Kenapa Tidak Melindungi Tikus Selayaknya Primata?

_

*)Digagas bersama oleh:

_

Akhir 1990-an, Jaak Panksepp, bapak ilmu saraf afektif, menemukan bahwa tikus tertawa. Fakta ini  tetap tersembunyi karena tikus menertawakan celetuk ultrasonik yang tidak dapat kita dengar. Ketika Brian Knutson, anggota laboratorium Panksepp, mulai memantau vokalisasi mereka selama melakukan permainan sosial, ia menyadari ada sesuatu yang muncul secara tak terduga yang mirip dengan tawa manusia.

Panksepp dan timnya mulai mempelajari fenomena ini secara sistematis dengan menggelitiki tikus dan mengukur respons mereka. Mereka menemukan bahwa vokalisasi tikus lebih dari dua kali lipat selama tergelitik. Dan ketika tikus terikat dengan ticklers, mereka lebih sering mendekatinya untuk bermain-main. Tikus-tikus itu merasa bersenang-senang. Namun penemuan itu mendapat tentangan dari komunitas ilmiah sebab dunia tidak siap dengan tikus yang tertawa.

Penemuan itu hanyalah puncak gunung es. Sekarang kita tahu bahwa tikus tidak hanya  hidup di masa sekarang, melainkan juga mampu menghidupkan kembali ingatan pengalaman masa lalu dan merencanakan mentalnya di hadapan rute navigasi yang nantinya akan mereka lalui. Mereka secara timbal balik memperdagangkan berbagai jenis barang dengan satu sama lainnya—dan memahaminya tidak hanya ketika mereka berutang budi kepada tikus lain, tetapi juga memahami bahwa bantuan itu dapat dibayar kembali dalam mata uang yang berbeda. Ketika mereka membuat pilihan yang salah, mereka menampilkan sesuatu yang tampak sangat dekat dengan penyesalan.

Meskipun memiliki otak yang jauh lebih sederhana dibandingkan manusia, ada beberapa pembelajaran di mana mungkin mereka mengungguli Anda. Tikus dapat diajarkan keterampilan yang menuntut secara kognitif; seperti mengendarai kendaraan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, bermain petak umpet dengan manusia, dan menggunakan alat yang sesuai untuk mengakses makanan di luar jangkauan.

Namun penemuan yang paling tak terduga ialah bahwa tikus mampu berempati. Sejak 1950-an dan 1960-an, studi perilaku secara konsisten menunjukkan bahwa tikus jauh sebagai makhluk egois—yang ditunjukkan oleh citra populer atas mereka. Semuanya dimulai dengan sebuah penelitian di mana tikus menolak menekan tuas untuk mendapatkan makanan ketika tuas itu juga memberikan kejutan kepada sesama tikus di kandang yang berdekatan.

Tikus-tikus lebih suka kelaparan daripada menyaksikan tikus lain menderita. Studi lanjutan menemukan bahwa tikus akan menekan tuas untuk menurunkan tikus yang dihukum oleh kekangan; yang menunjukkan bahwa mereka akan menolak untuk menyusuri jalan setapak di labirin jika itu menghasilkan kejutan yang dikirim ke tikus lain; dan bahwa tikus-tikus yang terkejut sendiri lebih kecil kemungkinannya membiarkan tikus-tikus lainnya ikut terkejut, karena mereka sendiri yang mengalami ketidaknyamanan. Tikus saling menjaga satu sama lain.

Tetapi penemuan mengenai empati tikus juga menemui keraguan. Bagaimana tikus bisa berempati? Tentunya pasti ada yang salah dengan prosedur eksperimental. Sehingga, program penelitian empati tikus menjadi terbengkalai selama sekitar 50 tahun. Dunia tidak siap lagi dengan empati dibandingkan tawa dari tikus.

 

***

Tahun 2011, persoalan empati tikus muncul kembali ketika sekelompok ilmuwan menemukan bahwa tikus akan secara andal membebaskan tikus lain yang terperangkap dalam tabung. Itu bukan hanya karena mereka ingin tahu atau ingin bermain dengan peralatan; sebab jika tabung itu kosong atau berisi tikus mainan, mereka akan cenderung mengabaikannya. Dan tabung itu tidak mudah dibuka—itu membutuhkan usaha dan keterampilan—sehingga tampaknya tikus itu benar-benar ingin membebaskan sesama mereka.

Kebanyakan ilmuwan merasa tidak yakin. Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa tikus-tikus itu mungkin hanya ingin bergaul  dengan seseorang atau mereka merasa jengkel dengan suara-suara gaduh dari tikus yang terperangkap sehingga menginginkannya berhenti. Tikus, menurut para ilmuwan ini, tidak bertindak atas dasar kepedulian terhadap yang lain; melainkan karena egoisme murni. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari tikus?

Sementara, skeptisisme semacam ini biasanya dipuji oleh para ilmuwan dan ini merupakan berita buruk bagi para tikus. Sejak percobaan 2011 itu, telah terjadi ledakan studi berbeda yang terus menempatkan tikus dalam situasi berbahaya untuk melihat apakah orang lain akan membantu mereka.

Mereka menemukan pola yang sama: tikus lebih mungkin dan lebih cepat untuk membantu tikus yang tenggelam ketika mereka sendiri telah mengalami basah kuyup. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memahami bagaimana perasaan tikus yang tenggelam. Tikus juga akan membantu tikus yang terjebak bahkan ketika mereka dapat melarikan diri dan menghindari situasi; sesuatu yang banyak manusia gagal lakukan. Hasil penelitian ini menarik, tapi mereka tidak menunjukkan kepada kita lebih dari apa yang kita duga dari pekerjaan serupa yang dilakukan pada 1950-an dan 1960-an—yang menunjukkan bahwa tikus empatik. Sementara itu, penelitian telah menimbulkan dan terus menimbulkan rasa takut dan kesulitan yang signifikan kepada tikus.

Para ilmuwan terus bersedia membahayakan tikus karena mereka dipandang sebagai alat penelitian yang murah dan sekali pakai. Di AS, tikus tidak dilindungi oleh undang-undang kesejahteraan hewan: para ilmuwan dapat secara legal melakukan apa pun yang mereka inginkan. Ini berlaku untuk bagaimana tikus diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan dibunuh. Meskipun para ilmuwan telah menemukan bahwa membunuh tikus menggunakan karbondioksida menyebabkan kesusahan yang tidak perlu, ini terus menjadi metode yang populer untuk membuang mereka begitu kegunaannya telah berakhir. Dan, ada pula metode lain. Ilmuwan John P. Gluck dalam bukunya Voracious Science and Vulnerable Animals (2016), menjelaskan bagaimana ia diajari untuk menidurkan tikus ketika kloroform habis:

Supervisor saya mengambil seekor tikus jantan besar di tangannya, lalu berbalik menghadap dinding batu bata yang menjalar ke ujung bangunan. Sambil mengangkat bagian belakang tubuhnya, ia melemparkan tikus itu ke dinding—layaknya pelempar bola baseball yang sedang melakukan fastball. Tikus itu meletup ketika menabrak dinding dan langsung jatuh  ke atap yang tertutup kerikil, bergetar, dan kemudian berbaring diam dalam naungan bayangan dinding.

 

Para ilmuwan sekarang bermain-main dengan empati tikus untuk menemukan cara mengobati psikopatologi manusia. Dalam beberapa kasus, tikus diberikan perlakuan yang untuk sementara waktu menonaktifkan kemampuan empati mereka; seperti pemberian ansiolitik, parasetamol, heroin, maupun kejutan listrik. Dalam kasus lain, hal ini dapat memberikan kerusakan permanen pada tikus. Tikus juga bisa dipisahkan dari ibu mereka saat lahir dan lalu dibesarkan dalam isolasi sosial. Dalam beberapa penelitian, amigdala mereka (area otak yang bertanggungjawab untuk emosi dan afiliasi) mengalami rusak secara permanen. Tujuan eksplisit dari penelitian ini adalah untuk menciptakan populasi tikus yang sakit mental, trauma, dan menderita secara emosional.

Ada pula kekhawatiran tentang percobaan ini dari perspektif kesejahteraan; yakni kekhawatiran yang lebih dalam dari perspektif etika yang menghormati otonomi individu. Eksperimen ini mengubah individu yang sehat dan berempati menjadi psikopat berperasaan. Ini merupakan pelanggaran mendalam terhadap integritas agen psikologis. Namun penelitian-penelitian semacam ini dibenarkan sebagai cara untuk menciptakan model binatang dari penganiayaan masa kanak-kanak, psikopati, defisit fungsi sosial dalam kecanduan opioid, kegelisahan dan depresi, gangguan perilaku, dan perasaan tidak berperasaan—yang idealnya akan membantu kita nanti untuk merawat kondisi ini pada manusia.

Logika di balik penelitian ini paradoks: tikus cukup dekat dengan kita untuk menjadi model bagi psikopatologi manusia tetapi cukup jauh dan berada di luar masalah etika. Para peneliti saat ini hampir tidak akan bermimpi menciptakan manusia psikopat sebagai bahan pembelajaran atau menunjukkan subyek anak manusia yang benar-benar tak terselamatkan untuk memberikannya kesempatan selamat. Alasannya sederhana: manusia memiliki sifat empatik yang harus dihormati. Tapi kita melakukannya pada tikus, meskipun sifatnya empatik.

 

***

Faktanya, sebelumnya kita pernah melakukannya pada primata. Sampai sebelum mereka dilindungi oleh undang-undang kesejahteraan, para peneliti memperlakukan primata seperti halnya tikus diperlakukan hari ini.

Beberapa penelitian dengan tikus bahkan merekapitulasi episode yang paling sarat moral dalam sejarah penelitian primata: studi perampasan ibu dan studi isolasi sosial Harry Harlow tahun 1960-an. Selama beberapa dekade, Harlow menciptakan primata yang rusak secara psikologis untuk lebih memahami psikopatologi manusia. Bayi kera dipisahkan dari ibu mereka selama enam hingga dua belas bulan sehingga ia dapat mempelajari efek dari pemutusan ikatan keibuan. Remajanya diisolasi dengan apa yang Harlow sebut sebagai “lubang keputusasaan”: sangkar logam kecil yang dimaksudkan untuk mendorong depresi pada kera yang sehat dan bahagia. Itu bekerja dengan sangat baik.

Dalam Voracious Science and Vulnerable Animals, Gluck menulis tentang bagaimana rasanya bekerja di laboratorium Harlow di University of Wisconsin-Madison sebagai mahasiswa PhD. Bahkan ketika siswa mengusulkan “proyek kecil sadis” untuk membutakan dan memekakkan telinga bayi monyet untuk melihat bagaimana ibu mereka akan membesarkan mereka, Gluck mengatakan bahwa Harlow tidak pernah mengangkat satu pun masalah etika. Penelitian ini dibenarkan selama itu menawarkan manfaat bagi manusia, meskipun Harlow sendiri memiliki temuan bahwa monyet mempunyai kesadaran diri, emosional yang kompleks, pembelajar, dan mampu mengalami tingkat penderitaan yang substansial. Menciptakan dan memperlakukan monyet dengan gangguan kejiwaan seperti depresi dipandang menawarkan manfaat bagi manusia dan fakta seperti itu saja yang membenarkan penelitian tersebut.

Sebagai kerabat terdekat kita, simpanse juga menjadi subyek penelitian medis selama beberapa dekade sebelum pemerintah memutuskan untuk melarang penelitian semacam itu. Simpanse terinfeksi hepatitis dan HIV tetapi juga digunakan untuk menguji insektisida dan kosmetik dan disuntik dengan pelarut pembersih industri dan benzena.

Dalam memoarnya, Next of Kin: My Conversation with Chimpanzees (1997), Roger Fouts—yang memulai pekerjaannya dengan simpanse sebagai mahasiswa paskasarjana—bercerita tentang mengunjungi seorang teman lama di LEMSIP, sebuah laboratorium biomedis yang dijalankan oleh New York University. Simpanse Booee tumbuh dengan menandatangani kontrak dengan Fouts dan simpanse lain. Tetapi ketika dana proyek habis, Booee dikirim ke LEMSIP, terinfeksi hepatitis C, dan disimpan sendirian di kandang. Fouts melaporkan bahwa ia mencoba membantu Booee dan simpanse lain yang pernah bekerja dengannya dan kegagalannya sangat merugikan dirinya—yang mengarah pada penyalahgunaan alkohol dan depresi berat.

Bertahun-tahun kemudian, ketika seorang produser dari 20/20—acara berita investigasi channel ABC Amerika Serikat—menghubungi dan bertanya apakah dia akan bersatu kembali dengan Booee di depan kamera, Fouts merasa ragu-ragu namun dia pikir dia berhutang kepada Booee untuk menceritakan kisahnya di televisi nasional. Klip itu ada di YouTube sekarang dan menunjukkan Fouts berjalan layaknya kera ke laboratorium; secara terengah-engah dengan  gerakan simpanse yang khas dan mendekati kandang Booee sambil mengucap, “Hai Booee, kamu ingat?” Booee masih ingat sambil memanggil kembali nama panggilan lamanya untuk Roger, “Rodg”. Kemudian ia meminta makanan dan permainan kejar-kejaran dan gelitikan. Tapi ketika tiba saatnya Fouts pergi, Booee pindah ke bagian belakang kandang dan menolak untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia terluka.

Saat ini, situasi untuk primata telah membaik. Pada tahun 1985, lanskap penelitian AS berubah melalui amandemen substansial pada Animal Welfare Act yang mewajibkan semua lembaga yang menggunakan hewan untuk membuat Institutional Animal Care and Use Commitees secara resmi untuk mengawasi dan mengatur penggunaan hewan berdarah panas dalam penelitian (kecuali untuk burung, tikus berjenis rat,  dan tikus berjenis mice).

Kesejahteraan simpanse—meskipun tidak sempurna—lebih baik daripada tikus. Pada 2010, National Institutes of Health (NIH) di AS menugaskan penelitian kepada Institute of Medicine untuk menentukan apakah penelitian biomedis simpanse memberikan kemajuan bagi barang-barang publik. Dalam laporan mereka, panitia menyimpulkan bahwa simpanse telah menjadi model hewan yang berharga dalam penelitian terdahulu, maka sebagian besar penggunaan simpanse saat ini tidak diperlukan untuk penelitian biomedis. Hal ini menyebabkan semua penelitian biomedis di AS berakhir secara efektif pada 2015—empat belas tahun setelah Eropa menghentikan program penelitian simpanse.

Sementara, NIH menginstruksikan komite Institute of Medicine untuk menghindari pertimbangan etis dalam rekomendasi mereka—itu tertera jelas dalam laporannya. Simpanse dibebaskan dari penelitian biomedis karena mereka dipandang sebagai hewan luar biasa—yang hampir seperti manusia. Studi ini berpendapat bahwa hewan yang terkait erat dengan manusia tidak boleh digunakan untuk penelitian, sementara hewan yang kurang akrab dapat digunakan sebagai gantinya. Makanya, penggunaan simpanse memiliki biaya moral.

Dalam mengumumkan keputusan untuk mengakhiri era pengunaan simpanse sebagai subyek penelitian, Direktur NIH, Francis Collins, mengulangi ide-ide ini; menjelaskan bahwa simpanse adalah “hewan istimewa, kerabat terdekat kita” yang DNA-nya 98 persen sama dengan kita. Di AS, sebagian besar simpanse sedang pensiun ke tempat-tempat suci yang didanai pemerintah federal yang dirancang untuk mendukung kepentingan mereka. Dengan status khusus mereka, persetujuan untuk penelitian pada simpanse pribadi masih diadakan di AS dan akan memerlukan pembuktian bahwa penelitian tersebut juga menguntungkan simpanse liar.

Proteksi terhadap monyet bergerak ke arah yang sama. Ilmuwan primata muda saat ini–sebagian besar—telah dilatih untuk melihat masalah etika dari perampasan ibu dan program penelitian isolasi sosial, juga untuk melihat subyek monyet mereka sebagai makhluk sosial yang dapat berkembang dan menderita. Ketika para peneliti selesai dengan proyek penelitian monyet mereka, mereka mencari tempat-tempat perlindungan untuk dikirim. Gerakan-gerakan menuju pemensiunan monyet ini mengikuti norma yang sama dengan yang dipelajari simpanse. Monyet adalah makhluk cerdas, sosial, dan emosional yang bukan hanya produk sampingan dari penyelidikan ilmiah. Ketika kegunaannya dalam sains selesai, mereka harus diperhatikan dengan minat mereka di garis depan. Itu hal yang benar untuk dilakukan.

 

***

Hal yang sama—semacam di atas—tidak berlaku untuk tikus. Bahkan penggunaannya di laboratorium meningkat. Karena tikus laboratorium dianggap hewan yang tidak pantas dilindungi, maka tidak ada statistik resmi tentang jumlah tikus yang digunakan di AS. Perkiraannya berkisar antara 11 juta hingga 100 juta tikus—yang digunakan di AS saja—dengan hampir semuanya terbunuh begitu kegunaannya berakhir.

Apa yang menyebabkan perbedaan dalam perawatan dan perlindungan antara primata dan tikus ini?

Pertanyaan itu sendiri mungkin tampak aneh karena jawabannya sangat jelas: simpanse adalah kerabat terdekat kita, sedangkan kera dan monyet mirip manusia. Kita terpesona oleh laporan tentang primata liar dan ilmuwan yang paling dikenal mempelajari simpanse, Jane Goodall—sebagai pahlawan rakyat.

Sementara, tidak ada peneliti tikus terkenal. Tidak ada tikus terkenal yang kisahnya diceritakan dalam film, televisi, atau buku. Berbeda dengan Digit (gorila favorit Diane Fossey), David Greybeard (simpanse pertama yang melakukan kontak dengan Jane Goodall di Gombe Stream Research Centre), Washoe (simpanse yang mempelajari tanda-tanda bahasa isyarat Amerika dari Roger Fouts), Ai (ilmuwan simpanse Tetsuro Matsuzawa menyebutnya “rekan peneliti”), Kanzi (bonobo Sue Savage-Rumbaugh yang diajari untuk memahami bahasa Inggris lisan setara level manusia berusia tiga tahun), atau Nim Chimpsky (yang dipelajari oleh Herbert Terrace dan bintang Project Nim (2011)).

Dalam banyak cara, ilmu pengetahuan saat ini membenarkan pandangan populer mengenai simpanse (serta kera dan monyet lainnya). Simpanse adalah pengguna alat cerdas yang menciptakan teknologi baru untuk mengakses makanan dan untuk komunikasi. Simpanse hidup di wilayah yang mereka perjuangkan dan pertahankan. Simpanse adalah spesies budaya dan imigran simpanse mengadopsi praktik-praktik komunitas baru mereka—bahkan ketika praktik-praktik baru itu kurang efisien daripada yang lama. Simpanse memiliki kepribadian, mereka memiliki hubungan, dan mereka saling membantu untuk saling menjaga. Salah satu dari kita berpendapat bahwa simpanse memiliki bentuk agensi moral dan yang lain berpendapat bahwa mereka dapat dianggap sebagai agen normatif yang hidup dan mendukung norma sosial. Simpanse dianggap luar biasa, tetapi tikus adalah hama.

Hampir disangkal bahwa manusia tidak suka tikus. Jika kita membuat daftar hewan-hewan yang menghasilkan kebencian terkuat di dalam diri kita, tikus akan sangat dekat dengan urutan teratas. Orang-orang yang memenuhi kota-kota Barat juga dipandang sebagai hama dengan kehidupannya yang  kurang berharga dan kita tidak memikirkannya untuk coba memberantasnya.

Baru-baru ini, sebuah artikel di majalah online The Conversation mengangkat kekhawatiran bahwa strategi manajemen populasi tikus mungkin secara tidak sengaja menciptakan tikus yang sangat sehat atau rentan terhadap penyakit, tetapi logikanya murni antroposentris.  Kekhawatirannya adalah kita mungkin akan menciptakan tikus yang bahkan lebih berbahaya dan sulit untuk dihilangkan. Tidak hanya kurang perhatian, tikus-tikus sering dipandang sebagai sesuatu yang kita inginkan tidak ada. Kehadiran tikus identik dengan kotoran, penyakit, dan kejijikan. Dan tikus adalah salah satu hal terburuk yang bisa Anda gunakan untuk memanggil seseorang.

Kurangnya perhatian umum terhadap tikus tercermin dalam penggunaannya dalam penelitian biomedis. Tikus—yang berjenis rat  dan mice—telah lama berperan sebagai model organisme terkemuka; mengingat otak mereka yang besar, kemudahan penanganan dan perumahan, dan kesamaan biologis dan perilaku dengan manusia.

Tikus itu murah dan mudah digunakan. Tidak seperti primata, mereka mudah dibiakkan, mudah diperoleh dengan pesanan via pos, dan mudah disimpan dalam kotak-kotak tersendiri pada laboratorium. Mereka juga mendatangkan keuntungan lebih lanjut bila dibandingkan primata; seperti fakta bahwa masa kehamilan mereka jauh lebih pendek, mereka memiliki jumlah keturunan yang lebih besar, mereka dapat mencapai kematangan lebih cepat, dan memiliki rentang hidup yang lebih pendek.

Genom rat diurutkan sepenuhnya pada tahun 2004; yang memungkinkan kemajuan signifikan pada pemahaman kita tentang bagaimana gen bekerja. Ukurannya yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan mice juga menjadikan mereka model ideal untuk penelitian kardiovaskular, juga memungkinkan kemajuan pemahaman kita tentang obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Rat lebih dipilih dibandingkan mice untuk studi perilaku dan psikologis karena mereka memiliki sifat sosial yang lebih baik dengan meniru diri kita. Semua keuntungan ini akan mempersulit pertanyaan tentang penggunaan tikus dalam penelitian biomedis. Namun tidak ada spesies yang akan menjadi subyek penelitian lebih baik dalam memajukan pengobatan manusia dibandingkan diri kita sendiri; dan dengan ini kita akan sangat mampu memahami bahwa ada batasan moral tertentu yang tak dapat dilintasi—tidak peduli apa pun kemungkinan keuntungan yang didapat darinya.

Mungkin tikus membutuhkan seorang duta besar; seorang tokoh layaknya Jane Goodall yang dapat menceritakan kisah-kisah hidup mereka dan menghadirkan tikus sebagai individu; bukan sebagai rujukan kata benda penghitungan generik. Meskipun ada pendukung tikus di luar sana, mereka tidak mendapatkan banyak perhatian.

Inggris memiliki Natoinal Fancy Rat Society yang dibentuk pada tahun 1976 dan menyebut dirinya sebagai “klub untuk semua orang yang menghargai tikus karena apa adanya—sebagai hewan peliharaan yang unggul dan mewah”. Pada tahun 1983, di AS terdapat American Fancy Rat and Mouse Association. Organisasi-organisasi tersebut memiliki pameran dan kompetisi reguler yang menilai tikus melalui pertandingan dengan berbagai standar atau kepribadian mereka. Sekarang, kelincahan tikus menjadi ajang olahraga internasional dan YouTube pun dipenuhi oleh video tikus yang sedang menjalankan kursus kecil-kecilan. Namun ini bukanlah Westminster Kennel Club (pameran khusus anjing di New York City sejak 1877); karena Anda tidak akan mendengar hasil dari kompetisi pertunjukan tikus pada berita lokal.

APOPO, suatu LSM di Belgia, menyelenggarakan HeroRats yang telah menyelamatkan banyak nyawa dengan mengidentifikasi ranjau darat yang tersisa dari perang dan konflik di seluruh dunia. “Tikus-tikus itu berkeliaran, mengendus-endus di sana-sini, lalu mereka akan berhenti, menciumi aroma udara, dan kemudian menggaruk tanah. Itu berarti mereka menemukan ranjau darat!,” kata Lann Sa, seorang petani Kamboja yang sudah kehilangan satu kakinya karena ranjau darat.  “Kurang dari dua minggu kemudian, ladang kami bebas dari ranjau darat. Anak-anak kami aman, ladang kami penuh dengan tanaman.”

Tikus-tikus itu dibesarkan oleh manusia sejak bayi dan dilatih untuk mengharapkan makanan ketika mereka mencium bau TNT.  Tikus raksasa berkantung Afrika yang bekerjasama dengan APOPO memiliki badan yang terlalu ringan untuk memicu ranjau darat dan mereka tidak akan menderita kerugian dalam pekerjaannya. Setelah beberapa tahun bekerja, tikus menikmati masa pensiun di kandang rumah mereka; dengan bermain, makanan ringan, dan bersosialisasi kepada manusia. Tikus memiliki kepribadian dan preferensi yang berbeda. Shuri, sesosok tikus HeroRat yang ditampilkan di beranda APOPO, adalah tikus favorit staf dengan kepribadian yang nakal yang membawa senyum ke wajah semua orang yang ia temui. Camilan andalannya ialah kacang.

Ketika di masa lalu kita meluangkan waktu untuk memperlakukan tikus sebagai individu—seperti yang dilakukan Fouts dengan Booee dan Goodall dengan David Greybeard, kita dapat melihat tikus bukan sebagai alat penelitian, tetapi sebagai makhluk hidup yang berkapasitas untuk menikmati kehidupan  yang kaya emosional. Ketika para peneliti menemukan lebih banyak hal mengenai primata, mereka menyadari bahwa primata memerlukan perlindungan; yang mengarahkannya pada pembentukan undang-undang kesejahteraan dan komite pengawasan. Namun ketika kita mengetahui lebih banyak tentang tikus, alih-alih mengubah cara kita memperlakukan mereka, ilmu pengetahuan justru mengulangi kesalahan yang dibuat pada awal penelitian primata. Logika Harlow yang secara etis dipertanyakan adalah bahwa monyet cukup mirip dengan manusia untuk digunakan sebagai model gangguan mental manusia, tetapi tidak cukup mirip untuk menjamin tingkat perlindungan yang sama dari bahaya. Pembenaran untuk penelitian tikus adalah bahwa tikus cukup mirip dengan manusia untuk berfungsi sebagai model kesehatan manusia yang baik—termasuk kesehatan mental, tetapi tidak cukup serupa untuk menjamin perlindungan hukum dari bahaya.

Beberapa ilmuwan bahkan menyambut kurangnya perhatian terhadap tikus—bersamaan dengan hewan pengerat lainnya—karena dianggap “menawarkan alternatif yang murah, nyaman, dan tidak terlalu kontroversial secara etis—layaknya primata non-manusia—dalam studi kognisi sosial”. Sementara, penggunaan tikus dalam penelitian mungkin dianggap kurang kontroversial secara etis daripada penggunaan primata karena kurangnya jumlah duta tikus—dan hal ini secara etis relatif tidak untuk dibenarkan.

Jadi, bisalah dimengerti untuk membuat kesalahan etis dalam sekali. Tetapi setelah menyadari kesalahannya, kita harus lebih siap untuk melihat masalah lainnya dalam kasus-kasus baru. Kemajuan moral tergantung pada kesadaran bahwa dua kasus yang sama adalah relevan secara moral.

Kegagalan untuk menggeneralisasi dari satu kasus ke kasus lain dapat mengarahkan kita untuk terus membuat kesalahan etis yang sama dalam konteks baru. Kita tidak dapat menyangkal biaya moral menciptakan psikopatologi pada tikus untuk mengobati psikopatologi pada manusia sambil menimbang biaya-biaya tersebut dan mengutuk praktik pada primata. Kesamaan yang sangat menarik dalam membenarkan sains adalah bahwa primata rentan terhadap rasa sakit fisik dan mental, serta mereka memiliki emosi dan hubungan yang dapat dihancurkan ketika mereka dirampas dari perawatan ibu secara normal; adalah penciptaan biaya moral untuk mengartikan bahaya tersebut. Biaya moral ini ada pada tikus juga. Hanya pandangan mata moral kita yang pendek dan antroposentrisme tanpa henti yang telah mencegah kita untuk memperhitungkannya.

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Suka kucing.]

 


Artikel asli bisa dibaca di sini.