Debu

 

“The March of Intellect” karya Robert Seymour; ilustrator grafis Inggris, pada 1828.

 

*)Karya Taufik NurhidayatManusia yang ada-ada saja(k).

Ibarat debu

Nasib kami disapu

dari pinggiran

bangunanmu

 

Bangunan yang tegang

menghadap angan

ketika listrik disajikan

dengan bumbu-bumbu

niat baik kesejahteraan

masyarakat Jawa

 

Ibarat debu

Nasib kami disapu

dari cerita

kejayaanmu

 

Kejayaan yang memaksa

hidungku sesak, paru-paruku rusak,

dan orang-orang kami

tiada melaut

menekuni limbahnya

 

Ibarat debu

Nasib kami bukan catatanmu

Bukan catatan keuntungan

karena kerugian musti disingkirkan

seperti kehendak kami

pada kampung kami

 

Ibarat debu

Orang-orangku

adalah sisa-sisa

di hadapan cerobong asap

Orang-orangku

adalah sisa-sisa

sebab desa tak laku

pada kota

 

Orang-orang kami

adalah sisa-sisa

tanpa pertemuan-pertemuan,

tanpa perjamuan-perjamuan

pada hotel, pada gedung

di mana nota, naskah pembangunan

menjadi absah

 

Menjadi kuasa

atas kehidupan kami,

atas lingkungan kami,

atas limbah-limbah

yang menunda

pencaharian nelayan

 

Kilang-kilang menjulang

terlalu lama

Kilang-kilang bersambar api

itu pertanda

ada upaya;

hidupmu diupayakan!

 

Malam merah pada langit kota

Hari berdebu pada jalanannya

itu pertanda

ada upaya;

hidupmu diupayakan!

 

Kilang-kilang, malam merah,

debu jalanan itu pertanda;

kita musti berupaya!

 

Dan ibaratnya debu

Nasib kami disapu

dari rumah-rumah ibadah

yang menengadah

menadah

suapan angkara

 

Juga ibaratnya debu

Nasib kami dibersihkan

dari naskah-naskah

tapi kami datang lagi

menempeli aksara-aksara

sebelum semua bermuara

menjadi angka

 

Debu adalah

keniscayaan dari upaya

Debu adalah kenyataan

aksara pembangunan

Tapi debu menamparmu,

menakutimu

menuju pekuburanmu

akan nasib baik nan bahagia

Debu menakutimu

akan rakyat yang durhaka

Menakutimu

akan kuasa yang kualat

Debu bisa satu

menggelombang

menyapu menyerbu

pada bangunan-bangunan

yang diam;

di baliknya menyimpan

nota-nota suguhan

angkara

 

Debu menerjang matamu

Mengajar pilu

Mewarna kusam

di suara-suara pemilu

 

Debu menyesaki

tenggorokanmu

Mencampuri suaramu

Mencampuri urusanmu;

hingga bertanya:

apa urusannya PLTU

pada bupatiku?!

 

Debu memaksamu

menatap

truk-truk kemas

yang liar menjalang

menerjang kebingungan

warga kota

pada apa yang diyakininya:

industri atau mati

 

Debu melihatkanmu

Segala urusanmu

disapu dari

deru roda-roda

jika kamu

tak mau lari dengannya

pada sirkuit

arena industri

 

Tapi debu sekali lagi

menamparmu,

menyesakimu,

mencampuri

pada urusanmu

untuk bertanya:

kenapa usai disapu

malah datang lagi?

 

Ya, debu-debu

Mereka bersamamu

Melekat pekat

pada dirimu,

pada pikirmu,

pada urusanmu

dan kita sering

beriring

layaknya debu

 

Kadang satu
Kadang menggelombang

Menyeruak

Menyambar

Berpencar pada

dinding-dinding tanya

Dilanda kebingungan

 

Debu itu gurumu

Teman ajarmu

Bagaimana dilindas

masih beringas

Bagaimana tak disangka

menohok mata

Ya, menohok mata;

tohoklah mata penguasa!

 

Dan akhirnya

memang debu

Nasib kami disapu

Kita disingkirkan

dari picingan kuasa

dan tidak lupa:

kami menohok mata!

 

 

Seberang Nusakambangan, 2 Sapar 1441