Sekarang, Berhentilah Memuji Orang-orang Ternama

*)Ditulis oleh David V. Johnson. Deputi editor jurnal Stanford Social Innovation Review. Senior editor untuk Al Jazeera-AS, juga menulis opini untuk The New York Times & USA Today. Esais dan pengamat sosial yang tinggal di Berkeley, California.

Katedral Notre-Dame di Paris hampir sepenuhnya terbakar pada bulan April 2019 ini. Setelah kejadian itu, François-Henri Pinault—jutawan dan pemilik barang-barang mewah di Perancis—dielu-elukan karena menyumbangkan 100 juta euro untuk merekonstruksi apa yang disebutnya sebagai “permata warisan kami”.  Ia juga menghimpun sumbangan yang membludak dari para dermawan dan perusahaan lainnya.

Meskipun angka sumbangannya mengagumkan secara abstrak, apa yang diberikan Pinault hanya mencerminkan 0,3 persen dari kekayaan keluarganya. Jika kekayaan bersih Pinault sebanding dengan rata-rata rumah tangga Perancis dan menyumbangkan 0,3 persen dari kekayaannya, maka sumbangannya hanya berkisar 840 euro. Angka sekian bukanlah jumlah yang tidak berpengaruh bagi rata-rata orang Perancis. Tapi, siapalah yang menolak memberikan jumlah sebanyak itu jika bisa mendatangkan pujian dan kemasyhuran dengan cara berdonasi ala Pinault?

Kita hidup di zaman yang melebih-lebihkan pujian kepada orang kaya dan berkuasa. Kalangan kelas atas bermandikan lautan penghormatan, penghargaan, dan selebritas. Kita melihatnya pada majalah-majalah mengkilap dan menyaksikannya pada festival-festival kreatif—tempatnya para milyarder dijilat dan bersenda gurau. Kita memuji para filantropis karena sumbangan mereka; bahkan jika amalnya tidak akan bermanfaat banyak bagi masyarakat atau bahkan jika perilakunya begitu tercela untuk memperoleh kekayaan. Kita memuji mereka karena berkecimpung dalam politik atau mengupayakan reformasi pendidikan sebelum kita melihat hasilnya—dan bahkan jika kita mempunyai alasan untuk meragukan kebaikan yang akan mereka lakukan.

Kritik atas pujian kita yang berlebihan terhadap orang kaya dan berkuasa tentunya akan menimbulkan pertanyaan tentang meritokrasi (cara saling menghargai berdasarkan prestasi). Sejauh apakah kita hidup dalam meritokrasi? Apakah itu hal yang baik atau buruk?

Meritokrasi adalah sebentuk sistem sosial yang didirikan atas dasar pujian dan kesalahan. Orang-orang menandai siapa yang pantas mendapatkan kekuasaan dan status dengan memuji mereka karena karakternya, bakatnya, produktivitasnya, dan tindakannya. Meritokrasi juga menandai siapa yang pantas diturunkan derajat status dan kekuasaannya berdasarkan kejahatannya, ketidakmampuannya, dan kegagalannya. Selama penilaian atas pujian dan kesalahan orang bisa akurat, orang-orang akan mempromosikan mereka yang dianggap lebih baik dan menurunkan mereka yang dianggap lebih buruk dalam hierarki kekuasaan dan status. Orang yang dianggap lebih baik akan melakukan hal-hal yang lebih baik dengan kekuatan dan status superiornya. Ketika sistem ini bekerja, kita akan memiliki aristokrasi; yang menurut filsuf Aristoteles sebagai konsep pengaturan sistem oleh orang-orang yang (dianggap) terbaik.

Sistem ini tidak berlaku dan tak akan bisa bekerja dengan ketentuannya sendiri. Penilaian atas pujian dan kesalahan cenderung mencerminkan hierarki kekuasaan dan status yang sudah ada sehingga semakin memperkuat status dan kekuasaan tersebut. Ini dikarenakan pujian dan penyalahan akan banyak membuat “orang yang dinilai” menjadi sebagaimana “penilaian terhadap orang tersebut”.

Jika setiap orang ingin maju dalam meritokrasi, penilaian terhadap pujian dan kesalahan akan dipengaruhi oleh apa saja yang membantu orang tersebut  untuk menjadi maju—yaitu dengan menumbuhkan pujian kepada orang yang kuat dan dihormati, serta menghukum mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan status. Hal ini jelas sama benarnya dengan meritokrasi yang ditolak secara terbuka oleh sebagian besar orang; seperti supremasi kulit putih dan patriarki—atau hierarki yang ditegaskan berdasarkan garis ras dan gender. Tanpa penilaian moral yang mendasar pada landasan pun, sistem-sistem semacam ini tetap ada karena orang-orang yang hidup di dalam meritokrasi diberi imbalan keuntungan untuk menganggap penilaian semacam itu adalah sah.

Secara umum, meristokrasi meyakinkan mereka yang berada dalam sistemnya untuk menggaungkan penilaian moralnya sebagai tujuan dan pembenaran. Padahal mereka sebenaranya tidak dibentuk oleh kriteria obyektif melainkan oleh kualifikasi kekuasaan. Pujian dan penyalahan adalah pembutaan ideologis yang menjunjung tinggi legitimasi hierarki meritokrasi. Jika kita melihat lebih kritis pada diri kita sendiri dan penilaian moral kita, kita akan dapat dengan lebih baik menghilangkan tirai pembatas itu.

 

***

 

Asap puja-puji yang menembus hingga ke tingkat teratas masyarakat merupakan efek buruk dari imbalan yang menguntungkan. Sebagai individu, kita cenderung memuji orang lain dan mengadili pemujian karena kita ingin memenangkan niat baik orang lain dan menerima pembenaran dari niat baiknya. Terlebih lagi, kita akan mempunyai imbalan lebih besar bila memuji orang-orang kaya dan berkuasa; karena dengan memenangkan niat baiknya, kita akan dijamin oleh dukungan premium mereka; berupa kekayaan dan kekuasaan. Hingga pada gilirannya, kita akan menjadi lebih siap untuk mendapatkan pujian dari orang lain.

Semakin elitnya seseorang, maka semakin besar kemungkinannya untuk berselancar di atas pujian dari banyak orang kecil yang memohon bantuannya. Hingga sejauh zaman kita ini, ketimpangan yang masif menciptakan orang-orang yang semakin kaya dan semakin berkuasa. Maka pada tingkat setimpang ini, gelombang pujian yang berlebihan akan membengkak.

Kecenderungan pemujian semacam ini bisa menghasilkan umpan balik negatif: pujian terhadap orang kaya dan berkuasa akan menegaskan bahwa mereka adalah orang baik yang pantas mendapatkan kekayaannya; yang pada gilirannya dapat menambah kekayaan dan pengaruh mereka; dengan demikian bisa menarik lebih banyak pujian. Dan bahkan, sebenarnya kita bisa mengantisipasi efek ini.

Efek pujian berlebihan terhadap perilaku juga patut diperhatikan. Memuji orang, bahkan mereka yang pantas dipuji, sebenarnya dapat memiliki efek negatif pada perilaku mereka. Ada banyak studi psikologi yang menunjukkan bahwa orang rentan terhadap kompensasi moral. Artinya, ketika orang merasa dirinya telah terlibat dalam perilaku yang baik, ia juga merasa hal tersebut memberinya izin untuk bertindak buruk di masa depan. Kebalikan dari hal ini pun berlaku: ketika orang merasa dirinya telah terlibat dalam perilaku buruk, ia juga merasa dirinya harus menebusnya dengan bertindak lebih baik di masa depan. Jika kevalidan dari penelitian-penelitian ini bertahan lama, tampaknya riset ini membalikkan konsekuensi sosial dari pujian dan penyalahan. Memuji orang secara berlebihan dapat membuat mereka bertindak buruk, sementara menyalahkan orang dapat membuat orang tersebut diperhatikan dan memperkuat dirinya untuk berperilaku baik. Dan jika efek semacam ini hanya lebih cenderung mempengaruhi orang kaya dan berkuasa—karena mereka mampu berbuat lebih banyak berkat sumber daya & pengaruhnya, efek ini justru memperbesar bahaya dari perilaku buruk mereka.

Meritokrasi mencoba menetapkan kriteria obyektif demi membenarkan hierarki sosial. Hari ini, untuk menjadi seorang elit musti sering berkaitan dengan kepemilikan riwayat yang tepat; semisal memiliki sertifikat dari Oxbridge atau Ivy League, bertugas di perusahaan konsultan atau bank investasi terbaik, berjasa dalam politik atau pemerintahan, menulis buku, atau memberikan pembicaraan tentang karya Anda kepada pihak TED (semacam organisasi media yang mendukung kebebasan ide-ide).

Hal-hal penyokong riwayat seperti di atas menghendaki pembangunan bakat, penilaian, dan karakter yang dicari oleh orang-orang. Orang-orang yang memperoleh riwayat hidup seperti itu akan menerima rasa hormat dan penghargaan—meskipun prestasinya hanyalah konsekuensi yang dapat diprediksi karena dilahirkan dalam keluarga yang tepat, mengenal orang yang tepat, dan berkelakuan sesuai kehendak umum. Meritokrasi pun memberi umpan untuk berambisi dalam perolehan riwayat ini; terutama dalam penentuan kelayakan (kredensial) untuk memperoleh kekuatan dan status yang lebih hebat. Dengan fakta ini, semestinya tak ada alasan bagi masyarakat untuk menerima kredensial semacam itu sebagai dasar pujian yang obyektif.

Jika kita ingin menumbuhkan masyarakat yang benar-benar demokratis atau sebuah masyarakat yang  memperlakukan satu sama lainnya dengan setara, kita harus mengendalikan pujian-pujian yang berlebihan dan imbalan-imbalan yang berdampak buruk yang turut mendorong pujian itu. Kita musti mengarah pada hal-hal yang melawannya secara ekstrem; dengan cara menahan pujian-pujian dan menjadi lebih berhati-hati terhadap orang kaya dan berkuasa supaya bisa mewujudkan keseimbangan. Louis Brandeis; seorang hakim legendaris yang menyaksikan “zaman keemasan” kita sebelumnya, mungkin pernah mengatakan, “Kita mungkin memiliki demokrasi atau kita mungkin memuji beberapa orang tetapi kita tidak bisa memiliki keduanya.”

23 Agustus 2019

 

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Nggak suka dipuji dan risih dengan panjat sosial.]