[Cerpen] Pustakawan Terakhir: Catatan Singkat Tentang Akhir Dunia

Ilustrasi oleh Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

___

*)Karya Edoardo Albert. Cerpenis spesialis fiksi sains. Tinggal di London.

 

_

“Mana yang lebih penting, buku atau manusia?”

Pertanyaan itu diajukan dengan bercanda. Tapi selama bertahun-tahun, aku semakin percaya jika urat nadi pustakawan dibuka, tintalah yang akan mengalir dari mereka; alih-alih darah. Meski begitu, aku tidak berharap dia menjawab dengan melakukannya.

“Buku.” Pustakawan itu mengulurkan panci. “Ingin cocoa lagi?”

“Ya, boleh.”

Kami duduk dalam berkat keheningan yang disediakan oleh musem digital yang mengherankan sembari menghirup mug kami. Sementara, aku menunggu untuk melihat apa yang harus dia perlihatkan kepada aku. Pertama kalinya aku bertemu dengan pustakawan itu sebagai seorang bibliofil berusia delapan tahun yang ingatan paling nyata di masa kecilnya adalah tentang perpustakaan umum setempat dan semua buku-buku yang menunggu untuk dibaca. Bocah itu telah tumbuh menjadi pengumpul buku; hobi yang kukejar dalam waktu luang yang tersisa dari tugas sehari-hariku sebagai fungsionaris pemerintahan kecil.

Setelah cocoa habis, pustakawan membawaku melewati meja kosong di Ruang Baca; melewati meja hening tempat seorang pustakawan memeriksa buku-buku yang kurang berharga dari koleksi untuk menuju ke tempat suci: ruang buku langka atau lebih tepatnya “ruang-ruang” buku langka. Lagipula, ini British Library. Dibutuhkan lebih dari satu kamar untuk buku-buku langka.

Pustakawan menunjukkan lemari pajangan baru yang telah ditaruh pada tempat terhormat, bahkan di antara Gutenberg dan Caxtons, Kells dan Opticks, dan Folios Pertama dan Folios Kedua.

Buku itu terbuka pada halaman 1:

Beberapa kejahatan dari dongeng saya mungkin sudah melekat dalam keadaan kita. Selama bertahun-tahun, bagaimanapun juga, kita hidup dengan satu sama lainnya di gurun terbuka; di bawah surga acuh-tak acuh.

 

“Bukan ini,” kataku.

“Ya, ini.”

“Bukan.”

“Iya.” Wajah pustakawan yang berkerut menjadi tersenyum lebar tak terduga.

Dari beberapa pusaka suci para kolektor buku, inilah yang termasuk paling suci: edisi pertama buku Seven Pillars of Wisdom karya  T. E. Lawrence pada tahun 1922; yang telah dicetaknya secara pribadi di Oxford University Press. Hanya ada delapan salinannya yang dibuat. Enam salinannya diperhitungkan. Tapi tampaknya sekarang, jumlah salinan yang diperhitungkan akan naik menjadi tujuh.

“Di mana kamu menemukannya?” Aku bertanya ketika akhirnya aku siap untuk beristirahat dari memeriksanya, menatapnya, dan biasanya minum dalam keajaiban itu. Kukira, seorang ibu baru harus merasakan sesuatu yang serupa ketika merenungkan anak pertamanya.

“Sudah di sini selama ini,” kata pustakawan itu. “Terselip di salah satu gudang. Entah bagaimana itu telah diberi label sebagai risalah arsitektural milik koleksi Penjaga Barang Antik Oriental pada masa Museum dan Perpustakaan berbagi tempat. Aku hanya menemukannya secara kebetulan.”

Kami berdua menatapnya.

“Sepertinya,” kataku, “kamu mungkin orang pertama yang menyentuh buku itu setelah Lawrence sendiri.”

“Dan orang bodoh yang mengira itu adalah buku tentang arsitektur,” kata pustakawan itu. “Aku menyangka aku tahu siapa yang mungkin melakukannya.” Wajahnya menjadi serius ketika dia merenungkan hukuman yang tepat akibat salah membaca buku.

Memandangnya, aku berpikir bahwa dia hampir tidak berubah samasekali selama bertahun-tahun aku mengenalnya: rambut beruban dan tetap berwarna seputih-putihnya, kulit sepucat cahaya buatan, wajah tipis yang terbelah oleh kacamata permanen berbingkai sabit yang bertengger di ujung hidungnya. Bahkan, pustakawan itu mungkin telah melihat rumah di ruang jenazah sambil melangkah di antara papan-papan yang dingin. Aku mengakui bahwa kadang-kadang aku merasa seolah-olah kami adalah ahli patologi dari budaya sastra yang hilang ketika kami berjalan di aula dan koridor perpustakaan yang sunyi.

“Apakah kamu sudah mengunggahnya?”

Pustakawan itu menggelengkan kepala.

“Aku lupa. Aku mengerti tapi aku ingin membagikan hasil temuanku dulu. Aku akan, seperti katamu, mengunggahnya. Sekarang.”

Cendekiawan yang tertarik, kemudian akan dapat memeriksa salinan tiga dimensi buku yang sempurna. Sementara, mereka yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan suatu ujung percakapan pesta makan malam, dapat mengunduh input saraf yang cukup untuk menanamkan kenyamanan memori membaca buku tanpa keharusan melelahkan—bagi yang pernah harus melihatnya. Lagipula, dengan sebagian besar bacaan, orang ingin membaca buku itu; bukan untuk benar-benar membacanya. Dalam dunia kita yang serba cepat dan tergesa-gesa, meng-input saraf serupa dengan kamu dapat membaca semua kanon klasik pada sore hari dan masih punya waktu untuk makan malam.

“Tetap saja,” aku menimpalinya, pada kepergianku yang lambat keluar dari perpustakaan dan kembali ke dunia biasa, “Aku yakin bahwa dengan penemuan seperti ini akan ada beberapa sarjana yang ingin melihat buku yang sebenarnya.” Aku berhenti pada pintu keluar. “Bagaimana menurutmu?”

Pustakawan menggelengkan kepalanya. Cahaya terpantul di kacamatanya.

“Tidak, kurasa mereka tidak akan datang. Bahkan untuk ini.” Dia mulai menutup pintu, lalu berhenti.

“Kembalilah dalam seminggu,” katanya. “Aku mungkin punya sesuatu untuk ditunjukkan kepadamu.”

“Apakah itu…”

Tapi pintu telah tertutup, memotong pertanyaanku. Pustakawan itu selalu mengarahkanku untuk masuk dan keluar dari salah satu pintu masuk samping yang dimaksudkan untuk staf. Aula tinggi pada pintu masuk umum tetap terbuka dan kosong—seperti gua yang belum ditemukan di negara yang dilupakan.

Aku membuka kerah, memasang panel digital dan merapatkan telinga pada ocehan informasi, kemudian menuju ke dunia modern.

 

***

Seminggu kemudian, aku kembali. Tapi tidak sendirian. Arus manusia terus-menerus keluar-masuk lewat pintu utama—dari potongan pakaiannya, kebanyakan dari mereka akademisi. Sebelum Aula Besar, terdapat makam yang lengang. Para cendekiawan sedang semangat-semangatnya berdebat satu sama lainnya atau mungkin sedang mempersiapkan siswanya untuk penugasan. Sementara, apa yang tampak sebagai kepastian banyak orang sedang terjadi di sekitar meja informasi utama, di mana ada pertanda mencolok yang menunjukkan jalan menuju display Lawrence dipajang.

Pesan-pesan muncul pada papan di dinding dan langit-langit; mengarahkan pihak-pihak yang berminat pada siklus hidup kumbang (Lantai 2, Baris J, Bookmark DX80130 DSC), hipostaik para archon (Lantai 3, Baris O, Bookmark 412.978000 DSC), dan hubungan kerabat di antara chavs (Sub Basement 4, Baris B, Bookmark YK.2005.a.10262).

Pesan-pesan itu terus berubah sampai aku menyadari bahwa itu adalah jawaban yang diberikan kepada kerumunan cendekiawan yang berkerumun di sekitar meja utama. Dan di sana, di tengah-tengah lingkaran, yang dikelilingi oleh tim asisten junior, adalah pustakawan. Dia mengangguk ke arahku, mengucapkan beberapa patah kata kepada salah satu pembantunya dan beralih dari meja.

Ilustrasi karya Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

Aku memberi isyarat yang meliputi orang-orang, kesibukan, dan sebenar-benarnya kehidupan.

“Mengherankan,” ujarku. “Luar biasa. Apa yang terjadi?”

Dengan gerakan intim tak terduga, pustakawan meraih lenganku. Aku harus mengakui bahwa ini mengejutkanku: tapi aku tak terlalu kaget. Berdasarkan tingkat kegembiraannya, aku tak percaya jika pustakawan menyadarinya. Dia membimbingku melintasi Aula Besar, mengabaikan pertanyaan para cendekiawan yang putus asa, dan menuntunku melalui salah satu pintu yang bertuliskan “Hanya Staf”. Rasa damai dan ketenangan serta-merta menghinggapi.

“Apakah kamu keberatan jika kita berjalan?,” tanya pustakawan itu. “Aku sangat khawatir jika aku akan segera disapa saat kita berani naik lift. Tapi aku ingin mengajakmu berkeliling pada hari ini sepanjang hari.”

Kami berjalan menaiki tangga.

“Aku yakin, kamu bukanlah spesialis teori informasi.”

“Tidak juga, tidak. Lembaran kertaslah yang aku pahami. Apa yang dimuatnya, tidak.”

“Kalau begitu, aku harus memakai analogi,” kata pustakawan itu. “Pertimbangkanlah otakmu. Pada intinya, adalah sumsum tulang belakang dan struktur otak primitif yang kita bagikan kepada para chordata lain. Struktur ini adalah dasar untuk semua pencapaian pikiran manusia; dari sonata-sonata Shakespeare hingga Mazmur Daud hingga ke musik Mozart. Tapi ingatlah tentang substruktur, bukan Shakespeare. Sekarang, ada beberapa bagian yang sangat primitif dari dunia modern; yang saling berhubungan. Bagian-bagiannya telah ada sejak awal tetapi semuanya telah dilupakan sebagai jaringan yang lebih rumit yang dibangun di atas. Ada satu tempat di mana benda-benda tua ini masih dicatat.” Pustakawan itu berhenti dan berbalik untuk menatapku. Aku harus mengakui bahwa diriku bersyukur karena beristirahat; sebab pendakiannya terbukti lebih lama dari yang aku perkirakan.

Sambil berbicara tanpa menoleh, pustakawan itu melanjutkan pendakian, “Faktanya, perpustakaan tidak pernah mengunggah beberapa dari teks-teks ini.” Dia melirik ke arahku, tersenyum. “Bisakah kamu memberinya penghargaan? Masalahnya, relatif mudah untuk menemukan informasi dan kemudian menghapus salah satu substruktur utama. Jadi untuk hari ini, setidaknya setiap sarjana yang mencoba mengakses informasi akan menemukan pesan kesalahan dan pemberitahuan yang menyarankannya untuk memperbaiki ke perpustakaan umum setempat.”

Akhirnya kami tiba di puncak tangga dan berhenti di pintu.

“Mari kita diam-diam memeriksa bukti aktivitas ilmiah.”

 

***

 

Mungkin sangat disayangkan bila pustakawan membuka pintu tepat saat seorang peneliti menjatuhkan buku yang sedang diambilnya dari rak. Dia menjatuhkan buku itu karena dia mencoba menjawab teleponnya secara bersamaan tanpa menumpahkan secangkir kopi.

“Hei, terima kasih,” kata si peneliti saat pustakawan itu layaknya elang sastra yang menyambar buku dari lantai. Mata cendekiawan itu melebar ketika pustakawan meletakkan kembali buku itu di rak.

“Aku butuh itu,” katanya.

“Beri aku kartu perpustakaanmu,” balas pustakawan.

Mengambil kartu yang disodorkan padanya, pustakawan langsung memeriksa gambar yang tertera apakah mirip dengan subyeknya—saat itu, pagi merupakan waktu yang telah sedikit terlewati untuk membedakan antara gambar dan kenyataan yang ada. Dengan gunting kecil dari sakunya, pustakawan itu memotong kartu keanggotaan menjadi dua. Ia dengan senang hati membagi gambarnya menjadi dua bagian.

“Tapi-tapi.”  Peneliti itu tergagap.

“Keanggotaanmu dibatalkan. Silahkan tinggalkan gedung.”

Setelah membuka-tutup mulutnya beberapa kali seolah ingin bicara, kerutan di wajah pustakawan selalu cukup bisa menghentikannya. Cendekiawan itu pun berjalan dengan susah-payah menuju lift.

“Dan, matikanlah teleponmu.”

 

Ilustrasi kolase karya Rynaldi Fajar/IG: unbelieverdown.

Kami tidak bergerak sampai pintu lift tertutup. Pustakawan mengirim pesan ke resepsi; memberi tahu mereka untuk mengawal pembaca yang sebelumnya dari tempat itu. Dengan demikian, suasana hati pustakawan yang sebelumnya baik menjadi suram dan kami meminum cocoa kami dalam suasana mendekati keheningan.

Aku berharap penyalahgunaan buku yang kami lihat akan terbukti sebagai kesalahan tunggal. Tapi sayangnya, bukan itu masalahnya. Menurut perhitungan kami, telah ditemukan beberapa kasus makan dan minum tanpa izin. Kami mendengar banyak percakapan terlarang; baik secara langsung maupun melalui telepon. Ada sejumlah kasus ABH (actual biblio harm) yang sangat memperihatinkan, seperti sudut halaman dibalik dan buku dikembalikan ke rak yang salah. Dan, ada beberapa contoh yang benar-benar mengkhawatirkan dari GBH (grievous biblio harm); di mana volume yang berkekurangan dan tak berdosa memiliki catatan yang ditulis di marginnya atau dibiarkan lumpuh dengan tulang punggungnya yang patah. Yang terakhir ini adalah kasus yang sangat menyedihkan.

Kami menemukan The Principles of Lingerie karya Reginald Spode ditinggalkan tergeletak di atas meja; tulang punggungnya retak, isinya terbuka, dan dengan banyak tanda marginal mengotori kemurnian perawannya. Tanda kejahatan tidak ditemukan dari luar sampul manis yang kusut.

Menghadapi kemarahan ini, pustakawan melakukan sesuatu yang benar-benar luar biasa. Tentu saja, The Spode harus diambil demi segera diperbaiki tapi kami memiliki tugas mendesak lainnya untuk diperhatikan. Jadi, alih-alih mengekspos buku itu ke pelecehan lebih lanjut, pustakawan sengaja menyimpannya dengan salah.

Aku terkejut. Namun kemudian, ketika tersadar akan pengorbanan pustakawan, kejutan itu berubah menjadi kekaguman.

“Sungguh, itu adalah hal yang lebih besar dari yang kamu lakukan hari ini.”

Tapi pustakawan itu tak bergeming. Lagipula, itu adalah perpustakaan. Bukan berarti anda bisa mengatakan itu merupakan perilaku sebagian besar pembaca. Ke mana pun kami melangkah, selalu ada latar suara percakapan secara konstan yang termodulasi oleh penguasaan banyak rahang. Tampaknya, sarjana hari ini tidak dapat melibatkan otak tanpa dimulai dengan rahangnya.

Aku memiliki janji urusan lainnya pada sisa hari itu. Jadi, aku meninggalkan pustakawan saat berperang melawan gelombang ketakbegunaan manusia yang dia hadapi, tapi aku meneleponnya tepat sebelum perpustakaan ditutup. Pustakawan menjawabnya dalam mode bersuara. Kukira setelah hari seperti itu aku lebih suka tidak muncul di layar apa pun juga.

“Bagaimana hari ini berlalu?”

Melalui telepon, pustakawan itu terdengar lelah.

“Itu akan terus terjadi. Tampaknya banyak buku telah diganti secara salah. Aku menjadi khawatir akan menghabiskan waktu berjam-jam berikutnya untuk menata rak-rak.” Meskipun melalui penglihatan yang kurang, aku bisa melihatnya menggelengkan kepalanya. “Tak pernah ada semacam ini di Alexandria.”

”Apakah kamu ingin aku membantu?”

“Tidak, tidak, terima kasih. Aku yakin kita bisa melakukannya dengan ‘Permisi, Tuan, buku itu bukan untuk dipinjamkan’.”

Sambungan pun terputus.

 

***

 

Minggu berikutnya, seusai bekerja seperti biasa, aku pergi ke perpustakaan selagi masih buka. Pemberitaan tidak banyak membahas tentang hilangnya pengambilan data akademik negara. Sehingga, tidak mengherankan jika antrian yang mendaftar untuk menjadi pembaca bahkan lebih panjang dibandingkan sebelumnya. Melewati area meja tempat aplikasi diproses, aku menyadari bahwa hal itu hanya akan membuatnya lebih lama.

Pekan lalu, dengan antusiasme pustakawan untuk para pembaca baru, meja telah dijaga oleh semua staf yang paling cerdas dan tercepat. Hari ini, hanya ada satu pustakawan yang bertugas; orangnya agak jompo, tuli, dan bijaksana melayani.

Kepala perpustakaan tidak ada di kantornya. Aku juga tidak dapat menemukannya di aula dan ruang baca yang masih penuh sesak. Ini menjadi pencarian yang sangat teralihkan atas fakta di hadapanku tentang penyalahgunaan buku yang merajalela. Ketika aku kembali ke Aula Besar, aku merasa gemetaran akibat hal-hal mengerikan yang telah aku lihat.

Di sinilah, utusan pustakawan akhirnya menemukanku. Aku dibawanya turun melalui semua tingkat perpustakaan ke lantai dasar. Di sana, aku menemukan pustakawan dan menghampirinya sambil merentangkan tangan.

“Temanku tersayang, bagaimana kamu bisa tahan?”

Pustakawan itu berhenti sejenak dengan pekerjaannya. “Ah, aku senang dengan perkataanmu. Terkadang aku berpikir aku hanya seorang bujangan tua, tumbuh dengan caranya sendiri, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan zaman modern. Tapi kamu setuju; perilaku ini keterlaluan. Itu tidak bisa dilanjutkan.”

“Apakah kamu akan menghubungkan kembali perpustakaan kepada jaringan?”

Pustakawan itu menggelengkan kepalanya, agak sedih. “Seandainya semudah itu. Tampaknya tidak ada perbaikan yang mungkin. Tentu saja, pada akhirnya agen-agen luar akan melacak kesalahan dan memperbaikinya. Tapi waktu adalah esensi di sini. Jika tindakan tidak segera dilakukan, beberapa buku akan menjadi rusak tanpa bisa diperbaiki. Sebagai seorang penulis segala hal di abad ke-20 yang terlupakan; aku menerima risiko hukuman. Tuhan akan membebaskanku karena Dia tahu aku bertindak untuk kemuliaan-Nya. Tugasku adalah melindungi perpustakaan. Atau, seperti yang ditulis oleh penulis yang bahkan lebih tidak jelas—jika kamu akan memaafkan ketidakakuratan dan parafrase; aku adalah salah satu penguasa rahasia dunia. Akulah pustakawan. Aku mengontrol informasi. Jangan pernah membuatku kesal.”

Pustakawan itu berdiri.

“Ayo,” katanya, “mari kita bergegas melihatnya.”

Kami keluar dari lift dan menuju beranda atap.

Melihat ke bawah, jauh ke bawah, aku bisa melihat arus pustakawan yang terus-menerus memuat buku ke belakang armada truk.

“Ke mana mereka membawa buku-buku itu?,” tanyaku.

“Sebuah perpustakaan adalah hal ideal di masa aman sebagai tempat belajar bagi para sarjana. Akan tetapi, bagaimana dengan zaman yang kurang pasti? Sejarah mengajarkan kita bahwa koleksi terbesar sekalipun bisa menjadi korban dari gerombolan yang bodoh jika mereka tidak dijaga. Jauh dari sini, kami mempunyai ketentuan yang dibuat demi keamanan buku-buku ini; yaitu perpustakaan lainnya yang aman dan terselamatkan. Tapi yang paling penting, adalah rahasia. Dan ke situlah, aku membawa buku-buku itu.”

Aku memperhatikan truk-truk terakhir melaju pergi, menghilang menuju senja. Kami terdiam berdiri ketika malam tiba di atas kota. Jauh di bawah, perpustakaan telah menutup pintunya. Pustakawan sedang menunggu sesuatu meskipun aku tidak tahu apa itu.

Kemudian, dengan tanpa keributan, satu per satu lampu padam. Sebuah keheningan yang tidak wajar mulai menyebar ke seluruh kota saat kegelapan menyebar.

“Apa yang terjadi?”

“Apakah kamu ingat pertanyaanmu kepadaku; yang mana yang lebih penting: buku atau manusia? Tentu saja, jawabanku agak lucu. Tapi aku menjadi semakin khawatir tentang perbedaan antara peradaban saat ini dan semua buku yang mewakili: cerita, pengetahuan, seni, hukum, dan sains. Kejadian beberapa hari terakhir telah memutuskanku. Jika bahkan para sarjana tidak dapat dipercaya terhadap buku, maka masyarakat ini tidak lagi dapat disebut beradab. Oleh karena itu, sekarang saatnya untuk memulai lagi.” Dia menunjuk ke arah sebaran palung kegelapan—yang kian menumpuk jeritan dan pekikan kematian. “Jika kamu tahu apa yang harus dilakukan, mekanisme yang kompleks mudah dihancurkan. Banyak hal dapat ditemukan di buku-buku lama yang terlupakan.”

“Tapi, tapi, mereka akan memperbaikinya. Mereka akan menemukan apa yang telah kamu lakukan dan memperbaikinya.”

“Tak semudah itu, temanku. Proses yang tak dapat dihentikan telah digerakkan. Ayo, saatnya untuk berangkat. Meskipun,” dan pada titik ini, aliran listrik gagal mengunggah cahaya listrik perpustakaan itu sendiri, “aku khawatir kita harus menggunakan tangga.”

Yang terakhir kali aku lihat dari teman waktu tertentuku adalah ketika dia naik ke truk terakhir untuk meninggalkan perpustakaan dan pergi menuju kegelapan.

Sekarang, aku menuliskan ini dengan cahaya lilin, beberapa bulan kemudian (aku takut aku telah melupakan ketepatan tanggalnya). Aku akan menyegel kesaksianku ke dalam botol dan meletakkannya di tempat yang tersisa di perpustakaan—karena banyak bangunannya telah dihancurkan oleh kerumunan beberapa minggu yang lalu meskipun mereka tidak menemukan makanan atau bahan bakar. Jika suatu hari nanti, teman lamaku muncul dari tempat kudusnya dengan buku-buku untuk memulai peradaban baru, aku berharap catatanku dapat ditemukan: sebuah catatan singkat tentang akhir dunia.

 

DailyScienceFiction.com, 5 Agustus 2011

_

 

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Tidurnya di perpustakaan lorong menuju sumur belakang rumah.]

 


Cerpen ini dipungut dari DailyScienceFiction.com untuk disebar gratis dengan alihbahasa Indonesia kepada kaum pembaca blog kami. Tautan naskah asli bisa dibaca di sini.