, pemerintah telahmelakukan pembiaran terhadap persoalan yang lalu, sehingga menyebabkan peningkatan kerentanan warga di masa pandemi ini.

Jangan sampai pembiaran itu berulang kembali. Terlebih lagi, saya berpendapat bahwa perlu perhatian yang lebih terhadap warga terdampak PLTU dengan rasionalisasi penjelasan-penjelasan di atas. Perhatian lebih yang dimaksud tanpa menafikan kesengsaraan di seluruh penjuru negeri ini.