Sebab Anak-anak Bertanya ‘Mengapa’ dan Bagaimana Membuat Penjelasan yang Bagus

*)Penulis Matteo Colombo. Asisten profesor pada Pusat Studi Logika, Etika, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di Departemen Filsafat, Universitas Tilburg, Belanda.

Saat umurku sekitar empat tahun, aku mempertanyakan suatu pertanyaan “mengapa” yang pertama kalinya kepada ibuku, “Ibu, mengapa Pippo hidup di dalam air?”

Ibu menjelaskan bahwa Pippo—ikan mas kami—adalah ikan dan ikan hidup di dalam air. Jawaban ini membuatku tidak puas hingga aku pun terus bertanya, “Mengapa ikan hidup di dalam air? Tidak bisakah kita juga hidup di dalam air?” Ibu menjawab bahwa ikan bernapas dengan mengambil oksigen dari air di sekitarnya dan manusia tidaklah bisa bernafas dalam air. Kemudian, aku bertanya tentang hal yang tampaknya tidak berkaitan, “Es terbuat dari apa?”.  “Es terbuat dari air, Matteo,” jawab ibuku. Dua hari kemudian, Pippo ditemukan dalam freezer kami.

Seperti kebanyakan bocah empat tahun, aku sering dikejutkan oleh hal-hal yang terjadi di sekitarku. Ketika aku mulai fasih berbicara, aku segera bertanya mengapa beberapa hal bisa terjadi. Kelakuanku ini sering mengganggu orang-orang dewasa. Ketika mereka bersedia menjawab pertanyaanku, penjelasan mereka membantuku memahami apa yang akan terjadi bahwa beberapa hal begitu berbeda. Terkadang, kesimpulanku begitu buruk—contohnya Pippo yang malang harus menanggung akibatnya. Namun begitu, kesalahan dan penjelasan bisa memandu penemuanku mengenai dunia. Artinya, aku mempraktikkan ilmu pengetahuan sebelum aku bersekolah dan aku pun menikmatinya.

Lantas seperti apakah “penjelasan yang bagus”? Bagaimanakah kita bisa menemukannya?

 

***

 

Secara tradisional, para filsuf ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan berkonsentrasi pada norma-norma yang mengatur praktik penjelasan para ilmuwan, lalu mengevaluasi norma-norma tersebut berdasarkan intuisi mereka pada sejumlah kasus yang melibatkan penjelasan yang terduga.

Dimulai dengan karya Carl Gustav Hempel—ahli filsafat keilmuan Jerman—pada 1960-an, para filsuf ilmu pengetahuan telah mengartikulasikan tiga model utama penjelasan. Menurut hukum Hempel, penjelasan adalah argumen yang menunjukkan bahwa apa yang sedang dijelaskan secara logis mengikuti beberapa hukum umum. Dengan model hukum yang berlaku, jika seseorang bertanya, “Mengapa tiang bendera tertentu menghasilkan bayangan yang panjangnya 10 meter?” Jawaban yang bagus harus menyebutkan hukum optik, ketinggian tiang bendera, dan sudut matahari di langit. Penjelasan semacam ini dianggap bagus karena menunjukkan “keadaan tertentu” dan “hukum dari pertanyaannya” untuk menjelaskan kejadian dari  fenomena yang terduga.

Pendekatan lainnya adalah dengan model “unifikasi” yang mengatakan bahwa penjelasan yang bagus memberikan laporan terpadu yang dapat diterapkan secara komprehensif untuk bermacam fenomena. Teori gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin adalah penjelasan yang menawan karena mereka menikmati kekuatan kesatuan yang menakjuban. Teori-teori tersebut terus-menerus menggunakan beberapa prinsip dasar yang dapat menjelaskan banyak fenomena. Dengan demikian, teori-teori kesatuan bisa meminimalisir hal yang dikatakan oleh ahli biologi Thomas Huxley bahwa “yang fundamental tidak dapat dipahami” pada tahun 1896.

Model sebab-akibat yang mekanis mungkin menjadi model yang paling populer di kalangan filsuf. Model ini menyatakan bahwa penjelasan yang bagus mengungkapkan unsur-unsur yang terorganisir dan perbuatan yang membuat sesuatu terjadi. Karenanya, jika seseorang bertanya, “Mengapa jendela itu pecah?”,  maka jawaban yang bagus menyatakan, “Karena seseorang melemparkan batu ke arahnya.” Atau jika seseorang bertanya, “Bagaimana darah mencapai seluruh bagian tubuh?”, maka jawaban yang bagus semestinya mencakup informasi tentang jantung, pembuluh darah, sistem peredaran darah, dan fungsi-fungsinya.

Model-model seperti di atas menangkap banyak bentuk penjelasan yang bagus. Namun para filsuf tidak boleh berasumsi bahwa hanya ada satu model penjelasan yang benar. Keputusan jawaban harus dibuat berdasarkan model mana yang memberi kita penjelasan sebenar-benarnya. Sebab, banyak yang berasumsi bahwa “satu ukuran” model penjelas tunggal bisa cocok untuk segala bidang penyelidikan. Asumsi seperti ini menjelaskan bahwa para filsuf sering mengabaikan psikologi tentang penalaran penjelasan.

Memberi jawaban bagus untuk pertanyaan “mengapa” bukanlah sekadar abstraksi filosofis. Sebuah penjelasan harus memiliki fungsi kognitif tentang dunia nyata. Dengan begini, tentunya akan memajukan pembelajaran dan penemuan. Teori penjelasan yang bagus sangat penting sebagai kelancaran navigasi lingkungan. Dalam artian, penjelasan adalah tentang apa yang dikenal sebagai pola tutur; yang merupakan ucapan untuk melayani fungsi tertentu dalam komunikasi. Mengevaluasi orang yang berhasil melakukan aksi bertutur seperti ini harus mempertimbangkan psikologi tentang penalaran penjelasan dan sensitivitas konteksnya yang tidak kentara. Pekerjaan luar biasa dalam psikologi penjelasan menunjukkan bahwa hukum-hukum, kesatuan, dan mekanisme sebab-akibat memiliki tempat dalam psikologi manusia guna melacak konsep-konsep yang berbeda yang dipicu berdasarkan para pemirsanya, minat, latar belakang keyakinan, dan lingkungan sosial seseorang.

 

***

Hasil psikologi juga mengungkapkan kesamaan yang mencolok antara penalaran penjelasan anak-anak dan para ilmuwan. Anak-anak dan ilmuwan memandang dunia dengan berusaha menemukan pola, mencari pengingkaran yang mengejutkan terhadap pola-pola itu, dan berusaha memahaminya berdasarkan penjelasan dan pertimbangan yang memungkinkan. Praktik penjelasan anak-anak menawarkan wawasan unik mengenai sifat penjelasan yang bagus.

Model-model penjelasan harus diukur melalui data aktual tentang praktik penjelasan berdasarkan psikologi—juga ilmu sejarah dan sosiologi. Kesimpulan ini juga berlaku untuk topik-topik tradisional lainnya yang dipelajari oleh para filsuf ilmu pengetahuan; seperti tentang konfirmasi, perubahan teori, dan penemuan ilmiah; yang mana terlalu sering menjadi teori filosofis secara abstrak dan mengaburkan pondasi kognitif ilmu pengetahuan.

Pokok-pokok studi penjelasan yang empiris akan dengan jelas memberi tahu kita mengenai sesuatu yang penting tentang bagaimana orang menjelaskan, apa yang mereka anggap berharga dalam penjelasan, dan bagaimana praktik penjelasan berubah sepanjang hidup seseorang. Jika setiap anak adalah ilmuwan alami, maka para filsuf sains sebaiknya memperhatikan psikologi penjelasan, pertanyaan “mengapa” anak-anak secara khusus, dan penalaran penjelasan. Mereka akan mendapatkan pemahaman yang lebih bernuansa mengenai apa yang membuat penjelasan menjadi bagus.

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Anak kecil yang jarang bertanya.]

 


Artikel ini didapat dari Aeon.co. Kru kami menerjemahkannya demi pengayaan wawasan pembaca secara gratis. Kabarkan!