[Cerpen/Mark Twain] Republik Gondour yang Aneh

*)Karya Mark Twain. Tokoh sastra realis Amerika Serikat.

Setelah sedikit belajar berbahasa, saya menjadi sangat tertarik pada urusan rakyat dan sistem pemerintahan.

Saya mendapati sebuah negara yang awalnya mencoba mengadakan pemungutan suara secara jujur dan sederhana. Tapi, pemungutan suara pun disingkirkan karena hasilnya tidak memuaskan. Sepertinya mereka telah menyerahkan semua kekuasaan ke tangan orang-orang jahil, gemar tak membayar pajak, dan menjadi suatu keharusan bahwa jabatan pihak-pihak berwajib dipenuhi oleh orang-orang semacam itu.

Solusi pun dicari. Orang-orang percaya bahwa mereka telah menemukan solusinya; yaitu bukan dengan cara meniadakan pemungutan suara; melainkan memperluas cakupannya. Itu adalah ide yang aneh sekaligus cerdik.

Anda harus mengerti bahwa konstitusi memberi setiap orang pilihan. Oleh karenanya, pemungutan suara merupakan hak pribadi  dan tidak bisa ditiadakan. Tapi konstitusi tidak menyatakan bahwa orang-orang tertentu tidak mungkin diberi dua atau sepuluh suara!

Maka, pasal-pasal amandemen bisa dimasukkan secara diam-diam; seperti mengesahkan pasal tentang perluasan hak pilih dalam kasus-kasus tertentu yang akan ditentukan undang-undang. Menawarkan “pembatasan” hak pilih mungkin akan membuat masalah instan. Justru, tawaran untuk “memperluas” jangakauannya memiliki aspek yang menyenangkan.

Tentu saja, suratkabar mulai terasa mencurigakan; dan kemudian, berdatanganlah mereka! Entah bagaimana, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik; properti, figur, dan intelektualitas mampu sekaligus mengayunkan pengaruh politik. Uang, kebajikan, dan kecerdasan bisa sekaligus bersatu demi mengambil kepentingan vital dalam persoalan politik; kekuatan ini pun sekaligus  mengawali pra-seleksi dengan kekuatan yang kuat; sekaligus juga, orang-orang terbaik negara ini diajukan sebagai kandidat parlemen yang urusannya harus memperluas hak pilih. Dengan setengah bimbang, pers segera bergabung dengan gerakan kekuatan baru ini dan meninggalkan separuh sisa idealismenya untuk mencerca “penghancuran kebebasan” sebagai aspirasi masyarakat lapisan bawah; sebagai penguasaan komunitas sampai sekarang.

Kemenangan pun lengkap. Hukum baru dibingkai dan disahkan. Di bawahnya, setiap warga negara yang miskin atau bodoh hanya memiliki satu hak suara saat pemilihan umum berlaku. Akan tetapi, jika seseorang memiliki pendidikan sekolah umum yang baik dan tak punya uang, ia akan memiliki dua hak suara. Sementara jika ia berpendidikan sekolah menengah, maka akan memperoleh  empat suara. Jika ia memiliki properti seharga tiga ribu saco, ia bisa menggunakan satu suara lagi dan untuk setiap lima puluh ribu saco yang ditambahkan seseorang sebagai hartanya, ia berhak lagi untuk memilih.

Pendidikan universitas akan memberikan hak sembilan suara kepada seseorang meskipun ia tidak memiliki properti. Oleh karenanya, pendidikan menjadi lebih lazim dan gampang diperoleh dibandingkan kekayaan; sehingga orang-orang berpendidikan menjadi pengawas yang sehat bagi orang-orang kaya karena dapat mengunggulinya. Pendidikan biasanya berlaku berdasarkan kejujuran, pandangan yang luas, dan kemanusiaan. Maka, pemilih terpelajar—yang memiliki keseimbangan kekuatan—menjadi pelindung yang efisien dan berwaspada bagi masyarakat kelas bawah yang besar.

 

Dan sekarang, suatu hal aneh berkembang dengan sendirinya; yakni semacam persaingan yang bertujuan  pada kekuatan suara!

Jika sebelumnya, seseorang dihormati hanya berdasarkan jumlah uang yang dimilikinya. Sekarang, kemuliannya diukur dengan jumlah suara yang ia miliki. Seseorang dengan hanya satu suara jelas-jelas menghormati tetangganya yang memiliki tiga suara. Dan jika ia seorang luar biasa, ia akan sama energiknya untuk bertekad mendapatkan tiga suara bagi dirinya sendiri. Semangat persaingan ini menyerbu segala strata.

Suara berdasarkan modal kekayaan umumnya disebut “suara fana” karena bisa saja hilang. Sementara suara yang diperoleh berdasarkan tingkat pendidikan disebut “suara abadi” karena secara umum karakternya tahan lama dan secara alami lebih dihargai daripada pilihan lainnya. Saya mengatakan “secara umum” karena pilihan jenis ini tidak sepenuhnya abadi apabila ketidakwarasan menyingkirkannya.

Di bawah sistem ini, perjudian dan spekulasi hampir berhenti di republik. Seorang terhormat yang memiliki kekuatan suara besar tidak beresiko kehilangan suara pada kesempatan yang penuh keraguan.

Rencana perluasan pemungutan suara menghasilkan kebiasaan dan tata krama yang sangat menarik diamati. Suatu hari saat berjalan-jalan di jalanan bersama seorang teman, ia membungkuk kepada sembarang orang yang berlalu-lalang dan kemudian mengatakan bahwa orang yang ia temui hanya memiliki satu suara dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan yang lain. Ia lebih menghormati kenalan berikutnya yang ditemuinya dan mengatakan bahwa ia memberi penghormatan ini karena empat suara yang dimiliki orang itu.

Saya mencoba untuk mengira-ngira betapa pentingnya orang-orang yang ia temui setelahnya berdasarkan sifat penghormatan teman saya. Tetapi perkiraan saya hanya tepat sebagian karena penghormatan yang agak lebih besar diberikan kepada yang “abadi” daripada yang “fana”. Teman saya menjelaskan bahwa tiada hukum yang mengatur hal ini kecuali hal yang paling kuat dari segala hukum; yakni kebiasaan.

Kebiasaan telah menciptakan berbagai penghormatan ini hingga pada waktunya akan menjadi terasa mudah dan alami. Pada momen ini, teman saya membawa dirinya dalam penghormatan yang sangat dalam dan kemudian ia berkata, “Sekarang, ada seseorang yang memulai kehidupannya sebagai pekerja pembuat sepatu dan tanpa pendidikan akan mengarahkan 22 suara fana dan 2 suara abadi. Dia berharap agar lulus ujian SMA tahun ini dan suara abadinya naik beberapa lebih tinggi. Dialah warga negara yang sangat berharga.”

Dengan segera, teman saya bertemu seorang tokoh terhormat yang membuatnya membungkuk dengan cara paling rumit  hingga melepas topinya. Saya melepas topi juga berkat rasa kagum yang misterius. Saya rasa saya mulai terinfeksi hal ini.

“Bangsawan macam apa dia?,” tanya saya.

“Dialah ahli astronomi kita yang paling terkemuka. Dia tidak punya uang tapi dia seorang terpelajar yang disegani. Bobot politiknya adalah sembilan suara abadi! Dia akan mengarahkan 150 suara jika sistem kita sempurna,” jelas teman saya.

Bertanyalah saya kemudian, “Adakah penghormatan tinggi terhadap uang yang membuatmu melepaskan topi?”

“Tidak. Sembilan suara abadi adalah satu-satunya kekuatan yang kita temukan untuk itu dalam kehidupan sipil. Para pejabat yang sangat hebat menerima tanda penghormatan itu. Tentu saja,” jawabnya.

Adalah terbiasa mendengar orang-orang terkagum membicarakan beberapa orang lain yang memulai kehidupannya dari strata lebih rendah hingga saatnya memperoleh kekuatan hak pilih yang besar. Hal itu juga lumrah saat mendengar para pemuda merencanakan masa depan untuk memiliki begitu banyak hak suara bagi diri mereka sendiri. Saya mendengar kaum mama yang cerdik berbicara tentang para pemuda tertentu sebagai “incaran” bagus karena mereka memiliki sejumlah hak suara begini-begitu. Sepengetahuan saya, ada lebih dari satu kasus tentang seorang ahli waris perempuan yang menikah dengan seorang pemuda yang hanya memiliki satu hak suara. Pendapat yang ada menyatakan bahwa si pemuda dikaruniai bagian-bagian warisan bernilai tinggi sehingga pada saatnya nanti, ia akan memperoleh hak suara yang sangat baik dan dalam jangka panjang mungkin akan mengungguli derajat istrinya jika ia beruntung.

Ujian kompetitif adalah peraturan untuk menilai segala jabatan. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan ujian yang diajukan kepada para kandidat begitu ngawur, rumit, dan seringkali membutuhkan semacam pengetahuan yang tidak diperlukan untuk dinas yang mereka cari.

“Bisakah orang bodoh atau orang bebal menjawabnya?,” tanya orang yang sedang berbicara dengan saya .

“Tentu saja tak bisa.”

“Baiklah, tapi kamu tak akan menemukan orang bodoh dan bebal di antara pejabat kita.”

Saya merasa agak tersudut tapi beralih mengatakan, “Tapi pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan lebih banyak jawaban dibandingkan yang diperlukan.”

“Tak masalah. Jika kandidat dapat menjawabnya, itu bukti yang lumayan adil bahwa mereka dapat menjawab hampir semua pertanyaan lain yang akan Anda ajukan kepada mereka.”

Ada beberapa hal di Gondour yang tak bisa ditutup-tutupi. Salah satunya, kebodohan dan ketidakbecusan tak ada tempatnya di pemerintahan. Otak dan properti dipakai untuk mengelola negara. Seorang kandidat pejabat harus memiliki kemampuan, pendidikan, dan karakter mulia; atau jika tidak, ia tak memiliki peluang untuk dipilih. Jika kuli bangunan memiliki potensi ini, ia bisa menjadi orang sukses. Tapi faktanya, para kuli bangunan tidak berkesempatan memilikinya seperti waktu sebelumnya.

Sekarang, menjadi kehormatan besar apabila berada di parlemen atau bekerja di kantor. Di bawah sistem yang lama, kebanggan seperti ini hanya akan menimbulkan kecurigaan pada seseorang; yang menjadikannya sebagai bahan lelucon dan olok-olokan pada suratkabar.

Hari ini, pejabat tak perlu lagi mencuri. Gaji mereka sangat besar dibandingkan upah pas-pasan yang dibayarkan saat parlemen diciptakan oleh para kuli bangunan—yang memandang gaji resmi dari sudut pandangnya sendiri hingga memaksa pandangan itu untuk dihormati oleh para pelayan mereka yang patuh. Keadilan telah dikelola dengan bijak dan ketat. Bagi seorang hakim, setelah sekali mencapai posisinya melalui jalur promosi yang ditentukan, posisinya akan menjadi permanen selama ia beperilaku baik. Ia tidak dipaksa untuk memodifikasi penilaiannya menurut pengaruh yang mungkin mereka punya terhadap emosi partai politik yang berkuasa.

Keutamaan negara ini adalah diperintah oleh suatu kementerian yang diresmikan berdasarkan administrasi yang menciptakannya. Ini dialami oleh para kepala departemen besar. Pejabat kecil naik ke beberapa posisi mereka melalui promosi yang diupayakan secara baik; bukan berdasarkan upaya dari kedai arak, keluarga miskin, atau teman-temannya anggota parlemen. Perilaku yang baik menjadi ukuran masa jabatan mereka.

Kepala pemerintahan Grand Caliph dipilih untuk masa jabatan selama dua puluh tahun. Saya mempertanyakan kebijaksanaan ini. Saya mendapat jawaban bahwa ia tidak dapat berbuat zalim karena kementerian dan parlemen mengatur negeri itu dan ia bisa dikenakan hukuman jika melakukan pelanggaran. Jabatan besar seperti ini telah dua kali diisi oleh perempuan yang cakap. Para perempuan memang sangat cocok untuk jabatan itu seperti beberapa ratu bersejarah yang menguasai kerajaan. Sementara di bawah banyak administrasi, perempuan menjadi anggota kabinet.

Saya mengetahui bahwa kuasa mengampuni bisa diajukan di pengadilan pengampunan yang terdiri dari beberapa hakim besar. Di bawah rezim lama, kekuatan penting ini diberikan kepada seorang pejabat tunggal dan ia selalu waswas apabila dikirim ke penjara umum saat waktu pemilihan berikutnya.

Saya menyelidiki sekolah umum. Jumlahnya ada banyak dan ada juga perguruan tinggi gratis. Dan saya bertanya tentang pendidikan wajib. Pertanyaan ini diterima dengan senyuman dan komentar:

“Ketika seorang anak lelaki mampu menjadikan dirinya kuat dan dihormati berdasarkan jumlah pendidikan yang diperolehnya, bukankah kamu mengira bahwa orangtuanya  akan menerapkan paksaan itu sendiri? Kita tidak memerlukan undang-undang untuk memenuhi sekolah gratis dan perguruan tinggi gratis.”

Ada kebanggaan penuh kasih dari negara tentang cara berbicara orang seperti ini yang membuat saya terganggu. Saya sudah lama tidak berbicara dengan gaya seperti itu. Suara-suara warga negara Gondour memekakkan telinga saya selamanya.  Sehingga, saya senang meninggalkan negara itu dan kembali ke tanah kelahiran saya yang tersayang—tempatnya orang-orang tidak pernah mendengar “musik” semacam itu.

[Diterjemahkan oleh Taufik Nurhidayat. Bukan sastrawan dan berlaku menjengkelkan.]