COVID-19: Bagian dari Seleksi Alam?

Kartun karya Bret A. Miller tahun 2009. Diambil dari Crev.info.

 

*]Ditulis oleh Toto Priyono. Bermukim di Cilacap sambil menulis hal-hal kekinian dan sosio-humaniora.

 

_

Saat berbagai kekhawatiran yang belum terjadi menjadi beban pikiran, lalu membunuh mentalitas; hanya ungkapan semu menjadi sandaran-sandaran menjalani hidup. Memang sesuatu yang hidup butuh menguatkan; tidak lebih manusia menguatkan diri dengan cara berdamai dengan dirinya, bahkan saat di mana ia berusaha keras melawan sesuatu yang sedang menimpanya.

Tetapi jika pekerja tidak dapat bekerja, seniman tidak dapat melukis, penyair tidak dapat menulis, pedagang tidak dapat berdagang, pasti manusia dan dunia tidak akan pernah dalam keadaan baik-baik saja (damai). Karena satu ungkapan yang membekas, di mana lagi akan kita gantungkan keluh dan kesah ini sebagai manusia?

Memang sesuatu yang memanggil harus terus dijawab. Apakah jawaban kita sebagai manusia ada yang pasti? Tentu saat kita menjawab; tidak ada kepastian dari hidup. Bahkan sekelas karyawan yang statusnya pegawai tetap sekalipun, di dunia kerja mereka sendiri dapat di-PHK atau pemberhentian kerja ketika suatu hari nanti ekonomi lesu; perusahaan tempat mereka bekerja mengalami kebangkrutan.

Bagi seorang manusia, yang seharusnya siap disambut kedatangannya adalah perubahan dunia. Sebab dalam hal apa pun, dunia akan terus bergerak mengikuti arusnya. Menjadi manusia merupakan pengikut dunia yang siap tidak siap, mau tidak mau; manusia harus melalui semua yang terjadi akibat dari perubahan dunia; yang akan ditawarkan sebagai tantangan alam untuk kehidupan manusia.

Semua akan terdampak perubahan jika memang dunia melalui alam berkehendak melakukan perubahan itu. Maka  dari bibit-bibit perubahan, mungkinkah ulah beberapa gelintir manusia juga mendasari perubahan pada alam—yang tidak disadari sedang melakukan seleksi terhadap apa yang menjadi bagian dari dirinya; yakni salah satunya manusia?

Jika dirasa, bahkan tidak mungkin dipikirkan, perkara virus merupakan suatu hal yang biasa. Flu, demam, dan batuk-batuk, misalnya; adalah suatu hal yang harus terjadi dirasakan oleh manusia bersama dengan daya tubuhnya berdasarkan perubahan iklim yang harus ia rasakan sendiri efeknya. Saat ini dengan berbagai media yang justru menebar ketakutan akan bahaya virus COVID-19—yang disinyalir juga salah satu virus cukup berbahaya di dunia, apakah benar “memang benar-benar berbahaya bagi semua manusia”? Menjadi titik tolak, bahwasanya sebuah virus, pasti sudah ada yang lebih berbahaya dari COVID-19 di masa lalu sebelum ilmu pengetahuan dari kesehatan manusia semaju saat ini.

Sejatinya virus seperti flu, ia juga dapat menular. Tetapi dengan daya tahan tubuh yang kuat, manusia pasti akan tahan dengan virus flu tersebut. Jika memang sudah wabah dan musimnya sendiri, flu memang cepat berkembang, tetapi ketika manusia menjaga dirinya dengan baik, pasti kemungkinan tertular virus—baik flu atau pun COVID-19 sekalipun—dapat ditanggulangi dengan daya tahan tubuh yang dilatih untuk kuat. Bukan sebaliknya, tanpa aktivitas yang justru membuat daya tahan tubuh semakin lemah.

Harus diakui, sesuatu yang terus diberitakan media pasti menjadi sesuatu yang cepat sekali berkembang. Karena di jaman digital ini, media seperti dapat disamakan sebagai virus. Cepat dalam mempengaruhi pikiran, termasuk menciptakan keadaan paranoid semua konsumennya. Oleh sebab itu, menjadi manusia abad ke-21—di mana abad ini merupakan abad yang didesain kehidupannya melalui internet, pikiran manusia dengan sangat mudah dipengaruhi melalui telepon genggam pintar mereka sendiri. Di abad digital ini, telepon genggam pintar menjadi teman wajib bagi hidup manusia. Karena latar belakang zaman, bukan zaman yang mengikuti manusia tetapi manusia yang harus mampu mengikuti zamannya.

Bagaimana zaman mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia merupakan catatan sejarah. Abad ke-18 di mana Revolusi Industri terjadi di Eropa, dengan kecepatan produksi, mempengaruhi efisiensi tenaga kerja manusia. Pada saat tersebut, dunia juga sama; menatap wilayahnya untuk ikut dalam revolusi  industri tersebut yang pada akhirnya setiap zaman mempunyai identitasnya sendiri; seperti apa manusia dalam menanggapi sebuah kemajuan untuk melanjutkan kehidupan. Awal Revolusi Industri 1.0 berbasis pada mesin di abad ke-18. Kemudian menyusul industri berbasis listrik abad ke-19. Lalu abad ke-20, otomasi komputer menjalar ke seluruh dunia. Dan di abad ke 21 ini, wajah dunia berbasis digital di mana internet merupakan sumber utama kehidupan baru merevolusi kehidupan lama manusia.

Sektor bisnis atau sektor-sektor lainnya, dalam hal ini adalah pengguna atau kontrol melalui jaringan internet yang terpadu dari evolusi teknologi sebelumnya. Salah satu hal kecil bentuk kontrol melalui internet saat ini adalah penggunaan barang-barang elektronik rumah tangga seperti lampu, AC, kipas angin yang sudah dapat dikendalikan jauh melampaui nalar manusia. Asal ada jaringan internet sebagai pengendali barang tersebut, ia dapat berfungsi meskipun hanya melalui telepon genggam pintar mereka.

Seharusnya manusia abad ke-21 dengan kemajuan yang begitu pesat tidak heran dengan: “bila saat ini informasi digital sendiri melampaui hebatnya pikiran manusia”. Sebenarnya jika ingin dirasakan dengan akal sehat, nalar manusia telah terdiferensiasi menjadi separo. Seakan-akan, mereka meletakkan akal sehat mereka untuk percaya buta tanpa menimbang suatu kebenaran yang mereka percayai.

Sebab harus kembali diingat bahwasanya abad ke-21, siapa yang dapat memegang suatu kendali media, di sanalah ia sangat berpotensi menang dalam pertempuran. Di abad ke 21, media merupakan Tuhan baru bagi manusia; di mana kata “amin” sangat murah bagi mereka yang katanya percaya Tuhan.

Lalu meletakkan Tuhan-tuhan baru mereka hanya sebatas konten dan membagi dari orang-orang yang sebenarnya melakukan dalih sebuah keisengan. Yang ingin membuat suasana ramai membunuh dirinya dalam ke-gabut-an (tanpa aktivtas) untuk sama-sama mempengaruhi orang lain; membentuk suatu kegiatan yang sebenarnya efeknya sebatas itu saja. Semuanya ada dasar; dan apakah dasar dari terjadinya isu besar seperti virus COVID-19 ini di dunia?

 

 

Argumentasi Fenomena Virus COVID-19

Ungkapan “separuh nalar” berarti sesuatu itu tidak secara penuh dipercaya berdasarkan keyakinan. Di dalam era keterbukaan abad ini, derasnya informasi membuat jalannya sendiri. Bahwasanya semua manusia dapat membuat informasi atas dasar nalarnya. Entah dari mana dasar itu diberitakan, dalam era keterbukaan semua adalah pakar, asalkan ia ingin berpendapat melalui media yang dapat diaksesnya. Tidak ada yang salah dan apa masalahnya?

Tentu seyogyanya bibir manusia atau suara hati yang membuat gelisah (unek-unek) harus disampaikan. Namun apakah harus mengikuti sebuah kaidah-kaidah ilmiah “akademis” untuk membuat suatu pendapat itu? Memang tidak harus. Manusia punya pelbagai dasar; agama, sains, filsafat, atau dengan tulisan ala receh yang hanya disisipi sedikit humor menipu.

Tetapi semua itu tetap kembali; bukan pada kualitas bagaimana manusia menyajikan informasi atau dalam kasus pembuatan konten tertentu. Yang menjadi masalah sendiri, bagaimana manusia mengolah informasi tersebut. Terkadang hal yang separo nalar sendiri justru membuat gempar sebab latah pada sesuatu yang dianggapnya menarik sudah menjadi dalih kebanyakan manusia saat ini—ketika mereka merayakan euforia media (dalam hal ini: internet) sebagai kepanjangan bibir mereka. Maka beredarnya berbagai informasi tentang COVID-19 menjadi hal penting untuk disimak keberadaannya dalam media internet saat ini. Sebab simpang siur informasi tersebut membuat kebenaran seperti bercabang yang tidak ada ujungnya dalam setiap argumentasi.

Banyak versi pembahasan mengenai virus COVID-19. Masing-masing menganalisa bahwasanya virus ini merupakan senjata biologis; puncak dari ketegangan perang dagang negara adidaya—dalam hal ini, tentu Amerika Serikat dan China. Dalam argumentasinya, ada yang menduga tentara Amerika-lah yang menyebarkan virus tersebut di Wuhan, China. Tapi berbeda secara ilmu pengetahuan kesehatan sendiri, virus COVID-19 ini adalah sejenis virus yang dibawa oleh hewan-hewan liar yang banyak diperjual-belikan di banyak pasar secara bebas di wilayah Wuhan—disinyalir menjadi wilayah awal dari penyebaran virus COVID-19 di dunia ini.

Di sisi lain, ada versi di mana industrialisasi juga menyumbang besar pengaruh pandemi virus COVID-19 melalui kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri. Kerusakan alam sendiri akibat ekosistem yang tidak seimbang menjadi polemik bagaimana kuatnya virus COVID-19 menyerang dunia saat ini karena sudah tidak stabilnya alam menyehatkan dirinya sendiri.

Semenjak saat pemerintah Indonesia mementingkan jalannya ekonomi negara tanpa mengambil kebijakan karantina wilayah atau lockdown seperti negara lain, informasi akan dugaan baru virus COVID-19 muncul di berbagai media sosial. Dugaan tersebut bahwasanya virus COVID-19 ini merupakan virus yang sengaja dibuat elit-elit dunia untuk membuat negara bangkrut dengan kebijakan karantina wilayah; yang pada akhirnya membuat negara melakukan pinjaman ke bank yang menguntungkan beberapa gelintir elit dunia melalui pinjaman dana negara-negara.

Bercabang-cabangnya informasi tentang kebenaran virus COVID-19 sebenarnya bukanlah soal yang perlu diperdebatkan manusia. Pada intinya, orang-orang tengah ketakutan. Barang-barang seperti alat kesehatan laris manis, juga barang-barang industri seperti makanan laku keras, dan elit-elit politik seperti mengampanyekan secara besar-besaran informasi COVID-19; yang di dalam praktiknya sendiri, Presiden Jokowi pada saat awal virus COVID-19 mewabah di Indonesia langsung mengonfirmasi sendiri bahwa di Indonesia sudah ada warga yang terjangkit.

Sebenarnya, saya sendiri skeptik terhadap virus COVID-19  “ganas”. Waspada memang perlu, tetapi tidak berlebihan ketakutannya. COVID-19 mungkin sama seperti virus-virus lainya. Ketika ketahanan tubuh manusia lemah, baru dapat masuk ke badan manusia sehingga mempengaruhi kesehatannya. Korban-korban meninggal akibat virus COVID-19 sendiri banyak dari manusia lanjut usia dan balita yang sebelumnya sudah ada komplikasi penyakit.

Sepertinya memang ada konspirasi politik-ekonomi dunia berpengaruh di sini. Kadang, saya berpikir COVID-19  ini dibuat untuk mempengaruhi krisis dunia; pada akhirnya mempengaruhi ekonomi-politik, serta mereorganisasi negara yang kuat dan lemah dalam hal perekonomian. Karena opsi perang terbuka saat ini untuk mempengaruhi kondisi ekonomi global sudah banyak ditentang masyarakat dunia.

Membuat heran, berhembusnya virus COVID-19 ini, justru elit-elit politik dunia  yang membesar-besarkannya di hampir semua negara. Tetapi ini juga  perkiraan dari dalam dugaan subyektif saya sendiri. Pada dasarnya, virus itu dilawan dengan ketahanan tubuh, tetapi orang-orang disuruh di rumah mengurangi aktivitas; sebab dalih berkumpul sendiri merupakan celah masuknya wabah virus COVID-19.

Paradoks sebenarnya. Manusia juga butuh aktivitas melawan virus COVID-19 ini. Tapi ketika COVID-19 merupakan sesuatu yang alami bagian dari seleksi alam, mengapa keputusan dunia tidak “satu suara” mengambil kebijakan demi keselamatan umat manusia? Ataukah pandangan orang-orang beragama tentang Dajjal (wujud manusia jahat) sedang mengeliminir manusia yang sudah overpopulasi itu benar; dengan senjata biologis mengorbankan kemanusiaan membuat negara-negara rusuh?

Banyak versi terkait penyebab COVID-19 ini bermunculan. Terlalu banyak untuk dipikir manusia; mana yang benar atau tidak benar dengan gencarnya media membuat berita. Satu yang dipandang realistis adalah tindakan kemanusiaan itu sendiri selayaknya bencana besar dunia. Di India, isu lockdown membuat rusuh. Italia juga demikian; dengan media mengabarkan banyak korban jiwa berjatuhan di sana. Presiden Amerika menginginkan warganya terus bekerja demi kuatnya ekonomi. Sedangkan negara sosialis seperti Vietnam dan China sukses menangani wabah ini dengan baik tanpa banyak korban jiwa dan penyebaran virus yang berarti di wilayahnya.

COVID-19, dalam pelaksanaan penanganannya sendiri beragam di berbagai negara. Juga, unsur kemanusiaan terpinggirkan penanganannya. Sepertinya virus COVID-19 bukan sebuah bencana alam atau seleksi alam. Saya tidak akan menduga siapa yang membuat; tetapi pelaksanaan dalam penanganan sendiri merupakan ciri di mana ini memang dibuat; tetap isu yang dibuat-buat. Meskipun semakin hari semakin banyak orang meninggal akibat virus COVID-19 dari  berita media, bisa saja, yang meninggal memang sewajarnya meninggal lalu dikaitkan dengan isu-isu virus COVID-19.