Kenapa Keimutan Menguasai Dunia Kita?

*)Ditulis oleh Simon May. Profesor tamu bidang filsafat pada King’s College, London. Ia menulis buku A New Understanding of An Ancient Emotion dan The Power of Cute pada 2019 ini. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Dalam keadaan tak pasti dan sulit seperti sekarang ini; dengan begitu banyak ketidakadilan, kebencian, dan intoleransi mengancam dunia, bukankah kita memiliki hal-hal yang lebih serius untuk diperhatikan daripada petualangan sesosok kucing perempuan macam Hello Kitty? Sementara Pokémon; waralaba video game yang kembali memanas pada tahun 2019 dengan rilis utamanya film “Detective Pikachu” untuk kawasan Amerika Serikat dan Inggris, trailer YouTube-nya mencatat lebih dari 65 juta hit dan makin terus bertambah. Lalu, mengapa penggunaan emoji (emoticon) begitu menjamur? Kenapa pula logo-logo imut yang menghiasi produk tak terhitung jumlahnya; mulai dari komputer dan telepon, hingga senjata dan makanan, bahkan dari mainan dan kalender anak-anak hingga kondom dan lensa kontak?

Paling jelasnya, kegemaran akan semua hal yang imut dimotivasi oleh keinginan untuk melarikan diri ke “taman keluguan” dari dunia yang begitu mengancam. Dalam pelarian itu, kualitas kekanak-kanakkan membangkitkan perasaan protektif yang nikmat, memberikan kepuasan, dan sebagai pelipur lara. Isyarat keimutan terdiri atas perilaku yang tampak tidak berdaya, tidak berbahaya, menawan, dan pasrah. Secara  anatomi fisik, hal tersebut digambarkan seperti kepala berukuran besar, dahi menonjol, mata seperti piring, dagu yang mundur, dan gaya berjalan yang kikuk.

Barangkali, seperti yang disarankan Konrad Lorenz—cendekiawan Austria yang mengamati perilaku hewan—pada tahun 1943, respon kita terhadap isyarat-isyarat tersebut berkembang untuk memotivasi kita dalam memberikan perawatan dan pendidikan yang melimpah kepada keturunan kita sesuai kebutuhan mereka untuk memperoleh kesejahteraan. Menurut Lorenz, saat kita menemukan isyarat visual tersebut secara berlebihan dan dikaitkan dengan unsur-unsur pada hewan, kita dapat membangkitkan pengasuhan yang sama-sama intens atau bahkan mungkin lebih intens. Sama halnya, ketika kita menemukannya pada burung dan anak anjing, dan bahkan dalam model tiruan seperti boneka dan teddy bears.

Psikolog sosial di Universitas Virginia; Gary Sherman dan Jonathan Haidt, bertindak lebih jauh dengan menganggap respon atas keimutan sebagai “emosi moral” yang luar biasa; sebagai pelepas langsung sosialitas manusia yang merangsang kita untuk memperluas lingkar perhatian altruistik kita ke ruang sosial yang lebih luas.

Tetapi, jika keimutan hanyalah tentang pesona, hal yang tidak bersalah, dan sesuatu yang tidak mengancam, juga, apabila ketertarikan kita terhadapnya hanyalah dimotivasi oleh naluri pelindung atau eksplorasi kekanak-kanakkan dan sebagai pengalih perhatian yang menenteramkan dari kecemasan dunia saat ini; hal itu tentunya tidak akan ada di mana-mana.

Kualitas-kualitas seperti itu hanya berbicara tentang apa yang kita katakan “manis” dari keseluruhan spektrum keimutan. Ketika kita bergerak menuju titik penghabisan yang aneh, hal-hal yang dirasa manis terdistorsi menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih tak menentu, dan lebih terluka—sesuatu yang seperti serial “Balloon Dog” karya Jeff Koons (1994-2000). Karya itu tampak kuat (terbuat dari stainless steel) dan tidak berdaya (hampa; tidak berwajah, tanpa mulut atau mata); yang diwujudkan dalam raksasa yang tampak rentan, akrab namun juga asing, secara meyakinkan tampak tidak berdosa sekaligus tidak aman, cacat, dan penuh arti. Kedua hal berlawanan tersebut menyamankan kita dalam dunia ketidakpastian yang mengerikan dan memberikan aspirasi ke dunia yang sama—tetapi yang terpenting, melalui catatan yang lebih riang.

Subversi yang samar-samar melanggar batas semacam ini—yang menunjukkan antara yang rapuh dan tangguh, yang meyakinkan dan yang meresahkan, yang tidak bersalah dan yang berpengetahuan—akan menjadi pusat perhatian yang luar biasa ketika disajikan menjadi idiom yang menyindir dan keimutan yang ngawur.

 

***

Imut adalah ekspresi menggoda dari ketidakjelasan, ketidakpastian, ketidakteraturan dan perubahan yang terus-menerus atau menjadi semacam pendeteksi segala jantungkeberadaan pada era kita; mengetahui antara yang hidup dan tidak hidup. Melalui contoh gaya dan obyek yang terus berubah, keimutan tidak ada artinya jika tidak bersifat sementara dan tidak memiliki klaim apapun demi signifikansi yang bertahan lama. Selebihnya, keimutan mengeksploitasi cara ketidakpastian yang ketika ditekan ke luar titik tertentu akan menjadi ancaman. Kenyataannya, keimutan mampu memperdaya kita justru karena hal itu dilakukan secara sepele, menawan, dan tanpa gangguan.

Keimutan mengungkapkan intuisi bahwa kehidupan tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak ada keberadaan/eksistensi yang stabil—seperti yang diutarakan oleh filsuf Martin Heidegger; bahwa satu-satunya landasan kehidupan terletak pada penerimaan ketidakbatasannya. Dan itu sering terjadi pada suatu hal; seperti “kecerdasan dan kelebihan” diekspresikan dengan cara  “melemahkan yang serius” atau tentang kegagalan dalam keseriusan—seperti yang diungkapkan oleh kritikus budaya Susan Sontag dalam kaitannya dengan  istilah “camp”.

Ketidakpastian (sebagaimana kita dapat menyebutnya) yang meresapi keimutan ini adalah pengikisan batas antara apa yang dulu dipandang sebagai bidang terputus atau sesuatu yang berbeda; seperti batas antara masa kanak-kanak dan dewasa. Erosi tersebut juga tercermin pada gender yang kabur dari banyak obyek keimutan seperti Balloon Dog atau jenis-jenis Pokémon. Hal ini juga tercermin lagi dalam perpaduan antara bentuk manusia dan bukan manusia yang sering terjadi; contohnya seperti sosok gadis kucing Hello Kitty. Dan, sosok imutnya mereka seringkali tidak dapat untuk mendefinisikan usia. Karena meskipun obyek-obyek imut mungkin tampak seperti anak kecil, namun bisa sangat sulit untuk mengatakan apakah mereka berusia muda atau tua—sama halnya seperti sosok alien dalam serial “E.T.”. Atau kadang-kadang, malah tampak seperti dalam dua hal sekaligus (muda & tua)—seperti saat manusia menggambarkan sosok alien dalam serial tersebut.

Dengan cara seperti itu, keimutan disesuaikan dengan era yang tidak lagi terikat pada dikotomi keramat seperti “maskulin dan feminin”, “seksual dan nonseksual”, “dewasa dan anak-anak”, “yang ada dan yang menjadi”, “sementara dan abadi”, “tubuh dan jiwa”, “absolut dan kontingen”, dan bahkan “baik dan buruk” . Inilah dikotomi-dikotomi yang saat dulu  bisa turut menyusun hal ideal tetapi sekarang dianggap lebih cair atau menjadi keropos.

Terlebih lagi, rasa imut merupakan kepekaan yang tidak sesuai dengan kultus modern tentang ketulusan dan keaslian; yang berasal dari abad ke-18 dan mengasumsikan bahwa masing-masing dari kita memiliki “batin” yang otentik; atau setidaknya, seperangkat keyakinan, perasaan, dorongan, dan selera yang secara unik mengidentifikasi bahwa kita dapat dengan jelas memahami dan mengetahui sesuatu untuk diungkapkan secara jujur. Keimutan tidak bisa untuk menunjukkan kondisi batin. Paling tidak, dalam bentuk-bentuknya yang lebih aneh, keimutan menjauh sepenuhnya dari keyakinan kita yang sudah ada—yang dapat kita ketahui dan kendalikan ketika kita bersikap tulus dan otentik.

Meskipun ketertarikan pada obyek-obyek imut seperti Hello Kitty yang tanpa mulut dan tanpa jari dapat mengekspresikan hasrat akan kekuasaan, keimutan juga dapat memarodikan dan menumbangkan kekuatan dengan cara memainkan perasaan pemirsanya tentang kekuatannya sendiri; dengan cara ini, obyek imut membuat  kita melukisnya menjadi pose dominan, menabur ketidakpastian mengenai siapa yang benar-benar bertanggungjawab, membuat kita sadar bahwa penyerahan diri si imut itu sebenarnya adalah cara untuk menjebak kita, lalu menuntut perawatan atau perlindungan dari kita.

Dengan  alasan seperti ini, keimutan adalah salah satu cara—yang mungkin sangat sepele & sangat tentatif —untuk mengeksplorasi apakah dan bagaimana paradigma kekuasaan dapat keluar. Memang, ini mungkin menjelaskan mengapa keimutan telah menyerbu budaya populer di bagian-bagian dunia— terutama Amerika Serikat, Eropa dan seluruh Jepang—yang sejak Perang Dunia Kedua telah mundur perlahan-lahan untuk mengurangi peran kekuasaan dalam menentukan struktur hubungan manusia dan yang paling kentara ialah dalam hubungan internasional.

[Pengalihbahasa: Taufik Nurhidayat. Nggak sok unyu tapi bisa unyu.]

 

 


Artikel ini merupakan bagian dari buku The Power of Cute karya Simon May yang diterbitkan tahun 2019 ini dan dimuat pada Aeon.co. Buku tersebut diterbitkan oleh Princenton University Press.