Mengapa Harus Menjalani Asmara Digital?

Ilustrasi dari deccanchronicle.com.

 

*)Ditulis oleh Toto Priyono. Esais, penekun sosio-humaniora, dan bermukim di Cilacap.

Pada dasarnya, asmara merupakan suatu hal yang tertunggu oleh manusia. Bayangan bahagia dengan ber-asmara sendiri menjadi dasar bahwa; mereka (manusia) harus ber-asmara—apapun keadaannya—termasuk dengan cara menjalin asmara secara digital di era teknologi maju ini.

Asmara sendiri yakni suatu jalinan. Mungkin dapat dikatakan sebagai tali kasih antara pria dan wanita yang sama-sama berharap saling membahagiakan antarsatu dengan lainnya.

Tentang berbagai cara itu—antara manusia dan peradaban, bukan saja manusia dihadapkan pada realita yang harus mencari jalan bagimana ber-asmara secara efektif di era masyarakat teknologi maju ini, tetapi juga membuat alternatif secara pribadi sebagai solusi bersama yang sama-sama menang untuk dijalani.

Kehidupan manusia abad 21 yang kompleks bukan hanya menjadi catatan penting, dan ketika orang mencatat di sana, manusia harus memikirkan sebuah solusi, dan dengan cara apakah hidup di era teknologi ini? Kiat-kiat seperti apakah agar semua menjadi seimbang; termasuk dalam menjalin asmara itu sendiri antara menjadi pria dan wanita?

Memang harus dikatakan berkali-kali bahwa ketika manusia tidak memanfaatkan teknologi betul di abad 21, ia bukan hanya akan terasing, tetapi terpenjara oleh sistem hidup yang jika disadari mengekang manusia tanpa ampun. Industrialisasi, modal, kerja, dan konsumsi merupakan entitas yang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia abad 21.

Manusia butuh kerja untuk mendapat uang, tentu uang itu sebagai bahan atau alat bertahan hidup. Namun harapan akan uang dari kerjanya, apakah secara mudah dapat menjawab segala kebutuhan selain kebutuhan pokok; yakni dalam hal mengakomodasi kebutuhan ber-asmara tersebut yang jalinannya juga butuh modal di dalamnya?

Banyaknya industri yang sama atau ekonomi yang bebas dalam menjalankannya, bukankah itu menjadi problematika baru dalam setiap pendapatan—dalam hal ini, bagi “buruh” industri?

Di mana persaingan dalam bisnis yang tidak sehat akan mempengaruhi harga produksi sendiri, yang berimbas pada upah buruh abad 21 yang cenderung murah? Belum lagi dengan regulasi pengupahan minimum dari pemerintah yang sangat minim jumlahnya; yakni hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari di wilayah tertentu saja.

Keterikatan bukan hanya dengan uang, tetapi juga waktu dan jarak yang manusia abad 21 harus tempuh sebagai mengisi hidup itu sendiri. Contohnya, sebuah gambaran di kota kecil seperti Cilacap yang ruang industrinya begitu sempit dan jumlanya dapat terhitung jari. Belum lagi  dengan ukuran nilai UMK (upah minimum kabupaten) yang relatif kecil sendiri membuat anak muda harus menjadi pekerja urban agar hajat hidup mereka melalui apa yang dibutuhkan sebagai akomodasi hidup sendiri dapat terpenuhi dari upah kerja mereka.

Saya kira menjadi kaum urban pun secara tidak langsung adalah solusi terbaik untuk meniti jalan yang lebih baik daripada harus di tempat yang kurang mendukung dalam hidup. Mungkin ini dapat dikatakan sebagai hijrah untuk menjadi manusia lebih baik itu. Dan bagaimana manusia abad ke-21 ini mengukur kadar baik untuk dirinya sendiri?

 

Hidup secara baik abad ke-21 adalah mereka yang secara ekonomi lebih sebagai nilai agar akomodasi hidup mereka seperti menikmati fasilitas hidup seperti rumah, kendaraan, dan menikmati tempat makan mewah dapat terpenuhi, tentu tidak ketinggalan di sini adalah kebutuhan bahagia atas asmara itu sendiri. Namun menjadi problematika baru menjadi ber-asmara abad 21. Tidak mudahnya mencari akomodasi dalam memenuhi kebutuhan adalah biang dari masalah ini. Manusia tidak bebas dengan pemilihan-pemilihan dimana ia harus bekerja, ia harus melanjutkan kuliah, dan ia harus melanjutkan hidupnya sendiri.

Saat bekerja harus terpusat di kota industri, kuliah di pusat-pusat kota pelajar, dan melanjutkan hidup sebagaimana lingkungan itu mendukung untuk hidup manusia yang membutuhkan uang di dalamnya sebagai alat dari hidup.

Harus diakui bahwa abad 21 merupakan peradaban yang kompleks, harapan manusia tidak dapat menjadi sederhana. Hidup dengan cara sederhana berasa menjadi manusia yang kuno. Apakah di abad 21 ini untuk bahagia dengan ber-asmara sendiri menjadi sulit dan sesuatu yang sangat membutuhkan perjuangan termasuk ber-asmara secara digital itu sendiri di abad ke-21 ini?

Inilah yang bukan hanya akan menjadi fenomena baru di abad-abad berikutnya paska abad ke-21. Tetapi menjadi tantangan manusia dalam menanggapi industri dan teknologi. Ruang dan waktu manusia hidup tidak segampang keputusan yang ia harus jalani tanpa memandang dampak yang harus mereka terima. Hidup jauh dengan keluarga dan orang-orang terkasih dalam balutan asmara seperti telah menjadi resiko yang harus manusia terima di dalamnya.

Tentu peradaban abad ke-21 merupakan peradaban dengan keterpilihan tinggi. Manusia bukan hanya harus menjadi manusia, tetapi menjadi nilai di balik kelebihan apa yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Terus bertambahnya penduduk bumi dan tenaga manusia yang harus terkurangi karena teknologi sendiri menjadikan semua serba diteknologikan; termasuk dalam ber-asmara itu sendiri karena tuntutan ruang dan waktu dalam menjalani kehidupan.

Sebagai contoh kasus misalnya; mungkin ini adalah realita yang terjadi di abad 21 dalam manusia memandang asmara: “jarak yang terpisah jauh dan hidup bersama menjadi tidak mungkin karena pendapatan sebatas upah minimum yang hanya dapat memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri”. Ketika akan sama-sama bekerja di daerah yang sama “bisa”, mencari pekerjaan di abad 21 ini bukan perkara yang mudah.

Pekerjaan memang banyak tetapi dengan “kerja kasar” dan gaji di bawah upah minimum, apakah manusia yang menganggap dirinya manusia dengan pendidikan tinggi—yang banyak disandang manusia abad 21 ini—mau untuk menjalaninya tanpa adanya sedikit gengsi bahwa: “aku ini seorang sarjana” tidak pantas dibayar murah dan bekerja secara kasar?

Saya kira nasib manusia merupakan nasib dari ketentuan orang lain, semua serba orang lain. Karena tentu orang lain adalah wacana manusia mengukur dirinya sendiri. Dia, “manusia”, dapat nasib seperti ini karena orang lain tidak bisa sama bernasib seperti dia. Bukankah ini juga terjadi pada nasib ekonomi rumah tangga dimana kelas menjadi barometer dalam mengukur kondisi ekonomi saat ini?

Ada kepentingan untuk hidup dan keinginan dari rasa bahagia itu sendiri. Hidup memang perlu materi, tetapi seberapa banyak orang yakin akan kebahagiaan yang mereka dapat hasilkan dari asmara?

 

Tentu banyak dari kita percaya itu, tetapi apakah mungkin dengan berbagai ruang-ruang dan waktu yang terepresi sebagai akomodasi mengejar itu semua, yang mau-tidak mau manusia harus menjalaninya seperti dia harus bekerja jauh dari orang yang terkasih, tentu karena keadaan untuk memperbaiki mutu ekonomi mereka sendiri, bukankah harus ada sesuatu kerelaan yang harus dikorbankan?

Hanya saja tetap menjadi pertanyaan lagi, bagaimana mencari solusi dari ruang dan waktu yang terepresi di abad 21 ini? Asmara dan setiap bentuk transformasinya pada setiap jaman, mungkin juga mengikuti peradaban yang ditawarkan termasuk enggannya manusia untuk menjadi primitif kembali dengan makan -gak makan asal kumpul.

Namun manusia cenderung ingin berubah menjadi lebih dan lebih lagi dari saat ini. Tetapi apapun bentuk dari transformasi, kehendak manusia sepertinya memang menyembah pada perubahan dan seorang yang hidup di dalamnya harus mampu; setidaknya mengikuti arus berbagai perubahan yang dunia ini tawarkan.

Perubahan dalam menjalani hidup ber-asmara sendiri memang bukan sesuatu yang harus ditawar lagi, tetapi dijalankan sebagaimana dapat efisien dan efektif dalam setiap bentuk keluaran kebahagiaan yang dihasilkan. Tidak peduli lagi secara fisik tidak bersentuhan, tetapi secara mental ia dapat disatukan.

Namun jika dihadapkan dengan bagaimana asmara secara digital itu dipikir, bukankah menjadi sesuatu yang ganjil manusia bercinta dengan hand phone-nya sendiri, laptopnya sendiri, bahkan imajinasinya sendiri yang terkadang ia tidak sadar pada setiap saat-saatnya; bahwa ia justru mencintai laptop atau hand phone-nya sendiri?

Kehidupan yang menuntut memang seperti harus dijalani manusia. Tetap kembali lagi pada pemikiran-pemikiran yang semakin kompleks dalam menanggapi sesuatu dasar dari ruwetnya sebagai manusia. Kembali hanya konsekuensi yang berbicara pada akhirnya, seperti yang sebelumnya sudah saya katakan: “manusia dapat melakukan ini karena ia tidak bisa melakukan itu”.

Mungkin menjadi benar; solusi dari keterpisahan jarak karena sama-sama mempunyai tujuan sendiri tetapi menginginkan jalinan asmara, ya, mau-tidak mau teknologi harus dilibatkan. Tentu sebagai jawaban dari status itu sendiri, adanya keterpisahan karena jarak, ruang, dan waktu; bahwasannya orang-orang juga ingin bahagia di balik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bagaimanapun caranya.

Seperti berbagai manusia di sana yang berani bekerja jauh sampai keluar negeri, bukankah teknologi sangat membantu mereka dalam mengkomunikasikan; bahwa aku istri, pacar, atau ayah bagi mereka-mereka yang tidak melihatnya secara langsung dan teknologi menciptakan itu melalui layar-layar digital yang dapat manusia nikmati di abad 21 ini?

Itu antara kebahagiaan dan cita-cita menjadi pemilik ekonomi yang lebih baik. Karena saya di sini berpandangan; cita-cita manusia abad 21 ini bukan menjadi suatu profesi. Setiap profesi di abad 21 ini tidak menjamin kekayaan, namun jika ditilik secara mendasar, cita-cita manusia ingin kaya karena tawaran konsep dari bahagia; termasuk tidak terpisahnya dirinya bersama seorang yang terkasihnya karena motif pencarian ekonomi.

Dan jika ekonomi belum menjawab setiap akomodasi hidup itu, mejalani kisah asmara secara digital seperti menjadi solusi bahwa rasa bahagia harus tetap menyala; memenuhi kebutuhan hidup dari pendapatan untuk konsumsi dalam ekonomi baik untuk memenuhi dirinya sendiri atau keluarga seperti sudah harga mati walaupun: harus terpisah jauh antara ruang, jarak, dan waktu.