Buku, Gerakan, dan Komunitas

*)Ditulis oleh Toto Priyono. Esais. Bermukim di Cilacap.

 

Buku bukan saja akan menjadi barang kesenian, tetapi juga menjadi barang yang dapat memantik pemikiran manusia. Anak-anak muda itu yang berkumpul sembari membaca, bukan hanya menjadi pemuda yang berbeda, tetapi selalu akan menjadi pemuda yang “beda” dalam menjadi pemuda. Membaca berarti menenggelami fenomena dunia kapan pun masanya.

Cerita malam minggu Komunitas Mengkaji Pustaka di sana dengan kopdar lapakannya. Ruang terbuka hijau sebagai tempat konsep perpustakaan jalanan yang mereka gelar bukan saja untuk memanjakan anggota komunitasnya dengan koleksi buku bacaannya, tapi juga disediakan untuk masyarakat yang ingin membaca.

Semangat menularkan virus literasi merupakan satu dari tidak terbatasnya tujuan-tujuan mereka, Komunitas Mengkaji Pustaka, supaya masyarakat lebih gemar membaca. Simpul-simpul keramaian di kota Cilacap merupakan tempat mereka melapakkan semua koleksi buku-bukunya. Tetapi minat baca masyarakat yang masih rendah tidak menutup mata mereka untuk tetap melapak; menjajakan dan berharap buku koleksinya yang dialasi dengan spanduk itu dibaca masyarakat. Membaca berbagai buku di lapakan itu gratis atau tidak dipungut biaya sepeserpun.

Memang semangat membaca di balik gempitanya hiburan di sana—termasuk kemajuan teknologi sendiri—menjadi kecil peluangnya. Membaca saat ini memang bukan gaya hidup yang populer bagi pemuda. Membaca, popularitasnya masih di bawah pemuda-pemuda yang malam minggunya nongkrong dengan sepeda motornya, mobilnya, bahkan gantangan-gantangan burungnya.

Tetapi dengan hobi; apakah hobi itu mempunyai kelas—di mana ada yang lebih berkelas dari hobi-hobi tersebut? Tentu tidak ada hobi yang tidak mempunyai kelas. Semua hobi sejatinya adalah berkelas. Oleh karenanya, hobi selalu ditunggu oleh mereka yang ingin mengobati kesuntukan hidupnya sebagai hiburan dan pengisi waktu luang me-refresh kembali sepaneng-nya jalan pikiran sebagai manusia di abad ke-21. Karena akhirnya manusia hanya dipaksa bagaimana menjadi bahagia menjalani hidup ini dengan sumber daya yang ada, termasuk melayani hobi-hobinya sendiri untuk tidak terasing sebagai manusia.

Dengan melayani hobi itu sendiri, mereka bukan hanya bahagia dengan bukunya, motornya, atau mobilnya sendiri. Namun kepuasan terhadap apa yang disenanginya itu bukan saja menambah wawasan dalam pergaulannya, tetapi juga pertemanannya melalui hobi-hobinya tersebut sebagai bingkai kehidupan manusia.

Komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap sendiri berdiri tahun 2017 yang lalu. Tentu kelatahan berkembangnya konsep perpustakaan jalanan di setiap kota besar seperti Bandung, Surabaya, dan Jogjakarta membawa modal komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap dalam mempioneri semangat berliterasi khususnya di kota Cilacap. Masih rendahnya minat baca masyarakat sendiri tidak menyurutkan mereka untuk tetap melapak apa pun kondisinya. Mereka percaya bahwa “buku” sebagai media pengetahuan manusia dalam membuka cakrawala ilmu pengetahuan tentang dunia haruslah tetap dibaca—apa pun karya dari buku-buku tersebut.

Koleksi buku Komunitas Mengkaji Pustaka sendiri bukan hanya buku-buku berkonten dewasa tetapi juga buku-buku anak-anak berbentuk komik dan semacammnya. Buku politik, filsafat, dan novel-novel romatik merupakan buku-buku dewasa yang sering dilapakkan oleh mereka, pegiat literasi kontemporer kota Cilacap, Komunitas Mengkaji Pustaka Cilacap.

 

Eksistensi Buku dan Geliat Terus Berideologi

Ideologi tidak pernah mati, ia tidak mati selama manusia masih mau berpikir. Namun pertanyaan dari kegemaran membaca buku sendiri sebagai wadahnya ilmu pengetahuan, apakah ideologi hanya untuk mengisi pemikiran bukan suatu gerakan di abad ke-21 ini?

Di tahun pra-1945 sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan adalah orang-orang yang membaca buku seperti Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, dan masih banyak tokoh-tokoh pergerakan kemeredekaan lain. Semua membaca buku untuk membangun Indonesia yang merdeka melepaskan diri dari bentuk kolonialisme Belanda.

Tanpa membaca, Soekarno mungkin tidak akan pernah melahirkan ide-ide Marhaenisme atau Tan Malaka dengan buku karyanya, Madilog, juga M. Hatta yang rela hidup dalam pengasingan bila ia masih bersama buku-buku yang dicintainya sebagai pengetahuannya akan dunia.

Tetapi di abad ke-21 ini, yang dalam konteksnya sudah bukan lagi di zaman pergerakan kemerdekaan, apakah buku-buku yang memantik ideologi baru tidak akan dilahirkan lagi ketika masyarakat sudah berpasrah terhadap hidup yang ada? Di mana abad ke-21 masyarakat cenderung menjadi satu dimensi; hidup hanya bagaimana cara mencukupi kebutuhan hidupnya saja sehari-hari?

Saat ini di balik lemahnya kebiasaan membaca buku untuk pengetahuan hidup, mereka, masyarakat, juga sudah dimapankan dengan sistem kapitalisme yang ada. Di mana mereka harus kerja, mencukupi kebutuhan, dan menikmati kebutuhan itu sebagai hiburan kebebasan; selagi masih ada uang untuk menikmatinya, masyarakat bebas menikmati wahana kesenangan berbayar yang ada dari hasil kerja keras mereka sendiri.

Masyarakat satu dimensi mungkikah sudah tidak membutuhkan pemikiran baru untuk perubahan eksistensi hidup mereka sendiri? Atau dengan buku-buku yang sudah jarang dibaca oleh masyarakat Indonesia kini, yang di dalam berbagai media online di sana; masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan waktunya untuk bermain smartphone minimal selama empat jam dalam sehari?

Mungkinkah benar buku dan dalamnya pengetahuan sudah tidak diperlukan lagi di abad ke-21 ini, sebagai berbuahnya ideologi; termasuk ide-ide bagaimana manusia itu harus hidup bahkan secara pribadi? Untuk itu berideologi secara radikal melawan tatanan yang sudah mapan adalah ilusi angan-angan manusia abad ke-21?

Di sudut ruang yang paling gelap sana, pada saatnya karena matahari itu berputar mengitari bumi, akan ada gilirannya nanti cahaya matahari tersebut akan masuk, datang, dan menghampiri. Indonesia sendiri di abad ke-21 ini, keadaannya memang sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Tetapi dalam laju kehidupannya, ia baik-baik saja karena dimensi berkebutuhan manusia menjerat mereka sehingga mereka lupa pada isu-isu fundamental ekonomi misalnya tentang kepemilikan lahan, ruang hidup mereka terancam dengan maraknya industrialisasi, dan juga kehidupan politik yang dikuasai oleh oligarki.

Obrolan di sela-sela saat melapak dengan gelaran buku Komunitas Mengakaji Pustaka di Ruang Terbuka Hijau Kota Cilacap malam Minggu, menariknya buku yang sedang dibaca seorang pemuda tentang Marhaenisme; ide dari sang proklamator kemerdekaan Negara Indonesia kita. Justru yang membuat pertanyaan kita semua, apakah masih relevan di abad ke-21 ini kita berbicara ideologi saat masyarakat sudah menjadi satu dimensi dan cenderung menutup mata secara sosial di balik mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri?

Upaya yang dilakukan pemuda dalam lingkar perpustakaan jalanan ini, Komunitas Mengkaji Pustaka yang digawangi para pemuda, bahwa sampai kapapun ideologi itu harus tetap menyala. Memang saat ini, berbagai ideologi itu belum mengilhami banyak masyarakat.

Namun apa yang dilakukan oleh segelintir pemuda di Cilacap sendiri melalui Komunitas Mengkaji Pustaka ini dalam mencintai buku sebagai akar ideologi—untuk bagaimana diri pribadi hidup dalam masyarakat—merupakan akar dari masih dibutuhkannya  berbagai ideologi itu sebagai penjaga asa untuk tumbuhnya ide-ide dalam pikiran manusia supaya kehidupan terus lebih baik secara pribadi maupun bermasyarakat itu sendiri. Mungkin semangat untuk terus membaca buku sebagai jalan ilmu pengetahuan pada saatnya akan berwujud gerakan yang nyata dalam kehidupan sosial bermasyarakat pemuda di masa depan. Ketika pengetahuan sudah mengilhami, kerusakan alam semakin nyata, industrialisasi yang justru mencaplok lahan petani, jurang kemiskinan dan kekayaan sesama manusia semakin jauh adanya; bukan tidak mungkin ketika pengetahuan manusia sudah ada dan menjadi ideologi, manusia hanya berpangku tangan melihatnya?

Pasti kehendak alamiah sebagai manusia, mahluk penjaga alam tempat hidupnya sendiri, akan mereka bela, pasti mereka akan dibela! Karena alam dan segala isinya adalah bagian dari kesatuan yang tidak dapat terpisah dari kehidupan manusia.