‘Singapore of Java’: Menjadi Kota PLTU?

 

*)Penulis: Toto Priyono. Bermukim di Cilacap sambil meminati kajian sosio-humaniora dan beresai.

Bagi kaum awam seperti mereka dan saya, menjadi “Singapura-nya Indonesia” berarti akan terciptanya gedung-gedung tinggi, rapi, indah, dan maju. Banyaknya pekerjaan yang tersedia nanti di kota metropolitan mirip Singapore ini dengan julukan “The Singapore of Java” sangat membantu kami warga sebagai warga Cilacap karena kami tidak perlu susah-susah merantau ke kota lain untuk mencari sesuap nasi, bahkan sampai ke luar negeri (ke Singapura-nya betulan).

Memang pada tahun 2014 lalu, politikus yang menjabat Presiden untuk kedua kali, Bapak Republik Indonesia tercinta, Joko Widodo, sempat mencanangkan bahwa Cilacap akan menjadi Singapura-nya Indonesia lewat industri yang akan dibangun di Cilacap, yakni PLTU (pembangkit listrik tenaga uap). Tentu kabar baik ini diterima dengan senang oleh semua pihak lapisan masyarakat. Harapan mereka mungkin akan menjadi kebenaran karena yang bilang sendiri adalah Jokowi, calon presiden Indonesia waktu 2014 itu dan juga belum lama tahun 2019 ini.

Namanya juga orang desa, melihat Singapura itu hanya di gambar saja. Kotanya begitu maju, sampai-sampai dengan Photoshop (aplikasi edit foto), mereka gambarkan Kota Cilacap yang maju. Dari perbatasan Kota Cilacap, terlihat megah diisi oleh penggambaran dengan bentuk gedung-gedung tinggi yang mewah dan megah. Sayang, dokumentasi itu sudah tidak terlihat di berbagai media sosial tentang Cilacap; jadi gambar tersebut tidak saya bagi di sini, tetapi jika Anda orang Cilacap pasti mengetahui.

Orang berharap boleh saja (menggambarakan kegembiraan?). Apalagi, jelas boleh asal “kalau tidak sesuai harapan jangan kesal”. Tentu harapan kemajuan kota menjadi gambaran warga Cilacap yang girang akan wacana Jokowi yang dulu bahkan hingga kini saat menjabat sebagai Presiden Indonesia.

Tetapi apakah harapan tidak hanya menjadi harapan? Sudahkah Cilacap selangkah memiliki kemiripan dengan panutannya, Singapura? Inilah yang akan dipertanyakan; realitas kini dan progres kemajuan dari Cilacap itu sendiri sebagai “The Singapore of Java”.

 

Cilacap Kini Kota PLTU

Gagasan menjadi Singapura-nya Jawa memang mungkin. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memberikan jargon yang sama; bahwa Cilacap dapat menjadi Singapura-nya Jawa. Tentu alasan Pemkab sendiri akan datangnya investasi besar-besaran ke Cilacap menjadi faktor ketertarikannya bertumpu pada PLTU yang akan dibangun di Cilacap—yang kini sudah terbangun dan sebagian lagi telah berfungsi. Tetapi sejak dalam pembangunannya, dari satu PLTU hingga sekarang, yang telah mencapai empat pembangkit PLTU, geliat investasi di Cilacap cenderung stagnan. Memang sedikit ada kenaikan, tetapi sifatnya hanya akomodasi proyek PLTU saja.

Saya kira pengembangan infrastruktur menjadi biang tersendatnya investasi ke Cilacap. Kota yang buntu membuat enggannya para investor menanamkan modalnya ke Cilacap. Mengapa untuk menarik Investor dibutuhkan infrastrukur? Jelas, untuk menunjang faktor distribusi barang jadi produksi dan barang mentah untuk diproduksi oleh industri.

Jargon Cilacap untuk menjadi Singapura-nya Indonesia di Jawa pada saat itu, menurut saya terkesan hanya manifesto PLTU dengan segenap janjinya “sebagai kepentingan proyek strategis nasional pemerintahan Jokowi” untuk tidak mendapat banyak pertentangan masyarakat. Dengan kurang berkembangnya investasi di Cilacap, jika memang Cilacap akan dijadikan oleh pemerintah pusat menjadi “The Singapore of Java”, tentu pemerintah pusat menggiring investor ke Cilacap dan menyiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu sebagai kawasan ramah Investor.

Bukankah kenyataannya itu tidak dilakukan oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Cilacap sendiri yang mendukungnya? Oleh karenanya, janji daerah maju dan investor datang seperti hanya gurauan politikus yang sudah biasa terjadi. Memang, saya di sini tidak tahu bagaimana investasi di Cilacap akan berkembang nantinya.

Tetapi kita boleh sejenak berpikir secara rasional, bagaimana investor akan datang ketika infrastrukturenya belum siap? Adanya PLTU sebagai bahan utama masuknya investor memang hanya ucapan manis kepada masyarakatnya saja, buktinya tetap nihil. Produksi listrik PLTU yang produksi listriknya dapat disalurkan kemanapun asal terdapat penghantarnya, itu yang tidak terbaca oleh masyarakat dan pemerintahan daerahnya, dalam hal ini: Kabupaten Cilacap.

Infrastruktur yang mandeg di Kabupaten Cilacap sendiri membuat investasi di Cilacap masih kalah jumlahnya oleh kabupaten-kabupaten lain di Jawa Tengah, yang lebih siap dalam infrastruktur seperti Solo, Klaten, Salatiga, dan Sukoharjo. Mengapa investor memilih daerah mereka?

Tentu karena faktor Tol Trans Jawa yang mengakomodasi sebagai akses kebutuhan utama industri yang diperlukan. Daerah jalur Tol Trans Jawa sendiri mendapat berkah sebagai wilayah industri baru pindahan industri dari Jabodetabek; yang di sana dinilai tidak banyak menguntungkan karena faktor pengupahan yang sudah tinggi kepada buruh.

Dengan berubahnya iklim wilayah sebagai tujuan investasi industri dan infrastruktur yang cenderung belum menampakkan kemajuan di Kabupaten Cilacap, membuat Cilacap hanya akan dihuni oleh Industri PLTU yang akan terus berekspansi. Kini sudah ada empat PLTU yang sudah terbangun di Kabupaten Cilacap. Mungkin jika ke depan tidak ada penolakan berarti dari masyarakat Kabupaten Cilacap, selama konsumsi listrik di Jawa dan Bali masih kurang, terus menambah PLTU di Kabupaten Cilacap adalah jelas menjadi kenyataan itu.

Rayuan investasi dari adanya PLTU sendiri sudah tidak akan bisa diharapkan lagi bagi masyarakat Kabupaten Cilacap. Yang ada, Cilacap kini menjadi Kota PLTU dengan berbagai dampak sosial atau dampak lain seperti kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari aktivitas produksi industri PLTU itu sendiri. Sekali lagi, wacana keuntungan investasi dari industri PLTU sampai jargon “The Singapore of Java” adalah kebohongan belaka.

Tidak lebih, hanya upaya strategi dari Pemerintah Pusat dan Daerah yang setuju pembangunan PLTU sebagai proyek strategis nasional yang tidak menguntungkan masyarakat Kabupaten Cilacap tetapi justru merugikan masyarakat di sekitarnya. Bukankah kasus rencana pemindahan siswa SDN 03 Slarang pada Kamis (4/4/2019) karena terdampak proyek pembangunan PLTU Karangkandri di Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, sudah menjadi bukti yang merugikan masyarakat itu?

Terkadang, harapan, wacana, dan kenyataan tidak semua berbanding lurus; begitu pun dengan investasi kemudian julukan “The Singapore of java”. Semua hanyalah bentuk rayuan indah untuk menggiring opini supaya industri—dalam hal ini PLTU—tidak mendapat penolakan berarti dari masyarakat Kabupaten Cilacap itu sendiri.

Bagaimanapun, semua industri ada nilai kurang dan lebihnya; tinggal masyarakat lihat, jika dampak lingkungan tidak diperhatikan oleh manajemen PLTU, maka menentang adalah sesuatu yang perlu. Perkara nanti di masa depan ketika banyak PLTU itu tidak terpakai lagi dan hanya akan menjadi barang bekas yang rusak, mungkin julukan Cilacap sebagai Kota PLTU berganti menjadi Kota Penampung Rongsok PLTU.