COVID-19: Kebijakan Pemerintah Perlu Dikritik

Gambar diambil dari ChinaDaily.com.cn.

___

 

*)Oleh Toto Priyono. Esais. Bermukim di Cilacap.

 

Suatu kebijakan jika memang tidak didasari pada penalaran rasional, ia hanya akan menggelikan pikiran. Tentu bukan menggelikan pikiran orang-orang yang suka kepada pembuat kebijakan tersebut, tetapi menggelikan seorang intelektual yang sudah mampu menimbang dengan rasional; mana kebijakan yang bijak untuk dijalankan, mana yang tidak dan hanya menjadi seremonial .

Pada dasarnya, suatu kebijakan yang dibuat tergantung kualitas dari nalar para pembuat kebijakan tersebut. Umumnya suatu keputusan tentu dapat diukur. Siapakah yang membuat keputusan, di sanalah kedalaman dari rasional manusia bicara. Keadaan rasional pada ujungnya akan bijaksana sebab tradisi berpikir tersebut merupakan jalan menuju kebijaksanaan.

Untuk itu, dalam menanggapi sebuah kasus atau fenomena besar yang menjadi problematika publik; yang memunculkan ketakutan, kegelisahan, bahkan kekhawatiran, haruslah dalam hal ini pemerintahan negara dapat memberi rasa aman pada masyarakatnya. Seperti apakah menciptakan rasa keamanan tersebut?

Menciptakan rasa aman bagi masyarakat adalah dengan dibuatnya kebijakan-kebijakan yang bermanfaat untuk bersama. Tidak hanya untuk pemerintahan negara sendiri, tetapi juga harus memikirkan orang lain yakni masyarakat luas sebagai obyek yang harus dilindungi dengan kebijakan yang negara buat itu.

Setiap perbincangan semesta wacana ideologi poltik, tidak ada suatu negara bisa dianggap gagal. Dalam tradisi Yunani kuno yang mempengaruhi olah pikir masyarakatnya sendiri, memunculkan suatu filsafat bernegara karya filsuf Plato; yang menciptakan sebuah ide bernegara melalui sistem republik. Di dalam kehidupan negara ada undang-undang yang harus masyarakat patuhi sebagai peraturan negara. Dalam hal ini, mempengaruhi kebijakan tersebut dilakukan secara mufakat atau kesepakatan;  yang didasari norma-norma intelektualitas mumpuni di bidangnya masing-masing. Maka dalam sisi ideal kepemimpinan yang mumpuni, seorang pemimpin negara seharusnya filsuf yang mampu berpikir rasional dan bijaksana mengambil keputusan bersama sebagai suatu kebijakan negara.

 

 

COVID-19 dan Refleksi Kebijakan Negara

Pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini membuat negara melalui pemerintahannya berbondong-bondong membuat suatu kebijakan. Untuk sebuah kebijakan negara, Indonesia yang sedang berkampanye melawan virus COVID-19 juga membuat kebijakan baru menyusul kebijakan lama yang salah satu dari kebijkan itu meniadakan tarif listrik bagi pelanggannya selama masa pandemi virus COVID-19.

Maka dari itu, pelanggan tidak mampu khusunya yang mendapat subsidi dari negara; golongan pelanggan 900 watt dan 450 watt, akan digratiskan biaya listrik selama tiga bulan ke depan—menyusul ekonomi lesu disebabkan oleh virus COVID-19 yang mempengaruhi aktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, terus bertambahnya pasien COVID-19 di Indonesia secara otomatis akan disusul dengan kebijakan-kebijakan pemerintah baru menanggapi sebuah isu tersebut.

Salah satu kebijakan yang digalakkan pemerintah saat ini adalah kewajiban masyarakat menggunakan masker saat harus beraktivitas. Negara menyarankan masyarakat untuk tidak keluar rumah menjaga diri di awal-awal virus tersebut mulai mewabah di Indonesia.

Masyarakat yang terkekang aktivitasnya tetap akan merasa jenuh. Pada akhirnya, mereka akan tetap berkumpul dengan tetangga, kalau tidak pergi keluar rumah menyegarkan suasana. Apalagi masyarakat pedesaan, ada atau tidaknya virus COVID-19, tidak mempengaruhi mereka dalam beraktivitas. Yang ke pasar tetap ke pasar, ke sawah juga demikian, pos ronda pun tetap ramai orang. Masyarakat desa mana peduli jarak pergaulan aman dari virus yang negara terapkan melaui aturan lisan—disampaikan polisi saat mereka harus berpatroli menjaga kerumunan.

Tetapi lagi-lagi, tidak lebih sebagai aturan menangapi sesuatu; hanyalah seremonial belaka yang digembor-gemborkan. Karena pada praktiknya, itu tidak benar-benar dimatangkan sebagai sebuah kebijakan negara yang harus dipatuhi. Tetap kosong yang tidak berisi samasekali. Sebagai suatu contoh, di mana refleksi kebijakan negara tersebut nyatanya memang hanyalah sebuah seremonial, termasuk dalam penanganan COVID-19.

Kebijakan wajib masker sendiri yang diterangkan secara resmi melalui juru bicara pemerintah kepada masyarakat pada intinya peduli dengan kesehatan masyarakat. Namun dalam praktiknya sendiri, proyek-proyek pemerintahan seperti galian-galian—baik pipa minyak maupun saluran air pinggir jalan raya—tetap berjalan. Ini jelas sangat kontradiktif di balik pemerintah katanya serius menanggapi masalah COVID-19 demi kesehatan masyarakatnya. Bukankah tidak mungkin dalam aktivitas kerja dilakukan jaga jarak fisik  satu meter? Atau menghindari kerumunan; bahwasanya kerja proyek memang dalam praktiknya sendiri berkerumun?

Sementara, selama masa pandemi virus COVID-19, banyak perusahaan melakukan WFH (work form home) atau belajar online bagi siswa sekolah. Proyek galian di jalan raya sendiri melibatkan banyak pihak. Di pinggir jalan raya sendiri merupakan jalur pipa PDAM dan banyak perusahaan telekomunikasi lainnya yang numpang lahan tanah Dinas PU sebagai jalur kabel fiber optik mereka. Kebanyakan pipa PDAM juga hancur oleh ekskavator (bechoe) menyebabkan layanan kepada masyarakat sendiri terganggu. Bukankah kebutuhan air PDAM sama pentingnya?

Seharusnya jika pemerintah menerapkan kebijakan fokusnya pada kesehatan masyarakat, tentu proyek-proyek negara juga harus dihentikan sementara; meminimalisir penyebaran COVID-19 dan disampaikan kepada masyarakat seperti pemakaian masker yang langsung disampaikan dengan seriusnya didepan media. Apa artinya kebijakan wajib masker jika dari pemerintah sendiri justru lalai dalam tindakan-tindakan pencegahan yang bisa dilakukan dirinya?

Termasuk proyek-proyek PU yang pekerjanya sendiri adalah masyarakat; bukankah  dapat dihentikan sementara tanpa pertentangan? Jelas, Negara Indonesia melalui pemerintahannya mengambil kebijakan yang kontradiktif. Hanya seremonial belaka, seperti showcase memanfaatkan isu COVID-19. Sebab, di dalam kebijakannya terdapat pertentangan.

 

 

Mohisme dan Filsafat Kepemimpinan

Mohisme, sebuah paham filsafat kuno negeri Cina yang tentu tidak sepopuler Taoisme atau aliran Konfusius dalam semesta wacana pengetahuan dunia. Negara Cina dengan sejarah  panjang dinasti dalam ketatanegaraan sendiri membuat filsafat kepemimpinan pada zamannya begitu maju. “Pemimpin yang pandai dan bijaksana akan membuat orang bodoh tunduk dan patuh di bawah kendalinya. Berbeda ketika pemimpin bodoh berkuasa, orang-orang pandai dalam negara akan membrontak karena kebodohan pemimpinnya,” begitulah kata-kata bijak Mo Zi (Mohisme) dalam ide-ide kepemimpinan.

Tentu barometer dari kepemimpinan adalah kebijakan dari pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam hal ini, pemerintahan negara adalah pemimpin dari masyarakat yang ada di negara itu. Oleh karenanya, pemerintahan negara dalam menanggapi sebuah kasus dapat tercermin dari bagaimana kualitas cara kepemimpinan itu sendiri.

Penanganan COVID-19 di Indonesia dan lambannya pemerintah bergerak cepat menjadi tanda. Belum dengan kebijakan-kebijakan kontradiktif pemerintah dalam isu COVID-19 ini. Kaum intelektual yang berontak menggugat kepada negara terkait penanganan COVID-19 adalah pertanda bahwa; Mohisme sebagai tinjauan pengetahuan filsafat akan kepemimpinan patut dikaji lagi kebenarannya.

Dalam filsafat Mohisme sendiri, ujung dari kebijakan pemimpin pemerintahan yang tepat adalah dengan berdiskusi. Pemimpin wajib berpengetahuan; dalam hal ini, suka membaca buku. Sebab di dalam membaca lalu berdiskusi dengan para intelektual, seorang pemimpin dapat menimbang kebijakan apa yang tetap diterapkan di negaranya.

Mungkin masalah kurang membaca menjadi andil kebijakan Negara Indonesia yang sering tidak tepat dan cenderung lamban dalam menanggapi sesuatu masalah. Faktor kepemimpinan pemerintahan negara yang lemah dalam pengetahuan akan membuat kebijakan yang kacau. Dan kebijakan COVID-19 ini, pemerintahan Negara Indonesia jelas tidak melibatkan diskusi pelik dengan para ahli, budayawan, intelektual, bahkan pakar-pakar kesehatan seperti dokter. Maka dari itu, kebijakan yang dihasilkan selalu bercabang dan kontradiktif terkait dengan berbagai isu. Salah satunya, yakni perang melawan virus corona atau COVID-19.